Ex-5. DEATH TELLER

Kalender nan terpasang pada tembok kamar menyuratkan satu tanggal dengan hari Senin yang dilingkari spidol merah. Pukul dua belas tepat dinyatakan oleh jam bundar berwarna hitam, tergantung pada tembok lainnya.  

Ex baru hendak berehat. Remaja laki-laki berbaju tidur itu berbaring di atas kasur kapuk berbalut seprai jambon. Roman mukanya nan nyata lejar membuat si lelaki segera terlelap, berkeruh cukup keras.

Ex bermimpi. Mengenakan seragam sekolah putih biru, si remaja merasuk alam bawah sadar berupa dunia yang menyerupai hasil mewarnai anak-anak, terbuat dari oret-oretan krayon penuh pencampuran nan kusut. Angkasa didominasi gradasi lembayung serta awan-awan bunga berbagai warna. Bumi berupa tanah hitam ditumbuhi bunga-bunga tulip gelap.

Seorang remaja lelaki sebaya, yang juga memakai seragam sekolah, berdiri membelakangi di kejauhan, berseberang terpisah oleh sungai cokelat berarus deras--begitu deras sampai mengaburkan pendengaran. Remaja lelaki tak diketahui itu berbalik, memperlihatkan tampang menyeringai dengan barisan taring nan tajam, kedua mata hitam bulat memicing sipit seolah bertentang merendahkan.

Ex terbelalak, terkejut bukan makin. Dia ingin berlari kabur, tetapi entah mengapa ada sugesti yang seakan menyatakan pantangan.

“Siapa kamu!” teriaknya.

Remaja di seberang membuyarkan seringai, seiring mata hitam berpupil lebar membulat penuh.  “Ex, apa kau sudah lupa denganku?” soalnya, tersirat nada sedikit kecewa. 

“Aku tidak tau siapa kamu! Pergi dari sini! Kau membuat hidupku tidak tenang!”

Sembari menyergah, Ex membuat gestur penyangkalan nan tegas, lengan kanan menekuk dari samping kiri lalu mengayun cepat ke arah bertentangan. Lengan satunya berkial seperti memotong udara.

“Tidak apa-apa, Ex. Ikuti saja semua perintah yang pernah kukatakan sebelumnya. Sebentar lagi, mimpi buruk terbesarmu akan segera dimulai. Persiapkan dirimu, karena jika kau tersesat, maka kau akan kehilangan satu per satu orang-orang berhargamu.”

Remaja tersebut menyeringai kembali, menampakkan barisan taring nan runcing mengilat. Selanjutnya, dia melakukan gerakan berbalik, dan saat posisi tubuh menyamping, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi roman nan familier.

“Tunggu--” Ex menjulurkan lengan guna memberi isyarat agar si remaja kembali, tetapi karena tahu itu sia-sia, dia langsung mengurungkan gerakan tangannya, berbebar menyusul, menerjang arus sungai cokelat nan deras.

Terlarut kekelaman siang, para remaja sekolah berpesta makan-memakan di hutan bertegah, menyuruh satu sama lain mencecap rasa daging masing-masing ….

“Hah--” Ex membuka mata nan terkena pink eye*. Keringat bercucuran dari dahi pula leher, punggung lagi ketiak, membuat baju tidurnya kuyup.

(*pink eye= konjungtivitis, peradangan selaput lendir pada kelopak mata)

Tinggi badan laki-laki itu hampir menyamai panjang ranjang, barangkali terasa sesak tak nyaman jika selalu tidur di kasurnya. Ex bangkit ke posisi berselonjor, kemudian menumpu kedua kaki ke lantai, berdiri dan berjalan keluar kamar.  

Lorong panjang nan gelap mengiringi langkah kaki perlahan. Celana hitam panjang bercampur dengan gelita seakan menelan tungkai-tungkainya. Raut muka Ex penat tak bertenaga, badan membungkuk, lengan menggantung. Hentakan kaki demi kaki memecah keheningan.

Langkah lelaki itu terhenti di satu ambang, terhubung dengan tempat nan dipenuhi perabotan dapur. Pada meja panjang di tengah ruangan, seorang wanita paruh baya terlihat sedang menyiapkan makanan. Berbagai mangkuk serta piring berisi aneka olahan masakan menguarkan uap lagi aroma lezat, sukses membuat Ex bangkit. Indra penglihatnya terbuka lebar, indra penciumnya terangsang, indra perasa memicu produksi air liur.

Wanita berpakaian daster itu mendongak, “Ah, Ex, kamu sudah bangun?”

