X-2. LET'S STFU-DYING

❝Seorang budak harus menurut kepada majikannya.❞

###

Santet daring. Suatu tren yang fenomenal di kalangan masyarakat, terutama anak sekolah. Terlebih, situs ini bisa diakses oleh siapa saja, asalkan memiliki komputer dan internet--atau bila tak punya, bisa pergi ke warung internet terdekat.

Di mata orang awam, mungkin santet daring hanyalah semacam perbuatan jahil atau iseng belaka. Kau tinggal mengetikkan nama targetmu, jenis santet yang diinginkan, dan kekuatan santetnya. Beberapa versi lain mungkin menyediakan fitur yang berbeda.

Bagi remaja labil yang suka mencoba-coba hal baru, pastilah santet daring menjadi hal nan membuat penasaran, seru untuk dilakukan.

Tanpa tahu konsekuensi yang mungkin diakibatkannya.

***

"Hei, Ye, Zet, kalian tau apa ini?"

Remaja laki-laki berambut semir cokelat itu menentang kepada kedua temannya. X menuntut jawaban pasti.

Ye dan Zet maju, memperhatikan lebih cermat.

"Ini bukannya santet online?" terka Ye.

"Hee no*? Oh, iya! Santet online!"

(*Hee no= artinya sama seperti "masa sih")

X menyunggingkan salah satu sudut bibir, kemudian bersilang tangan seiring kelopak mengatup. Dipenuhi ekspresi kebanggan serta rasa harga diri, laki-laki tersebut berdeham dan tertawa.

"Ha ha ha! Tentu saja! Ini santet online. Aku hebat, 'kan! Untuk menghentikan nafsu bejat kalian yang menyuruhku untuk membuka situs porono, aku membuka situs santet online ini!"

Ye dan Zet hanya bisa menatap dengan pandangan merasa ganjil.

Padahal X membuka situs pornografi dengan keinginannya sendiri.

Lagi pula, yang betul "porno", bukan "porono".

Seperti itulah mereka berdua merespons. Dalam hati. Barangkali.

"Ye, Zet, siapa kira-kira yang akan kita santet?"

X menyeringai licik, lalu berbalik. Ye pula Zet yang berdiri di belakang tampak kebingungan. Mereka tampak berpikir dahulu.

Namun, tiba-tiba muncul sebuah interupsi.

"Apa? Apa? Kalian lagi ngapain?"

Terciptanya keributan membuat segerombolan remaja, tepatnya tiga orang siswi, terhasut untuk ikut berkerubung di sekitar meja komputer X.

"Ah, apa jangan-jangan membuka situs porno?" kira remaja berbando yang gelagatnya mirip anak tomboi.

"Apa? Bukan sudah dibilang jangan buka gitu-gituan lagi?" protes remaja berambut sebahu yang cantik.

" 'Gitu-gituan' itu apa coba?" Remaja yang mengenakan jaket biru kelabu terkikih.

Tiga orang pengganggu tiba. X mengembus napas, meratapi prediksi kemungkinan terburuk yang akan terjadi nantinya.

Ye menjelaskan bahwa X membuka situs santet daring, dan dia ingin menyantet seseorang, tetapi tidak tahu siapa, atau bingung untuk memilih. Oleh karena itu, X meminta pendapat mereka untuk menentukan target santet nan cocok. Mungkin bisa orang yang dibenci karena telah merusak hidup seseorang, bisa orang yang menolak perasaan cintanya, bisa orang yang ingin dilenyapkan, tetapi tak tahu harus pakai cara apa.

"Yah, kalau aku sih lebih suka si Tua Bangka itu yang disantet. Lagi pula, dia sudah tua. Sebentar lagi paling mati. Gak apa-apa 'kan kalau kita mempercepat kematiannya?" tukas Ye.

X terkesima, tak menduga bahwa Ye itu ternyata pintar juga. Lantas, bagaimana dengan Zet?

"Aku siapa saja boleh sih. Tidak keberatan, asalkan seru."

Rupanya Zet asal terima saja.

