F: HIS PENANCE-2

Setelah tuntas memuaskan kerinduan masing-masing, saya dan Dexter saling tatap. Senyum ramah terukir di wajahnya. Saya mengalihkan pandang, menyapu sekeliling. Ruangan dengan luas kira-kira seratus meter persegi ini memiliki tata letak yang rapi lagi nyaman. Meja resepsionis cukup fit untuk melayani tiap-tiap pelanggan yang ingin memesan.

"Selamat datang di penginapan kami, X-ray!" Dexter merentangkan lengan, menyambut hangat.

"Terima kasih atas sambutannya." Saya sempat melirik wanita berambut hitam di sebelahnya yang mengelus perut nan besar.

"Ah, ini istri saya. Namanya Lamia. Dia sedang mengandung tujuh bulan." Wanita yang dimaksud tersenyum kepada saya, yang kemudian saya balas.

Selain memperkenalkan istrinya, Dexter pula mengintroduksi anaknya yang berjumlah dua puluh satu. Fantastis. Anak tertua bekerja di kota, sedangkan anak-anak lain semuanya berada di penginapan ini, membantu orang tua mereka.

"Mari, saya antar ke ruangan untuk mengobrol. Ah, kawan lama saya berkunjung ... sudah sepantasnya kami memberikan pelayanan spesial!"

Saya tertawa kecil mendengarnya. Pria itu kemudian memanggil seorang remaja laki-laki, lalu memohon lembut kepada istrinya.

"Faccet, kemarilah! Sayang, tolong kembali ke kamar duluan, ya." Faccet pun datang menuntun si wanita menuju tangga yang mengarah lantai atas.

Sementara itu, saya dipandu Dexter ke ruangan terdekat. Barangkali adalah kantornya. Terdapat lemari berisi buku-buku tebal, meja besar beserta kursi, dan sepasang sofa kecil yang saling hadap dipisahkan kenap. Saya dan Dexter menghampiri sofa itu, duduk berseberangan. Topi saya lepas, diletakkan di sebelah, di atas koper.

Dexter memulai dengan menggali ingatan. "Sudah berapa lama, ya ... ? Tiga puluh tahun, mungkin? Sejak perpisahan kita di peron."

Saya mengangguk, menceritakan singkat bagaimana momen terakhir kali kami.

"Kenapa Anda berkunjung kemari lagi, X-ray, setelah sekian puluh tahun lamanya?"

Saya menautkan jari-jari. “Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu mengapa. Saya tidak tahu ingin melakukan apa setelah ini, ke mana setelah ini, sehingga saya memilih kembali ke kampung halaman saya saja. Redhill Village memiliki pesona misterius yang berbeda dengan daerah lainnya. Siapa tahu nanti saya bisa membuka praktik di sini. Selain itu, saya juga rindu dengan kawan lama saya."

Dexter mengangguk dan membulatkan mulut. "Ah, seperti itu. Tunggu sebentar, praktik?"

Saya mengiakan. "Pekerjaan saya adalah dokter. Setelah lulus sekolah menengah dan pergi ke kota, saya melanjutkan pendidikan di sekolah kedokteran."

"Ya ampun! Saya baru mendengar itu! Kenapa selama berpuluh-puluh tahun ini Anda tidak pernah mengirim surat, X-ray? Saya sangat khawatir dengan keadaan Anda."

Dexter begitu perhatian terhadap keadaan saya. Kawan lama ini memang sudah paham betul bagaimana payahnya saya sewaktu muda ketika mengurusi semua masalah sehari-sehari. Namun, saya yang sekarang bukan saya yang dahulu. Saya menjelaskan secara hati-hati bahwa saya sudah bisa mengatasi segala permasalahan dengan baik, bahkan saya mendapat penghargaan di sekolah untuk melanjutkan sampai pendidikan tertinggi. Itu sebabnya saya membutuhkan waktu berpuluh tahun untuk bisa membuka praktik sendiri.

Dexter mengulas senyum lega. "Nanti jika musim berburu tiba, Anda saya ajak memburu rusa bersama para anak laki-laki saya, ha ha!"

"Saya akan menanti saat itu tiba dengan senang hati."

