Bab 9

Tak butuh berbulan-bulan atau bahkan berminggu-minggu agar akrab dengan psikiater pribadiku. Jimin adalah orang yang berpandangan luas. Darinya, aku mengenal banyak hal baru. Sikapnya yang sopan juga memberikan kenyamanan tersendiri. Kami pun rutin melakukan sesi konseling tiga kali seminggu. Dan kegiatan tersebut sudah berjalan hampir empat pertemuan.

Selama itu pula, aku nyaris melupakan tujuanku menolak perceraian yang Taehyung ajukan. Sudah berapa lama, ya? Kira-kira saat ini tepat dua minggu lebih setelah hari itu kami mengadakan kesepakatan. Dan usahaku mendekatinya tidak berjalan mulus. Pikiranku teralihkan, justru aku penasaran dengan masa lalu Sohyun.

Astaga, aku tidak boleh lengah atau Sohyun akan memakiku di akhirat nanti karena tidak bisa menaklukkan pria itu.

"Sohyun, kau melamunkan apa? Kau tampak tidak fokus sejak awal datang ke sini," tegur Jimin. Ia menghampiriku dengan kebiasaannya yang sama, yaitu mengaduk secangkir teh chamomile untuk disuguhkan padaku. Memperhatikan bagaimana kebiasaannya, Jimin kelihatannya termasuk orang yang teratur. Cara ia mengaduk tehnya selalu konstan, yaitu melawan arah jarum jam.

"Bukan masalah penting, kok. Kita mulai sekarang konselingnya?"

"Silakan, aku siap mendengar masalahmu."

Kami pun kembali pada rutinitas. Aku meluapkan semua kegelisahanku dan mimpi buruk itu. Jimin mendengarnya dengan saksama, sesekali menganggukkan kepala pertanda bahwa ia mencoba memahami apa yang telah aku alami. Kegiatan tersebut berlangsung sampai kira-kira dua jam dan diakhiri dengan Jimin yang memberiku resep obat baru.

"Ini untuk menebus pil tidurmu di apotek. Kau bisa pulang sendirian? Maaf sekali aku tidak bisa mengantarmu, aku harus ke rumah sakit sekarang."

"Ah, tidak masalah. Aku terbiasa sendirian, kau bisa menyelesaikan urusanmu. Terima kasih atas waktunya hari ini, saran-saranmu sangat membantu."

"Sama-sama, datanglah lagi di jam yang sama akhir pekan."

"Pasti, aku pamit."

Waktunya pulang. Hari masih siang. Langit yang cerah diiringi suara gemerisik angin. Keheningan dan ketenangan yang sedikit kudapatkan di rumah Jimin kini digantikan oleh suara dengung kendaraan dan lalu lalang orang-orang. Ya, aku sudah sampai di wilayah sekitar apartemenku. Sebelum masuk, aku mampir ke sebuah toko buku yang terletak di seberang gedung.

Mengikuti rekomendasi Jimin, aku membeli beberapa buku yang bisa dibaca untuk mengisi waktu. Katanya, itu ampuh mengalihkan pikiran buruk akibat mimpi yang kualami. Memang sebaiknya kucoba. Lagipula, ketika aku masih menjadi Yoon Yooseul, hobiku adalah membaca buku-buku fiksi. Sekarang pun sama, kesukaanku tidaklah berubah hanya saja tubuhku kini terjebak dalam tubuh orang lain.

***

"Kau pulang? Aku membuat jajangmyeon apa kau mau?"

Pukul tujuh malam, Taehyung pulang lebih awal akhir-akhir ini. Tampaknya proses syuting berjalan lancar. Tidak diragukan lagi, kemampuan Kak Jisoo yang masih pemula pun turut membantu suksesnya drama yang sedang Taehyung sutradarai. Tentu saja aku ikut senang.

