BAB 5 : ROOMS

    "Kau selanjutnya, Pete."

    Peter menoleh saat seseorang menyebut namanya, begitu pula dengan Rey, Leon, dan Pheobe yang berdiri tak jauh dari mereka. Di hadapan mereka berdiri dua sosok laki-laki yang sangat mereka kenal, salah satunya bertubuh gemuk, tidak berubah meski telah berlalu selama lima belas tahun. Peter tidak menunjukkan wajah takut, ia bahkan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. 

    "Kukira kau sudah mati membusuk setelah pergi dari XHO."

    Kemudian mereka berdua tertawa.  Rey mengerutkan kening. Ya, ia sangat mengingat dua laki-laki ini, tiga seharusnya, jika ingatannya tidak salaha.

    "Oh, tunggu … siapa lagi di sini kalau bukan Brutush dan Jack. Hmm … sepertinya kalian tidak lengkap. Di mana Leck jika boleh kutahu? Apa dia mati membusuk?" tanya Rey dengan nadanya yang polos, namun tajam. Tatapan matanya seakan menusuk ke jantung kedua laki-laki yang telah mengusik sang suami.

    "Kau juga, di mana temanmu yang satu itu?" Leck masih berani menunjukkan taringnya.

    "Itu bukan urusanmu, Tuan," desis Leon.

    Brutush tertawa. "Apa-apan ini? Kau berlindung di balik para perempuan? Apa harga dirimu telah hilang?"

    "Aku …."

    Tangan Rey mengisyaratkan Peter agar suaminya itu hanya diam, sebaliknya Rey yang maju. "Jangan pernah mengusik kami! Jika kau mengabaikanku, aku tak segan-segan menyerangmu. Tanganku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Mengerti?"

    Sayangnya, Rey tak cukup menakutkan untuk membuat Brutush dan Leck mundur. Sebaliknya, mereka malah tertawa.

    "Kau dengar itu, Leck? Perempuan ini mengancam kita! Lima belas tahun lalu kau memilih untuk kabur daripada memburu kami, ingat?"

    Rey menggeram. Ingin rasanya ia menampar laki-laki di hadapannya ini. Namun, ia menahan diri, ia tidak ingin menimbulkan perkelahian. Baginya, sudah cukup masa-masa di XHO ia habiskan untuk membunuh orang. Tanpa diduga, Pheobe maju dan melayangkan tamparannya pada pipi Brutush. 

    "Jika saja Zueve masih ada di sini, sudah bisa dipastikan nyawa kalian terpisah dari tubuh! Bersyukur ini hanya aku, dan tanganku yang menampar pipimu." Perempuan berambut merah itu berbalik. "Ayo Rey, sebaiknya kita memilih kamar yang akan kita tempati. Firasatku berkata bahwa ini tidak akan berakhir."

*** 

    "Isi surel itu seratus persen bohong, dan mungkin surel pertama yang kau dapat juga sama."

    Kazuki diam saat Andrew berbicara sedikit menggumam. 

    Kali ini mereka ada di dalam lift, setelah lantai sembilan mereka turun untuk berpindah ke lift khusus yang akan mengantar mereka ke lantai yang lebih tinggi lagi. 

    "Aku belum pernah masuk XHO. Apa gelar terakhirmu saat ada di sini?"

    "Angels Hunter."

    "Wow, aku tidak tahu gelar apa itu, tapi kedengarannya cukup keren!"

    "Itu gelar tertinggi."

    Andrew bersiul. "Bagaimana dengan Azura?"

    Kazuki terdiam sesaat. "Angels Hunter."

    "Wow! Dia sehebat itu?"

    Kazuki tersenyum samar, bahkan Andrew mungkin tidak menyadarinya. "Dia memiliki kemampuan dalam hal itu, lebih dari apa yang bisa kau bayangkan."

    "Hei, menuju lantai berapa kita?"

    "24. Itu tempat di mana Angels Hunter berada."

    Saat mereka tiba di lantai yang dituju, ada sebuah layar dekat lift yang menunjukkan sebuah gambar. Gambar tersebut berisi urutan lantai dan nama di sampingnya, beberapa lanta tertulis nama, tapi ada juga yang masih kosong. Ada dua nama di lantai 24. Kazuki mengerutkan keningnya.

    "Melissa dan Eliza?" tanya Andrew sambil mengerutkan keningnya.

    "Oh Halo."

    Seseorang membuka pintu, perempuan berusia sekitar 53 tahun dengan mata tajam. Ia melipat tangan sembari menyandar pada daun pintu.

    "Oh well, halo. Kita bertemu lagi rupanya, sepertinya kau mendapat undangan misterius itu?"

    "Melissa."

    "Nyonya Melissa, aku dulu pernah menjadi gurumu," tegur Melissa dengan nada yang tak ramah.

 "Kamar ini sudah kutempati, meski sebenarnya aku ingin sendiri, anak nakal itu tetap memaksa untuk tinggal. Kau lihat nama-nama yang ada di samping angka itu?" Melissa menunjuk pada layar yang ada di dekat lift. "Itu artinya kamar telah terisi dan kalian harus mencari kamar lain. Masih ada kamar kosong di lantai 15 hingga 20. Kalian bisa memiliki kamar itu"

"Ayo Andrew, kita pergi."

"Oh dan kau anak baru, aku tidak pernah mengenalmu. Namun, jika kau memang harus berada di sini … kuharap kau bisa bertahan, karena orang-orang yang ada di sekitarmu ini adalah pembunuh bayaran terlatih."

"Terima kasih peringatannya, tapi aku tidak takut. Aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu," ujar Andrew sembari menunjukkan giginya sebelum pintu lift tertutup dan mengantar mereka berdua.

