Bab 6

Tak butuh menelan banyak pil untuk menghilangkan alergiku. Dalam kurun waktu singkat, kondisiku normal seperti biasa. Keseharianku pun berulang, tetap pada tujuan yang sama, yaitu menjadi istri yang baik dan bisa menakhlukkan suami.

Kupikir, Taehyung memberikan lampu hijaunya sebab ketika aku sakit, ia merawatktu dengan baik. Tetapi, aku lupa bahwa mama tidak mengetahui sifat aslinya di depanku. Pantas saja, ia berpura-pura menjadi suami yang perhatian agar untuk selanjutnya ia bisa seenak hati memperlakukanku. Tepat setelah mama pergi dan menyerahkan semuanya pada Taehyung, Taehyung malah tidak sekali pun menyempatkan diri untuk mengurusiku. Ia meminta bantuan pada perawat yang ia sewa dalam masa pemulihanku.

"Bajingan sekali."

"Apa kau bilang?"

Sekarang, kami sedang sarapan bersama. Aku patut bersyukur, kali ini dia sudi memakan masakanku tanpa harus kusuruh-suruh. Dan mulutku menyeplos begitu mengingat kelakuannya yang menyebalkan.

"Aku bilang apa? Aku hanya bilang kau 'tampan sekali'. Iya kan? Beruntung kau yang jadi suamiku."

Taehyung mengabaikan jawabanku dan fokus pada piringnya.

Aku sedang berperang batin. Melihat isi kulkas hari ini, tampaknya kami perlu membeli kebutuhan seperti daging, sayur, dan lain-lain. Tetapi apa pria ini mau menemaniku berbelanja? Tidak mungkin kan harus aku sendirian sementara hal itu juga penting untuk mengisi perutnya?

"Kira-kira apa–"

"Tidak."

"Hah? Aku belum bicara apa-apa, kau sudah menjawab tidak? Memangnya kau tahu apa yang mau aku bicarakan?"

"Kau akan tanya apa aku ada waktu hari ini dan kau mau mengajakku berbelanja karena isi kulkas hampir kosong."

Hebat, intuisinya sangat bagus dan dia orang yang peka.

"Bagus kalau sudah bisa menebak, jadi kau harus menemaniku."

"Aku ada syuting sampai malam. Lagipula, tidak harus aku yang menemanimu, kau bisa ajak Hyunjin saja."

"Kok malah adikmu? Kan yang butuh makan kita berdua."

"Selagi aku masih bicara baik-baik, sebaiknya kau tidak memaksaku."

Taehyung meletakkan sendok dan garpunya, sorot matanya yang tajam mengakhiri pembicaraan kami pagi ini. Dengan jengah, pria itu berdiri dari kursinya dan meninggalkan meja makan.

Sebenarnya, di mana Taehyung menyembunyikan hati nuraninya? Semakin dia bersikap dingin, semakin ingin aku membuatnya bertekuk lutut.

"Sabar ... sabar Sohyun, semua butuh proses," ingatku selalu.

***

"Kenapa mukamu kusut begitu? Kau tidak mau mengantarku ya?!"

Tidak cukup dengan Taehyung, adiknya pun memberikan ekspresi yang sama saat kumintai tolong mengatarku ke supermarket.

"Aku tidak akan lama, turuti saja perintah kakakmu yang supersibuk itu."

"Iya, iya! Padahal hari ini aku ada kencan dengan pacarku, bisa-bisanya Kakak.... Pasti menyuruhku di waktu yang tidak tepat," keluh Hyunjin sembari menyalakan mesin mobilnya.

Aku sih tidak peduli bagaimana perasaannya, yang pasti aku bisa belanja sekarang juga. Walaupun mereka saudara kandung, setidaknya Hyunjin lebih bisa diatur. Aku tidak perlu mengulang perkataanku sampai berkali-kali agar dia mau menurut.

Ini hari yang baik untuk keluar rumah. Sebelum musim panas berakhir, sebaiknya aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menghirup udara segar dan mengusir suntuk yang mengurungku di dalam apartemen. Angin sejuk mulai berembus, dan kuamati sebagian besar orang menghabiskan waktunya di taman.

Tengah santai menikmati perjalanan, tiba-tiba saja jantungku berdetak cepat. Saking cepatnya hingga aku kesulitan mengatur napas. Hyunjin terlihat panik dan inisiatif menghentikan mobilnya.

"Kakak kenapa? Kakak baik-baik saja??" cemasnya. "Tolong jangan pingsan di mobilku, dong!"

"Nggak, aku baik-baik saja. Lanjutkan perjalanannya...."

"Jangan bohong, tadi itu Kak Sohyun mirip orang yang mau meninggal, aku jadi takut."

"Bicaramu jangan aneh-aneh! Masa iya aku dibilang seperti orang mau meninggal!" protesku sambil melayangkan pukulan ke kepalanya.

