Bab 8
Park Jinyoung, dulu laki-laki itu memiliki hubungan yang istimewa dengan Sohyun. Mereka bersekolah di salah satu sekolah menengah atas yang sama. Sosoknya dikenal baik dan setia. Mama mengaku bahwa keduanya dulu sangat serasi.
Jinyoung tak hanya sekali, tetapi beberapa kali mampir ke rumah. Ia juga akrab dengan mama dan papa Sohyun sewaktu Sohyun dan Jinyoung masih berumur sekitar 17 tahunan. Tak ada celah, anak itu adalah sosok yang sempurna. Selain pintar, Jinyoung juga memiliki bakat bermusik sehingga aktif dalam kegiatan band di sekolahnya.
Menurut cerita mama, setelah berhubungan hampir dua tahun itu, sesuatu terjadi. Memang benar jika semakin kuat hubungan percintaan, maka semakin besar pula badai yang akan dihadapi. Mereka berdua dapat dikatakan sudah berdamai dengan yang namanya masalah. Namun entah mengapa, masalah yang muncul saat itu menimbulkan keretakan pada percintaan Sohyun. Bahkan, juga kematian.
Sohyun dan Jinyoung bertengkar. Ketika kutanya lebih dalam, mama sendiri tidak mengetahui alasannya. Sohyun kala itu tidak terbuka akan persoalan yang ia alami. Dan puncak dari pertengkaran tersebut adalah kematian Jinyoung. Jinyoung ditemukan gantung diri di gudang sekolah, dan Sohyun adalah orang pertama yang menyaksikan kejadian tersebut. Ia menjadi saksi sekaligus menjadi yang tertuduh.
Atas kejadian tersebut, hidup Sohyun mengalami kekacauan. Prestasinya menurun. Meskipun dinyatakan tidak bersalah dan murni melakukan bunuh diri, Sohyun tidak bisa lepas dari rasa bersalahnya. Lagi-lagi, mama tidak bisa menjelaskan mengapa Sohyun merasakan demikian dan apa yang melatarbelakangi bunuh diri Jinyoung. Laki-laki yang terkenal polos itu melakukan hal yang diluar nalar. Tentu semua orang terkejut.
Dan buah dari tragedi naas tersebut adalah dikucilkannya Sohyun dari lingkungan sosialnya. Ia dicap dengan sebutan "Pembunuh", yang mana sebutan itulah yang kudengar dalam mimpiku. Sohyun lebih banyak menyendiri, tidak fokus di sekolahnya hingga hari kelulusannya.
Ia masuk ke sebuah perguruan tinggi biasa. Dan tanpa diduga, Sohyun mendapat perlakuan mengerikan di sana. Entah bagaimana masa lalu terkait bunuh diri Jinyoung tersebar, tetapi itulah yang membuatnya banyak ditindas. Sohyun berakhir depresi, mama memutuskan untuk mengehentikan perkuliahan Sohyun dan membawanya melakukan terapi rutin ke psikiater sampai mentalnya sembuh.
Begitulah setidaknya yang aku dengar dari mama. Masih banyak lagi yang belum aku ketahui, misalnya, mengapa Sohyun dan Jinyoung bertengkar, serta apakah yang membuat Jinyoung sampai bunuh diri. Apa iya gara-gara Kim Sohyun, kekasihnya itu meninggal?
Semua terasa janggal. Pasangan yang berdamai dengan yang namanya masalah, hubungannya jadi hancur berantakan karena latar belakang yang tidak kuketahui. Malah menimbulkan keinginan untuk gantung diri.
"Apa kau baik-baik saja, Sayang? Apa kau mulai mengingat sesuatu tentang masa lalumu?" tanya mama khawatir.
"Tidak. Tapi terima kasih, Mama sudah mau cerita. Sohyun janji, Sohyun nggak akan seperti dulu lagi. Karena Sohyun yakin sudah bisa lebih bahagia sekarang. Maaf membuat Mama harus menceritakan hal menyedihkan ini."
"Mama yang harusnya meminta maaf. Mama terpaksa menyembunyikannya agar traumamu tidak berulang. Mama tidak bisa melihatmu jatuh seperti dulu, Sayang."
"Mama tenang saja, Sohyun janji kok, akan selalu bahagia," kataku menenangkan mama. Aku memeluknya dengan erat, berharap tidak ada kecemasan yang hinggap di benaknya.
"Sudah malam, sebaiknya Mama tidur. Sohyun juga akan langsung ke kamar."
"Sepertinya Taehyung sudah menungguku," bisikku pelan membuat mama terkekeh. Suasana tegang pun tercairkan.
"Baiklah. Selamat malam, Sayang. Semoga mimpi indah malam ini."
Mama mengecup keningku sebagai tanda perpisahan. Kami pun menuju kamar masing-masing.
***
"Loh, kenapa tidur di sofa?"
