Bab 35
6 Bulan kemudian.
Aku sedang di dapur saat tak sengaja kuah panas dari sup rumput laut yang kumasak tumpah dan mengenai tanganku. Teriakanku membuat Mama buru-buru datang dengan bersungut-sungut.
"Ya ampun! Kenapa jadi tumpah-tumpah begini? Kau bisa masak tidak sih? Lihat tanganmu! Astaga, kerjaanmu selalu bikin Mama pusing! Kau suka ya kalau Mama kena hipertensi?!"
Mama pun segera menggeser posisiku. Beliau yang membereskan kekacauan yang kubuat. Aku diam berdiri, memperhatikanya dari belakang. Rasa malu dan bersalah bercampur aduk menjadi satu.
"Sudah sana, obati dulu tanganmu. Biar Mama yang menyiapkan supnya," titahnya.
Mungkin cuma perasaanku, tetapi sejak kehamilanku, Mama bersikap sedikit lebih lembut dan perhatian. Yah, walaupun omongannya masih tetap pedas sampai-sampai telingaku tak tahan mendengarnya bicara.
"Perutmu itu sudah besar. Jangan melakukan pekerjaan berbahaya seperti tadi. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan cucuku? Kau mau menanggung akibatnya, huh?" omelnya yang masih berlanjut.
Aku duduk di meja makan. Mama datang membawakan sup yang sudah disajikan di dalam mangkuk, lengkap dengan segelas susu yang masih hangat.
"Sup rumput laut itu baik untuk produksi ASI, dan sebentar lagi kau memasuki usia kehamilan yang ke-9 bulan. Sup ini dapat membantu kontraksi rahimmu nanti. Kau pikir, kenapa selama ini orang-orang kalau berulang tahun mengkonsumsi sup rumput laut? Itu karena mereka harus menghargai betapa susah payahnya ibu mereka sewaktu melahirkan mereka dulu. Dan sup rumput laut inilah yang membantu kelancaran persalinan."
Mama mulai mengoceh sesuatu yang tidak ingin aku ketahui. Aku selalu mendengarkannya, menghargai usahanya mengajakku bicara. Lagi pula, Mama memberikan info yang cukup penting. Aku harus menandainya. Makan sup rumput laut ketika hamil, dapat memperlancar proses persalinan dan produksi ASI.
"Enak?"
"E–enak, Ma."
"Ya enak lah, kan tinggal makan," sarkasnya. "Habiskan. Tidak baik menyisakan makanan. Oh, bukankah sekarang waktunya Hamin pulang sekolah?"
"Taehyung bilang, dia yang akan menjemput Hamin hari ini."
"Ck, kan sudah kubilang. Kalian pekerjakan babysitter saja. Suamimu itu tidak setiap hari punya waktu luang. Kalau dia sedang ada meeting, nanti Mama lagi yang harus menjemput anak itu. Ujung-ujungnya kalian merepotkan Mama!"
"Mama tidak usah khawatir, Taehyung dan Sohyun bisa mengurus Hamin sendiri, kok."
"Tuh! Mulai lagi! Sampai kapan kalian mau sombong dan sok bisa? Kau hamil besar, Taehyung sibuk di kantor, Papamu juga. Cuma Mama yang mengaggur, Mama juga yang akhirnya mengurusi anak itu. Kalian selalu tidak mendengar saran Mama!"
Oh, Ya Tuhan. Kapan ini akan berakhir? Aku ingin cepat-cepat istirahat di kamar.
"Mama, kami pulang!" seru Taehyung yang datang dari pintu depan. Terlihat Hamin yang digandeng olehnya. Mereka berjalan menuju meja makan, menghampiriku dan Mama.
"Halmeoni!" Hamin berlari ke arah neneknya.
Aku tersenyum melihat Mama yang melebarkan kedua lengannya untuk menyambut Hamin. Seperti yang kubilang, omongan Mama mungkin terdengar kejam tetapi sesungguhnya ia menerima Hamin sebagai cucunya. Mama selalu bersikap perhatian dan lemah lembut di depan Hamin.
"Oh, cucu Nenek sudah pulang? Bagaimana sekolahnya hari ini?"
"Tadi teman Hamin ada yang berulang tahun, Hamin dapat kue! Yeay! Halmeoni mau?"