Sebenarnya, aku menyapa Taehyung bukan tanpa alasan. Beberapa jam lalu, mama meneleponku. Pesta yang kubicarakan waktu itu akan diadakan besok malam. Pesta yang digelar untuk merayakan keberhasilan kerjasama papa dengan perusahaan asing. Jika bukan mama yang memintaku datang, aku juga sama sekali tidak akan tergiur hadir di pesta itu. Aku tak mengerti apa-apa, aku khawatir aku akan terlibat masalah nantinya. Tetapi mama meyakinkanku dengan baik sehingga aku dapat bergantung padanya maupun Kak Jisoo di pesta.

Taehyung tidak menggubris ajakanku makan bersama. Aku tidak kaget melihat pemandangan ini. Kapan sih pria itu mengabulkan permohonanku atau merespon ajakanku dengan halus? Tidak pernah sekali pun.

"Tunggu dulu, aku mau bicara!"

"Apa? Aku lelah," jawabnya lesu.

"Besok ada pesta di rumah, kau ... akan datang bersamaku kan?"

Taehyung menghela napas, "Nanti kupikirkan." Ia pun berlalu.

"Cih, kalau bukan karena Sohyun, aku lebih baik meninggalkan pria sepertimu. Membosankan."

Karena tidak ada lagi aktivitas yang bisa kulakukan, sekaligus jam mulai menunjukkan tengah malam, aku pun pergi tidur. Sebelum itu tidak lupa aku meminum satu butir pil yang telah Jimin resepkan. Sebenarnya ingin kucoba terlelap tanpa bantuan obat, namun aku masih tak yakin. Insomniaku makin hari makin memburuk sehingga mau tidak mau aku harus bergantung pada benda ini.

Awalnya berjalan sempurna. Aku memejamkan mata dan tiba di alam bawah sadar dengan cepat. Sayangnya, masalah lain yang tak bisa kuhindari datang. Potongan mimpi buruk yang lain. Di dalam mimpi tersebut, aku melihat pemandangan sebuah gedung. Embusan angin yang kencang menerbangkan anak rambutku dan membuatnya sedikit berantakan. Baju biru muda polos kukenakan, menutupi tubuhku yang cukup berisi dengan bagian perut yang membuncit.

Aku menatap lurus ke bawah. Mobil-mobil terparkir rapi. Manusia berlalu-lalang dan sebuah mobil ambulance datang membawa tubuh baru. Suasana ramai, tetapi dapat kurasakan sepi di sekitarku. Aku tak mengerti, kepalaku terasa begitu berat seperti banyak beban. Badanku pun lemas tak berdaya, kakiku berdiri dengan gemetar sebab tak kuat menopang berat badan. Aku masih tidak paham, apa yang kulakukan di sana dan hanya sendirian? Hingga, tanpa kusadari, tiba-tiba saja tubuhku terjatuh ke depan. Aku melayang, melintasi jendela demi jendela, lantai demi lantai, yang diiringi teriakan orang-orang. Namun, satu hal yang membuatku kaget saat itu. Aku melihat sebuah seringaian.

"Mimpi lagi?!" keluhku begitu langsung terbangun di jam lima pagi.

Kalau saja ada obat yang dapat menghalau mimpi buruk, atau paling tidak, sesuatu yang bisa membantuku untuk tidak mengingat mimpi buruk yang menerkamku, aku akan jauh lebih tenang. Aku kira dapat membiasakan diri, tetapi setelah kupertimbangkan ulang tampaknya masalah mental Sohyun bukanlah sesuatu yang dapat disepelekan. Mengingat hal itu mempengaruhiku juga. Ternyata bisa separah ini.

"Kau sudah bangun?" tanyaku begitu kulihat Taehyung dengan penampilan segar sedang menyantap roti selainya di meja makan.

"Kau mau berangkat syuting pagi-pagi begini?"

"Iya, memang mau kemana lagi?"

"Oh ... soal pesta–"

"Aku akan pergi. Tapi sepertinya kau harus berangkat sendiri."

"Hah, kenapa? Kita kan bisa pergi bersama."

"Aku akan ke sana setelah syuting. Dan syuting hari ini akan mengambil banyak scene belum lagi ada meeting setelahnya," jelasnya.

"Baiklah, aku tidak masalah. Yang penting kau harus datang."

