Ex-13. ANNIHILATION

Karena ini bab terakhir, mungkin plothole-nya jauh lebih ganas eh maksudnya lebih banyak daripada bab-bab sebelumnya. Jadi kalau kalian nemu poltohole, tolong kasih tau penulisnya yak! Biar nanti bisa diperbaiki dan kita sama-sama mendapat bola sakti naga  

###

Aplaus meriah tercipta kala pembawa acara muncul di hadapan para spektator. Penampilannya yang glamor membuat tiap pasang mata menaruh atensi tanpa pernah berpaling. Semarak acara makin gegap gempita kala menginjak klimaks keseruan, diiringi musik klasik nan melodius serta potongan pita warna-warni nan berhamburan.

“Tuan-Tuan dan Puan-Puan! Saksikanlah, spektakel paling bergengsi sejagat raya! Mari kita sambut, pemeran utama kita! X, Y, dan Z!”

Tiga tirai hidup pun terbuka, menguak isi jawaban yang selama ini dicari.

***

Latar tempat jalan beraspal depan SMP Piji beralih menjadi tontonan orang-orang yang beraktivitas pada pagi hari. Kerumunan remaja berseragam sekolah bertanya-tanya ketika menyaksikan seorang laki-laki dibawa masuk ke dalam mobil eksklusif oleh beberapa pria berjas serta berkacamata hitam. Laki-laki itu bersalut selimut putih, dan tampaknya mengenakan jaket merah maroon juga seragam SMP Piji.

Ada remaja yang mungkin mengenalinya, juga ada yang tidak mengenali sama sekali. Lagi pula, berkat insiden kemarin, kini sekolah dikelilingi oleh penjagaan keamanan nan ketat.

Si lelaki yang terlihat kusut hanya bisa pasrah duduk di bangku belakang, di antara dua pria besar berjas hitam serta berkacamata. Tak ada konversasi terbentuk, semuanya diam. Si sopir menyetir kendaraan dengan lekas, mulus mendahului motor-motor lamban bahkan di jalan sempit--dengan memakan jalur lain.

Mobil memasuki jalan raya. Pemandangan urban nan mencolok pun tersaji. Gedung-gedung tinggi, pepohonan penghijauan, gaya hidup modern. Oto berbelok, sampai di sebuah rumah sakit umum. Kendaraan beradu di tempat parkir. Laki-laki berjaket merah maroon diminta turun, dikawal oleh dua pria besar.

Mereka berjalan menyusuri lorong, melewati sejumlah ruangan, kemudian berhenti di ruang tunggu. Si laki-laki dipersilakan duduk pada bangku panjang, sementara dua pria pengawal pergi ke tempat lain. Beberapa menit menunggu, lelaki itu tak melakukan apa pun selain melihat lalu-lalang pasien, penjenguk, atau tenaga kesehatan.

Seorang pria paruh baya berpakaian formal tahu-tahu menghampiri, membuatnya sedikit kaget. Pria tersebut memiliki penampilan bak pegawai pemerintahan, bisa jadi mempunyai tugas nan penting, berbaju kemeja khaki dibalut rompi dan celana hitam. Rambutnya hitam pendek serta bergaris wajah tegas.

Pria tersebut berdeham, lalu duduk di sebelah. “Dengan Saudara X … Ex … Eks … ?” 

Dia kebingungan. Laki-laki berjaket tak bisa menyembunyikan raut geli melihat si pria berkata dengan gagap.

“Aduh, susah sekali melafalkan namanya ….”

Si lelaki tertawa kecil, lalu memberi bantuan, “Dibacanya pakai huruf e dan x, Pak,”

Akhirnya pria itu bisa melafalkan nama si laki-laki dengan huruf vokal dan huruf konsonan ‘e-eks’. Mereka berdua kemudian memulai sesi wawancara. Si pria mengeluarkan buku saku serta pulpen, sedangkan si laki-laki menegakkan badan tanpa menoleh.

“Baik, jadi Saudara Ex ini bersekolah di SMP Piji, sekarang duduk di kelas delapan.”

Laki-laki yang dipanggil Ex manggut. “Sepertinya.”

“Kenapa ‘sepertinya’? Apa karena kamu masih syok, jadi ingatannya sedikit kabur?”

Si lelaki tak menjawab, diam menunduk, meremas kedua lututnya. Lama detik berlalu tanpa ada respons.

“Baik, saya lanjut saja. Saudara adalah anak yatim piatu, ayah dan ibu meninggal dalam Tragedi X tahun 20xx saat kamu lahir.” Laki-laki itu cukup terkejut mendengarnya, tetapi berusaha bersikap biasa. “Kemudian saat SMP, kamu ingin menjalani hidup mandiri dengan tinggal di indekos dekat sekolah.”

