Ex-10. OUTSIDE THE MORGUE

Ringkasan bab Ex-9:

Kekuatan supernatural membingungkan Ditto, bahwa si dukun sebenarnya tidak ada. Setelah itu, remaja yang mengepung mendadak menjadi saling bunuh tanpa sadar, kemudian Ditto juga dikendalikan untuk bunuh diri. Ex dan beberapa siswa tersisa berlindung di Lab Komputer, mencoba menghentikan santet dengan mengunjungi situsnya, tetapi gagal.

###

Uap air berembus cepat ke udara, lenyap dalam sekejap. Ex membungkam mulut, kedua manik matanya gemetar serta pupil menyempit.

“Ex, kau pembunuh!” Tiga orang remaja sebaya berlagak mengerikan serupa predator yang siap menerkam mangsa.

Laboratorium Komputer lama menjadi saksi bisu kebrutalan kawanan bernga keputusasaan menggerogoti daging busuk empat orang remaja sekolahan yang masih hidup. Mereka yang jatuh terpuruk ialah Ex, wakil ketua kelas, laki-laki ceking, serta perempuan pendiam.

Bagi Ex, apa yang baru saja dia tonton mirip adegan pada film gory splatter (berdarah dan merenjis). Bedanya, yang ini pemerannya adalah teman-teman sendiri, serta terlalu nyata jika dibandingkan dengan sinema.

Apa yang terjadi? Apakah Ditto dan yang lainnya dikalahkan? Apakah … mereka semua … mati?

“Ex, gimana ini? Kita harus apa?” Remaja laki-laki ceking mengguncang bahunya gelisah, membuat Ex makin tak berdaya.

Si remaja berjaket menyergah, “Kakuati! Aku gak tau!” Lalu, mendorong temannya jauh-jauh. “Ditto dan lainnya mati! Hasni dan lainnya masih belum kembali! Dan, aku gak tau gimana caranya selamat dari santet online yang mengerikan ini! Semuanya sinting!”

Remaja ceking menatap tak suka. “Itu karena kamu gak becus buat menyelamatkan teman-teman kita!”

Pertengkaran adu mulut pun makin panas dengan saling menyalahkan dan mengungkit kelemahan lawan, berlanjut terus tanpa ada yang berniat melerai. Dua perempuan yang tak mau ikut campur pun memilih berbisik-bisik secara terpisah.

Selesai berbincang, kaum perempuan menatap dua laki-laki yang mulai sabung fisik. Si wakil ketua kelas membenarkan kacamata dengan ujung jari tengah, lalu menyilangkan tangan.

“Hei, dengarkan omongan Maniak Klenik ini yang aneh dan suka dengan hal-hal perklenikan. Katanya, dia bisa menemukan jalan keluar dari keadaan kacau ini.”

Wakil ketua menepuk kedua bahu si perempuan pendiam, yang memiliki tatapan kalem serta model rambut sebahu.

Perkataan barusan membuat Ex berjeda dari mengunci leher si lawan adu fisik, lalu melepaskannya. “Hee no?! Apa memangnya?”

Remaja cungkring terbatuk-batuk, memegangi leher yang ada bekas cap tangan. Mukanya pucat manai. Ex sedikit tulus meminta maaf. Lelaki berjaket itu mungkin agak berlebihan barusan.

Seketika, Ex terbeliak menyadari sesuatu. “Eh, kenapa kau baru mengatakannya sekarang!”

Wakil ketua kelas mengedik bahu. Si laki-laki cungkring memberikan protes kecil pula, tetapi terlalu bising sehingga Ex membungkam mulutnya sambil menggerutu.

Suara siut tiba-tiba menjernihkan suasana, tercipta oleh si perempuan yang dipanggil Maniak Klenik. Ketiga remaja di ruangan Lab membatu dan bungkam, terlalu terpesona dengan indah lagi ganjilnya suara perempuan itu. 

“Tenang.” Dia bertemu muka Ex, membuat si lelaki meneguk ludah. “Energi yang dihasilkan dari emosi takut manusia mampu mengundang makhluk astral sehingga kita bisa berkomunikasi dengan mereka. Energi takut yang unik dan tinggi yang kudeteksi ada pada kamu--pada Ex.”

“Ngomong apa kau? Kakuati,” sungut laki-laki berjaket itu, tak menangkap penuturan si Maniak Klenik.

Lawan bicara agak kaget. “Dengan kata lain, arwah teman-teman kita yang telah tiada dapat dipanggil dengan memanfaatkan energi ketakutan milikmu, Ex.”

