BAB 2 : ARRIVAL
Ini bukan pertama kalinya ia mengunjungi Knoxville, sebuah kota di mana orang yang dicintainya tumbuh besar. Namun, setiap kali menginjakkan kakinya di tempat ini, ia selalu merasa asing, meskipun orang yang didatanginya bukanlah orang asing. Setidaknya, mereka masih keluarga, meski tidak berada dalam satu garis keturunan yang sama. Ia tidak pernah berada dalam satu garis keturunan karena ia hanyalah anak angkat di Keluarga Fujiwara.
Rumah yang didatanginya kali ini rumah sederhana bercat putih. Terdengar suara riang nan hangat suasana keluarga yang harmonis. Satu hal yang paling diinginkannya dulu, saat orang yang dicintainya masih ada.
“Tunggu!”
Terdengar suara seorang perempuan dari balik pintu saat ia menekan bel rumah. Tak lama kemudian, pintu dibuka, menampilkan sosok perempuan berambut coklat ikal yang menatapnya seakan sedang mengingat siapa laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Ka … Kazuki, kah?”
Laki-laki itu tersenyum meski samar, membuat perempuan itu tersenyum lebar dan langsung melesat masuk.
“Andrew! Coba tebak siapa yang mengunjungimu hari ini!”
“Siapa? Ivy tidak mau pergi dari pundakku!”
“Bawa saja tidak apa-apa, dia pasti juga ingin berjumpa dengan pamannya.”
“Pamannya?”
Tak lama setelah percakapan tersebut, sosok laki-laki muncul dari balik pintu dengan anak perempuan berusia sekitar tiga tahun yang berada di atas pundaknya. Laki-laki itu membelalak saat melihat Kazuki ada di sana.
“Kazuki!”
“Bagaimana kabarmu, Andrew?”
“Baik, tentu saja!”
Ya, itu sudah jelas terlihat dari raut wajahmu yang kini jauh lebih baik daripada lima belas tahun yang lalu.
“Masuklah! Bagaimana kau bisa tahu alamat rumahku?” Andrew menurunkan Ivy dari pundaknya dan menyerahkan pada sang istri.
“Kau pernah memberitahukannya padaku.”
Kemudian, Andrew tertawa. “Astaga! Aku benar-benar pelupa!”
Kazuki berjalan di belakang Andrew dan masuk ke rumah. Rumah sederhana dengan beberapa bingkai foto menghias dinding ruang tamu. Ada foto Andrew bersama istrinya, juga foto saat Ivy masih berusia satu tahun. Ada satu foto yang membuat Kazuki berhenti berjalan mengikuti Andrew, yakni foto perempuan berkulit putih, ia sedang mengenakan kaus tanpa lengan warna merah jambu dan celana pendek selutut. Rambutnya diurai seperti biasa. Ia berdiri di samping Andrew yang tertawa lebar merengkuh pundaknya.
Andrew menyadari hal ini, ia berjalan kembali mendekati Kazuki dan berdiri di sebelahnya.
“Foto Azura.”
“Kau memajang fotonya berdua denganmu bahkan hingga setelah kau menikah?”
“Tidak masalah, bukan? Kami hanya sepupu, dan dia … sudah lama tiada. Lagi pula, Azura tidak pernah melihatku, dia mencintaimu.”
Perkataan Andrew menutup perbincangan mereka. Ya, mereka berdua memang tidak memiliki hubungan yang baik lima belas tahun silam. Andrew sangat membenci Kazuki, sementara Kazuki tidak peduli. Namun, kejadian yang menimpa Azura membuat mereka berdua pada akhirnya berdamai, hingga saat ini.
“Tidak biasanya kau datang ke Knoxville. Jika tidak karena targetmu, kau….”
“Aku akan pergi ke XHO.”
Mata Andrew melebar, lagi. “XHO? Tempat itu sudah ditutup beberapa tahun setelah kau menjebloskan Shikako Fujiwara ke penjara!”
“Aku mendapat undangan.”
“Undangan apa yang kau maksud?”
Kazuki menunjukkan surat yang masuk pada Andrew dan membiarkan Andrew membacanya. Seperti yang terjadi pada Kazuki, tangan Andrew gemetar, ia membuka mulut, tapi tidak ada perkataan yang keluar.
“A- Ba– Bagaimana bisa? Itu tidak mungkin!”
“Kita tidak akan tahu sebelum melihatnya sendiri.”
“Tapi kau bodoh bila datang ke tempat itu! Kau adalah orang yang melihatnya mati secara langsung! Bagaimana bisa ….”
