F: HIS 2ⁿᵈ PENANCE-2

“Saya bisa jelaskan ….”

Saya akhirnya memutuskan untuk menjelaskan kepada orang-orang di rumah sakit kecil, bahwa metode penanganan pasien yang saya lakukan sesuai dengan yang saya pelajari di kota. Bahkan saya memberikan kuliah singkat mengenai teori penyebaran dan virulensi penyakit demam mematikan ini.

Alhasil, kesalahpahaman berhasil ditangani. Saya terbukti tak bersalah.

Orang-orang pun balik ke posisi semula, walau para suster masih memberi lirikan pula tatapan sinis. Saya memutuskan kembali mengurusi pasien, seraya meminta maaf telah menyebabkan keributan. Sayang sekali, pasien itu telah dijemput ajal tepat setelahnya.

Beberapa hari berlalu, angka kematian semakin meningkat. Tidak ada yang bisa kami lakukan. Saya dan tenaga kesehatan lainnya pasrah dengan keadaan. Bahkan pasien yang sudah sekarat dianggap telah mati, membiarkannya menanti pencabut nyawa datang.

Saya sungguh menyesal.

***

Saya benar-benar bodoh! Mengapa baru sadar sekarang? Selepas suster memberikan waktu istirahat sore, saya menyadari suatu hal nan gawat. Segera saya berlari keluar, menyusuri jalanan mati seraya mengentak sepatu bot. Tak peduli bila jas memperlambat pergerakan. Saya sangat panik sekarang!

“Semoga tidak terlambat!”

Akhirnya saya sampai di dam marginal yang terlihat agak mengering, hanya menyisakan sedikit air. Di jembatan dekat pembatas kanal, saya menangkap satu figur pria paruh baya menyandar lengan ke pagar. Pria berambut uban, mengenakan baju warna kelabu serta celana panjang, serta di raut mukanya tak menunjukkan adanya harapan hidup.

“Mr. Dexter! Stop!” teriak saya.

Pria itu berpaling, ekspresinya datar kala menatap saya yang berlari menghampiri. “Mr. Dexter, apa yang Anda lakukan di sini?”

Saya perhatikan keadaan kawan ini dari ujung rambut ke alas kaki. Ada yang aneh dengan gelagatnya.

“Ah, Anda, ya, Mr. X-ray?” Dia kembali meletakkan lengan di atas pagar, memandang dam nan mengering dengan tatapan lelah. “Tidak ada, hanya ingin menikmati saat terakhir saja di Redhill Village.”

Mata sayu Mr. Dexter terfokus pada batu-batu besar nan melimpah di bawah, dikelilingi lumpur abu-abu kemerahan.

“Hei, Mr. X-ray, ingat bukit merah itu? Dulu waktu kita kecil, kita sering mengambil batu-batu asam di sana, kemudian membawanya pulang. Ibu Anda sangat marah saat itu, karena batu asam ternyata menyebabkan peralatan memasak cepat berkarat.”

Syukurlah, ini masih Mr. Dexter yang saya kenal. Cara berbicaranya, jalan berpikirnya, gaya gesturnya. Semua menandakan Mr. Dexter masih di sini.

“Sungguh, ingatan masa lalu benar-benar membuat saya bernostalgia. Tentang bagaimana saya dan istri saya bertemu, kemudian kami menikah, memiliki banyak anak, dan hidup berbahagia. Namun, itu semua sudah tidak penting ….”

Huh? Ada yang ganjil ... ?

“Anak-anak saya mati satu per satu. Mulai dari yang kecil, yang besar, bahkan yang akan segera lulus dari sekolah. Semuanya mati. Bahkan istri dan calon anak saya ikut meninggalkan saya. Saya benar-benar ditinggal sendiri ….”

Angin ribut menyerang, mengibarkan rambut serta pakaian kami berdua. Saya pun melindungi mata terkatup dengan tangan, dan, saat mata membuka, saya menampak Mr. Dexter sudah berdiri di atas pagar jembatan.

Sembari merentangankan tangan, dia menoleh, berteriak seolah tak mau kalah dengan suara angin, “Saya akan segera menyusul anak-anak dan istri saya! Tolong kembali ke rumah sakit dan rawat pasien yang tersisa, Sir!” Mr. Dexter menatap ngeri ke bawah, lalu mengejam mata. “Anak-anakku! Sayang! Semuanya! Ayah akan segera ke sana! Tunggu sebentar, ya!”

“Mr. Dexter, hentikan!” Saya segera mengulur tangan, mencekal betis pria itu.

“Mr. X-ray, apa yang kaulakukan?! Lepas!” Mr. Dexter memberontak, kekuatannya bertenaga sehingga membuat saya kewalahan.

“Apa yang Anda pikirkan! Cepat turun dari situ, Sir! Anda membahayakan nyawa Anda sendiri!” sergah saya.

“Lepas, sialan!” Dia masih bersikukuh berdiri di atas pagar, memaksa saya melepas cengkeraman kaki.