Ex bingung. Dia benar-benar tak mengerti apa maksud perempuan itu. Perklenikan memang sulit diterima apalagi jikalau melibatkan hal-hal di luar akal. Tak mungkin bagi remaja biasa seperti Ex untuk memahaminya.

Wakil ketua kelas yang kini di sebelah lelaki cungkring ikut terheran, saling pandang penuh tanda tanya.

Maniak Klenik melanjutkan, “Akan tetapi, kita tidak bisa melakukannya di sini.”

Ex menoleh, tertegun. “Kenapa?”

“Lab Kom lama mengandung banyak aura negatif karena sudah lama didirikan. Apalagi aura negatif dalam jumlah luar biasa besar yang keluar dari komputer itu. Kita membutuhkan tempat yang agak luas, gelap, dan jika bisa jangan di kelas ….”

Butuh waktu untuk mencerna titik lidah si Maniak Klenik. Wakil ketua sebenarnya apatis jadi perempuan berkacamata itu hanya ber-“oh” ria. Lelaki cungkring melongo, sementara Ex mungkin saat ini terjebak di tala lokanya.

Lab Kom? Oh, maksudnya Laboratorium Komputer.

Merasa dua laki-laki di dekatnya terlalu payah, akhirnya wakil ketua angkat bicara. Menyilangkan tangan, memejam mata seraya hela napas, dia menjelang kilat. “Tempat lain yang cocok kayaknya Laboratorium Komputer baru. Gimana kalau kita ke sana?”

Ex dan lelaki cungkring saling tatap.

Dalam beberapa menit, keempat remaja sampai di depan pintu masuk Laboratorium Komputer baru, menenteng barang dan tas masing-masing. Saat di jalan, mereka melalui lorong sepi gelap (karena mendung), tak ada yang bersuara kecuali botol antiseptik yang disemprotkan wakil ketua ke telapaknya.

Wakil ketua membawa kunci master, membuka gembok jeruji besi dan induk kunci pintu kayu. Perempuan itu masuk diikuti ketiga temannya. Ex sempat meminta supaya dia yang memegang kunci master, tetapi ditolak mentah-mentah. Bahkan wakil ketua sempat menyemprot antiseptik ke udara sekitar. Pintu pun ditutup kembali. Laboratorium Komputer baru terlihat seperti apa yang diharapkan. Ukurannya begitu luas, cukup bila digunakan untuk dua kelas sekaligus. Suasana terkesan temaram karena seluruh jendela nako ditutup oleh gorden hijau gelap.

Maniak Klenik langsung menuju bagian belakang Lab, yang terbilang lega, sambil menjinjing tas merahnya, dan begitu sampai, dia mengeluarkan sejumlah barang, meletakkan di atas meja kosong. Ada lilin beserta cawan penampung, korek, mangkuk, dupa, kertas, pena kaligrafi, serta benda lainnya.

Sementara itu, Ex melihat-lihat isi Lab bersama lelaki cungkring. Mereka berdua terlalu terpana menyaksikan begitu mewah lagi canggih fasilitas yang ada di situ, berbeda jauh dengan Laboratorium Komputer lama. Dijumpai monitor model baru yang tipis, bersih, bebas debu. Begitu pun dengan papan ketik, tetikus, serta CPU. Juga terdapat alat pendingin ruangan, yang dinyalakan wakil ketua, membuat suhu udara jadi sejuk.

Lelaki cungkring bertanya, sesekali memandang sekeliling, “Memangnya kapan Lab Komputer baru ini dibangun? Kok kayaknya enak, ya. Kenapa kita gak dibolehkan pakai?”

Wakil ketua menjawab sambil menyilangkan lengan, “Sekitar dua atau tiga tahun lalu. Lab baru ini khusus dipakai buat kakak kelas sembilan aja, katanya untuk latihan ujian nasional berbasis komputer.” Lelaki cungkring paham. Ex ikut angguk-angguk.

Maniak Klenik berkata bahwa persiapan hampir selesai, kemudian menyuruh Ex mendekat ke bagian belakang nan lega, beberapa meter di depan meja penuh barang si perempuan. Dua teman lain pun mengekor, menonton di belakang Maniak Klenik. Mereka perlu berhati-hati melangkah karena suasana remang-remang.

Ex memperhatikan Maniak Klenik dengan saksama. Perempuan itu memang terlihat tenang, tetapi seakan-akan menyiratkan suatu hal nan misterius. Rambut sebahunya tampak sedikit kemerahan, mungkin bila di bawah sinar matahari akan lebih jelas. Raut mukanya tak tersenyum, tak pula masam, sesekali kelopak berambut mata tebal berkedip dengan anggun.

