Bab 4
Hari ini, tepat bertambahnya satu hari sejak aku berpindah raga. Langit di luar sana terlihat jernih dengan warna birunya, angin pun bertiup membawa kekeringan dan juga hawa dingin. Sebentar lagi musim dingin pertamaku sebagai Sohyun akan tiba.
Tidak terasa, hampir tiga minggu lamanya sejak Kim Taehyung melayangkan surat cerainya di atas meja. Kami mengalami sedikit perdebatan kala itu. Tentu saja aku tidak mau mengalah dan tetap teguh dengan pendirianku. Mungkin, Taehyung saja yang sangat pengecut hingga ia tak berani menampakkan batang hidungnya setelah peristiwa tersebut.
Ya, aku tinggal sendirian—lagi—di apartemen. Taehyung pergi diam-diam di suatu pagi tanpa meninggalkan kabar sekecap kata pun. Lagi pula, memang kami tak memiliki hubungan baik. Jadi, aku menganggap wajar sikap dingin dan tidak pedulinya terhadapku.
Dan hari ini sesuai janji, aku akan mengunjungi lokasi syuting Kak Jisoo. Kebetulan sekali, jarak tempatnya tidak jauh dari apartemenku. Aku tidak menemuinya sebelum ini, sebab Kak Jisoo mengambil scene yang jauh, dan itu berada di sebuah pulau di luar kota Daegu. Oleh sebab itu, kali ini adalah kesempatan pertamaku mengunjungi syuting debut dramanya untuk mendukungnya secara langsung.
Aku berangkat menggunakan taksi. Jangan tanya padaku, dari mana aku mendapatkan uang selama ini. Kalian pasti terkejut dengan jawabannya. Ya, dari Kim Taehyung. Secara berkala, setiap minggu sekali, pria itu mentransfer sejumlah uang ke rekening Sohyun. Awalnya aku tidak percaya. Mana mungkin kan, pria seperti dia mau menafkahi istri yang dibencinya ini? Tetapi kenyataan berkata lain. Sekejam apapun Taehyung, ia sadar bahwa ia memiliki peran sebagai suami. Tinggal bagaimana caraku agar dapat meluluhkan es di hatinya itu. Dan kelihatannya memang sangat sulit.
Aku berpakaian rapi mengenakan long coat warna cokelat susu dan penutup kepala. Aku memasukkan rambutku yang panjang ke dalam coat agar tidak berantakan tertiup angin. Karena dingin, aku menutup kakiku dengan sepatu boot yang batasnya di atas mata kaki. Sebenarnya, aku hanya mengombinasikan pakaian yang ada di closet milik Sohyun. Aku cukup dibuat terheran-heran, wanita kaya sepertinya, kenapa memiliki variasi pakaian yang kuno dan sangat sedikit? Padahal kan, dia bisa meminta uang belanja kepada ibunya, atau ya ... kepada suaminya jika diperbolehkan. Aku sungguh tak habis pikir.
Sesampainya di lokasi, aku menatap ujung gedung pencakar langit yang nyaris tak tertangkap mata. Yang dapat kudeskripsikan adalah gedung ini sangat tinggi, lapangan parkirnya luas. Sepanjang jalan di bagian depan gedung juga terkesan indah, terdapat taman di sana. Pohon-pohon maple yang daunnya mulai berwarna kekuningan cukup memanjakan indera pengelihatanku.
Langsung saja aku naik ke lantai di mana Kak Jisoo melaksanakan take adegannya. Sebelumnya, aku meminta izin ke salah satu kru yang berjaga di lantai dasar gedung. Aku menunjukkan identitasku sebagai adik kandung dari Kim Jisoo. Tetapi, apa yang kudapat? Kru itu mengira bahwa aku sedang berhalusinasi saja. Atau, jika aku bersikeras menentang orang itu, maka aku dikatai paparazi. Aku pun sangat marah.
"Kalau Anda mengatakan kebohongan, kami bisa menuntut Anda atas tuduhan penipuan," ujarnya.
"Pak, saya tidak bohong. Saya adik kandung dari Kak Jisoo. Bapak mau buktinya? Silakan dilihat," jawabku sambil menunjukkan hasil chatting-ku dengan Kak Jisoo.
"Maaf, sekali lagi, kami tidak bisa mengizinkan Anda untuk masuk." Pria itu lalu mengembalikan ponselku dan menyuruhku pergi.