"Tentu saja aku datang. Aku ingin perpisahan kita terlihat seperti tidak dipaksakan. Makanya kita harus menunjukkan hubungan yang baik ke depannya. Sampai 30 harimu habis."

Benar, 30 hari. Taehyung tampaknya percaya diri bahwa aku akan gagal. Makanya, aku harus melakukan sesuatu di pesta. Sesuatu yang dapat menyentuh hatinya. Tetapi apa?

***

"Sohyun, kau cantik sekali memakai gaun itu. Apa kau yang memilihnya sendiri?"

"Iya, Kak. Bagus banget kan? Ini membuatku nyaman."

"Tapi ... ini nggak seperti dirimu sendiri loh. Kamu itu paling nggak suka warna-warna yang terlalu menarik perhatian seperti merah."

"Mama mengatakan hal yang sama, sayangnya aku ingin mencoba suasana baru. Jadi aku membelinya."

Kami berada di tengah-tengah pesta. Di antara puluhan orang yang datang, hanya Kak Jisoo atau mama yang bisa kuandalkan. Alih-alih mencari kenalan dan memulai pembicaraan dengan orang lain, sepertinya orang lain malah menjauhiku duluan. Tetapi bodohnya mereka. Mereka berbisik-bisik tentangku padahal aku bisa mengupingnya dengan jelas.

"Itu anak bungsu Tuan Kim? Jadi dia yang merebut tunangan kakaknya?"

"Cantik ya, sayangnya aku dengar jiwanya terganggu. Gila atau semacamnya."

"Tapi sekarang kelihatan biasa saja tuh, masa iya wanita itu gila?"

"Masalah pribadi, siapa yang tahu. Mungkin saja dia sedang menutupi kegilaannya."

"Wah, aku takut dia ngamuk di tengah pesta, hahaha."

Haish, aku dibilang gila. Mulut-mulut orang itu seharusnya diberi pelajaran. Untungnya aku berbaik hati hari ini. Di suasana pesta yang damai, aku sebaiknya tidak menimbulkan kekacauan. Atau tak hanya namaku, tetapi nama baik keluargaku menjadi taruhan.

Terlebih, mereka menyinggung satu hal, mengapa aku dikatakan telah merebut tunangan kakakku? Siapa tunangan kakak?

"Sohyun, apa kau mendengar mereka? Tolong jangan dimasukkan hati, ya. Mereka nggak tau kejadian sebenarnya, makanya bisa ngomong begitu," ujar Kak Jisoo menenangkan.

"Eh, tapi Kak ... siapa yang dimaksud tunangan Kakak yang sudah kurebut itu?"

"Kau ... serius ingin tahu?"

Aku menganggukkan kepala cepat. Kemudian, Kak Jisoo menarik lenganku dan mendekat. Ia berbisik, "Orang itu ada di pintu masuk, coba lihat."

Aku mengalihkan fokusku ke pintu masuk utama. Seorang pria datang dengan pakaian formalnya. Tinggi dan berwibawa. Kedatangannya seperti bintang film, langsung menarik perhatian banyak mata. Apalagi, dengan jidatnya yang terekspos sempurna, mempertontonkan kedua bola matanya yang jernih dan bersinar. Rahangnya yang tegas, serta tatapannya yang tajam.

"Loh, Kim Taehyung? Pria itu?"

"Ya. Suamimu, dulu dia tunanganku. Tapi tenang saja, aku sama sekali tidak menyukainya kok."

Taehyung dan Kak Jisoo pernah bertunangan? Yah, sejujurnya keduanya kelihatan sangat cocok. Sama-sama berparas menawan. Namun, bagaimana ini bisa berakhir dengan Taehyung yang menikahi Sohyun? Bagaimana mungkin, Sohyun yang harusnya menjadi adik iparnya Taehyung, kini malah berstatus istrinya? Kenapa takdir begitu sempit? Kenapa Sohyun yang harus dihamili oleh calon kakak iparnya sendiri?

"Ah, aku pusing. Aku akan duduk di sana dulu, Kak."

"Baiklah, Kakak akan pergi menyambut tamu."

