Eks-7. THE END

Catatan: beberapa kata di paragraf awal menggunakan bahasa arkais, yang mungkin baru pertama kali kalian dengar. Saya usahakan mudah dipahami, sila cek KBBI untuk mengetahui arti pasti lebih lanjut.

###

Pada akhir pentas drama, lampu panggung menyorot satu tokoh utama yang bertelut terpuruk di sentral arena.

Meski alas kaki memijak bentala, Eks serasa terlempar ke dunia antah-berantah tanpa intensi. Suatu vista yang tak ubahnya alam merayan, termanifestasi merupa makhluk-makhluk awawujud. Gergasi nang mempunyai kepak tak berbentuk, hewan berjasad melata,  insek-insek raksasa. Termasuk pohon nan mengigal seraya sulur-sulurnya memakan manusia. Kosmos memanggil katastrofe. Dirgantara terbelah, pertiwi berguncang, bayu mengamuk, ancala melilah, bengawan menjelma bah. Hancur sudah jagat buana.

Mayapada telah membawa satu manusia berdiri di tanah ini. Manusia belia, rapuh tak berdaya, belum mafhum isi lagi rahasia dunia. Telah terpilih dari sekian miliar anasir lainnya, manusia daif yang memegang simbol pembeda “Eks”. Berbaju lusuh, kumuh, koyak-moyak. Beriras kuyu, layu, pucat pasi. Insan istimewa yang berhasil selamat dari bencana.

Eks terpaksa stop di sini, sebab rat membatasi imaji fantasi. Malam sudah merangkak nyata. Langkah remaja laki-laki itu terhenti di jalan beraspal depan gerbang SMP Piji, yang dikelilingi oleh hutan serta sawah lebat. Terdapat selokan besar pula. Menyapu sekitar enggan, masuklah salah satu ingatan, berkilas balik bahwa tangannya yang mengepal buku tengah melemparnya ke sungai lalu hilang dibawa arus deras.

Eks separuh sadar, berantara paham dan tak paham, tentang di mana ini, jam berapa ini, apa yang terjadi, dan bagaimana dia bisa ada di sini. Jika memang apa-apa yang diingatnya nyata, serta eksistensinya di sini memiliki arti tertentu, dengan senang hati dia akan bekerja sama terhadap ketentuan takdir.

Akan tetapi, “Takdir telah mempermainkanku ….”

Eks meracau, melangsungkan kial laksana menuntut banyak hal. Gestur lengan nan mengayun tegas, tetapi lemah, ke arah bertentangan.

“Kenapa semua kemalangan ini bisa terjadi? Siapa yang seenaknya menulis ketetapan penuh tragedi ini? Kenapa harus aku yang mengalami semuanya, sendirian? Padahal aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk selamat dari roda permainan, tetapi apa hasil yang kudapat? Kenapa semua orang mati? Kenapa bisa ada dosa? Kenapa bisa ada hukuman?”

Laki-laki itu bagaikan ditelan kegelapan pelita malam, teramat pekat, tampak seolah siluet hitam yang menari-nari di bawah naungan langit kelam.

“Ini semua salah Andi! Dia yang menyebabkan semua ini, dengan memanfaatkan kecerobohanku dalam mengatur dan mengendalikan Geng Eks! Dia sengaja membiarkanku menggunakan santet online yang nista itu untuk menyantetnya, lalu menyeret semua kawan kelas VIII-E di atas genggamannya, memaksa mereka semua membayar harga nyawa manusia! Ya! Ini semua salah Andi! Dia memanipulasi kami semua selama ini!”

Berkontestasi dengan takdir pun, tak akan memecahkan masalah. Sebab, Eks sudah di ambang kewarasannya dalam menghadapi kehidupan duniawi.

“Kenapa … ? Kenapa hanya aku yang masih dibiarkan hidup? Kenapa aku tidak mati saja? Kenapa?”

Pemandangan beralih gelap, saklar hidup terbelokkan. Kesunyian merajalela, tak membiarkan satu pun makhluk hidup lain bersuara. Halimun ilam-ilam mengepung dari berbagai penjuru, kemudian melahap jasad si remaja lelaki. teradar, berikutnya terlihat angkasa berubah semerah darah pekat. Jalan beraspal berona biru gelap, bangunan sekolah tampak berwarna campuran hijau, kuning, dan ungu.