Maniak Klenik berhenti tiba-tiba, menoleh kepada lelaki berjaket yang sedari tadi memandangi dengan tatapan aneh. Ex lantas berpaling muka, pada pipinya terkesan semu merah. Si perempuan lantas kembali bekerja. Setelah menyalakan luban, yang untungnya asap tak begitu terasa karena menyebar ke ruangan luas, dia menghidupkan dua lilin di samping mangkuk dupa.

Maniak Klenik sepertinya selesai, memandang si lelaki. “Sudah siap? Diam di tengah sana.” Dia menunjuk arah tepat tempat Ex berdiri.

Ex menganggut, agak gugup. Dari awal tubuhnya tak bisa tenang, terus gemetar. Sementara itu, wakil ketua dan laki-laki cungkring hanya senyap menyaksikan.

Selagi belum dimulai, akhrinya wakil ketua bersoal, “Hei, kita itu sebenarnya mau melakukan apa?”

“Memanggil arwah.”

Karena merasa tak cukup dengan jawaban terlalu singkat tersebut, si penanya memandang lama guna menuntut penjelasan lebih lanjut. Bahkan laki-laki cungkring turut mendesak secara verbal.

Maniak Klenik akhirnya buka mulut. “Ye dan Zet adalah orang yang paling dekat dengan Ex, si perantara, kita akan coba memanggil mereka. Informasi yang dibutuhkan adalah nama lengkap, tanggal lahir, tanggal kematian, dan lain-lain yang dianggap perlu. Ketika berhasil dipanggil, Ex sebagai perantara akan berkomunikasi dengan mereka, meminta tolong untuk membantu memecahkan situasi genting ini. Siapa tau mereka mengetahui jawabannya dari kejadian aneh yang dialami sebelum kematian, atau di alam kematian sana.”

Penjelasan panjang lebar tersebut mengundang persoalan lain. “Apa kita bisa mendengar arwah berbicara juga?”

“Tidak. Perantara akan mengajukan beberapa pertanyaan, dan arwah yang dipanggil akan menjawab melalui gestur, atau menggerakkan benda, atau lainnya.”

Wakil ketua dan laki-laki cungkring merespons untuk menyampaikan bahwa mereka paham. Setelah itu, wakil ketua menempelkan jemari ke dagu, berpikir keras. Laki-laki cungkring melamun. Menampak maklum kedua temannya, Maniak Klenik menentang Ex. 

“Bagaimana? Kau sudah siap, Ex?” tanyanya.

Kedua teman tadi pun tersadar, kembali menyaksikan. Ex tampak ragu-ragu, berbagai kekalutan memenuhi benaknya.

“Tunggu dulu! Ka--kalau misal arwahnya dikendalikan santet online buat bohong ke kalian, gimana?” Ex berlagak ganjil seraya memasang wajah kikuk.

Wakil ketua gemas. “Kenapa kamu ini malah khawatir soal itu?!”

“Tenang saja, sekali metode pemanggilan arwah ini dijalankan, arwah hanya bisa berkata jujur sesuai dengan kenyataan yang ada,” tutur Maniak Klenik.

Ex rada-rada tenang, walau sebenarnya dia nyata tegang. Lelaki berjaket itu tak siap untuk melakukan pemanggilan arwah. Namun, Maniak Klenik sudah menuliskan berbagai informasi pada secarik kertas khusus menggunakan pena kaligrafi, kemudian merapal mantra yang tak diketahui jelasnya apa.

“Ex, tolong kembalikan kejayaan kelas kita seperti dulu lagi. Beri kami perintah mutlak yang dapat memajukan kelas kita,” kemamnya.

Seketika, suasana Lab makin temaram, mendekati gelap gulita. Bahkan, terbilang hitam pekat. Ex tak bisa melihat apa-apa selain penerangan dari sepasang lilin, juga wajah Maniak Klenik yang begitu serius, menghayati rapalannya tak goyah.

Dua orang di belakang Maniak Klenik bergidik, lantas Ex berbalik, segera membeliakkan mata kala menangkap semacam asap kebiruan yang menyala. Asap tersebut seolah dikreasi dengan mengumpulkan udara sekitar, terus mengepul hingga mampu termanifestasi merupa dua sosok manusia yang familier, berwarna biru gelap pekat. Tinggi kedua sosok itu hampir mirip Ex, dari fisik yang terbentuk diketahui bergender laki-laki, berambut pendek, anehnya masih berseragam dan bersepatu, serta terlihat bergeming kebingungan.