Aku baru keluar dari kamar mandi dan mataku langsung disambut Taehyung yang bergerak tak nyaman di atas sofa dengan bantalnya. Sebenarnya aku tahu dia menghindariku. Sejak aku masuk ke dalam kamar, aku tahu dia merasa sesak di atas sofa itu. Tetapi aku menunggunya untuk memohon padaku. Sepertinya tidak mungkin pria yang harga dirinya tinggi itu mengatupkan kedua tangannya hanya agar bisa tidur di atas ranjang. Jadi harus aku sendiri yang mendekatinya.
"Apa gunanya kasur king size-ku? Ingat, itu bukan kasur single bed, ya. Aku yakin otakmu masih berfungsi dengan baik untuk bisa memahami kalimatku."
Taehyung masih memunggungiku, mungkin pura-pura tidur. Mulutku pun menguap. Rasa kantuk tidak bisa kutahan lagi. Masa bodoh lah, aku tidak peduli jika besok punggungnya akan kesakitan karena tidak tidur di tempat yang nyaman.
Aku merebahkan diriku di atas kasur. Aku menaikkan selimut agar menutup badanku sehingga terasa hangat. Tanganku bergerak meraih tombol lampu untuk mematikannya, namun mendadak Taehyung memekik.
"Jangan matikan lampunya!"
Anehnya, dia mengatakan hal itu tanpa mempertunjukkan ekspresi wajahnya. Dia masih memunggungiku. Kupikir dia akan panik dan terduduk seketika di sofa.
"Eh, kau takut gelap?"
"Aku tidak bisa tidur dalam keadaan gelap."
Aku menaikkan sebelah alisku. Mencibir padanya karena menurutku ini sangat menyenangkan. Pria yang merasa dirinya superior itu ternyata punya kelemahan juga. Ya, bagaimanapun ia tetaplah manusia. Tidak ada manusia yang sempurna seutuhnya. Pasti Kim Taehyung pun juga punya celah.
"Aku hanya memberitahu, lampu kamar mandi mati loh. Siapa tahu nanti malam akan muncul sesuatu dari sana," ucapku sambil menahan tawa.
Kim Taehyung langsung menoleh ke arahku dengan raut wajah marah dan terusik. Ia berdiri dari tidurnya, berjalan terburu-buru ke arah kamar mandi hanya untuk menyalakan lampu.
Menggemaskan sekali. Apa iya ini Kim Taehyung yang dingin itu? Yang tidak punya hati?
"Awas, ya. Jangan kau coba mematikan lampu satu pun atau aku akan sangat marah."
"Iya, iya, Tuan Kim. Selamat tidur, semoga kau memimpikanku."
"Jangan harap."
Kami pun mengakhiri perdebatan kecil ini dan kembali ke urusan masing-masing. Tidur.
***
Aku membantu mama menyiapkan sarapan. Tak kusangka, Kak Jisoo sudah ada di rumah pagi-pagi sekali padahal ia punya apartemen yang ditinggali untuk dirinya sendiri. Jadi, kami sempat bercakap-cakap selagi menata menu yang masih hangat di meja makan.
"Mama bilang kau datang ke sini semalam. Aku sudah menduga kau akan menanyakan itu. Ternyata benar, memang kau orangnya tidak pernah sabaran, ya, Sohyun."
Selama menjadi Sohyun, baru kali ini aku menemukan persamaan. Ya, baik dia maupun aku, kami sama-sama tidak bisa dibuat menunggu.
"Kan aku sangat penasaran, lagipula aku juga tidak mau insomnia terus setiap malam."
"Lalu, bagaimana semalam? Apa kau mimpi buruk lagi?"
"Hm, tapi karena sudah sangat sering, aku jadi sedikit terbiasa."
"Hei, mana bisa begitu?! Sepertinya kau perlu mengunjungi psikiater lagi. Kau perlu berkonsultasi. Siapa tahu kan, mimpi buruk itu menandakan trauma yang sempat kaumiliki?"
"Begitukah? Haruskah aku ke psikiater?"
"Kau yang akan mempertimbangkannya sendiri. Kakak hanya akan mengirimkan alamat atau kontak psikiater itu padamu. Jangan khawatir, dia orang yang sama yang menanganimu waktu itu. Jadi bisa dipercaya."
"Baiklah, aku ikuti saran Kakak."
Saat sibuk di meja makan, suara langkah kaki yang terburu-buru membuatku terkejut. Itu adalah Kim Taehyung yang tampak terengah-engah sambil menenteng jaketnya.
"Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku ada rapat penting jam sepuluh pagi!"
"Siapa yang tahu? Kau sendiri yang tidak memberitahuku. Bukan salahku kan?"
"Ahh! Sudahlah, aku pergi dulu. Tolong titip salam ke Mama!"
"Ya sudah, sana," usirku.