*** 

    Ini adalah hari kedua. Rey tidak bisa tidur semalaman. Setelah peristiwa itu, mereka berempat memilih lantai kamar dan tiba pada lantai 16, tempat di mana para pemilik gelar Junior Thug berada. Ia tidak punya pilihan, lantai lain sudah penuh. 

    Namun, bukan itu yang membuat Rey mengalami insomnia malam itu. Ia hanya berpikir, berapa lama ia akan terjebak di sini bersama Peter dan lainnya? Apa yang akan terjadi ke depannya? Haruskan ia membunuh orang lain lagi? Pertanyaan terakhir tidak pernah ia harapkan. Dulu, ia membunuh mangsanya dengan jarum dan menusuknya pada titik vital. Jadi, ia memutuskan untuk membawa beberapa jarum dengan racun ringan untuk berjaga-jaga saja, sembari berdoa kemampuannya tidak habis terkikis oleh waktu.

    "Kau tidak tidur?" Peter baru bangun dari tidurnya, ia berada di tempat tidur paling pojok bersama dirinya, sedangkan Pheobe dan Leon ada di tempat tidur lain.

    "Ya. Aku memikirkan Elena dan Edelweiss."

    Peter tersenyum,  kemudian memeluk sang istri. "Mereka pasti akan baik-baik saja."

    Rey turut tersenyum, dalam hati ia meminta maaf lantaran telah berbohong pada sang suami, sembari berjanji akan melindungi suaminya ini dari segala hal yang dapat membahayakan mereka.

    Tak lama kemudian, Leon bangun dan meregangkan otot-ototnya.

    "Oh hei kalian berdua! Apa kalian tidak ingin pergi ke lantai lima?"

    Rey mengerutkan kening. "Tempat makan, maksudmu?"

    Leon mengangguk mantap, kemudian menggosok perutnya yang datar. "Aku lapar!"

*** 

    Lantai lima adalah tempat di mana ruang makan para penghuni XHO berada, tidak hanya penghuninya tapi semua orang yang ada di gedung itu bisa ikut menikmati makanan yang tersedia, dulu. 

    Saat ini, fungsinya mungkin berbeda, karena mereka yang menyantap makanan hanya orang-orang yang diundang, sedangkan mereka non-anggota, hanya diam sembari menyiapkan makan mereka. Mereka tidak berbicara dan bekerja seperti robot.

    "Oh kau lagi!"

    Pheobe memutar bola matanya saat mendengar suara tersebut, Rey menarik napas panjang. 

    "Demi Tuhan ini masih pagi, apa yang kalian inginkan?" desis Pheobe.

    "Tidak banyak, hanya nyawanya." Brutush dengan penuh nyali menunjuk tepat di depan hidung Peter. "Keinginanku yang tidak pernah terwujud adalah melihatmu mati, kau tahu?"

    Suara nampan yang dibanting terdengar keras, membuat seisi ruang makan sunyi dan melihat ke arah mereka. Makanan tercecer di kaki Rey sekaligus nampannya. Ia tidak lagi punya nafsu makan karena gangguan kecil di pagi hari.

    "Ada apa? Kau marah?" tanya Brutush dengan senyum liciknya.

    Rey tersenyum, memasang wajah ramah nan polos miliknya, ia maju langkah demi langkah hingga akhirnya tepat di hadapan Brutush. Tidak ada ada yang tahu gerakan tangannya yang cepat hingga tangan itu menyentuh leher Brutush, tepat di titik vital.

    "Peter adalah suamiku, kami sudah hidup dengan damai selama lima belas tahun ini dan sekarang … seseorang ingin membuatku menjadi janda? Tolong, jangan berhayal terlalu tinggi." 

    Kini tangan Rey berpindah dari leher ke pipi Brutush, kemudian ia berjalan mundur. Tak lama kemudian, mata Brutush hilang fokus, sekujur tubuhnya gemetarmerasakan sensasi panas sekaligus dingin di sekujur tubuhnya.

    "Ada apa ini? Apa yang kau lakukan padaku?" tanyanya panik.

    Masih dengan wajah polosnya, kini Rey tersenyum menatap Leck. "Sebaiknya kau antar manusia ini ke ruang kesehatan. Jika aku masih ingat, ruang kesehatan ada di lantai tujuh. Oh, kalau aku jadi kau … aku akan bergegas, karena tidak akan ada yang tahu apa yang nanti akan terjadi."

    Tanpa bicara, Leck membawa Brutush pergi sesuai seperti apa yang dikatakan oleh Rey. Sebaliknya, Brutush masih memaki-maki sembari mengeluarkan sumpah serapah padanya.

    "Peter, istrimu benar-benar menyeramkan," ujar Leon.

    Peter tersenyum. "Aku menyukai sisinya yang ini, meski aku sebenarnya tidak meminta dia melindungiku."

    "Ibu."

    Leon mendengar sayup suara anak perempuan dan pandangannya kini teralihkan dari Rey menuju ke anak perempuan yang duduk sembari menyantap roti lapisnya bersama Santana, ibunya.

    "Semalam aku mendengar suara yang aneh, sangat aneh dan menyeramkan! Aku tidak ingin di sini, aku ingin pulang, Bu."

    Selanjutnya Leon tidak mempedulikan apa yang diucapkan Santana untuk menenangkan putrinya, karena kata-kata itu terus terngiang di benak Leon dan menimbulkan banyak kecurigaan.

    Bukankah anak kecil tidak pernah berbohong?

#wga
#wgaween
#wgaverse

------------

Ini 2 kali lipat lebih banyak dari bab sebelumnya. Kuharap kalian tidak bosan membacanya.

Salam hangat, Nichole A

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top