F: HIS PENANCE-1

REDHILL VILLAGE mengalami banyak perubahan sejak saya meninggalkannya puluhan tahun lalu. Rumah-rumah di sana sudah memiliki air dan listrik. Sebuah dam telah dibangun untuk sistem irigasi pula sumber air. Serta, kalian tidak usah kesulitan mencari peralatan ketika musim berburu tiba. Rumah sakit pun dekat, ada sekolah untuk anak-anak, juga terdapat pasar yang terhubung dengan pedagang dari penjuru negeri.

Berbagai keterangan ini saya dapatkan dari cerita Oldman si kusir, yang mengantarkan saya menggunakan kereta kudanya, dengan kuda hitam kualitas tinggi yang dia bangga-banggakan. Kereta bertudung yang saya masuki pun nyaman ditempati. Oldman sungguh pria yang hebat, padahal sudah berjam-jam sejak pagi tadi kami berangkat dari daerah pinggiran kota, tetapi kisah yang dia bagikan tetap diceritakan dengan semangat nan menggelora.

Di tengah perjalanan, saya dapat melihat pemandangan cahaya matahari menyirami bukit-bukit berwarna kemerahan yang banyak ditemukan batu mineral asam di sana. Dahulu sewaktu kecil, saya sering pergi mengumpulkan batu-batu itu, walau akhirnya kemudian dimarahi ibu saya karena membuat rumah kotor dan beberapa alat logam cepat berkarat.

“Apa Anda kenalan dari Mr. Dexter, Mr. X-ray?” Di sela menjalankan kereta kuda, Oldman bertanya.

Saya yang awalnya menikmati pandangan luar kereta, menoleh. “Iya, Sir.”

"Ha ha ha! Aku dan Mr. Dexter adalah bersaudara. Dia mendirikan penginapan di Redhill Village, lumayan terkenal di sana. Ngomong-ngomong, saudara-saudara Dexter itu adalah orang-orang yang masyhur, ada yang menjadi juragan di pasar, kepala rumah sakit, guru, dan banyak lagi. Anda beruntung menjadi sahabat dari Mr. Dexter, Sir!”

“Terima kasih banyak.” Saya ulas senyum tulus sebagai balasan kebaikannya.

Suasana begitu damai. Matahari bersinar hangat, angin bertiup lembut. Jalan berpasir mulus dengan mudah dilalui oleh kuda. Sesekali kami berpapasan dengan petualang atau pedagang yang habis singgah di Redhill Village. Kata mereka, meski letaknya terpencil dari kota, Redhill Village merupakan surga bagi orang-orang yang menginginkan ketenangan.

“Mr. X-ray, apakah Anda sudah menikah?"

“Eh?" Pertanyaan Oldman barusan menyinggung tentang urusan pribadi. "Belum, Sir. Karena kesibukan pekerjaan, saya belum sempat mendapatkan pengalaman percintaan."

"Ha ha ha! Mr. Dexter punya banyak anak perempuan yang 'matang'. Anda bisa memetiknya kapan saja jika tertarik!"

Saya hanya bisa tertawa kecil mendengarnya.

Tempat tujuan makin dekat, Oldman si kusir makin bersemangat bercerita, sesekali menunjuk jalur-jalur baru yang terhubung dengan kota-kota besar di negeri ini. Saya baru tahu jalanan nan mulus lagi bagus telah dibangun demi mempermudah akses transportasi menuju Redhill Village. Entah seperti bagaimana majunya tempat tersebut, membuat saya sungguh penasaran.

Desa yang kami tuju telah terlihat, cukup jelas di siang hari. Memang benar bahwa Redhill Village amatlah berkembang. Jauh lebih luas, jauh lebih tumbuh. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang saya tempati sewaktu kecil.

"Inikah Redhill Village yang sekarang ...." Saya tak bisa menyembunyikan ekspresi terpukau. Kedua mata berbinar-binar menyaksikan pemandangan ini.

"Bangunan yang ada di sebelah ujung utara adalah rumah sakit besar, di ujung timur laut adalah sekolah khusus, sedangkan di pusat desa adalah pasar paling terkenal seantero negeri. Oh, yang jauh di sana itu adalah dam desa ini." Oldman mengatakan tiap-tiap tempat sambil menunjukkan posisinya.

Selepas perjalanan yang melelahkan, kereta kuda akhirnya beradu di depan pintu gerbang masuk desa. Terdapat gapura bertuliskan "REDHILL VILLAGE" yang diukir dengan detail serta dihiasi bebatuan nan estetis. Pastilah ahli kayu yang membuatnya amat profesional.

