Ex-11. INSIDE THE PENAL COLONY
Warung tegal di seberang SMP lumayan ramai oleh pemuda-pemuda yang didominasi pekerja kantoran. Untungnya, tiga orang siswi berhasil mendapat giliran layanan tanpa memakan waktu nan lama. Hasni, Ines, serta Kiky berdiri di depan rak kaca berisi makanan, memilih menu yang ingin dipesan.
Hasni yang memiliki rupa rupawan sesekali dilirik beberapa pemuda yang curi-curi pandang. Namun, mereka urung niat seketika melihat Ines yang beraura dingin. Sementara Kiky mungkin menjadi pencerah suasana di sekitar.
Apa yang dilakukan pelajar SMP di sini? Pada waktu lepas pulang sekolah begini?
Hasni menunjuk lauk seraya membestel kepada ibu-ibu penjual, “Lek, nasi ramesnya satu, dibungkus, ya.” Ibu penjual pun dengan sigap membuatkan pesanan.
Ines dan Kiky terkesima, pasalnya kawan perempuan satu itu langsung gerak cepat tanpa basa-basi. Selepas tiga remaja tersebut membeli makan untuk tujuh orang, yang semuanya dibawa pulang, mereka mengobrol santai di tengah jalan pulang.
“Kok kamu bisa yakin kalau ini makanan kesukaan Ex, Hasni?” tanya Ines.
Hasni tersenyum. “Soalnya sebagai pacar yang setia itu, pasti mengerti apa makanan favoritnya.”
Kompak, Ines dan Kiky mengangkat plastik hitam seraya tertawa. “Kita juga dong!”
Dari perkataan mereka berdua, didapat informasi bahwa Ye suka nasi sarden, sedangkan Zet senang mi goreng campur telur. Hasni pun ikut berkikikan berada di antara kawan-kawannya.
Perjalanan balik ditemani awan-awan gelap pekat serta angin kencang bergemuruh, laksana menandakan badai hebat sebentar lagi tiba. Kala ketiga remaja perempuan itu memasuki gerbang SMP Piji, seketika gelegar kilat sabung-menyabung. Atmosfer sekolah terasa sesak, sepi tanpa presensi manusia atau barang sekadar suara serangga. Padahal yakin tadi terlihat barisan sepeda motor di tempat parkir khusus guru dan karyawan.
Baru beberapa meter melangkah, Hasni mengindra aura tak mengenakkan dari belakang. Ines serta Kiky pun turut berhenti, lalu berbalik bersamaan. Ketiga siswi tersebut terheran, menangkap satu figur persona tinggi berdiri di depan gerbang masuk.
Persona itu dapat dipastikan seroang pria yang tubuhnya kurus jangkung, tampak lanjut usia dari ciri rambut beruban, badan bungkuk, kulit keriput, pula mata sipit. Tatapan yang ditunjukkan mendelik. Mulut menyeringai, menampakkan barisan gigi ompong. Jika diingat-ingat, dia adalah guru yang mengajar mata pelajaran TIK kelas VIII-E.
Hasni menjeling sosok pria itu. “Eh, itu Pak Djatmiko, bukan?” tanyanya. Ines serta Kiky tak begitu yakin.
“Entahlah?” balas mereka.
Ketiga siswi terpaku mengamati figur nan kemungkinan bapak guru yang dikenal. Namun, juga tak yakin apa memang benar itu bapak guru yang dikenal.
Maka dari itu, seseorang perlu memanggilnya guna menyungguhkan. “Pak Djat!” undang Hasni.
Si pria lansia bergeming, terus menatap tanpa berkedip. Terlebih bola matanya tak bergerak sedikit pun. Diam, tidak bersuara. Senyap, mengheningkan suasana. Terlalu tenang sampai-sampai membuat bulu kuduk ketiga siswi meremang.
Setelah beberapa saat mematung, akhirnya napas berat terembus dari celah bibir yang terkatup, bersamaan dengan suara gemeletuk gigi. Pria lansia tersebut membuka mulut, “Kalian … nama kalian ada di daftar bayaran harga santet online.”
Ucapan barusan sontak membuat para remaja terkesiap.
“Hah? Bapak ngomong apa?” Kiky yang pertama perespons.
“Bagaimana Bapak bisa tau soal santet online?” tanya Ines.
“Kalau Bapak tau cara menghentikan santet online, tolong beri tahu kami!” Hasni bercengangan.
Pria lansia tak acuh, sambung berbicara tanpa sekali pun bekerjap.