"Wah, kuenya kelihatan enak. Bagaimana kalau kita makan berdua?"
"Hore!! Hamin mau makan sama Halmeoni!" ujar Hamin girang. Anak itu mengepalkan kedua tangannya ke atas, tampak bersemangat.
"Kalau begitu, ayo kita makan kuenya sambil nonton TV."
Sebelum meninggalkan kami, Mama sedikit melirik ke arahku. Tatapan yang tidak dapat kuartikan, namun aku tidak memedulikan itu karena ada suamiku di sini.
"Sayang, bagaimana keadaanmu? Sudah makan?"
"Seperti yang kau lihat. Aku baru saja menghabiskan semangkuk sup rumput laut buatan Mama."
"Mama membuatkanmu sup? Mimpi apa Mama semalam?"
"Iya, kan? Aku juga heran. Tapi, bukankah ini pertanda bagus? Mama sedikit demi sedikit mulai memperhatikanku."
"Kalau begitu aku turut senang. Hei, kenapa tanganmu?! Kok merah sekali?"
Taehyung panik. Sambil menggenggam tanganku, ia menatapku tajam. Aku tidak bisa berkelit. Aku salah, karena aku tidak berhati-hati saat memasak. Dia pasti marah.
"Aku tidak sengaja menumpahkan kuah panas saat memasak tadi."
"Astaga, Sohyun! Berapa kali kubilang, jangan memasak sendirian! Itu bahaya! Kau sedang hamil besar, kan di sini sudah ada pembantu. Kau tinggal minta mereka membuatkan apa yang kau mau. Apa susahnya sih?"
"Aku kan pingin bikin sendiri. Aku lagi pingin masak. Salah, ya?"
"Jelas-jelas salah. Kalau kau tidak sedang hamil, aku pasti mengizinkanmu. Tapi perutmu sebesar ini, untuk berdiri saja pasti memakan energi. Apalagi ini untuk memasak. Kau hobi sekali membuat suamimu jantungan, Sohyun?!"
"Iya, iya. Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Sini, biar aku obati. Di mana salepnya diletakkan?"
Ah benar, saking fokusnya menyaksikan Mama memasak, aku sampai lupa mengobati lukaku.
Taehyung berdiri, menggeledah satu per satu rak yang ada di sekitar dapur hingga ia menemukan kotak P3K yang ia cari. Dengan teliti Taehyung mengobati lukaku. Sambil meratakan salep ke area yang kemerahan, Taehyung sesekali meniupnya. Membantuku mengurangi rasa panas akibat kejadian itu.
"Sekarang, ayo ke kamarmu. Kau harus beristirahat."
"Baiklah," jawabku patuh. Namun, tiba-tiba Taehyung mengangkat tubuhku. "Apa yang kau lakukan?! Tubuhku berat, lenganmu bisa patah tahu?!"
"Apa sih, Seumul saja tidak protes kok ibunya digendong. Iya, kan, Seumul?"
"Seumul itu masih kecil! Mana dia tahu kalau sikapmu ini berlebihan terhadapku?"
"Eih, Seumul dan aku itu satu hati satu pikiran. Kalau aku bilang tidak, Seumul juga bilang tidak. Kau tidak percaya?"
Aku meninggikan sebelah alisku. Taehyung membuka daun pintu yang menuju ke arah kamar kami yang ada di lantai satu. Sebelumnya, kamar kami berada di lantai dua. Namun saat kehamilanku menginjak lima bulan, Mama meminta kami pindah ke kamar tamu yang ada di lantai satu.
"Nah, selonjorkan kakimu." Aku mengikuti perintah Taehyung. Pria itu bahkan menata bantal dan meletakkannya di belakang punggungku sehingga memudahkanku bersandar.
"Sini, kupijat kakimu."
"Tidak perlu—"
"Jangan membantah! Salahkan dirimu, siapa suruh kau melakukan aktivitas berat? Setiap kau melakukan hal-hal yang melelahkan, maka kau dilarang menolak pijatanku."
Aku tersenyum mendengar kalimatnya. Manis sekali.
"Ngomong-ngomong, aku tidak sabar menantikan Seumul kita lahir. Aku juga agak deg-degan. Apa kau merasakan hal yang sama, Sayang?"