Memuaskan keinginannya, saya pun meloloskan genggaman dari betis. Mr. Dexter membenarkan posisi memijak, tampak tak senang memandang saya yang ada di bawah.

Memantapkan niat, saya menatap Mr. Dexter lekat-lekat. “Sir, tolong, dengarkan! Memang sulit rasanya ditinggal sendirian oleh orang-orang terkasih kita, tetapi dengan bersabar dan menerima kenyataan itulah, membuktikan bahwa diri kita telah menjadi pribadi yang kuat!” Mr. Dexter tertegun--

Kemudian, matanya menatap saya marah. “Tolong, jangan ganggu,” bisiknya.

Tubuh pria itu pun lajak terjun. Terdengar suara ‘bruk’ cukup keras kemudian.

Saya mendekat gelisah menuju pagar, menjulurkan kepala guna menengok daratan berpuluh meter di bawah. Di sana, di atas batu besar, sesosok jasad pria tertelungkup dengan tengkorak kepala hancur, membuat cipratan darah serta otak berhamburan.

Pemandangan nan sangat mengerikan tersebut membuat mual. Saya pun berbalik, menyandar pagar. Perlahan, turun ke posisi selonjor. Merintih meratapi nasib kawan saya yang berakhir mengenaskan.

***

Di ruangan rumah sakit, para suster terbeliak ketika salah satu rekan menunjukkan sebuah buku serta sobekan-sobekan halaman kertas yang tertempel. Guna mengambil tindakan untuk menangani permasalahan ini, mereka mengumpulkan orang-orang yang masih berstamina.

Saya baru kembali ke rumah sakit setelah malam tiba. Di halaman depan bangunan, sayup-sayup terlihat orang-orang berkumpul, beberapa membawa obor. Ketika menyadari kedatangan saya, mereka semua bersikap waspada.

“Ada apa ini?” tanya saya.

Seorang suster melangkah ke muka, sembari membawa satu buku tebal bersampul cokelat. “Mr. X-Ray, ke mana saja Anda? Apa Anda mengenali ini? Ini ada di tas Anda.” Dia mengacungkan benda di genggaman.

Saya mengenali itu sebagai buku harian saya. “Iya, itu milik saya. Memangnya kenapa?”

Orang-orang lantas terkejut tak percaya, lantas ramai berbisik-bisik.

Si suster mematung, kemudian memandang nyalang. “Baiklah, jelas sudah. Tangkap dan bakar penyihir itu!”

“Penyihir?” Saya terheran.

Belum sempat saya berkutik, orang-orang lintang pukang ke arah sini, membawa obor, garpu taman, serta berbagai senjata tajam lainnya. Saya pun meremang ngeri, berbalik dan berlari sekuat mungkin. Mereka mengejar saya di belakang, saya lantas terbirit-birit makin kencang, memasuki jalan setapak hutan.

“Apa yang terjadi? Mengapa mereka terlihat ingin membunuh saya?”

Saya begitu panik, tak tahu mau kabur ke mana. Jalan ini begitu asing dan sempit, bahkan saya sempat tergores ranting juga tepi daun lancip.

Mendadak, ada pemuda berdiri di depan sana, seraya melambai tangan, menunjuk ke arah kanan. Saya mempercepat lari, berhasil menyusul si pemuda. Kami pun bersiah bersama.

“Kamu, terima kasih! Apa kamu tahu apa yang sedang terjadi?”

Pemuda itu menjawab di sela berlari, “Mr. X-ray, Anda dituduh sebagai penyihir. Saya tahu Anda bukanlah dokter desa, melainkan dokter penyihir, yang akan menumbalkan seisi desa untuk perjamuan kepada Raja Iblis.”

“Demi apa?!”

“Namun, tenang saja, saya akan membantu Anda kabur, karena saya tidak ingin melihat Anda berakhir konyol di tangan orang-orang yang menjadi bodoh dan gila gara-gara wabah sialan ini.”

Kami hampir sampai di sebuah jembatan kayu yang di bawahnya terdapat jurang dalam. Tiba-tiba sebuah garpu taman terbang menusuk kepala si pemuda, membuatnya berhenti berlari, lalu ambruk. Saya stop dan berbalik, hendak menolong. Namun, orang-orang sudah mengepungnya, menendang serta memukul, menusuk lagi menikam dengan senjata tajam.

Si pemuda dibunuh secara brutal.

Saya mau tak mau lanjut berlari, hingga masuk jembatan kecil. Sampai di tengah, saya terpaksa harus berhenti. Para warga bersiap di jembatan penghubung, mengepung dari kedua arah.

“Penyihir! Penyihir! Penyihir terkutuk! Enyahlah dari desa ini!”

“Apa yang telah kau lakukan kepada penduduk Redhill Village!”

“Mr. X-ray, serahkan diri Anda!”

“Bakar penyihir itu! Bakar! Bakar dia!”

Mencoba menenangkan diri, saya menarik napas dalam, kemudian berkata, “Kalian sebut saya penyihir?”

Orang-orang yang menyaksikan bergidik ngeri, membeliakkan mata, menjerit histeris.

TAMAT.

###

25 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top