Aku melirik spot yang tidak begitu banyak orang di sekelilingnya. Sebelum memutuskan untuk duduk menyendiri, aku mengambil segelas minuman karena tenggorokanku terasa kering. Aku meneguknya seketika. Rasa panas seperti terbakar langsung dapat kurasakan.

"Apa ini? Bukannya sirup strawberry, ya?"

"Itu bir, bodoh. Ck, begitu saja tidak tahu."

"Oh, haa Mr. Taehyung, kenapa kau ke mari?"

"Kau terlihat mengenaskan, makanya aku datang."

Dia pikir aku tidak tahu, dia pasti sedang melancarkan rencananya agar membuat orang percaya bahwa kami cukup harmonis sebagai suami–istri, lalu bisa bercerai dengan baik-baik.

Taehyung hanya duduk diam di sebelahku, tak melakukan apa-apa, tak juga bergeming. Aku menatapnya dari dekat, dan tiba-tiba merasa bertambah pusing. Membuka mata pun sangat sulit kulakukan saat ini.

"Heh, kau baik-baik saja? Kau mabuk?"

"Jangan bersikap halus padaku!! Semua pria yang baik itu adalah iblis! Iblis!" teriakku melantur tidak jelas.

Taehyung panik. Ia berusaha membuatku sadar. Tetapi apa boleh buat, aku terlalu mabuk sehingga tak bisa mengontrol diri dan ucapanku.

"Sadarlah! Sohyun!"

"Semua pria tampan itu ... bajingan, hehehe."

"Tutup mulutmu, jangan membuatku malu!"

Taehyung membekap mulutku seketika dan aku meronta-ronta. Dengan pandanganku yang mulai buram, dapat kulihat penampakan seorang lelaki dari kejauhan.

"Dia?? Pria brengsek harus diusir dari pesta!" teriakku kembali setelah berhasil meloloskan diri dari lengan Taehyung.

"Mau kemana kau?! Sohyun!"

Aku berjalan sempoyongan. Menyelip di antara orang-orang yang melirikku seperti sebuah tontonan. Tujuanku hanya satu, aku ingin mendekati pria itu dan menghajarnya. Ingin kutonjok atau kutampar pipinya supaya babak belur.

"Akan kuhabisi kau! Jangan pergi dulu!"

Hampir sampai. Pandangan kami bertemu, aku telah berdiri di depannya. Bibirku pun tersungging.

"Bye, brengsek!"

Bugh! Suara pukulan menggema. Seluruh tamu di pesta memusatkan pengelihatan mereka terhadapku. Aku berhasil melumpuhkan salah seorang pria, yang tak lain dan tak bukan adalah Kim Seokjin.

"Nona, kenapa Anda memukul saya?" tanyanya sambil mendesis kesakitan.

"Paman ... siapa Tante itu? Paman sakit? Paman huwaa."

Aku menurunkan pandanganku. Ada seorang anak kecil. Ia menangis. Mungkin ia kasihan melihat pamannya terluka olehku.

"Tidak, tidak apa. Paman baik-baik saja."

"Kim Sohyun! Ya ampun, apa yang kau perbuat? Ayo kita pulang!"

Taehyung pun menarikku. Memakaikan jas hitamnya pada tubuhku dan membawaku keluar dari pesta. Ya, begitulah kekacauan yang aku lakukan selama pesta berlangsung. Tetapi siapa sangka, berawal dari kekacauan tersebut, pagi yang cukup mengejutkan menyapaku tepat saat aku terbangun dari tidurku. Mimpi burukku enyah entah ke mana. Tergantikan dengan pemandangan Taehyung yang tidur di sebelahku dengan bertelanjang dada.

Apakah ini nyata? Benar-benar nyata?

***
TBC

Aku pernah posting ini di IG, tp udah aku hapus :"(

Ya, jadi anggep aja anak yang ada di foto itu adalah anak kecil yang Sohyun liat di pesta bareng ama Jin.

Maaf, kemarin nggak bisa update, huhu. Lagi ada pikiran lain :)

Semoga puas baca bab ini, tunggu bab selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top