“Santet online itu … bukanlah sesuatu yang bisa seenaknya digunakan … ini memiliki konsekuensi di baliknya yang tak pernah kalian bayangkan. Maka, demi keselamatan kalian, akan kami beritahukan satu peringatan: Jangan pernah, dalam situasi apa pun, kapan pun, di maan pun, bermain-main dengan santet online ….”
Uraian tak terang tersebut wajar membuat ketiga siswi yang mendengarkan jadi resah. Apa-apa yang diucapkan tidak satu pun masuk ke dalam otak. Perasaan ganjil bercampur aduk dengan syak, waswas, gelisah, sukses menghasilkan kondisi ansietas.
Terbata-bata, bibir gemetar, Hasni gugup bersoal, “Bapak ini siapa … ?”
“Kami adalah pengantar. Kami bukan berasal dari dunia ini. Kami adalah kekuatan supernatural di luar akal pikiran kalian. Tugas kami adalah untuk mengantarkan informasi santet online dari pengirim ke penerima, dari penerima ke pengirim, dengan tujuan mengonfirmasi apakah bayaran harga telah dibayar atau belum.”
Menyadari kepelikan yang terus-menerus berlangsung, ketiga siswi berseru panik.
“Dia bukan Pak Djatmiko!” pekik Ines, mencegah kedua kawannya larut percaya.
Hasni yang mulanya berkeyakinan kini menatap waswas. “Ke mana Pak Djatmiko!”
Pria lansia itu mengalami alternasi suasana. Hawa negatif pun menyeruak ke sekeliling. Sudut bibir si pria melebar sampai pipi, menunjukkan seringai menyala-nyala dengan taring tajam berbaris rapi. Sklera matanya menghitam, menyatu dengan iris yang hitam pula.
Dengan membuka mengatup mulut lebar-lebar, pria itu melaung, “Sudah—aku—makan!”
Lengan kanannya mencengkeram pundak kiri, lengan satunya meremas perut bawah, lalu bersamaan menyobek bersilang. Dalam sekejap, tubuhnya terkoyak dan terbelah menjadi tiga bagian, yakni kepala plus dada pula lengan, perut menyambung selangkangan, juga sepasang tungkai. Masing-masing bagian daging kemudian bertransformasi suatu makhluk. Satu menjadi singa jantan, lainnya merupa harimau loreng, sisanya berubah macan tutul. Tiga hewan buas tersebut mengaum keras-keras.
Para remaja perempuan menyaksikan dengan mimik horor, menjerit ngeri. Kiky serta Ines berlari ke arah berlawanan, sementara Hasni mematung di tempat dengan kaki gemetar. Ketika hewan-hewan buas menggeram, dia langsung berbebar menjauh ke sebarang tempat.
Hasni berpencar dengan kedua kawannya, tak tahu harus melakukan apa. Kepanikan menguasai, membuatnya tidak mampu berpikir. Perempuan itu kesulitan berlari karena memakai seragam rok biru, sementara hewan buas di belakang bersiap mengejar secepat-cepatnya.
Hasni berteriak ketakutan, memekik minta tolong dengan napas terengah-engah, pontang-panting memasuki lorong sekolah. Langkah si perempuan sampai pada kelas VIII-E yang terbuka, lantas dia segera berlari masuk seraya menutup pintu. Hasni memilih bagian kelas paling belakang, bersembunyi di kolong meja baris terakhir.
Tak berselang lama, pintu didobrak. Masuklah seekor singa yang berambut panjang di sebagian kepalanya. Singa tersebut mengendus sekeliling, melangkah perlahan. Hasni menahan napas sambil terbeliak dengan keringat membanjir. Si singa mengaum, membuat bergidik. Namun, merasa tak menemukan apa-apa, hewan itu pun pergi keluar kelas.
Hasni menjulurkan kepala, mengecek kondisi sekitar. Hewan buas telah pergi. Dia pun bernapas lega, mencoba mengatur respirasi.
Mendadak, terdengar bunyi gaduh mirip sesuatu yang patah.
Hasni cepat-cepat berpaling ke sumber suara. Sejumlah petak tegel tampak terdorong ke atas, sebagian besar sudah pecah, menghasilkan bunyi retakan. Perempuan itu sedikit plong, kewaspadaannya barusan mungkin berlebihan.
Ah, tidak--
Seekor singa jantan duduk di atas meja guru, menatap si perempuan bagai santapan lezat.
Hasni menjeling horor. Singa pun mengaum, dia berteriak ngeri. Hewan buas meloncat, mengayun tungkai dengan kakas tajamnya. Punggung Hasni terkena, mencetak bekas cakaran yang menyobek baju. Darah merah pun mengucur kemudian. Hasni merintih sakit, langsung berlari keluar.