“Iya, Bu.” Ex berjalan menghampiri, meletakkan tapak pada meja. Matanya berbinar-binar mengamati satu per satu menu makanan di hadapan nan menggiurkan. Ada bayangan hitam di pojok visi.

“Kalau gitu, ayo makan, sarapan sudah siap.” Ex menerima piring yang disodorkan kepadanya, membalas senyum yang diberikan dari si wanita. Ada bayangan hitam di pojok visi.

“Selamat makan!” Momen berikutnya, seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam kantoran bergabung, menikmati sarapan bersama Ex dan si wanita di meja makan. Ada bayangan hitam di pojok visi.

Ex tahu-tahu sudah berganti seragam sekolah putih biru, tentu dibalut jaket merah maroon. Dia duduk berseberangan dengan kedua orang dewasa itu, bersama-sama memakan lauk-pauk dengan lahap.

“Wah, tumben, menu masakan pagi ini beda, enggak kayak biasanya!” tandas Ex di sela memasukkan sendok demi sendok ke dalam rongga mulut.

Lelaki itu mengambil pisau, lalu mengulur ke tubuh Andi yang dipanggang, diletakkan terbaring di atas meja, tepat di tengah-tengah, dalam keadaan tanpa busana, kulit memerah sedikit gosong. Beberapa bagian tubuhnya sudah hilang dipotong dan dimakan si wanita pula si pria. Keratan daging yang Ex iris tampak cokelat menggiurkan, begitu lezat hingga membuat Ex mengiler.

Nyum, nyum, ini enak sekali!” Ex memamah daging tersebut dengan rakus bernafsu, bahkan minyak serta cairan kecokelatan sampai meleleh dari bibir.

Si wanita tersenyum kala menyaksikan hebohnya lelaki itu saat makan. “Ex, yang kamu makan itu teman sekelasmu, lo!” Si pria turut tertawa kecil.

Masih kegirangan sambil bersuara ria, Ex tetap mengunyah tanpa mengacuhkan kedua orang dewasa di hadapannya tertawa riang.

Lalu, membelalakkan mata.

“Eh?” Mulutnya yang berisi gilingan makanan menganga.

Dalam keadaan kantung mata berlipat-lipat, Ex bangun tidur tanpa mengetahui di mana dan kapan dia tersadar. Diliputi gejala mirip kekurangan oksigen, pandangannya berkunang-kunang, menampak seisi kamarnya agak buram, bergoyang-goyang, berputar-putar, atau  terbalik-balik tanpa tujuan. Kulit lelaki itu pucat lesi, lengan tremor kala diangkat sedikit. Ex tak kuasa bangkit, sekujur badan terasa berat ditindih ketidaknyataan.

Ketika ibunya yang terlihat tegar masuk--raut wajahnya menandakan bahwa beliau adalah orang tua yang selalu sabar mengurusi rumah tangga--beliau langsung mengambil termometer tubuh, mengepitnya di ketiak Ex. 

Kala itulah, Ex menyadari bahwa dia terkena demam.

“Bagaimana? Masuk sekolah tidak? Gak terlau tinggi sih panasnya.”

Ex tersenyum, walau lesu, nyawa setengah sadar, dia masih bisa menganggut.

Selepas mandi dengan air hangat yang dibuatkan ibunya, Ex meminum obat yang juga disiapkan ibunya, lalu memakai seragam putih biru dan jaket merah maroon yang disisihkan ibunya, serta mengambil tas yang pula disediakan ibunya.

Berkat kasih sayang yang tulus dari wanita bersahaja itu, Ex bisa merasa baikan. Demamnya turun seketika. 

Ex keluar kamar, setelah mengambil kotak bekal yang diletakkan di nakas. Di lorong menuju pintu rumah, lelaki itu berpapasan dengan seorang pria bermuka tabah, seakan menggambarkan kepala keluarga nan giat banting tulang setiap hari.

“Tumben kamu berangkat pagi-pagi gini?” tanya ayahnya.

“Gak apa-apa, Pak.” Ex menunduk badan dan berjabat salam dengan beliau, kemudian berjalan keluar.

Lelaki itu mengeluarkan motor, memakai helm dan memasukkan kunci kontak. Dia memanaskan mesin, bersiap-siap berangkat.

Ayahnya muncul di teras, terlihat cukup heran dengan tingkah anaknya. “Tumben naik motor? Ada acara apa? Gak baren teman-temanmu naik angkot kayak biasanya?”

