BAB 26 : CLASSROOM
Jika kemarin Shannon adalah orang yang berduka lantaran kehilangan anggota keluarganya, kini giliran Diana.
Ia masih menangis, bahkan tidak tidur. Mungkin akan seperti itu hingga air matanya benar-benar kering.
Ini hari ke-23 dan orang-orang yang ada di ruang kamar Diana semakin sedikit, terbunuh satu persatu dengan permainan tidak masuk akal perempuan bernama Shika.
Di dalam suasana duka, Shannon berjalan menghampiri Diana kemudian duduk di sebelahnya. Awalnya ia hanya diam, kemudian ia mengintip pada perempuan yang berprofesi sebagai tenaga medis tersebut.
"Aku tahu Nona sedang bersedih."
Kemudian, tanpa disangka-sangka, Shannon memeluknya dari samping, menempelkan kepalanya pada tubuh Diana.
"Aku juga merasakan hal yang sama. Aku juga bersedih. Tempat payah ini telah merenggut ibuku, juga saudaramu. Aku tidak tahu siapa lagi yang akan mati esok hari, tapi … jika Nona sampai kehilangan semangat untuk hidup, mereka yang pergi akan merasa bersalah."
Diana menangis semakin kencang. "Aku … aku bukan menangis karena kehilangan, tapi aku menangis karena di saat itu … aku tidak bisa menyelamatkannya. Kakak macam apa aku ini?"
Seakan merasakan kesedihan Diana, Shannon memeluknya semakin erat.
"Aku yakin Nona Emily tidak akan menyalahkanmu atas hal itu, Nona."
Mereka yang ada di sana, hanya bisa melihat peristiwa pilu antara Diana dan Shannon, menarik napas panjang sembari menahan tangis.
***
Ada sebelas orang yang tersisa saat itu, dua belas jika Shannon masuk dalam hitungan jiwa yang masih bertahan hidup. Di hari ke-24 pagi, mereka mendapat pesan masuk lagi.
'Datanglah ke lantai sembilan dan temukan kejutan di sana.'
Nathan membanting ponselnya ke atas tempat tidur, kemudian memijat pangkal hidungnya.
"Apa lagi yang diinginkan perawan tua itu?" geram Nathan.
Kazuki pun merasa kesal dengan perbuatan bibi angkatnya. Perempuan pengecut itu seakan ingin mempermainkan kehidupan orang lain yang pernah terlibat dengannya.
"Apa tujuan Shikako sebenarnya? Jika ia memang masih ingin mengincar harta Fujiwara, harta itu telah jatuh ke keluarga Sanford, seharusnya dia mengincar kami, bukan?"
"Tidak, Andrew. Jika seseorang ingin dibunuhnya, sudah pasti aku, karena aku satu-satunya anak Mitsuga Fujiwara yang masih hidup."
"Maaf, anak angkat lebih tepatnya, itu pun kau sudah melepas status itu setelah kematian Azura."
"Berbicara tentang Azura, hal lain yang kubenci saat ini adalah … ia mengambil mayat Azura dan memanfaatkannya. Itu menjengkelkan!"
"Apa ada cara lain untuk membuat Azura ada di pihak kita?"
"Ya, kau harus menjadi necromencer," ujar Kazuki sarkastik.
"Kau tidak pernah melihat Naruto?"
"Apa itu?"
"Kau pasti bercanda! Dalam Naruto, mayat yang dihidupkan dan menjadi jahat bisa berbalik. Ya … mungkin seperti itu," terang Andrew sambil menggaruk kepalanya.
Rey berdehem, menghentikan perdebatan mereka yang mungkin tidak ada ujungnya. Ia baru tahu Kazuki dan Andrew ternyata begitu akrab, padahal dulu mereka bermusuhan satu sama lain.
"Sebaiknya kita segera turun, kita tidak tahu apa yang terjadi jika kita tidak mengikuti permainan perempuan sinting itu," ujar Rey.
***
"Selamat datang! Kalian adalah dua belas orang hebat yang selamat hingga saat ini. Luar biasa!" Suara tepuk tangan terdengar dari pengeras suara. "Sekarang, pilihlah seseorang untuk menjadi pasanganmu, dan berdiri di balik papan nomor yang telah tersedia."
Mereka melihat papan dengan masing-masing angka yang berbeda. Satu sampai tujuh. Tentu, hal itu mengundang tanya di benak mereka. Apa maksud dari nomor tersebut.
"Mengapa kalian belum bergerak?"
Suara Shikako mulai terdengar tak sabar. Pertama yang maju adalah Kazuki dan Andrew, mereka memilih papan dengan tulisan nomor satu.
"Nona Diana, aku tidak punya siapa-siapa lagi, maukah kau bersamaku?" tanya Shannon.
"Tentu."
Diana dan Shannon berjalan menuju papan dengan nomor tiga.
"Maaf Leon, aku ingin bersama Rey kali ini," ujar Peter.
Leon tersenyum. "Baiklah."
Peter mengulurkan tangannya pada Rey. "Ayo, Sayang. Aku ingin berduet denganmu dalam pertempuran."
"Baiklah."
Rey meraih tangan Peter dan mengisyaratkan maaf pada Leon. Mereka berjalan menuju papan dengan angka nomor dua.
"Kau mau nomor berapa?" tanya Williams pada Cindy, sedangkan yang ditanya hanya mengangkat bahunya, tidak begitu berminat.
"Cindy, apa pun keputusanku, kumohon … maafkan aku."
Cindy mengangguk, kemudian berjalan ke arah di mana Williams menarik tangannya secara perlahan, ke belakang papan dengan nomor tujuh.
Nathan dan Pheobe saling berpandangan, mereka saling berpegangan tangan dan mengangguk, seakan memiliki chemistry yang kuat, mereka bersama sama melangkah ke papan dengan nomor lima.
"Well, sepertinya aku tidak punya pilihan," ujar Leon canggung. Eliza hanya memutar bola matanya.
"Aku yang memilih nomornya dan kau, jangan menghalangiku."
"Kau juga jangan menghalangiku, Eliza."
Leon mengikuti ke mana Eliza melangkah, ke belakang papan dengan angka dua.
#wga
#wgaween
#wgaverse
Cerita ini masih berlanjut
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top