"Maaf, iya, ini aku lanjutin. Beneran baik-baik aja nih?"

"Iya, cerewet sekali. Cepat jalankan mobilnya!"

"Oke...."

Aku meraup mukaku, menghindari pemandangan yang ada di luar jendela mobil. Kelihatannya aku tahu, sesuatu apa yang memicu diriku hingga bereaksi seperti tadi. Di luar sana, ada perlintasan kereta yang melintang. Mengingat penyebab kematianku dulu yang tak lain karena sebuah kecelakaan kereta, jantungku langsung berdebar-debar dan keringat dingin menyelimuti tanganku yang gemetaran. Aku sama sekali tidak ingin mengungkitnya lagi.

"Kakak masuk duluan, aku akan memarkir mobilnya."

Hyunjin memilih memarkirkan mobilnya di basement sedangkan aku diminta masuk ke supermarket terlebih dahulu. Tetapi, ketika kakiku hendak melangkah mendekati pintu masuk yang ada di seberang, sebuah mobil hampir saja menabrakku. Kejadian apa lagi ini? Hari ini mungkin membahagiakan di mata orang lain, tetapi justru membawa sial bagiku. Aku jatuh tersungkur, lututku lecet dan aku meringis kesakitan.

"Nona, kau tidak apa-apa? Maafkan saya karena terburu-buru mengendarai mobil!"

"Saya baik–"

Mataku melotot menyaksikan penampakan orang yang menolongku. Seorang pria bertubuh jangkung, dengan rambut cokelatnya yang khas dan iris matanya yang senada. Bibir yang bagian bawahnya lebih tebal serta lengan yang panjang dengan urat nadi menonjol di permukaan. Tidak salah lagi, Kim Brengsek Seokjin!

"Lepaskan, saya baik-baik saja!"

"Nona Sohyun?"

Dia mengenal Sohyun? Bagaimana bisa?

"Maaf, Anda mengenal saya?"

"Bagaimana mungkin saya tidak mengenali putri pemilik Yeosang Group? Saya dengar Nona sempat sakit beberapa hari lalu. Tapi syukurlah, Nona terlihat lebih segar."

Aku tidak berkata apapun. Kulemparkan senyum padanya meskipun aku muak. Saat ini aku adalah Sohyun, rasanya akan aneh jika sikapku kasar terhadapnya padahal aku sendiri belum tahu hubungan keduanya seperti apa.

Aku hanya mengikuti arahannya, ia menuntunku ke sebuah bangku yang letaknya tidak terlalu jauh. Jin berlari kecil menuju mobilnya dan mengambil sesuatu, ia juga meminta seorang penjaga untuk memarkirkan mobilnya.

"Saya selalu membawa kotak P3K, semoga ini membantu."

Dengan lembut, ia membersihkan dan
mengobati luka di lututku. Di luar, mungkin aku tampak biasa saja. Ekspresi yang tenang dan merasa asing. Namun sejujurnya, di dalam sini, hatiku terasa seakan dicubit keras. Di balik tatapanku yang ramah, tersimpan kebencian yang meluap-luap. Aku tidak bisa mengungkapkannya. Seandainya bisa, aku pasti ada kesempatan untuk menampar pria ini sejadi-jadinya.

Bisa-bisanya kau memasang senyum terhadap wanita lain setelah kematianku?

Apa kau bahagia karena aku telah tiada?

Tidak heran waktu itu aku tertipu. Tampangmu memang serigala berbulu domba. Jika saja aku sadar sedari dulu, aku mungkin tidak ada di sini sekarang.

"Kak Sohyun! Kakak kenapa lagi?"

"Terluka sedikit, sebaiknya kita masuk ke dalam. Aku tidak mau telat memasak untuk suamiku."

"Perlu saya bantu, Nona? Walau bagaimanapun ini salah saya. Saya harus bertanggungjawab."

"Tidak perlu, ada adik ipar saya yang siap membantu saya kapanpun. Saya permisi...."

Tidak bisa. Semakin lama kamu muncul di hadapanku, aku takut. Perasaan itu akan muncul kembali dan aku akan lebih tersakiti. Baik kamu, dan segala hal tentangmu, aku ingin melupakan semua itu.

Yoon Yooseul, fokuslah pada tujuanmu!

***

Di malam yang sama sebelum kematianku datang, aku mendapat tugas untuk mengantar pesanan kue di sebuah apartemen yang letaknya di pusat kota. Karena itu adalah agenda terakhirku di hari tersebut, aku pun dengan semangat mengendarai motorku ke alamat yang dituju.

Apartemen dengan nomor 210 itu adalah milik seorang ibu rumah tangga dengan anaknya yang masih kecil, berumur sekitar empat tahunan. Aku tersenyum ramah seraya menyerahkan tiramisu yang telah dikemas rapi dalam box kue berlogo "Golden Bakery".

