Ex-6. IT'S OKAY TO BE DEAD

Sekitar empat puluh menit sebelumnya

"Kau sudah garap PR Bahasa Indonesia?"

"Belum. Nanti aja deh, meniru yang lain."

"Katanya nanti ada ulangan IPA juga!"

"Tenang, aku sudah buat sontekan. Nih, buat kamu. Matur suwun* buat aku."

(Matur suwun= terima kasih)

Berdiri di pinggir jalan bersama beberapa orang berbagai kalangan, dua siswa SMP yang mencangklong tas membual sembari menunggu. Satunya berambut kecokelatan, barangkali disemir, satu lagi berambut hitam natural.

Ye dan Zet mengira ini adalah hari yang normal, pagi yang normal, waktu yang normal, bagi siswa sekolahan macam mereka untuk beraktivitas seperti biasa.

Bukan tebakan yang tidak salah.

Orang-orang mulai lenyap satu per satu, menghilang dilarikan angkutan umum menuju tempat memforsir diri sendiri demi memperoleh upah yang memuaskan nafsu duniawi. Habisnya kerumunan membuat Ye dan Zet harus menyadari, "Ah, ini sudah lama" serta "Cepat, nanti kesiangan", tentu diwarnai dengan berbagai gunjingan. Mereka berdua pun menaiki angkot kuning yang berhenti, tanpa perasaan syak wasangka sedikit saja.

Angkutan umum itu belum ada penumpang satu pun, tidak seperti angkot-angkot sebelumnya. Ye dan Zet berseru girang kala mendapati keadaan dalam kendaraan terlalu sepi. Mereka mengambil tempat duduk paling belakang, jok dengan posisi malang. Sopir langsung menancap gas, membuat kedua remaja terkena efek inersia, bahwa badan mereka terdorong ke depan secara paksa kemudian tertarik kembali.

Angkot pun melaju. Ye menyugar rambut kecokelatannya yang masih agak basah, tampak mengilat terpapar sinar mentari nan menembus kaca. Zet menyaksikan pemandangan di luar yang terus-menerus berganti dari rumah, sawah, bangunan, sawah, pasar, sawah. Jalanan tampak ramai akan kendaraan lain terutama sepeda motor.

"Kira-kira hari ini Ex bangun kesiangan gak, ya ... ?"

"Iya kali, kemarin dia 'kan gemetar habis bahas santet online."

Lama perjalanan berlalu, angkot kuning tersebut diminta berhenti di depan suatu gang nan familier. Ye lagi Zet menunggu kehadiran seseorang muncul. Akan tetapi, waktu bergulir banyak, si seseorang tak kunjung menampakkan batang hidung.

Zet mendengkus. "Tumben Ex tidak ada?"

Ye pun ikut heran. Dia menyilangkan lengan. Dan, setelah berpikir, akhirnya berkata, "Ya sudah, langsung saja, Pak."

Si sopir tak merespons, langsung tancap gas mendadak, lagi-lagi membuat kedua penumpang terkena inersia. Ye dan Zet sempat mencerca, bahkan mengancam tak akan bayar jikalau pelayanannya seperti ini terus. Ya, walau mereka tak mendapat sahutan.

Ye berdecak-decak, menendang kaca samping kendaraan dengan sepatunya. Berkali-kali. Sampai suara hentakan nan keras memenuhi telinga. "Kakuati, berisik, Ye!" Namun, tetap, si sopir tak mengindahkan.

Mengertakkan gigi, Ye berseloroh, "Kalau begini, mending kita turun aja dari angkot. Daripada sopirnya kayak gini."

"Haha, gak usah bayar, ya. Yuk, Ye," celetuk Zet.

Kedua laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.

[SIMFONI START]

Kala Ye dan Zet baru mengangkat pantat dari jok, pemandangan di luar kaca mendadak memutih. Tiada sawah, tak ada bangunan, bahkan jalan beraspal pun nihil. Kedua remaja itu berdiri celingukan.

"Eh? Di mana ini? Zet, di mana ini!"

"Hah? Aku gak tau! Ini di mana!"

Tercengang, ruang kendaraan bagian sopir lenyap, kini berganti pintu wagon nan menutup. Ye dan Zet memandang ngeri, seketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju sangat cepat bagaikan kereta rel listrik. Terhuyung hampir jatuh, mereka berdua segera pontang-panting cepat ke belakang, berbebar terus-menerus, seolah menyusuri gerbong yang memiliki panjang tanpa limit. Kepanikan menguasai, berteriak keras, bersiah sekuat mungkin. Seluruh visi beralih putih, semuanya.

"Kakuati, kakuati, kakuati, di mana jalan keluar, di mana!"

Tahu-tahu, Ye dan Zet menapak di dalam angkot, sama seperti sebelumnya. Laju normal, interior familier. Namun, lagi-lagi si sopir menghilang dari kursinya. Ketika mata Ye dan Zet mengerjap, si sopir sudah berpindah di tengah-tengah, bersamaan dengan munculnya piano. Dia berpakaian formal dengan jas hitam mengilat. Sebuah musik pun dimainkan.

