BAB 13 : POISON II
Rey tidak tahu apa yang ada di pikiran pengundang mereka. Setelah dipaksa melawan hologram setengah mati, kemudian diundang ke Ballroom dan disuguhi dengan berbagai macam makanan yang menggugah selera. Tentu, hampir semua orang menganggap bahwa hidangan tersebut diberikan dalam rangka penghargaan. Namun, hidangan itu ternyata adalah bagian dari permainan. Permainan yang mengincar nyawa seseorang. Siapa pun yang ada di antara mereka.
"Sial!"
Rey tidak bisa membiarkan Andrew tumbang dengan wajah merah kesakitan. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari meninggalkan Ballroom.
"Rey!"
"Aku akan ke ruang kesehatan!"
"Tunggu, aku ikut!" Peter akan segera menyusul Rey, tapi Leon mencegahnya.
"Tidak, biar aku saja yang mengikutinya. Pete sebaiknya kau bantu Kazuki dan Andrew."
Peter mengangguk. Tidak ada waktu untuk mempertimbangkan keputusan mana yang terbaik. Rey sudah jauh berlari di depan, sedangkan Andrew di ambang kematian.
Leon berlari menyusul Rey secepat yang ia bisa. Siapa yang tahu jika ada bahaya di luar sana. Rey bisa saja terbunuh.
Rey hampir saja menutup pintu lift saat Leon mencegahnya dan ikut masuk.
"Leon?"
Perempuan berambut hitam itu masih mengatur napas, beberapa kali hingga napasnya kembali stabil.
"Dasar perempuan nekat! Apa tiba-tiba kau kerasukan hantunya Zueve?"
"Apa?"
"Pergi seorang diri di tempat ini sangat beresiko, kau tahu? Apa yang terjadi pada mereka yang telah mati ... bisa juga terjadi pada kita. Kapan pun."
"Ya, aku tahu," ujar Rey sambil menunduk.
"Lalu kenapa kau pergi sendirian? Suamimu mencemaskanmu! Dia akan menyusulmu, tapi aku mencegahnya."
"Aku hanya tidak bisa melihat orang lain kesakitan di depan mataku. Andrew masih bisa diselamatkan."
Leon tersenyum. "Seperti yang diharapkan pada jiwa seorang dokter, salah, pemilik rumah sakit."
Rey turut tersenyum. "Lalu, kenapa kau melarang Peter menyusulku?"
"Apa kau bodoh? Kalau terjadi sesuatu pada kalian berdua, bagaimana nasib Elena dan Edelweiss? Jika kalian tidak bersama, setidaknya salah satu dari kalian masih bisa pulang."
Suara lift berdenting, menunjukkan angka tujuh, tempat di mana ruang kesehatan berada. Rey dan Leon keluar secara bersamaan, disambut oleh lorong putih dengan beberapa pintu.
"Kau tahu di mana ruang obat?"
Rey mengangguk, melirik ke setiap penjuru lorong, mencari apakah ada hal mencurigakan di sana, seperti pistol yang tersembunyi, atau kamera pengawas. Setelah memastikan keadaan aman, ia melangkahkan kakinya terlebih dahulu, dan Leon menyusul. Ia bahkan sudah menyiapkan pisau lipat dan pistol.
"Dari mana kau mendapatkan senjata itu?"
"Sejak permainan kemarin, aku masih menyimpannya." Leon menjawab tanpa rasa bersalah.
Kemudian, pintu terbuka, sesosok non-XHO berjalan dengan perlahan, mendekati mereka. Derap langkah kakinya menggema di lorong, semakin dekat jaraknya, semakin berdegup jantung mereka. Leon meletakkan tangan kanan dan kirinya di atas pistol yang tersembunyi di celana, bersiap jika saja makhluk itu menyerang tiba-tiba.
Mereka adalah mayat hidup yang dikendalikan oleh seseorang! Itu artinya mereka akan segera berpapasan dengan orang yang sudah tak bernyawa!
Baik Rey maupun Leon bernapas lega saat makhluk itu hanya berjalan melewati mereka tanpa melakukan tindakan apa pun. Namun, mereka tidak lantas menurunkan kewaspadaan, mereka tetap diam hingga makhluk itu masuk ke pintu ruangan lain.
"Syukurlah!" ujar Rey.
"Astaga! Aku sangat tegang!"
"Ruang penyimpanan obat-obatan ada di paling ujung, kita harus segera ke sana agar bisa segera menyembuhkan Andrew."
"Baik!"
Mereka berjalan setengah berlari menuju ruangan yang dimaksud oleh Rey, mengabaikan fakta bahwa di ruangan tersebut mereka harus berbaur menjadi satu dengan mereka non-XHO lagi.
***
Satu persatu orang mulai keluar dari Ballroom setelah Peter menemani Kazuki membopong Andrew ke ruang kamar yang ada di lantai enam belas. Mereka mengabaikan hidangan mematikan di atas meja, lagi pula, pengeras suara tidak lagi berbunyi, itu artinya mereka aman, untuk saat ini.