"Aku yang lebih deg-degan. Ini pertama kalinya aku mengandung, aku sedikit takut."
"Pertama kali?"
"Ah, maksudku, pertama kali setelah mengalami keguguran waktu itu," elakku.
Hampir saja keceplosan.
Taehyung meraih kedua tanganku dan menciumnya. Ekspresinya tampak tenang. Seolah-olah mengatakan bahwa tidak akan terjadi apapun selama ada dia di sampingku.
"Seumul itu anak yang kuat. Dia pasti lahir dengan selamat. Kau harus yakin itu. Lagi pula, aku akan terus berada di sisimu nanti. Kau tidak perlu takut. Kau cukup fokus menjaga kesehatanmu sampai bayi kita lahir."
Kata-kata Taehyung menjadi penenang tersendiri buatku. Mungkin ini kehamilan kedua Sohyun, tetapi bagiku, ini adalah pengalaman pertama aku akan melahirkan seorang bayi. Bayang-bayang pikiran, seperti apakah melahirkan itu sangat sakit? apakah melahirkan itu sulit? apakah aku bisa melakukannya dengan baik? selalu datang menghampiriku kapanpun tak pandang waktu.
Tetapi, menjadi kebanggaan tersendiri ketika aku merasa telah berhasil mengandung Seumul. Tinggal satu bulan lagi dan kami semua dapat melihat wajahnya. Aku tak sabar, apakah dia laki-laki atau perempuan?
***
Tak berjalan sesuai harapan. Seumul yang seharusnya lahir bulan depan, terpaksa harus lahir lebih awal karena air ketubanku pecah. Kami sekeluarga panik, terutama Taehyung. Ia trauma dengan kejadian meninggalnya bayi pertamanya sehingga jika sesuatu terjadi pada Seumul, maka ia tak akan memaafkan dirinya sendiri.
Setelah berjuang melahirkan Seumul secara normal, aku dipindahkan ke ruang rawat. Aku ingat, kala itu sekujur tubuhku banjir keringat. Perutku sangat nyeri dan rasanya aku ingin berteriak kencang karena kesakitan. Beruntung Taehyung mendampingiku selama proses persalinan. Seumul lahir dalam kondisi selamat. Awalnya ia diam. Dokter kandungan yang menanganiku hampir saja memberikan analisa terburuknya. Tetapi keajaiban datang, beberapa saat kemudian terdengar suara tangisan. Suara indah Seumul yang disambut oleh dunia. Segera, Seumul dipindahkan ke inkubator dan mendapat alat bantu pernapasan.
Tamu mengejutkan pun datang menjengukku. Ya, mereka adalah orang tua Sohyun. Orang yang sempat kupanggil Mama dan Papa. Setelah sekian lama tak menemuiku, mereka memunculkan wajahnya. Terakhir kali kami bertemu di persidangan. Saat itu, mereka tak berpihak padaku dan meragukan kesaksianku. Rasanya hatiku masih sakit karena tak dipercayai oleh mereka. Aku tak tahu, apa yang membuat mereka mendatangiku hari ini. Aku harap, mereka tak menyinggung soal masa-masa itu karena aku tak ingin lagi membahasnya.
"Sohyun, anakku," rintih Mama. Aku membelalakkan mata—terkejut—ketika tiba-tiba Mama berlutut di atas lantai. Karena kondisiku yang lemah, aku tak dapat mencegahnya.
"Maafkan Mama, Sayang. Mama bersalah padamu. Salah besar."
"Mama mencurigaimu, Mama tidak mendukungmu, Mama berdosa terhadapmu," lanjutnya.
Kupikir, Mama adalah orang yang paling menyayangi Sohyun. Ketika ayah kandungnya sendiri membuangnya hanya gara-gara mental Sohyun terganggu. Tetapi pada akhirnya semua terungkap. Bagi Mama, Kak Jisoo adalah anak perempuannya yang paling berharga. Ia pun menghancurkan hati Sohyun dan berpihak pada orang yang jelas-jelas melakukan kesalahan. Sekarang, Mama meminta maaf. Entah, jika itu Sohyun, apakah Sohyun dapat melapangkan hati untuk wanita ini?