"Kenapa ekspresimu seperti itu? Aku jadi ingin tertawa," respon Kak Jisoo terhadap sikapku ke Taehyung.
"Dia orangnya memang seperti itu, Kak. Untung aku bisa memakluminya."
"Oke, oke. Oh, Kakak ke atas dulu, mau panggil Papa buat sarapan sama kita."
"Hm, sepertinya, aku akan pulang sekarang saja, Kak."
"Loh, kenapa? Kau belum sarapan, kita makan bersama ya?"
"Kakak tahu kan, Papa pasti tidak mau bergabung jika masih ada aku. Sebaiknya aku makan di apartemen saja. Itu akan jauh lebih baik."
Kak Jisoo memasang wajah murung. "Apa boleh buat," katanya kemudian. "Baiklah, aku akan bilang ke Mama kalau kau ada urusan penting jadi nggak bisa berlama-lama di sini. Meskipun Mama nggak akan semudah itu bisa dibohongi."
"Aah, makasih, Kak! Tolong jaga Mama, aku pulang dulu sebelum Taehyung meninggalkanku."
"Iya, sana cepat susul adik iparku!"
Sebelum pergi, aku merangkul tubuh kakakku dan mencium singkat pipinya.
"Daa, Kak!"
***
"Ini ... benar alamatnya, kan?"
Aku berdiri di depan rumah mewah bercorak mininalis yang lokasinya agak jauh dari keramaian. Aku sempat pulang sebentar ke apartemen untuk berganti pakaian, lalu bergegas kemari setelah mendapat pesan dari Kak Jisoo.
Halamannya begitu rapi. Ada beberapa pohon yang tumbuh setinggi satu orang dewasa. Beberapa lagi cukup besar hingga menghalau sinar matahari. Jika memang yang tinggal di dalam sana adalah seorang psikiater, kukira mengamati rumahnya saja dapat dijadikan terapi untuk mengusir stress yang ada.
Aku berjalan ke pintu utama sebab gerbang depannya saja sudah terbuka seolah si pemilik tahu kalau akan ada tamu yang berkunjung. Aku menekan bel yang tersedia. Cukup dua kali karena setelahnya seorang pria muda datang menyapaku tepat ketika pintu telah terbuka lebar.
"Nona Sohyun, apa kabar? Silakan masuk," katanya selagi melemparkan senyum hingga kedua matanya nyaris tidak kelihatan.
Apa Kak Jisoo bercanda? Pria muda dan keren ini adalah seorang psikiater? Pasti instagramnya punya banyak pengikut!
Tubuhnya memang tidak terlalu tinggi, tetapi pesona yang ditawarkan pria ini ketika dia tersenyum itu sangat luarbiasa. Aku dapat menebak sisi hangatnya hanya dengan caranya menyapaku.
"Duduklah, akan kubuatkan teh chamomile favorit Nona."
"Apa Nona ingat, Nona dulu termasuk penggemar teh chamomile buatan saya. Nona bahkan bisa habis tiga gelas, satu diminum sebelum konseling, dan dua setelahnya."
Pria tersebut tampak sibuk di pantry yang dekat dengan ruang tamu. Aktivitasnya mulai dari memasukkan gula dan teh ke dalam cangkir, seluruhnya dapat kuamati dengan jelas.
"Saya ikut prihatin atas kecelakaan yang membuat Nona amnesia. Oleh sebab itu, izinkan saya memperkenalkan diri lagi. Nama saya Park Jimin," ucapnya seraya menyodorkan cangkir teh ke arahku.
"Ya?" Aku sedikit gelagapan mengikuti obrolannya. Aku yang merupakan orang yang aslinya aktif pun dibuat tersanjung untuk beberapa saat oleh pria ini hingga bingung menjawab.
"Ah, iya. Salam kenal, Tuan Jimin. Saya Kim Sohyun, mohon bantuannya."
"Nah, sekarang kita bisa berbicara secara non formal kan? Lagipula, saya lebih muda dari Nona, jadi jangan menyebut saya 'tuan'".
"Permisi? Le–lebih muda?"
Pria yang mengaku dirinya Jimin itu tertawa kecil. Ah, mukaku pasti aneh karena terkejut mengetahui fakta bahwa ia lebih muda dariku. Yang benar saja! Oh, dia belum tahu bahwa jiwa yang ada di dalam tubuh Sohyun ini usianya masih dua puluhan awal. Sepertinya malah aku yang lebih muda. Meskipun begitu, tampaknya sesi konseling kami akan nyaman ke depannya.
Ya, semua itu berkat Park Jimin.
***
Tbc...
Inget ya guys, di antara tokoh-tokoh yang ku perkenalkan sejauh ini, Jimin termasuk tokoh kuncinya.
Be careful di bab berikutnya ^^
"Pangeran Eric datang buat ngasih kalian double up lagi, kekeke"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top