Oldman sempat memberikan sejumlah nasihat dan pesan sebelum saya turun dari kereta. Saya pun pula dipandu jalan menuju penginapan Mr. Dexter. Puas selesai, kusir itu menyebat dengan cambuk. Kuda hitam meringkik, mengangkat tungkai depan lalu melaju masuk desa terlebih dahulu. Oldman mengatakan bahwa dia akan mencari penumpang di pasar.

Dan, di sinilah saya--hanya seorang pria biasa yang dapat ditemukan di mana saja. Tinggi badan rata-rata, berambut hitam. Berpakaian jas, memakai topi, dan membawa koper besar.

Di sekeliling pintu gerbang, tampak tanah berdebu berwarna kehitaman. Bisa jadi di sini merupakan tanah nan subur karena saya melihat sejumlah umbi terekspos, tetapi batang pula daunnya sudah layu mengering.

Saya pun melangkah masuk desa. Bangunan rumah lagi pertokoan menyambut di sisi kiri kanan. Para penjual menawarkan dagangan dengan semangat. Beberapa anak kecil tampak kejar-kejaran. Sementara anak-anak lain mencari uang dengan bermain alat musik, menyanyi, menawarkan jasa semir sepatu, atau menjadi pengantar koran.

Lumayan ramai orang-orang lalu-lalang. Saya berbaur dengan warga setempat, para pelajar, para pekerja, penjaja dagangan keliling. Saya juga melihat ada jalur khusus kereta kuda. Terpukau saya menampak berbagai kereta dengan model berbeda nan bagus.

Semuanya terasa begitu normal.

Akhirnya, langkah saya terhenti di depan sebuah penginapan besar. Sampailah saya di tempat kawan lama, Mr. Dexter. "Sekarang pasti dia telah menjadi orang yang sukses, ya ...," batin saya.

Memasuki pintu gerbang, seorang remaja laki-laki berpakaian pelayan menyambut kedatangan saya. Dia sempat berhenti tadi, barangkali dalam perjalanan mengantarkan keranjang berisi pakaian nan terlipat rapi.

"Halo, selamat siang," sapa saya.

"Selamat siang, Sir! Ada yang bisa saya bantu?" Remaja berambut pirang itu berkata dengan sopan.

"Apakah Mr. Dexter ada? Saya ingin bertemu dengan beliau."

Dia mengangguk, kemudian menunjukkan tempat saya bisa bertemu dengan Mr. Dexter. "Ah, beliau sebelumnya ada di resepsionis." Selepas saya berucap mengerti dan berterima kasih, remaja tersebut lanjut mengantar keranjang.

Saya berjalan menuju bangunan berdinding batu. Sepanjang perjalanan, taman hijau asri menemani. Memasuki koridor yang ternaungi, rasanya cukup menyejukkan. Pada deretan ruangan tertutup, salah satu pintu berpelat khusus menarik perhatian saya.

"Ini mungkin tempatnya," gumam saya.

Saya membuka daun, kemudian menyadari bahwa pintu itu terhubung dengan ruangan nan luas. Sejumlah anak-anak berbaju pelayan menyambut, tampak sibuk pada urusan masing-masing seperti membersihkan ruangan atau menyiapkan barang. Meski muda begitu, ternyata etos kerja mereka sungguh hebat.

Saya menghampiri meja resepsionis. Seorang gadis berambut kepang menerima, lalu menanyakan perihal urusan saya.

"Apakah Mr. Dexter ada?"

Baru saya selesai bertanya, seorang pria jangkung muncul bersama dengan wanita paruh baya yang perutnya bunting besar.

"Iya, ada urusan apa dengan saya, Sir?" soal pria itu.

Saya tak percaya atas apa yang saya lihat. Pria bersetelan jas itu tampak berbeda sekali dengan puluhan tahun lalu saat kami masih muda. Dahulu Dexter memiliki postur tubuh pendek kurus, sekarang bertambah jangkung dan badannya lumayan berisi. Wajah Dexter pun lebih cerah, membuat saya sempat mengira dia adalah orang lain, karena rambutnya sudah beruban.

Saya mengulas senyum, mengangkat tangan guna menyapa. "Dexter ..., ini aku, X-ray. Anda sudah banyak berubah, ya. Sekarang makin sukses."

Pria tersebut terbelalak, mulutnya menganga. "X-ray? Ini benar-benar Anda? Oh, ya ampun! Anda berbeda sekali dengan dulu, saya sampai sulit mengenali Anda!"

Saya tersenyum geli melihat tingkah Dexter yang sama-sama tak percaya. "Ini saya, Dexter. Lama tidak berjumpa, Kawan."

Setelah saling sapa, kami pun berpelukan hangat. Persahabatan dua pria yang telah lama tidak bersua akhirnya kembali.

###

8 Desember 2020

Berlanjut ke bagian 2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top