Eks-4. SENTIENT MUTILATION
SENTIENT MUTILATION
Situasi malam hari nan ramai di dalam mal kota. Beberapa orang yang butuh hiburan memilih menuju bagian permainan. Eks berdiri di depan sebuah mesin dengan cakram besar menyala. Dia mendengkus, ditertawai oleh hasil nan mengeluarkan suara ejekan. Sayang sekali laki-laki berseragam putih biru itu tidak mendapatkan langkah baik dalam permainan roda beruntung. Ketika cakra bertulis angka-angka berhenti, panah menunjuk nilai nol, yang artinya dia tak mendapat satu pun tiket hadiah.
Si lelaki mengecek benda dalam genggaman telapak kanan. Tinggal satu koin. Dia merutuk, berharap kans terakhir ini dapat membawanya kepada Dewi Fortuna. Kala Eks hampir memasukkan uang logam ke lubang pipih, tiba-tiba keluar sebuah surat dari mesin roda beruntung. Mata beriris hitam laki-laki itu mengerjap. Penasaran, kertas akhirnya diambil. Terdapat gambar bulan penuh di atas, dan takarir di bawah. Eks pun membaca dengan saksama.
“Waktu yang tepat untuk mendapatkan daya alam ialah saat terjadinya bulan purnama. Bulan purnama merupakan simbol bagi hal-hal supernatural dalam memperoleh tenaga penuh. Manusia serigala, vampir, dan penyihir hitam membutuhkan bulan purnama untuk menyempurnakan kekuatan mereka”
Aroma bulan penuh menyeruak memenuhi permukaan daratan, memberi semangat kepada siapa saja yang menginginkan kekuatannya. Sekelebat bayangan berupa persona hitam berlarian dari satu atap ke atap bangunan perumahan, begitu lincah memelesat tanpa hambatan. Dari belakang, menyusul satu bayang-bayang lagi nan besar, terbang meloncati atap demi atap dengan sangat cepat. Dua sosok tak dikenal tersebut berlompatan, berkeliaran ke sana kemari di bawah terpaan sinar rembulan.
Orang dan bukan orang ketakutan, teror malam biru menghantui permukiman. Dari balik gang-gang gelap, sejumlah taruna dengan berbagai properti menunjukkan jati diri. Memberi sinyal, para remaja itu maju guna menindaki ketidaktenangan. Terdiri atas tiga perempuan dan lima laki-laki, memiliki stamina pula tenaga yang tinggi, hebat dalam fisik lagi motorik. Mereka ialah Pebulu Tangkis, Pemanah, Pelempar Lembing, Penolak Peluru, Pelari, Pelompat Tinggi, Pesilat, serta Karateka.
Pebulu Tangkis memberikan smes terus-menerus yang memelesatkan kok tepat melanggar kedua bayangan sekelebat. Pemanah melating anak-anak panah tanpa henti menyambar musuh. Pelempar Lembing meluncurkan tongkat berujung logam tajam yang presisi menerjang lawan. Penolak Peluru melontar bola-bola peluru lekas menghantam para bayang-bayang.
Pelari beraksi, tungkai rampingnya lekas mengejar dua bayangan dengan kecepatan yang hampir menyaingi citah. Pelompat Tinggi menjangkah rintangan demi rintangan, melelah lewat jalur atap ke atap. Dua remaja tersebut sukses mengadang bayangan di atas genting suatu rumah besar, tak melalukan jalan kabur. Bersamaan dengan itu, mereka memberikan ruang bagi Pesilat dan Karateka guna melawan. Petarung jarak dekat berhadapan langsung, dengan cepat lagi kuat memukul, menendang, menyerang, menyergap.
Dari bawah, sejumlah orang melihat para remaja beradu menentang dua bayang-bayang. Ada anak perempuan kecil yang digandeng oleh seorang pemuda jangkung.
“Mereka mulai mengejar pengantar …,” gumam si anak perempuan.
Si pemuda menoleh, bertanya, “Pengantar?”
Namun, tak ada jawaban. Si anak malah terus-menerus kemam.
“Padahal pengantarnya tidak ada …. Tapi, mereka tetap mengejarnya …. Mereka tetap mengejarnya .…”
Apa yang para taruna lawan telah lenyap, padahal saat ini masih terlihat di situ. Apa yang delapan remaja serang sudah muncul, sedangkan sebelumnya belum ada di situ. Apa yang mereka hadapi mudah dikalahkan, tetapi diserang pun tak memberi efek apa-apa.
“Padahal pengantarnya tidak ada ….” Para spektator diam menyaksikan.