Selepas perbincangan panjang yang kebanyakan menarik ingatan nostalgia itu, saya diantar ke salah satu kamar penginapan nan lumayan menyenangkan. Terdapat ranjang dengan kasur nan empuk, berikut bantal selimut. Ada pula nakas, lemari baju, juga kamar kecil pribadi.

Kala siang mulai beralih sore, saya menyempatkan diri keluar penginapan, berjalan-jalan cukup jauh hingga tanpa sadar sudah sampai pasar. Orang-orang padat lalu-lalang di jalan khusus pedestrian. Jalur khusus kereta kuda ramai lancar.

Saya mengunjungi toko buah terbesar di sana. Seorang pria paruh baya memperkenalkan diri sebagai saudara dari Dexter. Pastilah sepupu atau ipar karena saya kurang ingat Dexter punya keluarga kandung seperti dia.

"Jadi Anda kawan lama dari Mr. Dexter, ya?"

"Ya, Anda bisa memanggil saya X-ray, Sir. Saya adalah dokter." Saya menerima pesanan sekantung apel lalu membayarnya.

Seusai itu, saya berkeliling lagi menyusuri desa, memasuki fasilitas-fasilitas yang baru saya lihat di desa ini. Lama berjalan, saya akhirnya beradu di penginapan. Langit telah berubah gelap, biru hitam. Saya pun memasuki kamar, berikutnya menanggalkan jas, menampakkan kemeja putih yang saya kenakan. Di penginapan ini, saya disajikan makan malam terbaik bersama keluarga Dexter.

Karena kecapaian mengitari desa, saya langsung tertidur setelahnya, larut dalam mimpi panjang.

***

Demam memang terasa menyakitkan. Temperatur tubuh naik, napas menjadi berat, pandangan buram. Gejala anemia benar-benar menyiksa.

Sungguh memalukan bagi dokter seperti saya harus terkena demam. Padahal saya sudah mengatur pola hidup serta makan supaya tetap sehat. Saya tidak tahu harus berkata apa saat anak-anak Dexter merawat saya di penginapan ini. Membuatkan makanan, menyiapkan baju (berupa kaus dengan tiga kancing di atas), mencuci pakaian, mengompres dahi. Sungguh saya sangat merepotkan.

"Tidak apa, Kawan. Beristirahatlah sampai Anda benar-benar sembuh. Aduh, mengapa dokter seperti Anda harus jatuh sakit? Bagaimana jika ada yang ingin berobat, Kawan?"

Begitulah Dexter berkata di samping ranjang, sesekali tertawa menceritakan bagaimana mereka sibuk merawat saya. Saya merasa sangat bersalah dan ini sungguh memalukan, tetapi apa daya suara saya sulit keluar sehingga hanya bisa mengangguk atau menjawab singkat--dengan lirih.

Beberapa pria dan wanita yang baru saya kenal datang berkunjung, memeriksa serta menanyakan kabar saya. Bahkan Oldman pun juga menjenguk, sambil membawa oleh-oleh juga menceritakan kisah yang seperti biasa cukup menarik, walau saya tak sepenuhnya memahami macam apa cerita si kusir itu.

Di hari yang lain, ada pria yang memapah anak perempuan datang ke kamar ini, mengatakan bahwa dia ingin berobat. Dexter yang kebetulan berada di sini mengatakan bahwa saya masih sakit, bahkan juga meminta maaf kepada si pria. Entah mengapa saat itu Dexter tampak lesu, wajahnya lebih keriput, tidak macam biasanya.

"Mengapa pria itu repot-repot datang ke sini? Ah, mungkin karena biaya rumah sakit mahal." Begitulah pikir saya. Namun, Dexter tidak memberitahukan alasannya walau saya meminta.

Sungguh, demam itu memang terasa menyakitkan.

***

Mungkin berhari-hari telah berlalu. Syukurlah, pagi ini badan saya terasa tidak demam lagi. Saya bisa bangkit dari kasur, memeriksa keadaan fisik melalui pantulan cermin. Saya berikutnya mengganti kaus dengan kemeja putih yang biasa saya pakai.

"Baiklah, saya sudah baik-baik saja."

Sesudah kemantapan hati terkumpul, saya memberanikan diri beraktivitas keluar kamar. Aneh sekali lorong terasa sepi, tidak ada anak-anak pelayan yang berseliweran.

Ada seorang wanita paruh baya berwajah masam lewat. Saya pun menyapanya.

