Ex-3. WRETCHEDNESS

Tiga orang remaja laki-laki berlarian kocar-kacir dalam formasi kacau, menerobos apa pun yang menghalang. Seolah-olah, mereka sedang dikejar anjing, bedanya yang ini anjingnya tak kasatmata, ejawantah waktu. Mereka melewati setapak depan perpustakaan, kemudian koridor kantor guru, baru sampai di lapangan dalam gedung yang ternaungi atap galvalum.

Ex menumpu kedua tapak tangan pada lutut, bernapas terengah-engah. "Untung ... Pak D ... belum datang ...." Lelaki itu mengelap dahi berpeluh dengan tangan kiri, sedang di tangan satunya menggengam jaket merah maroon terlipat.

Berdiri tegap, Ex membuka lempit kain kemudian menurunkan ritsleting, memasang jaket dimulai dari lengan kanan, baru lengan kiri, dan terakhir menutup deretan gerigi. Jaket merah maroon tersebut membungkus kaus olahraga putih merah, membuat si laki-laki tampak sesak.

Ye mengatur napasnya nan kacau. "Benar, bisa gawat kalau kita telat ...." Padahal, baru jam berapa ini?

Zet berkacak pinggang, dia juga ngos-ngosan. "Aku sampai gak bisa napas ...." Lah, itu dada sama perut masih gerak?

Ah, lupakan.

Yang penting adalah, saat ini mereka bertiga telah berada di lapangan dalam gedung atau lapangan indoor, dengan luas sekitar dua puluh kali tiga puluh meter, yang terdiri dari lapangan basket (terdapat sepasang ring basket portabel) dan lapangan bulu tangkis (terpasang net di tengah).

Sudah banyak siswa berseragam olahraga berkerumun, pastilah mereka dari kelas VIII-E. Ketiga remaja itu pun bergabung. Beberapa orang menoleh menyadari kedatangan mereka.

Ex, Ye, dan Zet. Tiga remaja tersebut terlihat klop. Berpenampilan kaus putih merah (kecuali satu yang terbalut jaket), celana merah gelap hitam, kaus kaki almamater, serta sepatu sekolah. Salah seorang dari mereka mengecat rambut hingga kecokelatan (si Ye). Tiga orang itu sudah bisa disebut sebagai satu geng di kelas VIII-E.

Beberapa saat lamanya para remaja menunggu, tidak melakukan hal apa pun yang berfaedah, akhirnya datang pula guru pria olahraga nan dinanti. Guru yang dipanggil Pak D tersebut memiliki postur fisik agak berisi walau terbilang tambun, punya kumis serta alis tebal, dan bentuk wajah bulat. Saat beliau berdiri dekat dengan para remaja, tinggi badannya terlihat sejajar dengan kebanyakan siswa laki-laki.

Seorang lelaki yang merupakan pemimpin barisan memberi instruksi kepada teman-teman sekelasnya untuk beratur, dengan perempuan di depan, laki-laki di belakang. Ex, Ye, dan Zet pun mengikut gabung ke deret paling akhir. Terbentuklah tujuh banjar serta lima saf.

Para siswa berhitung, dari ujung kanan ke ujung kiri, kemudian diakhiri dengan seorang laki-laki di pojok yang berseru, "Kurang tiga."

Jika dilakukan perhitungan dengan baik, maka total siswa VIII-E yang masuk masa ini ialah 32 orang.

Beberapa siswa sudah bersiap-siap meregangkan lengan, kaki, pula tubuh, tetapi sesi yang ditunggu-tunggu tak kunjung dimulai juga. Pak D jadi heran, bertanya kepada pemimpin barisan mengapa belum pemanasan juga.

"Pak, sepertinya ada yang belum datang ...," jelas pemimpin barisan.

Pak D mengamati barisan siswanya. "Ada yang tidak hadir?"

"Ada satu orang kurang, Pak!" balas salah seorang.

"Siapa?"

Siswa-siswi saling pandang, memeriksa satu sama lain, tolah-toleh kiri kanan, menilik dekat jauh.

Hening. Tidak ada yang bersuara.

Sesosok remaja sekolah tahu-tahu muncul di dekat barisan. Penampakannya amat mengenaskan dengan wajah berhias darah, tampak babak belur. Kulitnya lebam, baju kotor dan sedikit sobek. Dia juga memakai kacamata.

"Andi?!" pekik teman-temannya yang terkejut.

Pak D menghampirinya, lalu melakukan eksaminasi singkat dari ujung rambut sampai ujung sepatu. "Kamu kenapa? Habis jatuh?"

Andi, sambil meremas lengan kirinya, menjawab, "Iya, Pak, tadi kepeleset di dekat kolam, terus guling-guling sampai kotor begini."

"Tapi masih bisa jalan, kan?"

Andi meringis dan beranggut.

"Mana baju olahragamu?"

Laki-laki yang ditanyai membuang muka. "Maaf, Pak, ketinggalan di rumah ...."

Tanpa basa-basi lagi, Pak D langsung menuntun Andi ke teras kelas terdekat, kebetulan kelasnya sendiri yaitu VIII-E. Kebetulan juga sudah ada sapu tersandar di situ. Pak D menyuruh si siswa mengambilnya guna membersihkan halaman yang agak kotor, terdapat serasah daun pula debu pasir lempung.

Pak D kembali ke lapangan indoor, meninggalkan Andi sendirian yang sudah start bekerja. Para siswa pun beratur kembali, melakukan pemanasan seperti yang diperintahkan.