Karena sangat kesal, aku menelepon Kak Jisoo. Namun, belum sampai hal itu kulakukan, aku dikejutkan dengan sesosok lelaki yang terasa jinak di kepalaku. Meskipun rambutnya sedikit lebih panjang dari yang terakhir kali aku lihat, aku yakin dia orang yang sama. Seorang pria dengan perawakan tinggi, berkulit agak kecokelatan, bermata sayu tetapi tajam dan menusuk, dan bibirnya yang merah muda walaupun tanpa pemoles warna melekat di ingatanku bersamaan dengan sikap apatisnya.
"Kim Taehyung!" teriakku secara tidak sengaja. Itu pun sukses membekukan langkah kakinya yang terburu-buru.
Pria penjaga pintu di sebelahku teramat takjub. Oh tidak, ekspresi kagetnya itu mengisyaratkanku bahwa akan segera terjadi hal buruk. Di sisi lain, dengan polosnya aku malah melempar senyum kepada si pria bermuka papan catur itu. Ia mengintimidasiku dengan sorot ketusnya. Sesuai harapan, Taehyung pun berjalan mendekatiku.
"Pak Sutradara mengenal nona ini?" tanya si penjaga yang mengenakan kacamata hitam legendarisnya.
Taehyung masih tenggelam dalam aktivitasnya yang memperhatikanku. Aku menunggu harap-harap cemas. Hanya dia yang bisa menolongku saat ini. Namun, harapanku musnah seketika. Taehyung menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya berbalik pergi masuk ke dalam sebuah lift. Saking kesalnya, aku menghela napasku kasar dan melepas sepatuku untuk kulempar ke arahnya.
Buk! Suara echo tersebut terdengar memilukan. Tak meleset, sebab sepatu boot tebalku tepat mengenai kepala bagian belakang Kim Taehyung. Aku sangat terkesan, kukira aku akan gagal menimpuknya. Ternyata berhasil. Ya, itu adalah sebagian kecil dari pembalasan dendamku terhadap sikapnya yang menyesakkan dada.
"Hei, Nona! Apa masalah Anda?!"
Si penjaga langsung menahan lenganku, menduga kalau aku akan berbuat hal yang lebih gila lagi.
"Lepaskan dia!" kata Taehyung masih dari tempat berdirinya. "Tidak ada yang boleh menyentuh wanita itu selain aku!"
"T–tapi, Sutradara Ye?"
"Kembali berjaga! Untuk sementara, dia akan kubawa!"
Taehyung pun menarik lenganku, dan menyeretku masuk ke dalam lift bersamanya.
***
Aku—dari balik tubuhnya—dapat melihat punggungnya yang kokoh. Setiap kali aku berada dalam posisi ini, hal yang melintas di kepalaku adalah suatu kekaguman dan ketidakpercayaan, bahwa sekarang aku memiliki seorang suami yang sebegitu tampan. Meski bukan suami resmi, tetapi tubuh yang aku masuki ini tetaplah manusia yang telah terikat sebuah pernikahan dengan pria di hadapanku.
Aku mengamati wajahnya yang samar-samar dari pantulan dinding lift yang terbuat dari bahan besi. Kami terdiam dalam waktu yang cukup lama. Aku sampai tidak memperhatikan, ke lantai berapa Taehyung tadi menekan. Saat aku sibuk mengamati indah tubuh bagian belakangnya, Taehyung tiba-tiba berbalik.
Air mukanya sangat tegas. Otot lehernya mengeras dan tercetak jelas, membuatku kesulitan menelan air liur. Suaranya yang berat dan rendah pun mulai berbisik padaku, "apa yang kau lakukan di sini?"
Aku hampir salah tingkah. Bila tidak mengingat jati diriku yang sesungguhnya, pasti aku sudah dikalahkan oleh visual Kim Taehyung.
"Untuk apa lagi, yang pasti, bukan untuk bertemu denganmu," jawabku asal.
Taehyung mengalihkan pandangan, seperti kehabisan kata-kata.
"Kenapa? Kenapa kau menghindariku? Urusan kita tempo hari belum selesai, dan kau justru menghilang."
"Aku orang sibuk, bukan sepertimu yang bisanya hanya duduk santai menerima uang."
"Apa?! Hei, siapa yang membutuhkan uangmu? Siapa yang menyuruhmu mengirim uang ke rekeningku? Kukatakan ya, aku juga bisa mencari uangku sendiri."