“Aku tetap akan datang.”
Keteguhan hati Kazuki membuat Andrew kesal, ia bahkan mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Aku ikut.”
Kazuki mengerutkan keningnya.
“Untuk?”
“Memberi pelajaran pada orang yang mengirimkan surat ini padamu. Berani-beraninya dia! Bersikap seolah-olah dirinya adalah Azura, aku akan memukulnya!”
“Lalu bagaimana dengan anak dan istrimu?”
“Pergi selama satu atau dua hari, tidak akan jadi masalah. Kapan kau akan berangkat?”
“Malam ini.”
“Astaga!”
Andrew menggerutu, kemudian ia cepat-cepat menemui istri dan anaknya untuk izin dan berpamitan pergi bersama Kazuki. Ia bahkan menghubungi orang kepercayaannya di perusahaan miliknya agar membantunya selagi ia pergi.
Jadi, Kazuki menunggu Andrew untuk berkemas. Hingga malam tiba dan mereka harus pergi menuju Minneapolis.
“Ayah, jangan pergi terlalu lama, please?”
Andrew tersenyum sembari mengacak rambut anak perempuannya.
“Ayah akan segera kembali.” Kemudian, ia melihat istrinya. “Tolong jaga rumah baik-baik selama aku pergi.”
“Tentu, segera kembali.”
Andrew mencium kening sang istri kemudian masuk ke mobil. Ia melambaikan tangan pada keluarganya hingga mobil mulai melaju perlahan. Kazuki menunggu dengan sabar sedari tadi. Scene keluarga yang dilihatnya di dunia nyata benar-benar membuatnya lelah.
“Kau tampak bahagia,” ujar Kazuki sembari fokus pada jalanan.
“Ya, aku bahagia bersama keluargaku. Cepatlah menikah! Usiamu sudah lebih dari empat puluh tahun dan kau masih bujang!”
Kazuki menarik napas panjang. “Aku tidak punya keinginan untuk menikah.”
Tentu saja, karena perempuan yang dicintainya telah mati, tepat setelah ia ingin memulai hidup baru yang indah bersamanya.
“Hei, apa kau tidak ingin mampir ke rumah ayah dan ibuku?”
“Tidak. Kuyakin paman dan bibi baik-baik saja.”
“Mereka … juga masih belum bisa melupakan Azura, kau tahu?”
“Tentu saja. Bibi Kaoru sudah menyayangi Azura seperti anaknya sendiri.” Terdapat jeda sesaat hingga akhirnya Kazuki kembali membuka mulut. “Apa kau bisa menembak?”
“Ya, aku bisa menembak perempuan dan membuatnya agar bisa menjadi kekasihku.”
Kazuki memutar bola matanya. “Yang benar saja!” dengusnya. Satu sifat yang benar-benar mirip seperti Azura.
***
Pergi dari rumah tidak pernah seberat ini di seumur hidupnya. Bahkan dulu saat ia masih harus merantau ke Minneapolis dari tempat asalnya. Kali ini ia harus banjir air mata. Berpisah dengan Elena dan Edelweiss, kedua putrinya.
“Jangan pikirkan mereka, keputusan kita sudah tepat dengan datang memenuhi undangan tanpa melibatkan mereka, Reina.”
Perempuan berusia tiga puluhan itu menatap laki-laki yang berada di sampingnya, sosok laki-laki yang selalu menemaninya selama ini. Reina menarik napas panjang.
“Firasatku mengatakan bahwa … apa yang akan terjadi selanjutnya bukan hal yang bagus.”
Mereka saling menatap, saling menggenggam tangan, saling menguatkan, seperti lima belas tahun yang lalu saat mereka hendak menghadap Tuan Xerxes secara langsung dan mengajukan permohonan diri. Setelah kekuatan itu terkumpul, mereka menatap bangunan yang ada di hadapan mereka.
Bangunan setinggi kurang lebih 600 kaki yang masih berdiri dengan tegak, dikelilingi oleh pagar tinggi berwarna merah bata dengan gerbang hitam di bagian depan. Hanya ada satu gerbang utama dan itu adalah satu-satunya. Bangunan tersebut seakan masih menampakkan aura kelam dengan berbagai macam kenangan buruk yang bercampur menjadi satu.
Reina menarik napas panjang. XHO, aku datang.
#wga
#wgaween
#wgaverse
-----------
Hai! Ini aku lagi!
Lebih banyak karakter yang diungkap dan satu persatu mulai tiba di XHO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top