X-3. START THE B-MAGIC

Kelas VIII-E seharusnya diberikan layanan bersih-bersih yang khusus. Maksudnya, coba perhatikan ruangan ini. Sudut-sudut plafon penuh dengan sawang dan kotoran yang terjerap. Jendela nako amat berdebu bahkan bisa saja terbentuk biofilm* yang bakal sulit dihilangkan tanpa bantuan bahan kimia. Lantai keramik kumuhnya minta ampun, banyak sampah berserakan di sana-sini.

(*biofilm= suatu lapisan pada permukaan benda sebagai hasil dari interaksi antarmikroorganisme)

Ke mana tenaga kebersihan? Office boy kerjanya apa! Tukang bersih-bersihnya tak becus!

Sering para siswa berceloteh macam itu. Padahal yang seharusnya membenahi dan merawat kelas adalah mereka sendiri. Tenaga kebersihan hanyalah sebagai penunjang saja, mengerjakan finis, meremediasi yang mungkin terlewat.

Ampun, karena kelas yang joroknya hampir menyaingi Bantar Gerbang ini, para siswa tentu tak bisa fokus belajar. Belum lagi, penerangan kelas cukup redup karena ada dinding penghalang di luar yang memalangi masuknya cahaya. Belum juga langit-langit yang bocor dan banyak tercetak bekas air. Lantai yang retak di sudut belakang ruangan. Meja dan kursi yang reyot dimakan rayap. Kipas angin yang sekrupnya kendor terkadang membikin waswas.

Kelas VIII-E adalah kelas yang mirip neraka. Kau terkena kesialan paling sial jika terpilih masuk ke sini.

Kesampingkan tentang itu, mari berfokus pada apa yang tengah terjadi di waktu kegiatan belajar-mengajar sekarang.

Pada papan tulis hitam yang tripleksnya lepas-lepas di bagian pinggir, terpampang tulisan “Mapel MTK kerjakan tugas berikut dikumpul hari ini”, silakan bayangkan sendiri bagaimana pengaturan tatak letak dan pemisahan baris kalimatnya, karena memang para remaja berseragam putih biru yang melihatnya sendiri kebingungan untuk mendapat gambaran.

(Apa yang dilakukan sekretaris kelas?!)

Ya, yang penting mereka harus mengerjakan soal yang diberikan. Salah satunya seperti ini:

5x–3y+2z= 3 

8x–5y+6z= 7

3x+4y–3z= 15

Tentukan nilai x, y, dan z dengan menggunakan metode eliminasi!

“Soal ini susah.”

Tentu, kelas VIII-E belum pernah diajarkan. Atau, sudah diajarkan, tetapi kalian tidak ingat? Atau, tidak paham apa yang diajarkan?

“Aku gak bisa mengerjakan.”

Kenapa? Ada kerjaan lain? Malas mengerjakan?

“Aku tidak tahu caranya.”

Minta yang sudah paham, coba. Atau, cari-cari contoh soal yang mirip di buku LKS dan di internet.

“MTK itu mengesalkan!”

Bisa saja, karena memang sesuatu yang mengenai angka dan aljabar itu membutuhkan kerja keras yang lebih dari otak untuk berpikir.

Namun, kesampingkan semua alasan di atas. Hal yang terpenting saat ini adalah ….

JAM KOSONG!

Para murid yang terlihat bandel bersorak riang. Mereka bisa asyik-asyik main gim, ke kantin, menongkrong di sudut-sudut sekolah. Bisa, lah, nanti menyontek teman yang sudah mengerjakan. Lagi pula, keahlian dan kecepatan mereka dalam menyalin jawaban jangan ditanya lagi!

Tidak tak berlaku bagi X, Ye, dan Zet. Mereka bertiga tentu tak mau melewatkan kesempatan ini. Terlebih, setelah puas dengan kejadian santet daring di Lab Komputer paginya, mereka ingin penyegaran diri sejenak sebelum memasuki mata pelajaran selanjutnya.

X, Ye, dan Zet. Ketiga lelaki itu terkenal bermasalah karena sering membuat onar di sekolah. Mereka diketahui telah membentuk geng di kelas VIII-E.

Apa yang geng itu lakukan?

Tidak sehebat geng-geng sekolah yang biasanya diceritakan di novel-novel remaja best-seller yang sebenarnya isinya B aja yang beredar di toko buku, Geng X (mari panggil dengan sebutan demikian) hanya menjalani keseharian seperti remaja sekolah pada umumnya.