"Nyonya, apakah penginapan sedang libur?"

Wanita itu tampak tak senang. "Eh, tidak tahukah? Di desa ini, sedang terjadi wabah penyakit demam yang mengerikan. Tidak ada seorang pun yang bisa disembuhkan. Sudah banyak nyawa melayang gara-gara penyakit ini. Di rumah sakit pun sudah penuh sekali pasien, jadi beberapa orang sakit dipindahkan ke sini. Petugas jadi kerepotan, tahu! Ampun, padahal di rumah sakit alatnya lumayan lengkap, tapi mengapa!"

Saya terlalu terkejut dengan penuturannya. "Tunggu dulu, bagaimana gejala pasien yang terkena demam itu?"

Si wanita lagi-lagi menatap tak senang. "Mereka seperti demam biasa, tapi mau diberi obat penyembuh apa pun, tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda sembuh. Begitulah yang saya dengar. Anda ini dari luarkah? Mengapa hal seperti itu saja tidak tahu?"

Saya membungkukkan badan. "Ah, iya. Terima kasih banyak, Nyonya. Maaf mengganggu waktunya."

Wanita itu pun melangkah pergi. Mungkin dia ingin menjenguk salah satu kenalannya di sini.

Lantas, bagaimana dengan Dexter? Saya harap kawan lama itu baik-baik saja. Dia punya istri yang mengandung, anak-anak yang sangat baik dan rajin. Saya berdoa akan keselamatan mereka semua.

Baru saja saya berlari untuk mencari keberadaan Dexter, dia sudah muncul dari salah satu kamar, membawa ember dan handuk.

Pria beruban itu menatap saya datar. "Oh? Anda sudah sadar, Kawan? Syukurlah. Saya pikir Anda bakal tak selamat."

Eh? Apa yang dia bicarakan? Mengapa ekspresinya bagaikan manusia yang telah kehilangan jiwanya?

"Ternyata dokter memang hebat, ya. Bisa sembuh tanpa perawatan berarti."

Saya bergegas menghampiri Dexter, mengguncang bahunya kuat-kuat. Ember di genggamannya sampai luput dan air pun tumpah. "Anda ini bicara apa, Kawan?! Mana pasien yang sakit, biar saya periksa!"

Dexter tersenyum kosong. "Tenang saja, istri saya dan janin yang dikandungnya adalah pasien terakhir di penginapan ini. Tenang saja, sudah tidak ada lagi pasien sakit yang harus diurus, Kawan."

"Eh? Itu artinya ... ?"

"Mereka semua sudah mati. Istri saya. Anak-anak saya pun, satu per satu mati. Sekarang tinggal beberapa saja yang masih hidup, membantu merawat pasien. "

Tidak, tidak, tidak! Ini mustahil! Ini tidak mungkin terjadi! Dexter, sungguh malang apa yang terjadi dengan keluargamu ....

"Sadarkan diri Anda! Saya akan segera ke rumah sakit, tolong beri tahu anak-anak Anda untuk menyusul setelah ini!"

Saya segera berlari kembali ke kamar, mengenakan jas, sepatu pantofel, sarung tangan, kemudian mengambil koper. Tak lupa topi saya pakai. Setelah itu, saya bergegas keluar penginapan, melewati Dexter.

Dexter memungut ember yang tumpah, bergumam, "Baiklah ...."

Atmosfer desa berbeda sekali dengan apa yang saya rasakan sebelumnya. Keheningan menguasai, tidak tampak batang hidung orang-orang. Rumah pula pertokoan tutup seluruhnya. Benar-benar mirip desa mati. Saya pun lekas berlari menuju rumah sakit.

Di tengah jalan, saya merasa tiba-tiba badan menjadi lemas. Saya tahu-tahu ambruk. Ketika terasa nyeri di punggung, saya tempelkan telapak. Sarung tangan bersimbah darah.

Apa ini? Apa yang terjadi?

Genangan cairan merah tercipta, meluas perlahan. Mata berkunang-kunang, dada saya terasa sakit. Sayup-sayup, pandangan buram, terlihat sesosok remaja menyeringai sambil membawa benda mengilat.

###

9 Desember 2020

[ l o a d i n g . . . . ]

you are dead

[Continue...?]

> Yesn't
> No

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top