Si laki-laki menganggut. Kini pria tersebut membuka lembar buku dengan catatan memenuhi halaman, membacanya.

“Terhitung mulai kemarin pagi, teman-temanmu meninggal, dengan rincian sebagai berikut. Empat belas orang tewas akibat kecelakaan, sembilan orang tewas secara misterius ditemukan di rumah susun di luar kota, enam orang tewas secara misterius di SMP Piji, dan dua orang tewas ditemukan mengapung di sungai. Total tiga puluh satu orang meninggal dalam satu hari. Dan, yang lebih mengejutkan, semuanya adalah teman kamu, yang juga bersekolah di SMP Piji, dan secara kebetulan semuanya berada dalam satu kelas, yaitu kelas VIII-E.”

Penjelasan yang terlalu lengkap sampai si lelaki hanya bisa mematung.

“Tenang saja, polisi dan pihak berwenang sudah mengamankan jasad teman-temanmu. Kamu bisa menjenguknya setelah ini jika mau.”

Si lelaki terdiam.

“Baik, karena sudah waktunya, kamu boleh memasuki ruangan itu. Mari saya antar.”

Pria tersebut menutup buku dan memasukkannya ke dalam saku, kemudian berdiri seraya mengajak si remaja lelaki berjaket yang masih membisu.

Mereka selanjutnya berjalan menyisir lorong rumah sakit. Di benaknya laki-laki, dia merasa punggung si pria kian menjauh, membentuk bayangan rangkap yang memisah dengan objek utama. Pria itu seolah berbicara di kala melangkah, tetapi tanpa suara, tak ada satu pun kata mampu terdengar.

Segala visi beralih buram.

Lalu, berangsur pulih ke awal.

Kala mereka berdua berhenti di depan pintu khas kamar rumah sakit.

“Dalam hitungan ketiga, mari ucap bersama-sama!”

Satu … ! Dua … ! Tiga … !

Tirai-tirai pun dibuka. Musik makin heboh, hujan potongan pita makin ramai. Para spektator berseru kala isi tiga tirai menunjukkan satu jasad manusia hidup serta dua mayat manusia.

Pintu menyelak ke dalam.

Di atas kasur putih, seorang remaja berkacamata duduk dengan kaki terjulur lurus ke depan. Dia sebaya si laki-laki yang masuk sendirian--sementara pria yang menemani menunggu di luar--masih muda dan belia.

Berbeda dengan si laki-laki berjaket yang mukanya letih, remaja berkacamata  itu tampak cerah lagi berseri-seri. Walaupun selang infus tercolok ke tangannya. Walau dia duduk dengan lemah di sana.

Si laki-laki pun berjalan menghampiri, duduk pada kursi di sisi kasur. Dia mengalami alternasi raut wajah menjadi gusar. Bagai kemurkaan melimpah yang kini membobol bendungan.

“Andi …,” desisnya, tersurat nada amarah.

Remaja berbaju hijau min tersebut mengulas senyum. Senyum yang terbit begitu licik, mengalahkan seringai rubah pemakan nenek renta.

“Hai, Ex. Selamat!” serunya girang.

“Untuk apa-apaan ucapan selamat itu?”

Dia membulatkan bibir. “Duh? Karena sudah menjadi satu-satunya yang selamat, ‘kan.”

Serasa ada hantaman yang menyerang kepala si laki-laki. Luar biasa keras. Memori-memori nan bersemayam dalam kedamaian sekarang bangkit kembali, menjadi memori mayat hidup yang menggerogoti setiap sel otaknya.

Ya, itu benar. Bukankah dia sendiri adalah Ex? Yang memesan jasa santet daring khusus untuk dikirimkan kepada Andi? Dengan nama pengirim diatasnamakan seluruh kelas VIII-E? Akibat kelalaian fatal itu, semua siswa sekelas harus membayar harga sebagai konsekuensinya. Harga berupa nyawa manusia.

Seraya meremas sebelah kening nan berdenyut, laki-laki bernama Ex menatap si remaja. “Kamu kelihatan puas, ya … ?”

Dia berkikikan.

“Cepat jelaskan … kenapa semua teman-teman mati? Kenapa cuma aku saja yang masih hidup?” bentak Ex.

Lawan bicara tersenyum jahil. “Kamu benar-benar mau tau?”

“Cepatan, kakekane, kakuati, diantoki!”

“Oke, oke, jangan misuh ke aku begitu. Aku akan jelaskan.”