Ya, umum. Bagi anak berandalan.

Pakaian tak rapi, atribut tidak lengkap, merokok, minum minuman keras, merisak korban perundungan, membawa gawai tanpa izin, menaiki motor padahal belum dapat SIM--

Mungkinkah mereka pernah melakukan “4646”?! (Tanya saja sendiri).

Dan, kenakalan-kenakalan lain yang bila poin pelanggarannya ditotal dapat membuat mereka dikeluarkan dari sekolah. Kalau dihitung, sih.

Asal kalian tahu saja, SMP Piji tidaklah seketat yang didengar orang-orang awam. Kamu bisa melakukan pelanggaran sekolah tanpa ketahuan, yang penting pintar mengelabui guru BK. Bahkan X sendiri mengecat rambutnya, Ye menindik wajahnya, tetapi Zet tidak diketahui apa.

Sekarang, lihatlah betapa asyik mereka bermain gim yang dijalankan dengan tongkat gembira--maksudnya joystick--yang terhubung dengan playstation dan tabung televisi.

Ampun, dari mana TV itu didapat? Mungkin lemari kayu besar di sudut belakang bisa menjawab.

Sementara itu, seorang siswa berkacamata yang duduk di bangku baris kedua nomor dua dari kanan, Andi, tampak gelisah. Jarum jam panjang sudah menempuh banyak angka, jadi kemungkinan besar dia sudah selesai dengan tugas MTK-nya (itu kalau Andi bisa menjawab. Atau, jangan-jangan semua jawabannya mengarang indah?).

Laki-laki yang dicap sebagai siswa beban dan paling tidak bisa apa-apa sekelas itu terlihat cemas lagi khawatir, tercetak jelas pada ekspresi mukanya. Si lelaki berkacamata terus-terusan mengais-ngais isi tas, membolak-balik buku di dalam, mengeluarkan satu per satu barang lalu diletakkan di atas meja. Dia seperti tengah mencari sesuatu.

“Di mana, ya … ? Di mana itu … ? Seingatku kutaruh di sini … kok sekarang tidak ada? Hilang ke mana, ya … ?” Hanya gumam yang terdengar di sela pencariannya.

Andi menengok kerumunan kaum adam yang heboh bermain gim playstation. Ada Geng X di antara mereka. Selagi para perundung sibuk, laki-laki berkacamata itu memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari sesuatu miliknya yang hilang.

Dia memeriksa lemari di belakang, nihil. Meja guru, kosong. Wastafel di luar kelas, negatif. Bangku murid lain, Andi tidak berani mengacar--tetapi laki-laki itu yakin tidak ada di laci meja teman-temannya.

Lalu, di mana?

Belum selesai investigasi, tahu-tahu melalui pengeras suara di pojok ternit, tanda jam istirahat telah berdentang. Siswa VIII-E berhamburan keluar, bercampur dengan siswa-siswa kelas lain yang berjubel. Andi tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya merinding.

X, Ye, dan Zet selesai bermain gim. Ketiga remaja itu terkikik-kikik, berdeham, menyeringai, seiring menghampiri meja Andi yang terletak di tengah-tengah ruangan, pas untuk melakukan pengepungan. Para remaja lain turut berkerubung, bagaikan Geng X mengadakan quorum sensing* untuk memandu perundung-perundung mendapatkan mangsa mereka.

(*quorum sensing= kemampuan mendeteksi dan merespons populasi dengan menghasilkan molekul persinyalan)

“Lihat, lihat? Siapa orang yang kesusahan ini? Oh, iya! Andi! Apa yang kau cari, Nang*?” X berlagak menjadi kakek-kakek pertapa yang menolong pemuda kesusahan seperti pada cerita-cerita dongeng yang tayang di TV setiap pukul empat sore.

(*Nang= panggilan untuk anak laki-laki)

Namun, pemuda kesusahan ini tahu betul bahwa dia tidak sedang ditolong kakek-kakek pertapa, melainkan diusik oleh sesosok iblis berkostum remaja sebaya.

“To-long ….” Andi memohon, lirih.

X menempelkan telapak ke telinganya, mendekatkan ke Andi. “Hah? Tidak dengar! Kamu ngomong apa kumur-kumur?”

“Tolong kembalikan baju olahragaku ….”

X mengedik. “Huh?” Kemudian, laki-laki berambut semir itu tertawa. “Hei, bocah ini menuduh kita yang menyembunyikan baju olahraganya. Waduh, bagaimana ini?”