Dua bayangan berhasil melarikan diri, kedelapan taruna lantas memburu. Aksi kejar-kejaran melewati atap bangunan dimulai lagi. Sepasang kelebatan yang selalu diserang para remaja bersenjata. Orang-orang yang kebetulan berada di dekat tak sengaja menjadi penonton pertarungan yang tak berarti. Kelebatan berlari dari perumahan, desa, fasilitas umum, bahkan hingga tengah kota. Saksi mata tak segera dibuat penasaran karena mereka menganggap itu hanyalah khayalan belaka.
Selepas sampai di atap suatu sekolah nan familier, para remaja berpijak pada pohon-pohon tinggi terdekat. Dua bayangan hilang, mereka pun berpencar. Cerai-berai mendatangkan kebingungan, kebingungan membawa huru-hara, huru-hara menciptakan bunuh-membunuh.
Setelah berpisah sehingga perburuan menjadi individual, tiap-tiap taruna dihadapkan pada permasalahan besar. Kesendirian, yang menelan siapa saja. Yang mampu menciptakan ilusi dunia fantasi.
Pebulu Tangkis memukul kok demi kok ke sebarang arah. Pemanah melepaskan anak-anak panah ke udara kosong. Pelempar Lembing melontar menerus tongkat ke angkasa terang. Penolak Peluru berputar mencampakkan bola ke kejauhan. Pelari mengejar objek tak diketahui sekencang-kencangnya. Pelompat Tinggi meloncati platform per platform guna menyusul sesuatu nan terbang. Karateka bertarung langsung dengan refleksi figur hitam pekat.
Saat mengawasi sekitar guna membaca situasi, Pesilat menangkap dwibayangan berdiri di dekat, ditemani angin malam. Satu ialah sosok persona mirip remaja nan kurus, mengenakan jubah gelap, dan berkacamata. “Andi?” soalnya, tetapi tak segera direspons. Pebulu Tangkis memicing bayangan satunya, yang bertubuh sangat besar, tinggi sekitar dua meter, serta membawa sebilah sabit bergagang. “Siapa kamu?”
Baru setelah beberapa detik berlalu, sosok persona remaja kurus menjawab, “Kami berdua adalah Pengantar. Aku adalah Andi yang bangkit dari kematian, sedangkan dia adalah malaikat maut yang mencabut nyawa teman-teman kalian satu per satu.”
Pesilat menyergah, meluapkan amarah nan teramat dalam, “Aku dan rekan-rekanku yang jago olahraga sudah menduga bahwa kalian itu penyebab dari kematian teman-teman kami! Kalian pasti berhubungan dengan bayaran santet online itu! Sudah seminggu yang lalu kami curiga, dan akhirnya hari ini kami bisa mengejar kalian, untuk mencegah kalian berbuat yang seenaknya lagi!”
“Kami adalah Pengantar. Kami berdua hanya menjalankan tugas kami.” Kedua bayangan pun menyingsing, sirna dimakan bulan purnama terang.
Pesilat sangat geram, memanggil rekan-rekannya, mengejar kedua bayangan bagai kesetanan. Namun, dia tak menemukan apa-apa selain pepohonan dan atap bangunan sekolah.
“Kembali kemari, dasar pengecut! Kami akan mengalahkan kalian! Kami akan menyelamatkan teman-teman kami! Diantoki! Cepat kembali ke sini dan bertarunglah!”
“Kami tidak akan bertarung, karena itu bukan tugas kami. Ngomong-ngomong, alasan kami muncul di hadapan kalian adalah karena Malaikat Maut akan segera mencabut nyawa kalian berdelapan.”
Mendapat sahutan yang memasuki benaknya, Pesilat berhenti berlari, menggertakkan gigi. Mukanya merah padam, manik mata mengilat, hidung berkedut. Tangan kanannya mengepal kuat hingga muncul urat, kemudian memukul keras-keras batang pohon di samping. “Diantoki!!!”
Di tempat lain, Pebulu Tangkis mendapat serangan balik, puluhan bahkan ratusan kok memberondongnya secepat kilat. Melaju tinggi, menyebabkan bagian-bagian tubuh Pebulu Tangkis berlubang-lubang, beberapa kok menancap di badan, lengannya remuk lalu putus, paha sobek dan tergerogoti. Wajah serta kulit kepalanya sobek-sobek, bola mata copot, lidah juga daun telinga terpotong, ubun-ubun bolong. Pakaian berikut dada terkuliti, perut terkoyak, punggung dikerik. Cairan merah berhamburan ke udara, diserta ceceran daging serta otak merah muda, disusul jeroan yang terburai kemudian jatuh, pula usus panjang nan bergelayut.