Selesai mengerjakan tugasku, aku segera pulang karena aku telah menyiapkan sesuatu. Hari itu adalah hari ulang tahun orang yang sangat kucintai. Kami berjanji akan bertemu di taman yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Tetapi, kebahagiaanku berakhir begitu saja saat ponselku bergetar dan sebuah pesan masuk dari orang yang paling spesial itu.

Maaf, hari ini aku banyak pekerjaan. Bisakah kita tunda dulu ketemuannya?

Aku mendesah berat. Apa kue buatanku bisa bertahan sampai besok? Iya kalau saja dia meluangkan waktunya untuk besok. Tetapi bagaimana jika harus ditunda lagi sampai lusa? Atau malah sampai waktu yang tidak dapat ditentukan?

Aku sadar dia orang sibuk. Tidak sepertiku yang cuma harus melayani di toko dan mengantar pesanan. Tugasnya sebagai pemilik hotel bintang lima sudah pasti lebih berat lagi.

Tetapi, dengan dia yang selalu menunjukkan perhatian dan cintanya padaku, menurutku itu sudah cukup. Aku tidak perlu khawatir sebab pertemuan yang singkat dan bahkan jarang. Aku yakin, namaku lah yang akan selalu terukir di hatinya dan menjadi prioritasnya. Gadis miskin sepertiku mendapatkan pria baik sepertinya, Tuhan pasti sedang memberiku sebuah penghargaan dan aku bangga akan itu.

Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celanaku dan terpaksa harus pulang menelan kecewa.

Di lorong sepanjang apartemen yang aku lewati, terdapat satu titik dimana aku menyaksikan suatu hal yang membuatku jantungku berhenti untuk sesaat. Suatu hal dimana aku berpapasan dengan orang yang baru saja mengirimiku pesan.

Aku termenung sepersekian detik saking tidak percayanya. Tetapi aku ingin memastikan, yang aku lihat tadi tidak benar kan?

Aku membalikkan badan, sekelebat aku melihat sosok yang mirip dengan orang yang kucintai itu masuk ke gedung apartemen bernomor 108. Aku memberanikan diri ke sana. Berharap pemandangan tadi adalah fatamorgana yang ketika kudatangi langsung ia hanyalah ilusi optik semata.

Dengan napas yang memburu, kupencet bel di apartemen tersebut. Beberapa kali hingga seseorang berhasil membukanya. Sebuah wajah familiar, menyapaku dengan mimik terkejut. Begitupun diriku.

"Oppa?"

"Sayang, siapa yang datang?"

Kudengar teriakan itu dari balik punggungnya yang lebar. Aku tak dapat melihat wanita tersebut, namun, percaya atau tidak, dia pasti bukan wanita sembarangan.

"Katakan, katakan kalau ini hanya kesalahpahaman," pintaku dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Seorang pria yang kukenal penyayang, lemah lembut dan perhatian, tidak mungkin mengkhiataniku begitu saja. Setidaknya, kala itu kepercayaanku padanya masih sangat kuat. Jika ia memberikan alasan yang logis, aku tidak akan marah dan kecewa padanya. Tetapi aku salah. Jawabannya hari itu, justru telah menjungkirbalikkan kepercayaan yang kuberikan. Ia sendiri yang merusak hubungan kami, hubungan yang ternyata malah bukan apa-apa baginya.

"Apa yang kau lihat dan apa yang kau pikirkan, itu bukan salah paham."

"Oppa, jangan bercanda di hari ulang tahunmu. Aku tau kau mengerjaiku kan?"

"Apa kau buta? Sebaiknya kau pergi dan jangan menggangguku dengan wanita yang aku sukai."

Pria itu hampir menutup kembali pintu apartemennya, tetapi aku menahannya.

"Oppa, katakan dengan jujur. Bagimu, aku ini apa?"

Sorot mata yang lembut itu berubah menjadi sangat sinis. Berkali-kali membayangkannya pun, rasa sakit hatiku tidak akan pernah lenyap. Masih membekas di sudut yang sama.

"Kau hanyalah gadis polos yang sengaja dikorbankan oleh orangtuaku. Sebaiknya, jangan membahas masalah ini lagi kalau kau masih ingin menikah denganku."

Dan hari itu juga, aku mengerti bahwa mengetahui secara langsung orang yang kau cintai mengkhianatimu merupakan rasa sakit abadi yang seratus kali lipat lebih kejam daripada mengetahuinya dari orang lain.

***


Tbc...

Aku double up yaa... Semoga bisa rajin update ke depannya biar jalan ceritanya kalian nggak lupa :v

Oiya, minta doanya karena aku sambil nyusun buat skripsi :") pingin cepet lulus aja lah :)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top