"Sohyun, kalau kau marah, marah saja padaku. Mamamu tidak salah, Papa yang memaksanya untuk membela Jisoo."
Dan laki-laki ini, aku ingat betapa dingin sikapnya ketika menghadapi Sohyun. Sohyun yang dulu anak kebanggaannya. Semudah itu kasih sayangnya hilang. Di saat Sohyun jatuh pada titik terendahnya, ia berpaling. Orang yang selalu mengatasnamakan keluarga itu menjengukku. Apa ia tak berniat meminta maaf sekalian?
Kuperhatikan ia hanya berdiri kaku. Kalimat pertama yang ia ucapkan adalah untuk membela Mama. Bukan untuk meminta maaf pada Sohyun.
Kesabaranku pun habis. Aku tak bisa menunggu lagi. Mungkin aku harus bersikap terbuka, agar kedua orang tua ini sadar kalau aku juga punya hati dan aku sungguh tersakiti.
"Apa hanya itu yang ingin Papa sampaikan? Aku pikir, Papa tidak perlu repot-repot menjenguk anak bungsu Papa ini."
"Sohyun .... Papa selama ini kejam padamu. Papa tahu, Papa tidak tahu malu telah muncul di hadapanmu. Tapi, Papa ... Pspa hanya ingin meminta maaf padamu. Atas perbuatan Papa, atas apa yang menimpamu selama ini."
Iya, apalagi yang aku harapkan dari pria ini? Ia selalu berbicara apapun dengan mudah. Meminta maaf pun mudah. Tetapi, sulit bagiku merasakan ketulusannya. Apa karena aku terlalu kecewa pada mereka, makanya permintaan maaf mereka terdengar begitu remeh?
"Sohyun, kami sadar. Perlakuan kami padamu sulit untuk dimaafkan. Tapi, tolong. Tolong beri kami kesempatan kedua untuk menebus kesalahan kami ...," ucap Mama. Beliau masih dalam posisi berlutut, bahkan menundukkan kepalanya. Tak berani menatap mataku.
"Ke mana kalian selama ini? Kenapa baru muncul? Kalau kalian menganggapku sebagai putri kalian, kenapa kalian tidak pernah menemuiku sejak sidang hari itu?" ungkapku. "Dan sekarang kalian muncul tiba-tiba lalu meminta maaf. Aku harus berbuat apa? Kalian membuatku bingung. Jika kalian membenciku dan tidak menganggapku sebagai anak, sebaiknya jangan pernah menemuiku lagi. Kalian hanya akan membuatku sakit hati."
"Sohyun, selama ini kami pergi jauh. Kami membawa Jisoo ke tempat di mana ia bisa memperbaiki dirinya. Ia juga telah mendapat hukuman yang setimpal. Mulai detik ini, dia tidak akan mengganggumu lagi," jelas Papa.
Apa kalian yakin, itu yang Sohyun inginkan? Sebenarnya aku tidak peduli pada nasib Jisoo. Yang jelas, kejahatannya sudah terungkap. Tetapi, mereka—orang tua Sohyun—mengucilkan putrinya sendiri? Mengucilkan Sohyun yang tidak punya siapa-siapa kecuali suaminya?
"Bagaimana dengan menelepon? Aku memaklumi jika kalian tidak dapat menemuiku. Tetapi, menelepon bukanlah hal yang sulit dilakukan."
"Kami tak sanggup meneleponmu, Sohyun. Kami terlalu malu pada diri sendiri dan juga padamu. Kami ini orang tua paling tidak berguna yang telah menelantarkan putrinya," timpal Mama.
"Sohyun, Papa tahu. Kesalahan kami sangatlah fatal, terutama Papa. Tapi setidaknya, Mamamu yang selalu ada untukmu di saat Papa mengabaikanmu. Karena itu, jangan menghukumnya seperti ini. Berikanlah dia kesempatan untuk menjadi ibu yang baik buatmu. Biar Papa yang menanggung semua kebencianmu, Sohyun."
"Sohyun ...," rintih Mama sekali lagi.
"Ma, Pa," selaku. "Sohyun butuh waktu untuk menenangkan diri. Bisakah kalian membiarkan Sohyun sendiri untuk sekarang?"