Di hadapan Eks, berdiri remaja sebaya berkacamata yang tersenyum seraya memicing. Andi. Laki-laki itu memberi tatapan mengejek, menyembunyikan kedua lengan di balik punggung. Seakan-akan, dia membawa kabar bahwa akan segera dimulai sesuatu nan meriah.

Eks tersenyum pasrah. Mukanya memucat. “Hore, akhirnya hukuman pun tiba …,” ucapnya, lemas.

Bumi pula langit menggelegar.

Kemudian, kembali senyap.

Jalan aspal tempat berpijak menjelma lumpur darah nan gembur, membuat sepatu hitam hampir tenggelam separuh. Eks menjelang sekali lagi orang yang ada di depannya. Andi duduk di atas kursi sekolah.

Kini, dari dalam lumpur darah, dua remaja laki-laki lain mencongol sembari menyeringai, duduk di kursi. Ye dan Zet. Berikutnya, tiga perempuan nan terkesan akrab terangkat keluar dari lumpur, duduk di kursi. Hasni, Ines, serta Kiky. Setelahnya, timbul delapan taruna yang mengenakan berbagai pakaian olahraga bidang berlainan, duduk di kursi. Lalu, bertambah perempuan bertubuh besar bersama laki-laki berjubah, duduk di kursi. Menyusul satu demi satu remaja berseragam sekolah, menyembul dari balik lumpur, terus bermunculan sampai berjumlah puluhan, semua duduk di kursi. 

Eks membelalakkan mata, tak percaya menyaksikan puluhan remaja duduk di hadapannya, membentuk barisan seperti ada di kelas--bedanya di sini di luar kelas. Mereka sekalian ialah siswa kelas VIII-E, komplet berjumlah tiga puluh dua orang.

“Tu--tunggu, kenapa kalian semua ada di sini?” sergah Eks, setengah berteriak.  

Serentak, semua mulut remaja di hadap membuka.

“Kami juga salah, Eks, biarkan kami mendapatkan hukumannya juga ….”

“Kami juga salah, Eks, biarkan kami mendapatkan hukumannya juga ….”

“Kami juga salah, Eks, biarkan kami mendapatkan hukumannya juga ….”

Eks terperanjat, lalu menunjuk diri sendiri dengan telapak kanan seraya berseru, “Aku tak ingin menyalahkan kalian dan membawa-bawa kalian ke sini! Aku maunya aku sendiri yang dihukum karena sudah menyantet Andi dan menyeret kalian semua ke tragedi ini!”

Para remaja kelas menunduk dan segera menyahut.

“Kami tidak ingin kamu kesusahan, Eks, berikan kami bagian hukumannya juga ….”

“Tidak! Tidak! Tidak! Pergi kalian! Enyah dari sini! Lenyap dari hadapanku!”

Eks meremas pelipisnya, melaung kuat-kuat. Berikutnya, mendongak dan menjerit ketakutan. Kelopak mata terbeliak, pupil menyempit. Mulut menganga seraya meneteskan air liur. Wajah jadi merah padam. Habis suara teriakan, napasnya terengah-engah, muka diliputi nanar.

“Eks, Eks! Eks! Eks, Eks, Eks! Eks! Eks! Eks! Eks! Eks! Eks! Eks! Eks! Eks!”

Pagi pun terbit. Para warga berkerumun di selokan dekat SMP Piji. Saluran air tersebut mempunyai kedalaman sekitar satu meter dan lebar sekitar satu meter pula. Mereka menemukan sesosok mayat pelajar sekolah, bergender laki-laki serta masih mengenakan seragam. Pada bordir nama di dada kanan, tertera “Eks”. 

Keadaannya cukup tragis sampai-sampai sulit untuk mengenali. Fisik beralih rupa jadi sesuatu nan baru dilihat. Wajah menunjukkan ekspresi ganjil yang tak pantas disebut kedamaian. Posisi tangan juga kaki yang tak pada tempatnya. Juga darah yang bersimbah melimpah dalam jumlah tak wajar.

Menindaklanjuti hal ini, tiga langkah diajukan.