Ex mengenalinya. Mereka kawan terbaiknya. “Ye? Zet?”

Lelaki itu tak percaya atas apa yang dilihat. Namun, ketika menyadari apa wujud sejati dari entitas yang dihadapnya, Ex perlahan membisu, dengan tetap menatap kedua sosok cahaya kebiruan tersebut.

Wakil ketua beserta laki-laki cungkring tergemap, sementara Maniak Klenik bersikap tenang. “Ex, ajukan pertanyaanmu,” suruhnya, setengah berbisik.

Menunduk dan agak sungkan, Ex pun membuka obrolan. “Hai, Ye, Zet …. Maaf tidak bisa menyelamatkan kalian.” Dua sosok di depan menoleh, tetapi masih bergeming. “Kalian berdua sudah mati, tau, kan?” Mereka lalu terlihat terkejut panik. “Enggak apa-apa, aku mau minta maaf ke kalian.”

Maniak Klenik jadi tak sabar. “Ex, segera ajukan pertanyaan! Waktu kita tak banyak!”

Ex tebal telinga, gelagatnya terasa aneh. Apa yang dia ucap terdengar ganjil, apa yang dia lakukan terlihat tak beres. Entah? Seperti ada sesuatu yang merasukinya.

Lelaki berjaket itu memeluk tubuh, lalu menggigil sebentar. Berikutnya, dia mengangkat wajah, tersenyum dengan mata beriris hitam nan mengilat.

“Anu, sebenarnya aku mau mengakui sesuatu. Aku sengaja membiarkan kalian, Ye dan Zet, mati, karena disuruh Andi.”

Baik Maniak Klenik, wakil ketua, maupun laki-laki cungkring tercengang. Kedua arwah pun menggeliat gelisah seolah ikut tak percaya.

“Aku juga tau kalau teman-teman kelas VIII-E bakal mati.”

Tiga teman di Lab menjadi marah, tak maksud dengan ucapan Ex. Namun, lelaki itu terdengar berkata dengan sungguh-sungguh. Diperkuat dengan gesturnya yang terlihat samar dari posisinya nan membelakangi.

Ex lanjut berbicara, “Hah? Kok aku bisa tau? Ya, karena sehabis mengirim santet online pas di Lab itu, Andi mendatangiku di alam mimpi, lalu memberi tahu soal kematian teman-teman gara-gara santet online.” Keluar gelak tawa nan ngeri lagi puas. “Lucu, gak sih? Jadinya kayak aku kirim permintaan santet online pakai atas nama VIII-E, supaya bikin mereka semua mati, kan?”

Lelaki berjaket itu terbahak-bahak, mengakak sepuasnya sampai menggema ke penjuru ruangan Lab. Kedua arwah meronta-ronta, berteriak tanpa suara, terlihat kesakitan. Ketiga remaja tak terima, naik pitam sehingga ekspresi mereka diliputi amarah.  

“Ex!!!” jerit laki-laki cungkring.

“Ex, benarkah itu?!” Wakil ketua memelotot.

Maniak Klenik dipenuhi peluh, napasnya tersengal-sengal mencoba mencerna keadaan. “Kedua arwah terlihat ketakutan … berarti yang dikatakan Ex itu benar!”

Api lilin padam, dupa terbakar habis. Ritual pemanggilan arwah telah selesai. Dua sosok cahaya kebiruan mulai memudar, balik menjadi asap, kemudian lenyap dalam sekejap. Suasana Lab agak terang kembali.

Ex pun tersadar, sedikit linglung memperhatikan sekeliling. Ketika benak sudah insaf, lelaki itu langsung bergidik ngeri. Dia tahu betul apa yang baru saja terjadi. Ex membungkam mulut, kedua manik matanya gemetar serta pupil menyempit. Napasnya memburu hebat, keringat bercucuran membasahi kepala serta pakaian.

Di belakangnya, tiga orang remaja memandang murka bagai siap memangsa Ex.

“Ex, kau pembunuh!”

Ex bergegas berlari menuju pintu, tetapi laki-laki cungkring menerjangnya, membuat mereka berdua jatuh ke lantai. Lengan Ex dicekal, tetapi dia berhasil menendang perut laki-laki cungkring. Ex hendak berdiri, kemudian wakil ketua datang berlari dan menindih tubuhnya. Ex meronta, si wakil ketua mencekik lehernya. Ex menampar wajah penyerang, membuat kacamata terlepas. Namun, wakil ketua tak peduli, justru makin kuat mencengkam.