Dia berdeham, kemudian membenarkan posisi selonjor agak kesusahan. Mengambil napas panjang, remaja berkacamata itu saling pandang dengan Ex, menatap lekat.

“Jadi, saat kamu kirim permintaan santet online, kamu memasukkan nama ‘kelas VIII-E’ sebagai pengirim yang akan membayar harganya, ‘kan? Nah, tau, gak, sih? Kalau aku itu juga anggota kelas VIII-E? Lah, aku ‘kan Andi? Orang yang dikirimi santet! Berarti ada satu kembalian dong? Jadi, sebagai kembaliannya, ada satu nyawa yang gak diambil. Yaitu, kamu, Ex.”

Ex melengung, mulut ternganga. Mata yang terbelalak menyorotkan tatapan tak percaya. ‘Ini mustahil’, begitu pikir si remaja berkacamata. Dia menangkap sinar redup pada manik mata Ex.

Hening, sunyi begitu panjang. Ex tak merespons apa pun dalam waktu lama, membuat si remaja jadi kebingungan. Beberapa saat berlalu, terdengar desis dari bibir lawan bicara, maka dia menoleh dan bertanya, ‘Ada apa gerangan?” Kemudian ….

Dia terbeliak.

Ex memeluknya.

Laki-laki itu menganjurkan badan, merangkul erat si remaja yang tak bisa berkutik, kemudian mengelus kain jaket nan kusut kotor. Dekapan nan berlangsung lena membuat dua lelaki tersebut hanyut dalam afeksi dan kehangatan antarteman.

Dari satu arah mana saja, sebuah memori kilas balik berputar dalam ruangan putih. Mengisahkan adegan tentang dua remaja laki-laki yang menjalin sumpah persahabatan. Bagai film yang diputar menggunakan alat, menghasilkan suara nan khas.

Pada awalnya, remaja berkacamata mengajukan permintaan seumur hidup. Remaja berjaket merasa ganjil, tetapi karena rahasianya terbongkar, mau tak mau dia harus menerimanya. Bahkan, dia menyeret teman-teman lain pula dalam permainan puntiran ini. 

Pada selanjutnya, remaja berkacamata memberikan janji kepada remaja berjaket untuk menyelamatkannya, meski itu harus menanggung konsekuensi nan berat. Remaja berjaket sempat tak terima, marah serta mengungkit masalah masa lalu. Akan tetapi, lagi-lagi dia wajib menyepakatinya.

Kilas balik finis.

“Terima kasih.” Ex melepas rangkulannya. Tersenyum senang, bola mata sampai berkaca-kaca. “Aku sempat mengira kau akan berkhianat. Tapi, ternyata selama ini kamu berjuang demi keselamatanku, ya? Kau membuatku terharu dan merinding di saat bersamaan.”

“Itu karena kita terikat oleh takdir, Ex. Aku tidak bisa terpisah denganmu, dan kamu tidak bisa terpisah denganku. Mau pergi ke mana pun, kita pasti akan dipertemukan kembali. Kita akan terus bersama … sebagai kawan sejati.” 

Si remaja berkacamata turut terharu.

“Aku tau, Ex. Kemarin saat aku dioperasi, kamu datang menjengukku, bukan? Menunggu di luar ruangan sambil menaruh harapan. Para perawat yang mengetahui itu pun segera memberitahukan aku yang masih pingsan, bahwa temanku sedang menungguku di luar sana, berharap aku segera sadar dan bisa bertemu kembali.”

Ex bernapas lega. Remaja di hadapnya tampak ceria daripada sebelumnya, yang selalu terlihat murung di sekolah karena menjadi korban perundungan Ex dan kawan-kawan. Saat ini, dia benar-benar senang Ex bisa selamat, walau Ex sudah berbuat tidak baik kepadanya. Remaja berkacamata itu ingin mengucapkan perkataan yang selama ini dipendam dalam hati.

“Akhirnya, aku bisa menyelamatkanmu.”

Ex kaget. “Terbalik, Andi. Seharusnya aku yang berkata begitu.”

“Tidak, benaran. Aku benar-benar bersyukur kamu bisa selamat.”

“Dari tadi kamu melantur apa sih?”

Ex tak paham mengapa lawan bicaranya begitu bersemangat. Dia diselimuti aroma misterius yang kadang-kadang membuat Ex bertanya-tanya. Kini, remaja berkacamata memandang lepas, seakan hendak memberikan jawaban teka-teki.

“Ex, apa kamu tau dunia paralel?” tanya si remaja berkacamata.

“Dunia paralel? Apa itu?”