"Oh, begitu. Bagus," responnya.
Setelah itu, kami tidak lagi berbicara. Aneh. Sebatas itulah kedekatan kami. Hanya untuk menyembunyikan emosi satu sama lain. Memperdebatkan hal-hal kecil yang tidak masuk akal untuk dijadikan sumber kemarahan.
Hingga kemudian, pintu lift terbuka. Taehyung berjalan keluar terlebih dahulu dan meninggalkanku di belakang sendirian. Saat itu pula, aku baru menyadari, sepatuku hilang sebelah. Hah, pasti tertinggal di lantai bawah saat kugunakan untuk menimpuk si tuan kutub es itu.
"Sohyun-ah!" Aku mendengar suara yang familiar, yang tak lain adalah Kak Jisoo, kakak kandung Kim Sohyun.
Aku mempertontonkan senyuman palsuku. Mood-ku sangat hancur sekarang, tetapi jangan sampai hal ini tertangkap basah oleh Kak Jisoo. Aku tidak ingin merusak suasana pertemuan kami berdua.
Kak Jisoo adalah wanita yang sangat cantik. Sikapnya lembut dan manis, ia orang yang sangat ramah dan bertutur kata halus. Rambutnya hitam dan panjang, wajahnya pun tirus. Diikuti oleh bentuk tubuh yang ideal. Kak Jisoo dapat dikatakan memenuhi standar kecantikan di Korea Selatan.
"Hai, Kak. Bagaimana syutingmu? Lancar?"
"Pastinya! Apalagi suamimu yang turun tangan langsung menjadi sutradaraku," jawabnya dengan gembira.
Ah, benar juga. Taehyung adalah seorang sutradara. Tidak heran dia ada di gedung yang sama dengan kakak, pasti ada hubungan kerja. Aku baru memahami situasi ini.
"Ayo, kita duduk dan berbincang. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu," ajak Kak Jisoo. Aku pun menurutinya karena ia terlihat senang dengan kehadiranku.
***
Selama bercakap dan mengobrol santai dengan Kak Jisoo, ada satu hal yang tertinggal di benakku. Aku sangat ingin menanyakannya pada kakak, tetapi perasaan enggan merusak suasana keakraban kami pun menghambat rasa keingintahuanku.
Sejak awal memasuki gedung, aku dibuat bingung. Melihat diriku, seharusnya orang langsung tahu bahwa aku adalah istri dari Kim Taehyung. Terlebih, Taehyung adalah orang penting yang terlibat dalam syuting drama ini. Aku tidak masalah jika orang-orang tidak mengenaliku sebagai adik dari Kim Jisoo. Sebab Jisoo adalah artis pendatang baru, wajar saja jika privasinya masih tertutup rapat.
Semakin dipikirkan, hatiku semakin terbakar amarah. Mendengar orang-orang selalu menggosipkan kedekatan Kak Jisoo dan Taehyung, entah mengapa membuatku tidak suka. Bayangkan saja, Taehyung yang sudah beristri bisa-bisanya dijodohkan dengan wanita lain, itu pun wanita yang merupakan kakak dari sang istri. Parah sekali.
Aku sekarang tengah mencegat taksi untuk pulang ke apartemen. Hari mulai gelap. Kak Jisoo sudah selesai syuting, tetapi karena masih ada urusan mendadak, ia tak bisa mengantarku sampai ke apartemen.
Kemudian, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depanku. Ketika pintu jendelanya terbuka, aku tercengang.
"Hoo, Suamiku. Apa kau akan mengantarku pulang?" ujarku menggodanya.
"Aku cuma mau mengatakan," katanya yang sengaja diberi jeda. "Aku pulang duluan," lanjutnya.
"Apa?!"
Haish, yang benar saja dia meninggalkan istrinya di pinggir jalan! Dia sudah gila, ya?!
Yang bisa aku lakukan saat ini adalah menatap plat mobil Kim Taehyung yang menyala tersorot lampu. Dan dua cahaya merah dari belakang mobilnya itu perlahan lenyap. Aku pun ditelan kekesalan yang mendarah daging hingga ke tulang-tulang.
Awas saja nanti, ancamku dalam hati.
Setelah menempuh usaha yang keras untuk mencapai apartemen, aku kelelahan. Napasku memburu, dan kakiku terasa nyeri. Suhu yang dingin membuatku beberapa kali menggigil dan terbersin. Di apartemen, aku melihat Taehyung yang sibuk memainkan tablet-nya sambil menyesap kopi.