Tanpa aba-aba, X menggebrak meja Andi. Siswa yang bajunya keluar dan dasinya lepas itu menyeringai supresif. Ye pun ikut menatap penuh intimidasi, bak laki-laki berjaket tersebut sanggup mengikuti rencana menghancurkan Andi kapan saja. Sementara Zet berada di belakang sebagai imaji tak mencolok.

Pada momen itu, seharusnya Andi menyadari, bahwa seragam olahraganya disembunyikan dengan cara dipakai oleh X (kausnya) dan oleh Ye (celananya).

“Tidak, maaf, maaf. Tidak jadi ….”

Andi paham betul bahwa dia benar-benar terjebak di dalam kubus yang mencegah siapa pun melarikan diri tak peduli mau bagaimanapun caranya.

“Hei, tahu tidak ini jam apa? Jam istirahat! Apa artinya? Waktunya untuk ….”

X mempersembahkan pasukannya yang siap sedia mengisolasi dari berbagai penjuru, memblokade bangku milik siswa paling payah sekelas itu. Andi merasa tubuhnya mengecil sekerdil-kerdilnya, hingga siluet-siluet remaja di sekeliling bermanifestasi menjadi raksasa-raksasa berkaki panjang yang mampu melumatnya habis dalam sekali pijakan.

Semua remaja pun berseru lantang, “Eksekusi … !”

X mengejam mata lalu menepi, guna mempersilakan para perisak melakukan aksi perundungan terbaik mereka. Ye dan Zet bergestur seakan akan menyantap mangsa nan lezat. Remaja lainnya yang didominasi laki-laki menunjukkan manik mata mengilat serta seringai represif.

Sekujur badan Andi gemetar, kemudian mati rasa. Supragaya tak kasatmata mengekang seluruh pergerakan. Bagaikan rantai membebat jasadnya, laksana tembok mengimpit tubuhnya, ibarat lumpur mengisap raganya.

Dua orang mengangkat Andi dari bangku. Meja berikut kursi disingkirkan, penghalang di sekitar didorong mundur. Siswa yang ikut-ikutan mengelilingi, sedangkan yang tak ikut-ikut menonton dari pojok. Dengan lengan Andi didepang dan badan ditahan di udara, para ahli berancang-ancang melayangkan jurus di depan semua spektator.

X menyuruh jeda sejenak, membuat eksekutor menunda gerakan. Ada sesuatu yang menarik perhatian ketua geng itu. Beberapa remaja mengikuti perintahnya, mengulik petak kecil lantai keramik tepat di bawah Andi yang tampak pecah-pecah. Satu per satu ubin diangkat dengan susah. Begitu petak kecil selesai terbuka, terkejutlah para penonton ketika mengetahui bahwa di bawah lantai langsung terdapat tanah beraroma humus, tanpa semen ataupun fondasi.

X menyungging senyum licik. Dia menyuruh seseorang melepas kacamata Andi supaya pertunjukan makin seru. X menepi kembali, tanda para eksekutor diizinkan memulai spektakel. Seorang laki-laki bertubuh besar menjambak rambut Andi, kemudian menghantamkan kepalanya tepat mencium tanah pada petak kecil. Remaja yang menahan tubuh Andi berkikik-kikik.

Eksekutor lain turut datang ramai-ramai, meninju Andi, menendang, menginjak-injaknya. Badan juga wajah sampai-sampai tampak babak belur. Cairan merah serta keringat pun bercampur dengan tanah, menciptakan lumpur lembek. Setelah itu, jasad Andi diguling-gulingkan di atas petak tanah kecil, bolak-balik hingga kulit dan seragamnya comot akan debu pula lempung. 

Di sela-sela keputusasaan atas kepuasan para remaja yang merisaknya, Andi mencari-cari sosok yang tersembunyi di belakang kelas. X menyandarkan punggung ke tembok, menyilangkan tangan, memberikan tatapan datar. Seakan-akan, ketua geng tersebut amat menikmati tontonan ini.

Para perisak mengambil istirahat sejenak, kelelahan merundung si korban. Selagi para perundung itu mengatur napas dan mengisi ulang tenaga, Andi menyeret tubuhnya mengarah tempat X. Sebelum kesempatannya habis, si lelaki berkata dengan suara terputus-putus penuh permohonan.  

“Tolong batalkan santet itu … santet itu nyata … dan nyawa kalian dalam bahaya ….”

Satu benturan pemungkas berhasil merenggut kesadarannya.

###

Kudus, 3 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top