Dia menjelaskan bahwa dunia ini sedang berdampingan dengan rute-rute dunia lainnya. Ada dunia dengan X sebagai tokoh utama, dunia dengan Eks sebagai tokoh utama, dan dunia ini dengan Ex sebagai tokoh utama.

“Di dunia X, teman-temannya tidak suka dengan sikapnya yang selalu menyuruh-nyuruh. Kemudian, mereka melakukan revolusi, membuat pemberontakan, dan menuntut X agar dia bunuh diri dengan cara terjun dari atas menara sutet.

“Di dunia Eks, entah bagaimana teman-temannya mengirim santet kepada orang berlainan, yang menyebabkan Eks harus menerima konsekuensi dan membayar harga nyawanya sendiri.

“Di dunia ini, Ex, kamu tidak menyuruh-nyuruh dan hanya kamu yang mengirim santet. Alhasil, kamu pun selamat.”

Remaja itu mengambil jeda sejenak.

“Ada lagi dunia Mr. X-ray, yang menceritakan wabah mematikan yang menyerang penduduk desa. Pada awalnya, ada gangguan yang membunuhnya di tengah-tengah cerita. Di dunia keduanya, Mr. X-ray berhasil kabur dari desa dan selamat.”

Ex geleng-geleng mendengar penuturan yang hanya sebagian bisa diterima otaknya.

“Itu gila. Kenapa dunia paralel itu bisa ada dan kenapa harus peranmu yang menyelamatkanku?”

Lawan bicara hendak buka mulut--

Red alert! Red alert Red alert!

Namun, dia urungkan. “Maaf, Ex. Aku cuma bisa menjelaskan sampai sini.”

Ex tak paham betul apa maksudnya, tetapi melihat kegelisahan dalam raut lawan bicara, membuatnya bungkam. Memecah keheninga, pria paruh baya masuk dan memberi interupsi.

“Waktunya sudah mau habis. Harap cepat,” ujarnya.

Dua remaja laki-laki saling diam. Larut dalam pemikiran masing-masing. Kemudian, Ex akhirnya memutuskan untuk angkat bicara.

“Sebelum pergi, aku mau bertanya satu hal kepadamu.” Tatapannya begitu serius. “Kenapa aku dan kau bisa terikat oleh takdir ini?”

Si remaja berkacamata tercengang. Dia seakan berhenti bernapas beberapa detik. Selepas menguasai diri, dia pun memberi balasan.

“Sepertinya aku bisa memberitahukan satu rahasia ini kepadamu.”

Rahasia apa itu?

“Kenapa, ya .... Karena aku adalah kamu. Kita adalah orang yang sama. Andi adalah Ex, dan Ex adalah Andi.”

Ex berkernyit. “Hah? Jangan awur, lah. Kok bisa kau ngomong begitu?”

“Tidak percaya?” Dia melepas kacamata, kemudian menyuruh Ex melihat cermin di atas nakas.

Ex pun bolak-balik toleh, membandingkan pantulan dirinya dengan penampilan fisik remaja di hadap.

“Tuh, kan, mirip?”

Laki-laki berjaket menggoyangkan kepala ke kiri kanan, kacau, dengan gelisah melakukan gestur tangan berupa sangkalan.

“Gak--gak--gak--! Aku adalah kamu? Jangan guyon! Mana ada kayak gitu? Aku itu aku! Kamu itu kamu! Jangan sok-sokan bilang aneh gitu! Merinding, tau!”

Remaja itu tertawa hambar dan menggeleng. “Coba pikir lagi. Kenapa kita bisa terikat oleh takdir?”

Ingatan-ingatan semasa hidup berbondong-bondong merasuk ke dalam ruangan khusus di dalam otak, menyerang satu bola besar bernama inti. Mereka menerjang, menghantam, menabrak, guna membangkitkan supaya inti menyala. Inti berhasil menyala. Memori Ex berputar.

Tentang bagaimana dia lahir, bagaimana dia tumbuh dan dibesarkan, bagaimana dia berinteraksi dengan kerabat, tetangga, teman sekolah. Bagaimana dia bertemu Andi, Ye, Zet dan kawan-kawan di kelas VIII-E.

Segalanya campur baur.

Ex meremas kepala yang berdenyut kencang, berputar-putar, serasa ingin meletup. Melaung pedih dan berteriak, memohon agar berhenti. Rasa sakit yang menyerang makin bertubi-tubi, menyebabkan air tangis mengalir, ingus meleleh, liur menetes. Keringat membanjiri kulitnya. 

Pada momen terakhir, Ex dibawa keluar oleh beberapa pria besar berjas hitam, meninggalkan si remaja berkacamata yang menangis sambil menatap pilu.

###

31 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top