Selepas pemanasan, Pak D menyuruh si pemimpin barisan mengambil sesuatu di gudang. Beberapa siswa pula menuju pinggir lapangan untuk mengambil sesuatu yang tergeletak.

Beberapa momen berlalu, pemimpin barisan kembali dengan membawa tabung khas yang berisi kok, serta tas raket badminton nan besar. Ditambah dengan raket yang sudah dipersiapkan sejumlah siswa, kini masing-masing orang kebagian satu raket untuk berlatih olahraga bulu tangkis, sepasang-sepasang.

Mereka menghambur ke seisi lapangan indoor, dengan menjaga jarak masing-masing guna mencegah terjadi tubrukan. Latihan badminton tunggal pun dimulai. Salah seorang laki-laki yang memiliki fisik tinggi atletis terlihat lihai memainkan raket, membuat kawan-kawannya kewalahan mengimbangi. Orang-orang bertepuk tangan, memanggilnya dengan julukan emas badminton.

Sementara itu, meski total siswa berjumlah genap, Ex, Ye, dan Zet bermain bersama membentuk lingkaran. Entah bagaimana nasib yang sisa, mereka tak peduli. Ketiga laki-laki itu tampak bersemangat melakukan servis, melayangkan pukulan, bahkan menciptakan smash.

Di sela serunya tangkis-menangkis, mereka mengobrolkan sesuatu.

Dimulai dari Ex, "Wah, tumben si Culun yang biasanya rajin itu gak bawa baju olahraga."

Dibalas Ye, "Iya, ya. Kok bisa sih?"

Disahut lagi oleh Zet, "Lupa kali, namanya juga manusia."

Ex dan Zet memicing lelaki itu curiga.

"Zet, kamu itu di pihak siapa? Andi atau kami?"

Zet hanya bisa menunjukkan seringai dan menyengir kala mereka seakan menuduh yang tidak-tidak.

Namun, benar juga, kalau dicerna secara logika, mustahil Andi bisa lupa membawa seragam olahraga. Ex jadi kepikiran. Dia sempat tak fokus. Kok yang melesat dari Ye luput dari raketnya. Laki-laki berjaket tersebut meminta maaf, kemudian melakukan servis bawah kepada Zet. Zet memukul kok, mengarahkannya pada Ye. Begitu terus secara berputar.

Ex kembali melamun, meragukan isi benaknya. Terkadang-kadang, Ex tak mampu memahami jalan pikiran Andi nan rumit.

Mengapa Andi begitu berani melapor ke guru, walau tahu betul bahwa guru tak akan bertindak, lalu dia berakhir dengan dirundung oleh Ex dan kawan-kawan?

Andi sibuk menyapu halaman dengan senang hati, mengumpulkan sampah jadi satu kemudian dibuang menggunakan ekrak.

Mengapa Andi mau repot-repot mengatakan ini-itu, padahal tidak ada satu pun yang bakal memedulikannya?

Andi setop mendadak, merasakan nyeri di perut. Dia melepaskan sapu, lalu bersandar pada wastafel terdekat untuk beristirahat, meremas kuat baju kusutnya sambil mengeluh kesakitan. Remaja berkacamata yang tampak babak belur itu berkeringat hebat, napasnya tak teratur.

Mengapa Andi bisa-bisanya selalu berurusan dengan Ex dan kawan-kawan, meski tahu dia dapat menghindarinya kapan saja?

Di teras depan kelas VIII-E, Andi mendongakkan kepala dengan mulut membuka lebar, mendadak cairan kemerahan kental memancur begitu saja, deras sekali sampai berliter-liter keluar. Alhasil lantai, wajah, serta pakaiannya bersimbah merah. Badan Andi gemetar, cairan sinambung menyembur, terus-menerus hingga kulit si laki-laki memucat.

Berikutnya, dari cairan itu, tampak paku-paku kecil bercampuran, menghambur dan berdenting di atas lantai, bergabung dengan genangan merah nan makin meluas. Tak berhenti pula, paku-paku menembus keluar dari kulit Andi, menyertai cairan merah pula, meninggalkan lubang-lubang nan kentara.

Pada momen terakhir, jasad Andi ambruk, tertelungkup bermandikan cairan merah nan melimpah.

***

Tubuh Andi diangkat ke brankar, lalu diselimuti kain putih. Para siswa berseragam olahraga--beberapa masih membawa raket--hanya bisa mengerumuni sambil memasang wajah terheran-heran, memperhatikan para petugas membawa jasad Andi masuk ambulans.

Sirene pun berdengung selepas mesin dinyalakan, selanjutnya mobil melaju pergi keluar melalui gerbang sekolah.

Setelah melihat pemandangan nan brutal tersebut, semua siswa VIII-E mematung di tempat, atau kembali ke lapangan indoor. Atau pula memasuki kelas.

Ex, Ye, dan Zet memandang aneh, merasakan suatu keganjilan. Di dalam hati mereka, batin bertanya-tanya.

"Apakah ini akibat dari santet yang kita kirim pagi tadi?"

"Entahlah, tapi mungkin memang santet itu terkirim lebih cepat dari yang kita duga."

"Aku pun memiliki firasat yang sama seperti kalian, Ex, Ye."

Saat itulah, perkataan mereka mengundang perhatian sejumlah orang lain. "Apa maksud kalian dengan santet itu?"

Tiga siswi jelas menatap dengan gelisah. Kekhawatiran terukir secara implisit dalam masing-masing tampang mereka. Ex berbalik untuk memastikan siapa yang datang menghampirinya.

Kiky, Ines, dan Hasni.

###

10 Desember 2020

Pray for Andi 🙏 kena santet dua kali

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top