Ex-12. THE FINISH

Tempias bersama badai menjelma iring-iringan yang menemani langkah sempoyongan seorang remaja laki-laki berjaket merah maroon. Ex berjalan keluar meninggalkan sekolah, berpikir, dia harus mencari bantuan dari luar.

“Bagaimana ini? Tinggal aku sendirian …. Ke mana aku harus pergi?”

Polisi? Tidak, mana mungkin polisi percaya dengan cerita tentang santet daring yang merenggut nyawa para remaja. Guru? Tidak, tidak ada seorang pun guru di kantor sebelumnya. Remaja lain? Ah, Ex tidak punya relasi selain teman sekelas. Ex juga tak ada saudara yang dapat dihubungi di saat genting seperti ini.

Maka, satu-satunya jalan yang bisa diambil adalah dengan berlindung di rumah sendiri.

Hujan deras mengganas, angin puyuh mengamuk. Meski demikian, Ex pantang berhenti menyisir tepi jalan. Sepatunya tak dilepas, melawan banjir setinggi tumit yang agak deras. Dengan kondisi rambut diguyur hujan, jaket pula celana basah kuyup, sepatu terisi air, lelaki itu tetap menerjang arus.

Badannya yang dipeluk menggigil, muka memucat dan gigi menggeletuk. Hal yang ada di benaknya saat ini hanyalah jalan pulang menuju rumah. Sosok ibu yang menyambut ramah, menyiapkan segelas cokelat hangat. Mandi air panas untuk menstabilkan suhu tubuh. Duduk di sofa empuk sembari mentoton acara TV favorit.

Ah, semuanya terasa menenangkan.

Ex sudah gila.

Tertawa aneh di sela berjalan gontai, remaja itu tak hirau kala orang-orang yang bernaung memperhatikannya dengan tatapan heran. Terlebih Ex berbicara tidak keruan, ditambah menjulurkan lidahnya yang ditindik.

“Mas-mas yang pakai jaket itu ngapain sih? Hujan-hujanan sambil ketawa gak jelas.”

“Kayaknya dia lagi depresi habis diputus pacar, kali.”

“Atau, di-drop out dari sekolah gara-gara habis menghajar teman sekelasnya.”

Orang-orang yang berpapasan di jalan berkasak-kusuk, pengendara bermotor memandang penuh tanya. Ex tak ubahnya seorang remaja sekolahan yang terkena stres.

Langkah Ex akhirnya sampai di tempat yang dia anggap rumah. “Aku pulang--" Akan tetapi, yang terlihat di sana hanyalah sebidang tanah kosong ditumbuhi rumput serta semak, yang terjepit di antara dua bangunan rumah. “Di mana rumahku … ?”

Ex akhirnya tahu. Eksistensinya tak diperbolehkan lagi ada di dunia ini. Dia sudah dihapuskan dari bumi. Bersama dengan semua teman-teman sekelasnya yang terseret santet daring.

Berjalan lunglai, pandangan linglung, yang Ex bisa lakukan hanya menggerakkan kaki selangkah demi selangkah, membawanya menuju tempat paling jauh yang tak dapat dijamah orang lain.

Meski demikian, lelaki berjaket itu cuma bisa berakhir dengan sembunyi di kolong jembatan merah, duduk menekuk lutut di atas bebatuan yang ditumbuhi rumput juga lumut secara terpisah. Di hadapnya ialah sungai nan meluap, arus begitu deras menghanyutkan patahan dahan dan kantung-kantung sampah.

Segelintir kendaraan berupa mobil yang pembersih kacanya bergerak atau sepeda motor yang pengendaranya memakai jas hujan melaju di atas. Hujan badai masih berlangsung hebat, kadang kala petir serta kilat bergemuruh memekakkan telinga.

Ex sudah dapat dikatakan orang yang kehilangan kewarasan. Tatapan matanya kosong memandang ke bawah. Kulit serta bibir memucat. Rambut kusut berantakan menutup sebagian wajah. Tangan gemetar mendekap tubuh, kaki pula menggigil.