Andrew dibaringkan di tempat tidurnya, sedangkan Kazuki berdiri menyandar di salah satu sisi dinding. Peter ada di sana, duduk dengan diam di salah satu kursi. Sejujurnya, ia tidak begitu mengenal kedua orang ini, jadi ia tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Terlebih, Kazuki terlihat seperti laki-laki yang tidak suka banyak bicara.
Satu jam dilalui dalam sunyi, yang terdengar hanya suara napas Andrew yang terputus-putus. Kazuki masih berada di posisinya, melipat tangan dengan mata terpejam. Peter baru saja membuka mulut untuk bicara ketika pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Rey dan Leon yang datang membawa beberapa barang.
"Kazuki, bagaimana keadaanya?" tanya Rey.
"Seperti yang kau lihat."
Rey melihat laki-laki yang terbaring di atas tempat tidur kemudian menarik napas panjang.
"Astaga! Seberapa banyak kau memakan hidangan itu, Andrew?"
Rey segera menghampirinya dan meletakkan obat-obatan yang didapatnya. Dengan cekatan, ia meracik obat-obatan tersebut dan memasukkannya ke mulut Andrew. Lagi, ia menarik napas.
"Kita tunggu sekitar dua jam dan obat itu akan bereaksi."
Meski belum dua jam, perkembangan sudah mulai tampak lantaran napas Andrew tak lagi terputus-putus.
"Bagaimana bisa Andrew makan hidangan tersebut? Bahkan Shannon saja urung menyentuh makanannya," oceh Leon.
"Itulah, karena dia bodoh," dengus Kazuki, kemudian matanya menatap lurus pada Rey. "Terima kasih karena telah membantuku menyembuhkan si Bodoh ii."
"Tentu," ujar Rey sambil tersenyum. "Baiklah, karena ini tinggal menunggu hasilnya saja, aku akan kembali ke kamar, satu lantai di bawahmu, Kazuki. Jadi, bila terjadi sesuatu pada Andrew, kau harus segera menemuiku."
Kazuki hanya mengangguk. Rey, Leon, dan Peter meninggalkan ruang kamar mereka.
"Astaga! Bila kau mati, apa yang harus kukatakan pada Azura?"
Rey, Leon, dan Peter tiba di lantai lima belas, tempat di mana ruang kamar mereka berada. Namun, mereka terkejut lantaran pintu kamar mereka terbuka. Mereka saling menatap sesaat, kemudian Leon berinisiatif untuk maju terlebih dahulu mengingat dirinya membawa senjata.
Saat berada di depan pintu, ia menodongkan pistolnya. Namun, ia terkejut lantaran yang ada di sana adalah Pheobe, Nathan, dan Eliza. Nathan memang sudah tinggal bersama di kamar mereka sejak permainan di arena, tapi Eliza ....
"Hei kalian!" Pheobe menyapa dengan senyum lebarnya, seperti biasa.
"Apa yang kau lakukan di sini, Eliza?" tanya Leon sambil mengerutkan keningnya.
"Tunggu, kalian tidak menganggap ada bahaya di kamar ini, kan? Aku bisa menjaga diriku, aku adalah murid Zueve, kalian tahu!"
Rey tersenyum kemudian menatap Leon. "Seharusnya kita mengingat hal itu, Leon."
"Kau benar."
"Aku menunggumu sejak tadi, Rey."
"Aku?"
Eliza mengangguk. "Untuk bertanya tentang informasi."
"Informasi apa maksudmu?"
"Aku tahu kau tahu banyak hal tentang apa yang terjadi di sini."
Rey menggaruk pelipisnya, tersenyum canggung. "Ya ... beberapa hal yang mungkin tidak akan bisa kau nalar dengan logika."
"Beberapa hari ini Melissa menghilang."
Rey dan Leon terkejut. "Menghilang?" tanya mereka tidak percaya.
"Ya, terakhir kali ia berkata akan datang ke ruangan Tuan Xerxes dan belum kembali hingga saat ini. Ia juga memiliki asumsi yang sama seperti kalian bahwa Nona Shika adalah dalang di balik semua ini."
"Tapi ini masih belum bisa dibuktikan, lagi pula ... jika memang ini adalah ulah Nona Shika, bukankah Kazuki dan Andrew adalah targetnya? Daripada mengundang kita semua ke sini dan membunuh kita semua, bukankah lebih bagus membunuh mereka berdua secara langsung?" pikir Rey.
"Astaga! Kau ternyata punya pikiran yang begitu kejam Rey ...." Leon menggeleng-geleng, membuat Rey tersenyum.
"Aku hanya memosisikan diriku menjadi Nona Shika."
"Shikako itu!" geram Eliza. "Aku akan pergi ke ruangannya!"
"Tidak! Lebih baik jangan, atau kau akan bernasib sama seperti Nona Melissa."
#WGA
#WGAWEEN
#WGAVERSE
_____________
Hai dan aku kembali lagi! Please vote dan komen, saran Anda sangat berharga bagiku. Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top