Keduanya enggan menjawab. Mereka jauh-jauh datang ke rumah sakit bukan untuk diusir. Ya, aku mengerti. Tetapi aku baru saja melahirkan, kondisiku sangat lemas. Bertemu dengan mereka hanya akan membuatku lelah mental dan fisik.
"Baiklah, Sohyun. Mama dan Papa akan pergi. Tetapi Papa mohon, pertimbangkan kembali untuk memberi kesempatan kedua pada Mamamu. Papa yakin, kau wanita yang bijak dan dewasa."
Pintu pun kembali tertutup. Keheningan menyelimutiku. Kepalaku penuh akan bayang-bayang ekspresi Mama dan Papa yang tadi memohon maafku. Bukannya tidak bisa memaafkan mereka. Tetapi, kurasa akan butuh waktu lama bagiku menerima mereka seperti sedia kala. Sampai hatiku benar-benar merasa nyaman dan lega, saat itu, aku mungkin dapat memaafkan keduanya.
***
Dua tahun kemudian.
"Seumul, Sayang.... Habiskan makananmu. Kau tidak boleh pilih-pilih!"
"Tidak mau! Tidak suka woltel!"
"Sayang, lihatlah putramu! Dia tidak menghabiskan piringnya lagi."
Kim Taehyung melepaskan kacamatanya. Tak lupa, ia menutup laptopnya dan mengakhiri sesi belajarnya bersama Hamin. Taehyung berjalan mendekat, ia berjongkok di hadapan Seumul. Membujuk anak itu.
"Seumul, Daddy sudah bilang kan, kalau kau tidak menghabiskan makananmu, Daddy tidak akan membawamu ke taman bermain di akhir minggu. Hm? Pilih mana, habiskan makananmu atau Seumul Daddy tinggal di rumah sendirian?"
"Kan ada Hyung. Mul belmain dengan Hyung."
Mul adalah nama panggilan singkat dari Seumul. Kadang-kadang kami memanggilnya Mul.
"Em, tidak. Hyung juga Daddy ajak pergi. Mul benar-benar akan sendiri dan tidak punya teman."
Mul merajuk. Ia memalingkan wajahnya dan cemberut. Tak lama kemudian, ada tamu yang datang. Sejak Mul berumur satu tahun, aku dan Taehyung memutuskan pindah rumah. Apartemen yang lama kami jual. Taehyung sengaja membeli rumah baru yang memiliki halaman luas. Ia mempertimbangkan hal itu agar kelak anak-anaknya dapat bermain dengan leluasa.
"Eh, Mama?"
"Huh, lama sekali bukain pintunya! Di mana cucu-cucuku?"
"Di sana, Ma."
Ternyata, Mama Taehyung datang berkunjung. Beliau rutin berkunjung ke rumah kami tiga kali dalam seminggu.
"Oh, Seomu sedang makan? Loh, kok tidak dihabiskan?"
"Mul tidak suka woltel, Halmeoni."
"Mul?!" Mama memelotot. Aku dan Taehyung saling bertatapan. Seolah-olah sedang bertelepati.
Astaga, Mama benar-benar akan marah.
Betapa bodohnya aku. Sejak mendengar nama yang kami siapkan untuk anak kedua kami, Mama terang-terangan tidak menyetujuinya. Tentu saja setelah tahu apa arti dari nama itu.
"Kalian tetap memanggilnya Mul?! Dasar! Mama kan sudah bilang, jangan biasakan cucuku dengan nama itu! Atau dia akan menanggung malu seumur hidupnya!"
Flashback, lima setelah kelahiran Seumul.
"Lihat, cucuku.... Lucunya! Mirip sekali dengan Taehyung kecil. Iya kan, Pa?"
"Betul, Ma. Dia benar-benar cetakan ayahnya. Lihat, hidung dan matanya sangat mirip. Dia begitu tampan."
"Kalian memberinya nama siapa?" tanya Mama penasaran.
Taehyung dengan bangga menjawab. "Kim Seumul."
"Seumul? Nama macam apa itu? Kenapa menamai cucu Mama dengan angka?"
Seumul berarti dua puluh. Bukan nama yang lumrah di Korea Selatan. Memang, sejak awal Taehyung mencetuskan nama itu, menurutku itu unik dan nyeleneh. Tetapi di saat yang sama, lucu.