Di dalam telinganya, terngiang-ngiang suara jerit kesakitan, teriakan minta tolong, rintihan, tangisan, tawa. Di dalam kepalanya, terlintas memori satu per satu remaja yang mati mengenaskan, tubuh bersimbah darah, terpotong-potong, isi perut terburai, wajah tersiksa.

Semua ini dimulai dari Andi. Laki-laki berkacamata yang muntah darah bercampur paku kecil. Berikutnya, insiden kecelakaan yang merenggut nyawa sepuluh orang termasuk Ye dan Zet. Selanjutnya, kecelakaan lagi yang memakan empat orang korban, yang hendak menjenguk Andi di rumah sakit umum. Setelah itu, kematian sadis delapan orang ahli olahraga beserta Ditto yang ditayangkan dari video langsung. Terakhir, tiga orang yang mati akibat kesalahannya sendiri, juga trio siswi yang ditemukan terkoyak-koyak.

Tinggal Ex saja, sendirian. Di kolong jembatan, ditemani hujan badai.

***

Malam terbit mutlak. Para mega menapis indahnya sinar rembulan terhadap angkasa biru gelap. Jarum pada tugu jam di persimpangan jalan terdekat menunjukkan hampir pukul dua belas malam, hanya kurang beberapa menit saja.

Ex entah mengapa berjalan sempoyongan di tengah jalan beraspal, lalu berhenti di depan gerbang SMP Piji. Lelaki berjaket merah maroon tersebut mencoba mengamati sekeliling, mencerna apa yang tengah terjadi. Namun, dia gagal.

Seketika, seluruh tubuhnya kaku, tak dapat digerakkan. Ex merasa kelima indranya dilemahkan paksa, kala kehadiran suatu entitas luar biasa kuat yang datang dari segala penjuru merajalela. Ex tak cakap berbicara, tak kuasa mendengar, tak sanggup melihat, tak pandai merasa. Segalanya terasa direbut hipnosis.

Detik berikutnya, Ex mampu menggerakkan tubuh. Dia menarik napas yang sempat tersekat, menguasai dirinya kembali yang hampir hilang kesadaran. Matanya sigap melihat sekitar, lalu kepala mendongak ke arah langit gelap pekat. Laki-laki itu merasa sesuatu yang luar biasa kuat ada di mana-mana, tetapi di saat bersamaan juga ada di satu tempat saja.

Menemukan jati diri entitas misterius, Ex berteriak kepada sembarang, “Siapa kamu!”

Senyap, alam nyenyat. Tiba-tiba, gelegar hebat terdengar, menyibak perwujudan awawujud milik si entitas. Suara bergema lagi gemuruh muncul dari sebarang arah.

“Aku adalah iblis perenggut nyawa. Aku datang untuk menagih bayaran harga santet online ….”

Ex memprotes, “Aku tidak mau membayarnya! Kalau ingin bunuh aku, bunuh saja sekarang!”

“Tidak bisa. Harga santet online itu harus dibayar tuntas …,” balas entitas itu.

Seketika si entitas melayangkan serangan lagi, kini lebih jelas, merebut kemampuan fisik Ex sehingga tak berdaya menerjemahkan informasi yang ditangkap dari lingkungan sekitar. Entitas itu sangat kuat lagi besar, seakan-akan mampu menghancurkan tubuh Ex dalam satu kedipan.

Ex mengalami halusinasi berat. Matanya berkunang-kunang, kepala seakan berputar-putar, keseimbangan tubuh hilang. Saat tersadar, tahu-tahu lapisan aspal jalan hancur pada satu titik kecil, kemudian sesosok remaja berkacamata muncul dari dalam tanah. Ex kenal betul sosok itu. Andi.

Berikutnya, titik-titik lain bermunculan satu demi satu secara teratur dan berjarak rata, menghancurkan aspal dan menggali tanah keluar, menghasilkan bunyi rekahan, menampakkan remaja-remaja sebaya yang Ex amat kenali. Semua teman-teman sekelasnya. Termasuk Ye dan Zet.