“Enggak ada apa-apa kok, lagi pengin aja,” sahut Ex dengan santun.

“Ya sudah, hati-hati, ya, Ex, naik motornya. Jangan kena tilang, jangan ngebut, jangan sampai ketahuan guru.”

Ex mengacungkan jempol sebagai balasan nasihat beliau.

Motor pun melaju, memasuki jalan beraspal yang tak terlalu sempit. Laluan terlihat sirep, langit nyata biru gelap, kabut masih memenuhi sawah. Untung Ex mengenakan jaket sehingga hawa dingin bisa diminimalkan. Terdengar nyanyian kodok nan berisik, juga tertangkap sejumlah burung blekok yang mencari makan. Baru sedikit orang-orang yang bersiap-siap untuk memulai aktivitas.

Sampai di depan SMP Piji, Ex tak lantas berhenti. Dia terus melancar kendaraan, baru beradu di tempat parkir, yang pula kentara sepi. Menerima karcis dari petugas, si lelaki berjaket berjalan kaki menuju gerbang sekolahnya. Baru sedikit siswa hadir (rajin sekali mereka jam segini sudah sampai), pura-pura tak mengenali presensi Ex.

Ex melihat bahwa di depan Laboratorium Komputer, sejumlah barang-barang seperti monitor dan CPU ditata memenuhi teras. “Ternyata memang benar akhirnya Lab Komputer direnovasi juga,” batin Ex.

Meneropong deretan kelas dari tempatnya berdiri, Ex terlihat berpikir. Dia memilih tak langsung menuju ruang kelas VIII-E, melainkan melangkah melalui jalur nan berlawanan arah. Lelaki berjaket itu sampai pada toilet laki-laki, yang begitu kumuh, penuh coretan mirip artefak, serta pada tembok pula ubin ditumbuhi lumut. Ex berdiri di depan bilik-bilik, mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Geretan dinyalakan, membakar ujung puntung rokok yang ada di mulut Ex. Mengisap hingga bara membakar sebagian kecil batang, Ex mengepit rokok tersebut, lalu mulutnya membulat, mengembuskan asap yang melimpah, menyesaki pandangan.

Lelaki itu melamunkan barang hal tak tentu, mungkin memikirkannya pula, serasa isi otaknya dipenuhi kelegaan. Memang kegiatan merokok sungguh nikmat untuk melepas stres.

Lama waktu berlalu, puntung rokok dijatuhkan dan diinjak sampai bara mati. Ex mengedarkan pandang, menyadari langit telah biru cerah dan sekolah sudah ramai akan siswa, guru, serta pegawai.

Ex berniat menuju kelasnya. Di jalan, dia menyaksikan sejumlah keributan, orang-orang berlari tak karuan seakan dikejar atau mengejar sesuatu. Lelaki itu akhirnya sampai di depan kelas VIII-E, menemukan bahwa teman-temannya tampak diselubungi kegelisahan lagi kepanikan, amat cemas memberi kabar dan menanti berita.

“Gimana ini? Katanya dia juga kecelakaan!”

Kecelakaan?

“Si Octa juga katanya habis jatuh parah dari motor!”

Jatuh?

“Woi! Tian juga tertabrak truk ini katanya!” 

Tertabrak?

Sukses masuk kelas, Ex menuju pojok belakang tempat bangkunya berada, tetapi telah ada tiga orang siswi yang berkumpul di situ.

Memasang wajah maklum, Ex pun bertanya, “Ada apa ini? Kok, ramai-ramai?”

Kiky, Ines, Hasni. Mereka bertiga menatap Ex dengan horor, lamun langsung dirasuki kelegaan.

Hasni tampak sedikit risau. “Ex, kenapa kamu ditelepon gak diangkat?”

Ex mengangkat rendah kedua tangan, mukanya merasa bersalah. “Maaf, maaf, HP-ku kumatikan dari kemarin. Karena, kata Ye, santet online itu bisa mengirim SMS ke HP. Jadi, ada apa?”

“Aku mau kamu tenang dan dengar baik-baik ...,” Ex mengernyitkan dahi melihat raut muka Hasni nan serius, “Aku habis dapat telepon … kalau Ye dan Zet--

“--mereka berdua mati.”

Bel pun berdering. Melodi merdu melantun.

Selamat pagi. Kegiatan belajar-mengajar akan segera dimulai. Harap siswa-siswi untuk memasuki kelas masing-masing, berdoa, dan bersiap mengikuti pelajaran. Terima kasih.

###

12 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top