Para perempuan pun tak mau kalah ikut mengusulkan.

"Bagaimana dengan guru yang suka memberi soal ulangan susah?"

"Hmmm ..., orang tuaku bagaimana? Mereka sangat menyebalkan sampai-sampai aku merasa gak butuh. Santet saja mereka, ndak apa-apa."

"Kalau aku lebih suka si Ketua OSIS yang disantet. Dia bagus di luar, tapi busuk di dalam."

X menatap ke bawah, menempelkan jari ke dagu. Di sekitarnya, orang-orang berhati busuk tersedia melimpah. Tinggal pilih siapa yang ingin dijadikan percobaan. Akan tetapi, semuanya tidak pantas diberi santet sekarang juga. Kalau mau mengirim santet, maka ....

"Di kelas ini. Ada satu orang yang cocok sebagai kelinci percobaan."

Perkataan X barusan membuat teman-temannya menoleh.

"Seseorang yang gak bisa apa-apa, hanya bisa jadi beban kelas. Kalau disuruh-suruh gak bisaan, diajak ngomong malah diam saja, dan gak punya satu pun teman."

Semua orang menanti jawaban yang sudah diketahui.

"Andi."

Entah siapa dan di mana manusia yang dimaksud ini, tetapi X dan kawan-kawan tampak melakukan alternasi muka menjadi licik, seringai jahil, bahkan terkikik-kikik.

X mengetikkan sesuatu di kolom kotak dialog. Tikannya menyatakan bahwa, santet atas nama X, nama orang yang mau disantet adalah Andi, jenis santet yaitu paku berkarat, serta kekuatan santet permanen.

Tepuk tangan kecil tercipta dan seketika beberapa siswa menoleh kemari. Teman-teman X memuji atas kegeniusannya dalam menyantet.

Namun, tiba-tiba X berubah pikiran, mendapat ide baru. Lelaki berambut semir itu mengosongi kolom "Atas Nama" yang sebelumnya diisi namanya. Sebelum yakin penuh akan kehebatan ide baru ini, dia meminta pendapat kepada Ye dan Zet.

"Aku mikirnya baiknya gak perlu dihapus."

"Iya, nanti hak cipta santetnya biar di kau aja."

X mengerling ke kiri, tersenyum kesal. Akhirnya dia memakai idenya sendiri. Laki-laki kurus tersebut berdiri mendadak, kemudian menggebrak meja.

Sontak, seisi ruangan berubah menjadi ribut. Ye dan Zet tampak menanti lanjutan aksi X, sementara tiga siswi bergeming. Beberapa siswa merasa laksana terkena resonansi--harus turut angkat suara. Frekuensi otak terkait keterlibatan X ke dalam kelas VIII-E tersambung ke tiap-tiap frekuensi otak siswa kelas tersebut.

"Ada apa, X?"

"X, kau mau apa?"

"Kali ini apa, X?"

Seorang remaja laki-laki yang memiliki pesona tertentu tiba-tiba menginterupsi, mengajukan protes dengan nada mengecam, "Hei, X, kalau kau macam-macam lagi kali ini, kami tidak akan memaafkanmu!"

"Wah, ketua OSIS mulai ikut bicara!"

Rupanya pada lengan kiri seragamnya terjahit lencana berlogo OSIS, dia pun mengenakan kain yang dilingkarkan ke leher, tampak samar-samar tulisan OSIS pula.

"Ini sedang kelas, jadi jangan terlalu berisik! Terserah kalian mau apa, tapi jangan ganggu ketenangan! Aku iya iya saja asal tidak menimbulkan keributan di sekolah, oke?!" Remaja tersebut pun duduk kembali.

X mengukir seringai tajam. Sudah diputuskan.

"Teman-teman, bagaimana jika kita semua mengirim santet kepada Andi?"

Para siswa terkaget. Tidak konektif dengan tujuan X. Apa maksud dari "semua orang mengirim santet"?