Perempuan itu menahan perih seraya terus bersiah, dan seketika jalan keluar terlintas di benaknya. Teman-teman yang lain! Hasni pun bergegas menuju deret ruangan di arah timur.
“Ex, tolong aku!”
Sampai di sana, teras dipenuhi sejumlah set komputer. Di depan pintu Laboratorium Komputer lama yang tertutup, Hasni memandang pasrah penuh harap.
“Kalau di dalam sana, Ex dan teman lainnya pasti akan bantu melawan singa itu! Aku pasti bisa selamat!”
Di belakang, dia bisa mendengar auman singa makin dekat. Si perempuan membuka pintu, langsung menutupnya lalu memutar gerendel. Suara dobrakan tercipta, disusul garukan yang berulang-ulang.
Hasni panik, berbalik dan melangkah cepat, tetapi terhenti kala menyaksikan isi Lab kosong tanpa orang. Perempuan itu sendirian. Dia kemudian melihat papan tulis putih, bahwa tertera catatan, “Hasni, Ines, Kiky, kami pergi ke Lab Komputer baru untuk melakukan pemanggilan arwah. Langsung menyusul setelah membaca ini, ya!”.
Perempuan itu terbelalak, lalu menyeringai putus asa. Pintu di belakangnya hancur dibobol. Kaki hewan buas masuk dengan angkuh, kemudian tampak sesosok singa bertubuh besar yang kelaparan.
Hasni memekik, bergidik takut. Sempat terjadi aksi kejar-kejaran. Perempuan itu melempar papan ketik dan tetikus, membanting kursi dan monitor, tetapi hewan yang melelah tetap gigih.
Singa itu menerjang, menggigit lengan kirinya, kemudian mengoyak sampai sobek. Hasni mengerang kesakitan, meronta-ronta, memukul dengan tangan kanan, menendang dengan kedua kaki. Namun, singa itu tak terdampak, malah kini beralih menerkam lehernya. Taring-taring itu menusuk dalam, membuat darah bermuncratan deras.
Hasni menangis, mendelik ke atas. Tangan dan kakinya berhenti melawan.
***
Saat itu, para perempuan VIII-E membuat rencana untuk menjadi pacar tiga laki-laki paling terkenal sesekolah.
Pada hari pertama, Zet menembak Kiky di kelas. Semua orang bersorak. Tak disangka lelaki itu tipenya tomboi.
“Aku berjanji bisa membahagiakanmu!”
Pada hari kedua, Ye menyatakan cinta kepada Ines di lapangan indoor. Tak dapat dipercaya perempuan dingin itu berhasil memikat hatinya.
“Aku jantuh cinta sejak pandangan pertama!”
Tinggal satu orang saja, sementara perempuan-perempuan berebut untuk mendapatkan perhatian. Ex suka pilih-pilih, sudah banyak lawan jenis yang ditolak.
Pada hari ketiga, Ex memutuskan untuk menjadi pacar Hasni. Beruntung, dia perempuan paling cantik sekelas. Tentu kaum perempuan sudah menduga itu, dan jadi tambah iri mereka. Sebenarnya Hasni sangat senang dia dipilih, tetapi tekanan dari orang sekitar membuatnya ragu.
“Aku pasti akan menyelamatkanmu dari dunia busuk ini!”
Kencan rangkap tiga akan diadakan malam ini, di mal kota dekat alun-alun. Hasni terlihat jelas gugup. Di kelas, dia tak bisa fokus pelajaran. Sehabis pulang sekolah, Hasni yang tengah membereskan barang dihampiri oleh Ines dan Kiky. Mereka memberikan wajah tak senang.
“Jangan pikir kamu bisa dengan mudah memacari Ex hanya karena cantik!” hardik Ines.
Kiky menimpali, “Iya, benar, cinta itu tidak hanya memandang fisik saja!”
Hasni murung, terlihat ketakutan. Apa yang harus dia lakukan?
Meski tahu sedang bersedih, kedua perempuan mengajaknya ke suatu tempat, dengan terpaksa. Hasni pun setuju.
Siang itu, mereka bertiga langsung berangkat sepulang sekolah. Lokasi yang dituju ialah area perbelanjaan di kota. Di sana, Hasni dipilihkan pakaian yang cocok di toko fesyen, kemudian bersama-sama ke salon untuk mempercantik wajah serta penampilan.