"Kok diam saja? Kalian kalau memberi nama, artinya harus jelas dong," omel Mama.
Aku dan Taehyung senyam-senyum dan saling menyikut. Bolehkah kami membicarakan artinya pada para orang tua? Sesungguhnya, arti dari nama itu agak ....
"Sayang, beritahu Mama," desakku.
"Kau lah. Masa harus aku?"
"Kau yang membuat namanya, ya harus kau yang jelasin!"
"Kau yang menyetujuinya," balas Taehyung tak mau mengalah.
"Kenapa kalian jadi berdebat sendiri? Mama kalian bertanya, kenapa kalian menamai anak kalian Seumul?" Papa mulai turun tangan. Dengan wajahnya yang tegas dan mengerikan itu, Taehyung berhasil dilumpuhkan dan akhirnya membeberkan alasan kami menamai putra kami Seumul.
"Pa, jadi ... suatu ketika, di siang hari yang cerah, aku dan Sohyun duduk berdua. Hamin pergi ke rumah tetangga kami yang bernama Nenek Sim. Agaknya, mereka bermain cukup lama di luar dan tak kunjung kembali. Jadi, kami ... kami tenggelam dalam suasana romantis dan berbuat khilaf. T–tapi, b–baru 20 menit membangun chemistry, terdengar suara Hamin dari halaman depan. Kami pun buru-buru melakukannya. Siapa sangka, aktivitas yang kami lakukan dalam 20 menit itu membuahkan hasil. Dan terciptalah Seumul. Seumul artinya adalah anak yang kami buat dalam waktu 20 menit."
"Papa!!! Lihat putramu! Dia pikir memberi nama anak itu seperti membuat lelucon, hah?! Dasar anak nakal!" Mama memukul pantat Taehyung beberapa kali.
Meskipun Taehyung berusaha membujuk Mama, Mama tetap tidak menyetujui nama itu. Papa pun demikian. Oleh sebab itu, nama Seumul kami ubah menjadi Seomu. Sebenarnya, karena pengucapannya hampir serupa. Tetapi, karena kami sudah terbiasa dengan Seumul, kami kadang-kadang keceplosan memanggilnya dengan nama itu.
Flashback berakhir.
"Kalau Mama tahu kau masih memanggil anakmu, 'Mul', Mama akan mengajaknya tinggal bersama Mama."
"Jangan marah, Mama. Ya?? Mul itu panggilan yang lucu, kok. Kalau orang rumah saja yang memanggilnya begitu, boleh kan? Boleh, ya?"
"Boleh apanya?! Kalian lihat kan, anak kalian jadi terbiasa memanggil dirinya sendiri dengan 'Mul'. Oh, ya ampun! Kepalaku tiba-tiba pening!"
Taehyung yang keras kepala bahkan tak peduli jika Mamanya terus menolak permintaan kami. Ia merecoki waktu istirahat Mama setiap kali Mama berkunjung dan membuat Mama mau tidak mau harus menyetujui panggilan kesayangan kami untuk Seomu. Mama pun akhirnya mengalah.
"Benar, ya? Mama tidak boleh menarik ucapan Mama tadi! Kalau begitu, mulai sekarang, kami bisa memanggilnya 'Mul'?"
"Iya, terserah. Terserah kalian, Mama sudah capek! Mama tidak peduli! Tapi, kalau nanti teman-temannya Seomu menanyakan kenapa kalian memanggilnya dengan nama itu, itu menjadi tanggung jawab kalian!"
"Oh, itu.... Kan tinggal kasih tahu saja alasannya. Kalau Mul, dibuat dengan paket kilat, heheh," canda Taehyung.
"Anak ini! Astaga, sifatmu ini menurun dari siapa sih?!" kaget Mama. Kedua alisnya bertaut, tidak percaya dengan apa yang Taehyung bicarakan.
"Kan Taehyung mirip Mama...."
Aku tergelak tawa menyaksikan keduanya. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Tetapi, di sisi lain aku merasa senang. Ini memang dunia yang aku harapkan. Mempunyai keluarga yang harmonis. Hari-hariku tak suram lagi. Perjuanganku sejauh ini memberikan hasil yang memuaskan.
Semuanya berakhir dengan indah. Namun, apakah aku boleh merasa tenang sekarang?
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top