Panik, Ex mencoba meraih benda di saku penyerang. Wakil ketua memberi tatapan horor, lalu Ex mengunjukkan botol antiseptik, langsung disemprotkan tepat mengenai mukanya. Wakil ketua meremas kedua mata, mengerang kesakitan.

Memanfaatkan kesempatan ini, Ex bangkit lalu segera berlari keluar, kemudian menutup pintu. Ingin dia memasang gembok, tetapi laki-laki cungkring sudah mendobrak daun hingga remuk. “Ex, mau lari ke mana kau!” teriaknya dari dalam.

Ex terbirit-birit melalui lorong gelap, tak mengacuhkan daun pintu hancur terbang keluar. Tiga remaja berhamburan memburunya, dengan wajah ngeri terutama wakil ketua yang bermata merah. Ex berbelok ke kanan, menghilang di balik tembok. Para pengejar semakin kencang melelah, membuat Ex kewalahan berlari.

“Ex, segera minta maaf ke semua orang! Minta maaf ke Andi!” pekik mereke bersamaan.

“Tidak mungkin! Andi sudah--" 

Melihat tong hijau dan kuning di samping kanan, Ex meraih lalu menariknya. Tong pun terbalik, memuntahkan isi, menyebabkan ketiga pengejar terhambat. Ex berseru di tengah ketegangan, kini mengambil rute menuju tempat pembuangan sampah. Kala dia mendongak, tersadarlah langit amat gelap, dipenuhi awan-awan hitam.

Hidung Ex mencium bau sesuatu nan menusuk. Ketika menoleh ke bak sampah, langsung terperanjat dia. “Ines … !” Jasad seorang remaja perempuan berjaket biru kelabu terbaring di atas tumpukan, bersimbah darah. Perutnya terburai menampakkan usus serta organ dalam, lehernya patah juga terkoyak, terus mengalirkan cairan merah.

Ex lantas berlari meninggalkan tempat itu, meracau, “Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin!”

Melewati kolam dekat taman, sebuah pemandangan membuat lelaki berjaket itu terhenti. Jasad perempuan berbando terpotong-potong, terapung tenggelam dibawa riak di kolam berair merah, sesekali ikan-ikan menggigiti dagingnya.

“Kiky!”

Ex tak kuasa menyaksikan, lanjut berlari lagi tak karuan, pontang-panting menyusuri lorong sekolah.

“Tidak ….” Erangannya dipenuhi kekalutan. “Ah, tidak! Tidak! Tidak! Oh … tidak! Kenapa? Kenapa Hasni juga!”

Langkah lelaki itu beradu di depan kelas sendiri, VIII-E, terdapat jasad perempuan berambut sebahu yang berlumuran darah, sebagian daging lengan hilang, leher tercabik-cabik, perut sobek berburai usus serta organ dalam. Di dekatnya ada tulisan "X" yang terlihat dibuat dengan ujung jari.

Ex kembali tunggang-langgang, berjempalitan tak tentu arah. Tahu-tahu, dia sampai di lapangan indoor nan luas. Di seberang, tampak sayup-sayup tiga remaja, dua perempuan serta satu laki-laki, berdiri berdampingan. Mereka ialah Maniak Klenik, wakil ketua, juga laki-laki cungkring.

Ex tertawa pasrah menyaksikan penampilan teman-temannya yang awut-awutan, lalu menjerit frustasi. “Kakuati … !”  

“Ex, mati!!!”  Ketiga remaja itu menunjukkan wajah haus darah, berbebar ke arah Ex yang terpaku gemetar.

Tiba-tiba, dari balik gedung terdekat, sebuah bus besar melaju kencang melintasi lapangan, menabrak tubuh mereka sampai terpental. Bus kemudian hilang di gedung seberang. Berikutnya, truk beroda delapan pasang meluncur, melindas sebanyak delapan kali badan ketiganya yang terbaring atau tertiarap hingga hancur lebur. Tubuh mereka berceceran, lengan remuk, tulang hancur, daging merah berhamburan.

Ex menonton pemandangan tersebut tanpa bisa berkutik. Mematung dengan mata terbelalak, manik mata gemetar, bibir mengigil, gigi bergemeletuk, tak berbuat apa-apa. kaki yang tidak kuat pun melemas, membuat Ex berlutut. Lelaki itu merintih, mengerang putus asa. Air mata mengalir seketika, diikuti ingus yang meleleh dari hidung.

Ex kemudian tergelak sembari memukul-mukul tanah frustasi, menyerah kepada keadaan.

###

28 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top