Tawa. Mereka merubung jasadnya yang mengenaskan.

Tangis. Mereka mendoakan tubuhnya yang terbalut kain.

Gelak. Mereka mengubur peti matinya ke dalam liang lahat.

Riwayat Eks berakhir di sini.

***

Udara eksterior mengembus masuk salah satu ruangan bersih kala daun pintu menyelak. Seorang remaja laki-laki yang berselonjor di atas kasur ranjang menengok terkejut, lantas mengambil kacamata di atas nakas dan memakainya. Selang infus terhubung dari kantung cairan ke lengan kiri. Sejumlah pita kasa tampak membarut di beberapa bagian tubuh terutama kepala si remaja berpakaian biru langit.

“Selamat pagi.” Suara nan khas menyapa. Si remaja yang dipanggil dengan nama Andi meninjau pemuda yang menjenguknya. Dari penampilan, terlihat begitu formal, usianya sekitar seperempat abad. Barangkali pemuda itu berasal dari instansi tertentu. “Benar dengan Saudara Andi?”

Andi menganggut. Si pemuda detektif mendorong kursi di sebelah remaja, kemudian duduk menghadap.

“Saya adalah Detektif Swasta. Saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepada Dik Andi. Adik keberatan?”

Andi menggeleng. Sekali lagi, dia memperhatikan pemuda tersebut. Mempunyai wajah rupawan, rambut hitam legam, serta tatapan mata tajam--yakin sekali Andi, si pemuda pasti populer di kalangan wanita--selain itu, senyum nan diukir acap kali mengandung teka-teki. Si pemuda pula tersirat hati-hati dalam mengucap setiap kata-kata. 

Lawan bicara menyiapkan buku saku juga pulpen. “Baik, kalau begitu, langsung saja. Berita yang menyatakan bahwa Andi, berarti Adik sendiri, itu mati adalah bohong belaka. Fakta bahwa Adik masih hidup itu ditutup-tutupi. Sementara Adik dirawat di rumah sakit ini, kematian Adik dipalsukan dari media massa selama beberapa bulan.”

Andi mengangguk.

Si pemuda detektif mendongak. “Mengapa?”

Andi berdeham dan menghela napas. “Sebagai bentuk perlindungan dari perundungan di sekolah, dan permintaan khusus dari saya pribadi agar terlindungi dari sejumlah marabahaya.”

Pemuda detektif itu pura-pura bingung. “Perundungan? Marabahaya?”

“Iya, saya merupakan korban perundungan di sekolah. Jika orang-orang di kelas tahu saya masih hidup, mungkin mereka akan menjenguk saya lalu menyiksa saya di kamar ini. Saya takut saya akan menjadi korban perundungan lagi, jadi saya meminta untuk memalsukan kematian saya.”

Si pemuda detektif membisu, menutup buku sakunya. Dia memperbaiki posisi duduk, kemudian tampak berpikir keras. Selepas beberapa puluh detik berlalu, dia kembali berbicara.

“Ini akan melibatkan permasalahan hukum yang rumit. Kami akan meminta keterangan dari wali Adik. Baiklah, mari menuju pertanyaan utama.”

Entah mengapa, pemuda detektif menyeringai dan menatap intens, tetapi tak langsung ditunjukkan kepada Andi. Dia duduk rileks, lalu menautkan jari-jari, memandang lekat si remaja berkacamata.

“Selama dua minggu ini, terjadi rentetan kematian misterius yang merenggut nyawa banyak pelajar SMP, yang setelah ditelusuri lagi ternyata semuanya merupakan siswa kelas VIII-E SMP Piji. Dengan kata lain, teman sekelas Adik. Rumor yang beredar mengatakan bahwa kasus ini ada kaitannya dengan santet online yang sedang tren dan harga yang harus dibayar.”

Melihat ekspresi enigma si detektif, Andi meneguk ludah, wajahnya sedikit gamang. Mengepal tangan, dia pun memberanikan diri membalas tatapan lawan bicara.

"Bisakah Anda memberikan kesaksian, Andi?"

Andi membenarkan posisi bingkai kacamata. "Baiklah, saya akan menceritakan apa saja yang saya ketahui."

###

25 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top