"Pernah dengar tentang teori bagi-bagi? Jadi begini, jika misal santet ini memang berhasil, pasti akan ada suatu harga yang harus dibayar, kan? Kalau satu orang yang membayar, pasti berat, bukan? Tapi, bagaimana jika kita sekelas, yang dengan sadar menyetujui untuk mengirim santet ini, yang membayar harga itu? Pasti mudah dan ringan, karena kita bayarnya dibagi-bagi. Istilahnya, patungan. Paham maksudku?"

Seseorang ada yang bertanya, "Bagaimana jika sebenarnya santet itu tidak berhasil?"

"Berarti kita tidak perlu membayar. Dibuat mudah saja, oke?"

Orang lain turut bersoal, "Apa yang harus kita bayar?"

"Aku dengar bayaran yang dimaksud bisa saja barang-barang perdukunan seperti bunga tujuh rupa, ayam cemani, atau uang untuk setan. Gampang, lah, kalau kita semua yang membayar. Bagaimana?"

Sepertinya para siswa sudah mulai mafhum dengan kehendak X. Si X memang terkenal akan kecerdikannya, tetapi kadang harus membutuhkan waktu untuk mencerna maksud remaja itu.

"Baiklah, jadi semuanya setuju, ya?"

X mulai mengajukan jajak pendapat. Satu per satu siswa VIII-E asese dengan usulnya. Tentu dimulai dari Ye dan Zet, lalu ketiga siswi, kemudian disusul yang lainnya.

"Aku setuju sekali!"

"Wah, setuju banget ini! Ya kali gak sih!"

"Kalau X yang bilang, aku setuju-setuju saja!"

"X, apa sih yang tidak buat kamu?"

Yang menyahut tentu berarti setuju. Yang diam dianggap setuju-setuju saja. Ketua OSIS, bocah cebol yang tipis hawanya, remaja berbadan besar yang tak penting, dan lain-lain. Semua siswa VIII-E telah setuju.

"Baiklah. Kelas VIII E, yang berjumlah tiga puluh tiga dikurangi satu, mengirim santet kepada Andi!"

Semuanya berseru sukacita, bertepuk tangan.

Sementara itu, di bangku pojok paling belakang yang sebaris dengan X, adalah Andi. Remaja laki-laki berkacamata yang terkucilkan, gemetar tak karuan, peluh membanjir, menahan rasa takut bercampur gelisah. Tindakan yang bisa Andi ambil hanyalah, duduk diam, kepala menunduk, badan membungkuk, kedua tangan bertumpu pada paha.

Di kerumunan, berpasang mata siswa menyaksikan X memasukkan "kelas VIII E" ke kolom "Atas Nama". Tanpa ragu, tanpa pemeriksaan ulang, tanpa berpikir dua kali, si remaja yang memegang tetikus komputer mengarahkan kursor ke kotak kirim.

"Kirim santetnya! Kirim santetnya! Kirim santetnya sekarang juga! Sekarang juga!"

"Ayo! Kirim! Kirim!"

"Kirim sekarang!"

Hampir satu gerakan sebelum jari X mengeklik bantalan kiri tetikus, dari pojok, Andi tiba-tiba berdiri, memohon dengan memelas kepada kerumunan yang mengitari X.

"Tolong, hentikan!"

Kesadaran Andi membuat para siswa terheran-heran. Andi berusaha menghentikan X, tetapi tentu saja dia dipukul dan ditendang oleh kawan-kawannya.

"Kakekane, diam kau!"

"Hen-ti-kan!" Walau wajah dipenuhi luka lebam dan badan babak belur, Andi masih tetap berusaha dalam keadaan tengkurap tak berkuasa.

Namun, X pastilah tak bakal mengurungkan keputusan yang sudah bulat.

Santet terkirim.

Dengan munculnya kotak dialog konfirmasi, berarti proses permintaan jasa santet telah disetujui. Kini semua remaja yang merasa jahat mengakak sekeras-kerasnya.

Andi terduduk, berselonjor. Kedua matanya terbelalak, pupil menyempit, mulut menganga tak percaya. "Hen-ti-kan ... !"

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top