Sehabis tur, Hasni merasakan perubahan pada dirinya, juga pada hubungan dengan Ines dan Kiky. Dua perempuan itu menatap jahil saat duduk bersama di bangku.
“Sebenarnya, kami ingin mengetes kamu!” beber Kiky.
“Kami ingin tau seberapa hebatnya kamu di sisi pacarmu jika pacarmu itu sedang kesusahan. Sepertinya kamu lulus, Hasni!”
Hasni terharu. Kiky yang biasa cuek kini begitu ramah. Ines yang biasa dingin kini begitu perhatian.
“Ines, Kiky, terima kasih!”
Mereka bertiga pun mengelilingi area perbelanjaan sampai malam tiba.
Pada jam perjanjian, Hasni, Kiky, dan Ines bertemu di alun-alun. Tiga laki-laki berpakaian kasual datang beberapa menit kemudian, mereka sangat terpana melihat penampilan kekasih masing-masing yang beda dari biasanya.
“Kalian bidadari ….”
“Kamu cantik sekali ….”
Ex, Ye, dan Zet bersemu merah, lalu menggandeng lengan lawan jenis. Kencan rangkap tiga pun dimulai. Mereka berenam memasuki mal, melihat-lihat aksesori. Berikutnya, ke bagian fesyen pakaian. Setelah puas, mereka pindah ke bagian permainan. Ye dan Zet menunjukkan keahlian dalam gim tembak-tembakan, sementara Ex menonton dengan seru.
Di akhir acara, mereka mengunjungi restoran mal, memesan makanan juga minuman mahal. Sembari menikmati menu, obrolan santai pun terjadi. Puas mengisi perut, mereka berpamitan pulang. Tentu laki-laki mengantar sampai rumah.
Ex menggenggam lengan Hasni. Pasangan itu tampak mesra, berjalan berdua di antara hiruk pikuk alun-alun. Atas permintaan si perempuan, mereka memilih pulang larut malam.
“Kamu kenapa berdandan sampai cantik sekali begini? Padahal aku juga suka natural, lo!” Ex mengusap mercu kepala kekasihnya.
Hasni bersemu merah, menunduk. “Ines dan Kiky yang merekomendasikannya. Mereka sebenarnya sangat baik!”
Tersurat nada gentar dalam kalimatnya, yang langsung disadari oleh Ex. Laki-laki itu berhenti, segera memeluknya erat.
Perempuan itu berlari histeris keluar Laboratorium Komputer lama, bersimbah darah, lengan serta leher terkoyak.
“Kamu jangan takut, ada aku di sini,” bisik Ex.
Hasni mendongak, menunjukkan wajah memelas. “Ada Ex di sini?”
Dia terbeliak, memandang ngeri, air mata mengalir. Sosok di belakangnya makin dekat. Sebentar lagi perempuan itu sampai di depan kelas yang dia tuju.
“Ya, mau bagaimanapun, aku pasti akan melindungimu dari segala bahaya.”
Hasni mengulas senyum lega. Dia berterima kasih, kemudian mengacungkan jari kelingking kiri seraya mengucap kata emas.
Sosok hitam melahap tubuhnya, membuatnya menjerit kesakitan. Dia meronta, berteriak ngeri dan memekik minta tolong.
Mendengar permintaan tersebut, Ex menatap pasangannya lekat-lekat, menyambut jemari tersebut, saling bertautan. “Janji.”
Di depan kelas, jasad perempuan tergeletak, dengan kondisi terkoyak-koyak juga bersimbah darah.
***
Di bawah langit gelap, kesunyian menghujani suatu kompleks sekolah. Tenang saja, tidak ada hewan buas di sini. Singa telah lenyap. Harimau sudah gaib. Macan tutul tak dijumpa.
Depan kelas VIII-E, tubuh Hasni menyandar tembok, berselonjor. Pakaian pula badan perempuan itu berlumuran cairan merah pekat. Lehernya patah sampai kepala hampir teleng, lengan sebagian tercabik, menampakkan daging segar. Terdapat dua sayatan miring yang membentuk huruf X di tubuhnya, merenjis darah.
Jasad Ines meringkuk di taman, di bawah pohon bunga sepatu merah. Perutnya robek, isi organ dalam terburai. Darah pekat meluas membentuk genangan. Beberapa helai bunga sepatu gugur, menyatu dengan warna merah cairan.
Tubuh Kiky tenggelam dalam kolam ikan nan besar, hanya bagian atas saja. Kakinya raib, membuat rok bersimbah darah. Tak luput air kolam jadi berubah warna kemerahan.
Mati! Mati! Semuanya mati!
###
29 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top