"Wah, enak banget ya, meninggalkan istri di jalan dan sekarang santai-santai sambil minum kopi," sindirku karena aku sudah tidak tahan.
"Maaf, aku lupa kalau punya istri," tanggapannya dengan tetap menggeser-geser layar tablet itu dengan jempolnya.
Aku bergegas merebut benda kotak itu, lalu mengarahkan wajah Taehyung agar ia fokus menatapku.
"Kita belum bercerai, tahu!"
Ah, kalimatku itu sangat kekanakan. Aku terlalu marah sampai-sampai keceplosan. Aku sedang tidak bisa mengontrol diriku sendiri, aku kesal karena pria ini mengabaikanku. Entah jika Sohyun yang berada di posisi ini, mungkin dia akan diam saja seperti wanita bodoh. Tetapi aku bukan Kim Sohyun. Aku bisa meledak kapan saja. Terlebih, aku tidak suka diabaikan orang lain.
"Kau tidak bisa mengabaikanku seperti itu, Kim Taehyung-ssi!"
"Baiklah, aku sudah memberikanmu waktu tiga minggu. Sepertinya masih kurang ya untuk menandatangani surat cerai itu?" ucapnya dengan irama tenang. Berbanding terbalik dengan nada bicaraku yang tinggi dan menggebu.
"Kenapa kau keras kepala ingin pisah denganku? Apa aku kurang cantik di matamu?"
Benar. Sohyun adalah wanita yang cantik. Tidak kalah cantik dari Jisoo karena mereka juga masih bersaudara. Sohyun memiliki tubuh yang ramping, meskipun saat pertama kali aku berada di tubuhnya, ia terlihat kurus seperti tidak makan satu minggu. Sohyun memiliki dua mata yang bulat dan besar. Pipinya walau tidak tirus, tetapi sangat menggemaskan. Kulitnya seputih susu, senyumnya juga indah. Apa yang kurang dari seorang Kim Sohyun?
"Kau cantik," jawabnya. Dua kata itu membuat jantungku berdebar. Sebuah pujian yang dulu sering diucapkan seseorang padaku—Yoon Yooseul—sekaligus sebuah senjata makan tuan yang membuatku patah hati dalam satu malam. Apakah yang dikatakan Taehyung juga merupakan sebuah bualan?
"Tapi aku tidak menyukaimu. Bukankah alasan itu cukup untuk perpisahan kita?"
Ya, aku pun setuju. Pernikahan tanpa cinta memang sebaiknya dihindari oleh siapapun. Namun, Sohyun dan Taehyung adalah lain cerita. Dengan latar belakang hidup Sohyun yang menyedihkan, aku tidak ingin bertambah lebih menyedihkan setelah Taehyung menceraikannya. Perasaanku tidak baik berkaitan dengan hal ini.
"Baiklah. Jika cinta adalah hal yang kau butuhkan, maka berikan aku waktu," tegasku.
Taehyung tersenyum sinis, seolah menganggap remeh ucapanku.
"Apa memangnya yang bisa aku harapkan dari wanita lemah dan hilang ingatan sepertimu? Apa lagi yang ingin kau lakukan untuk membuatku terganggu?"
"Beri aku waktu satu bulan, aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku. Jika aku gagal, maka aku setuju kita bercerai. Bagaimana?"
Taehyung menarik ekspresi wajahnya. Kini, raut mukanya terlihat seperti dia pada biasanya. Dingin dan terkesan sukar didekati.
"Oke. Aku memberimu kesempatan. Asalkan, kau berhenti memanggil nama asliku di depan orang-orang."
"Ya ... aku tidak bisa menjamin hal itu. Tetapi akan kuusahakan," janjiku padanya.
Taehyung merebut kembali tablet-nya yang aku pegang. Lalu melanjutkan pekerjaannya.
Memperhatikanku yang tak kunjung enyah dari hadapannya, Taehyung pun melepas kacamatanya dan bertanya, "Apa lagi?"
"Kita melupakan satu hal," kataku.
"Ap–"
Dia diam membisu. Aku yang tiba-tiba mencium bibirnya, membuatnya terduduk kaku.
"Ciuman selamat malam, aku tidur duluan," ucapku dengan roman yang sangat puas.
Tbc
Jangan lupa, tekan bintang dan commentnya supaya part selanjutnya bisa up lebih cepat ^^
Borahae💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top