Sementara itu, Pemanah dicecar oleh beratus-ratus anak panah yang terpelesat dari segala penjuru, menusuk dan menembus tiap-tiap anggota badannya, merobek pakaiannya, menikam kulitnya. Pemanah menari-nari tak beraturan dihantam anak panah cepat tanpa henti, berputar-putar, menjerit kesakitan. Memuntahkan darah, mengucurkan darah, bermandikan darah. Cacahan daging serta organ ikut beterbangan.
Pelempar Lembing mendongak, terperanjat kala limpahan tombak lembing menghujaninya tanpa putus, berlanjut terus hingga tubuhnya dicabik-cabik sampai tak berupa wajar. Di lain sisi, Penolak Peluru merasakan bahaya datang dengan laju. Benar saja, bola peluru berjumlah banyak sekali dilempar berkali-kali menghantam jasadnya, awalnya kecepatan normal, menyebabkan babak belur, kemudian menjadi cepat sekali hingga membuat lubang menganga pada perut juga kepala, menyobek-nyobek daging lengan serta tungkai.
Pelari tersandung dan terjungkal, berguling-guling menuruni bukit terjal sampai tubuhnya terpotong-potong, tangannya lepas, kaki terpenggal, perut lagi dada terkoyak, kepala hancur, daging berceceran. Sementara itu, Pelompat Jauh jatuh dari ketinggian, terjun dengan percepatan tinggi hingga mencium daratan, membuat tungkai pula lengan patah memuntir, leher putus tanpa bercerai, tengkorak retak dan otak berhamburan. Genangan darah pun meluas.
Tidak beruntung bagi Karateka, badannya seakan terkena dorongan gaya tak kasatmata, dari berbagai arah menyerang bertubi-tubi, menghasilkan bengkahan tulang rusuk, tulang pipa, tulang punggung. Berikutnya, kepalanya dipuntir berulang-ulang hingga patah dan mengucur darah. Kaki serta tangan berputar ke arah nan salah menghasilkan bunyi retakan. Karateka menjerit sekuat mungkin, kemudian terhenti ketika tubuhnya ambruk.
Pencak Silat membelalakkan mata, mulut menganga, kulitnya memucat. Tak bisa berkutik, sekujur jasad menjadi kaku, lalu jatuh dari atap sebuah mal. “Ini tidak mungkin … siapa yang mengalahkanku … ?” ucapnya terbata-bata.
“Yes! Bingo!”
Eks memekik tertahan, mencoba bertingkah sepatutnya setelah mendapatkan angka tertinggi dalam roda keberuntungan. Lampu menyala terang, suara kemenangan tercipta. Lelaki berseragam itu benar-benar merasa senang.
“Ternyata menjadi remaja biasa dalam sehari itu bisa melepas stres, ya ….” Mengamati tiket yang melimpah keluar dari mesin, Eks bergumam, “Hmph, aku benci pekerjaanku yang merepotkan.”
Sementara di luar, orang-orang berkerumun dan diliputi kepanikan.
***
Siang tadi.
Eks berdiri, berkata kepada seluruh siswa yang berada di kelas. “Teman-teman, demi mencegah kutukan Andi dan santet online, aku ingin kalian bekerja sama denganku--”
Namun, delapan orang remaja ahli olahraga memasuki kelas, menginterupsi. Mendengar permintaan Eks, mereka menolak dengan tegas.
Pesilat bertutur, “Maaf, Ketua Eks, tetapi apa yang kamu lakukan selama seminggu ini justru tidak membuahkan hasil memuaskan. Oleh karena itu, kami, sebagai pasukan khusus kelas VIII-E, akan menyelamatkan teman-teman dari bayaran santet online dengan cara kami sendiri.”
Eks benar-benar kecewa. Baru kali ini ada yang mengingkari permintaannya.
“Jika Ketua Eks mau, kenapa tidak jadi remaja normal saja dalam sehari?” Mereka pun keluar kelas lagi.
Adegan berikutnya, masing-masing jasad kedelapan remaja ditemukan dalam kondisi tragis. Para korban pun dievakuasi menggunakan ambulans.
Di atas atap suatu rumah, berlatar belakang bulan purnama, berdiri seorang remaja laki-laki berkacamata yang mengenakan jubah. Bersama manusia bertubuh besar yang bergender perempuan dan membawa sabit berhulu, mereka berdua mengintai jalannya skenario santet daring.
###
23 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top