Gerombolan remaja tersebut berjumlah puluhan, berdiri dengan jarak satu sama lain kira-kira satu meter. Mereka bergeming menyerupai patung, tetapi tetap bernapas dan berkedip. Saat Ex mengerjap mata, masing-masing remaja itu berubah rupa menjadi mengenaskan sama seperti keadaan mereka masa terakhir bertemu kematian.

Ex pun berteriak gusar, “Apa ini? Apa-apaan ini? Apa yang kalian semua mau!”

“Ex, bayar santetnya … ! Ex, bayar santetnya … ! Ex, bayar santetnya … !” sahut para remaja bersamaan.

Entitas pun turut menyuruh dengan suara menggelegar, “Bayar harga yang setara untuk santet online!”

Ex jadi kelimpungan, kekalutan memenuhi dirinya. “Aku ….” Dia meremas kepala, merenggut anak rambut. Eskpresi histeria nyata ditunjukkan wajahnya.

Bunyi rekahan terdengar lagi, kini meja dan bangku beserta set komputer muncul dari dalam tanah, satu untuk masing-masing remaja sekelas Ex. Mereka duduk serentak, lalu dengan cepat mengetikkan sesuatu. Pada tiap-tiap layar monitor, tampak tampilan bahwa mereka mengakses situs santet daring, yang menyatakan bahwa “Santet Atas Nama” diisi nama sendiri, “Nama Orang yang Mau Disantet” adalah Ex, “jenis santet” berbeda-beda, serta “kekuatan santet” permanen.

Klik! Klik! Klik! Secara bersamaan, semua permintaan santet terkirim.

Ex berjalan mundur refleks, seluruh badannya gemetar. “Apa … apa-apaan yang kalian lakukan! Hentikan! Kalian semua hantu gila!”

“Ex, minta maaf ke Andi … ! Ex, minta maaf ke Andi … ! Ex, minta maaf ke Andi … !”

Si entitas berkata pula “Jika bayaran harga santet online tak segera dibayar, maka Aku akan mengambilnya paksa ….”

“Apa--jangan macam-macam ke aku! Pergi … ! Aku tidak akan terpengaruh oleh kalian!”  Ex berkata dengan serius, tetapi raut ketakutan jelas sekali di wajah. Sontak semua remaja sebaya mentertawakannya.

Ex meringis, lalu menangis dan beringus. Kaki, badan, tangan, semua menggigil hebat. Manik mata hitam juga gigi putihnya pun ikut gemetar. Ex tak kuasa bergerak, jatuh bertelut di atas jalan aspal, celana jadi kotor akan debu. Pandangannya terus terpaku kepada barisan remaja yang duduk sambil terbahak.

“A--aku tidak tahu apa-apa … ! Aku minta maaf ke kalian semua karena sudah menyeret ke permasalahan ini ... ! Aku benar-benar minta maaf!” 

Lelaki berjaket itu meraba-raba sekitar, kemudian menyentuh sesuatu. Matanya mengerling, sebilah ranting panjang ada di genggaman. Membeliakkan mata, Ex mengayun benda tersebut ke atas, tepat di depan leher. Kedua telapak mencengkeram, kepala agak mendongak, mata mengejam. Air tangis, air peluh, air ingus, semua memenuhi wajah menyedihkannya yang gila.

“Mending aku mati aja … !” Ranting hampir terdorong--

Namun, tiba-tiba kerumunan remaja berikut bangku serta set komputer menghilang, menyisakan titik-titik lubang. Kehadiran entitas pun lenyap dalam sekejap.

Ex tertinggal sendirian di jalan beraspal depan gerbang SMP Piji, berlutut sambil menggenggam ranting panjang. Malam gelap menjadi saksi bisu peristiwa itu.

Laki-laki itu membisu, berpikir keras berusaha mencerna apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Membuat keputusan, hanya ada satu jawaban yang paling mungkin saat ini di pikirannya. 

Kutukan santet daring telah berhenti. Ex selamat.

###

29 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top