[Now playing: deep ocean theme]

Gelembung-gelembung bermunculan dari dasar, amat melimpah, menambah efek suara nan merdu. Entah sejak kapan, Ye dan Zet menyadari mereka berada di dalam lautan dalam, sekeliling belaka biru hitam pekat. Mereka masih berpijak di interior angkot. Si sopir menekan tuts demi tuts dengan penuh penghayatan. Kini nada piano bercampur suara buih-buih menjadi musik latar belakang.

Ye dan Zet tak tahu lagi harus bagaimana. Bernapas pun, terasa mencekik. Lelah usai berlari, habis tenaga. Ingin kabur, tak ada tujuan. Mereka benar-benar terpojok.

"Hei, Zet, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Aku gak tau, Ye. Ini kayaknya kita lagi berhalusinasi."

Gelembung keluar dari mulut mereka kala berbicara. Ye mencubit lengannya, mengaduh sakit, tetapi tak ada sedikit pun perubahan.

"Gimana ini! Kita terjebak!"

"Zet, aku mau pulang!"

Ketika kebingungan dan keputusasaan menelan sampai lumat, keduanya tahu-tahu melayang perlahan ke atas, terus menaiki laut seolah didorong tenaga tertentu. Mereka berhasil keluar dari air, muncul pada permukaan. Terus naik hingga beberapa meter tingginya di udara. Musik aneh itu beserta si sopir juga piano lenyap. Sebagai gantinya, suara burung-burung camar memenuhi telinga.

Ye dan Zet berseru ketakutan, meronta-ronta di awang-awang, lengan serta tungkai berontak menebas angin. Pakaian basah kuyup, berikut tas pula sepatu. Air menetes-netes deras, membentuk butir-butir kecil.

Tiba-tiba, mereka jatuh perlahan-lahan, terasa amat ringan, ringan sekali. Seiring tubuh turun, bulu-bulu melimpah turut menemani. Terasa damai, menenangkan. Ye dan Zet memejamkan mata menikmati alam.

Suara burung camar hilang. Badan kedua laki-laki itu menyentuh sebidang datar warna putih, yang begitu kenyal mirip agar-agar. Tas mendarat duluan, disusul tubuh Ye dan Zet. Lantai putih pun berdaya pantul, empuk, membuat mereka keenakan. Sekeliling memutih, baik angkasa maupun cakrawala, tanah tempat berbaring. Tempat ini seperti ejawantah kedamaian. Ye dan Zet merasa bagai dimanjakan.

"Zet, aku tak mau pulang!"

"Aku juga, Ye!"

Tawa riang pun memenuhi segala penjuru ruang putih.

[SIMFONI FINIS]

Warna putih hilang. Penglihatan kembali seperti sedia kala. Ye bersama Zet tengkurap di atas aspal, bersimbah darah. Pakaian dan tas mereka sobek-sobek, berlumur cairan merah. Genangan darah pun meluas perlahan.

Angkot yang mereka tumpangi menabrak pohon penghijauan, terjungkal hingga terbalik. Si sopir selamat, langsung lari terbirit-birit. Pedestrian menghampiri dengan raut muka prihatin. Kendaraan sekitar pula berhenti. Sejumlah orang memeriksa keadaan kedua remaja sekolahan itu, mengecek denyut nadi di lengan nan terluka.

Nihil.

Ye dan Zet mati.

Saat badan mereka dibalik, tampak wajah yang memperlihatkan ekspresi bahagia. Mata membuka. Mulut tersenyum lebar.

***

Pagi itu ialah tragedi berdarah.

Di pinggir sawah padi nan rimbun, sebuah motor terguling. ¹Seorang pelajar SMP menghantam batu tepat pada kepala, menyebabkan tengkorak pecah serta otak tercecer keluar.

Selepas kebut-kebutan, ²dua pelajar SMP saling bertabrakan, terhempas sejauh beberapa meter dan tersangkut di dahan pohon dengan leher mereka tertusuk kayu.

Berboncengan tiga dalam satu motor, ³pelajar SMP menubruk gerobak pedagang kaki lima, dan malangnya sekujur tubuh mereka tertusuk-tusuk oleh pecahan piring serta mangkuk.

⁴Seorang pelajar SMP diseruduk saat menyeberang perempatan, tubuhnya begitu mengenaskan dengan lengan serta kepala hancur tergilas.

⁵Pelajar SMP terlindas bus saat berjalan melalui zebra cross. Naas, lehernya terjepit di roda belakang sehingga patah begitu saja.

Mengantuk, ⁶motor pelajar SMP menabrak truk yang sedang parkir di pinggir jalan. Tubuhnya terguling-guling, bersimbah darah, hingga terjebak di selokan nan dalam.

###

13 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top