Bab 29
Warning⚠️
Berisi konten terkait tekanan psikologis, depresi, keputus-asaan. Silakan skip kalau nggak kuat :)
Hanya fiksi belaka, jangan diambil pusing :)
***
Sehari berlalu sejak aku ditahan oleh polisi. Aku diinterogasi hampir 2 jam. Kata hatiku ingin melawan, memberontak, namun rasanya letih sekali. Mulutku enggan menyangkal lagi, sebanyak apapun aku mengatakan bahwa aku tidak bersalah, semakin gencar pula mereka menghakimiku. Membawa-bawa penyakit depresi yang pernah Sohyun alami sebagai alasan untuk memojokkan. Aku tidak tahu, harus bagaimana untuk menyelesaikan masalah ini. Semua menjadi rumit ketika media massa ikut intervensi. Seperti yang kutahu, Jisoo adalah aktris. Meskipun pendatang baru, pengaruhnya begitu besar apalagi sejak memainkan peran di drama yang Taehyung sutradarai. Namanya melejit. Seketika, berita mengenai dirinya yang 'hampir dibunuh oleh adik kandungnya sendiri' merebak di masyarakat.
Komentar-komentar jahat menyerangku. Tak tahu, apakah di media sosial berlaku situasi yang sama. Tetapi, ketika aku dipindahkan dari ruang tahanan menuju ke ruang pemeriksaan kejiwaan, beberapa wartawan tampak berkerumun dengan hasrat ingin memperoleh potretku. Kepalaku berat, aku membutuhkan seseorang untuk kujadikan sandaran. Tetapi siapa?
Mereka memberiku sekitar 500 pertanyaan, dan aku dipaksa menjawab. Jujur, mentalku—sebagai Yooseul—ikut tertekan. Jika aku gagal tes ini, apakah aku akan masuk ke rumah sakit jiwa? Bagaimana kalau ternyata gagal? Bayangan wajah Hamin menghantuiku. Aku hampir menyelesaikan dokumen-dokumen untuk mengadopsinya. Kalau pengadilan tahu aku ditahan atas kasus percobaan pembunuhan, bagaimana nasib Hamin?
Ah, aku lelah. Ruang ini terlalu sempit, pengap. Dadaku terasa sesak. Tak ada pemandangan lain selain jeruji besi yang berdiri pongah meremehkanku. Aku duduk memeluk kedua lututku. Tahan, aku harus tahan. Aku tidak boleh lengah, bagaimanapun caranya aku harus bisa keluar dari sini!
"Apa yang kau lakukan? Menangis?"
Suara itu berbicara padaku. Selain aku, ada seorang narapidana lain di ruang tahanan ini. Aku mengabaikannya karena kami tidak saling kenal, juga karena aku tidak dalam kondisi untuk beramah-tamah dengan orang lain.
"Kau lemah. Kau bilang, kau akan menolongku? Tapi apa ini? Kau menyerah?"
Kepalaku mulai kutegakkan. Percakapan ini, seolah-olah kami saling kenal. Seakan kami pernah bertemu. Tapi jelas-jelas, aku tidak mengenali wajahnya. Dia wanita asing.
"Apa yang kau bicarakan? Siapa kau?"
"Jangan lupa, kau telah berjanji padaku. Kau akan mengungkap rahasia besarku, kau akan membebaskanku dari penderitaan."
"K–Kim Sohyun?"
Aku menepuk kedua pipiku. Sakit. Ini bukan mimpi. Apa saking gila dan tertekannya aku jadi berhalusinasi? Apa aku juga ikutan terkena depresi sama seperti Sohyun?
"Tidak! Tidak, ini cuma halusinasi! Sadarlah, Yooseul!"
"Tolong, bebaskan aku, Yooseul! Bebaskan aku! Aku tidak mau menangis lagi, aku tidak mau merasakan sakit hati! Bebaskan aku!"
"Tidaaaakk! Aku hanya halusinasi, halusinasi! Ini tidak nyata, tidak benar!"
"Yooseul! Bebaskan aku! Kalau kau tidak bisa membantuku, mati saja! Mati!"
"Tidaaak!!"
Suara derap langkah cepat mendekatiku. Suara gembok yang bergesekan dengan besi, suara gemerincing kunci dapat kudengar pasti. Seseorang mencoba menyadarkanku. Mengguncang bahuku, membangunkanku dari khayalan mengeringkan ini.
"Nona, sadarlah! Hei! Anda baik-baik saja?"
"Di mana?! Di mana dia? Di mana wanita itu?!"
Napasku yang tersengal terdengar mengiringi situasi mencengangkan ini. Polisi itu menatapku prihatin, juga seorang narapidana wanita yang duduk memojokkan diri di sana.
"Apa yang terjadi padanya?" tanya polisi tersebut pada narapidana yang seruangan denganku.
"Tidak tahu. Tiba-tiba saja dia berteriak. Padahal aku cuma tanya kondisinya karena sepertinya wanita itu sedang tidak sehat."
"Astaga, merepotkan sekali. Hei kau, jangan teriak malam-malam. Tidur saja, mengerti??"
Aku ingin kabur! Jelas, aku sangat tertekan di sini. Oleh sikap para polisi yang sangat mengintimidasi, para wartawan yang hampir setiap hari membuat keributan di depan kantor polisi, bayangan sikap mama dan papa yang begitu menolakku, serta Taehyung yang kehilangan kepercayaannya padaku. Aku tidak tahan lagi. Sungguh.
Hari-hari kulewati dengan sangat berat. Dadaku terasa semakin sesak, kepalaku semakin pusing. Nafsu makanku menghilang, bahkan kini aku tak dapat menentang apapun lagi yang dituduhkan oleh polisi. Aku rasa tak ada harapan. Mungkin inilah akhirnya. Aku gagal menyelesaikan misiku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Aku pasrah. Tak ada lagi hal yang membebaniku di dunia, kecuali Hamin. Namun aku yakin, meski tanpa diriku, Taehyung akan merawat Hamin dengan baik. Walau rasa percayanya padaku menipis, tetapi rasa percayaku padanya tidak akan pudar. Dia pria yang baik, hanya saja ... ia tidak paham kondisiku. Jika Taehyung saat itu bersamaku, mungkin ... ia tetap berada di belakangku? Entahlah. Menghilangnya Jimin membuat segalanya terasa sulit dan mustahil.
"Nona Sohyun, seseorang datang ingin menemui Anda."
Siapa?
***
"Bi–Bibi?"
Tamu yang mengejutkan. Aku tidak menduga bahwa mama Taehyung yang datang mengunjungiku. Ia membawa seorang pria berpakaian rapi, berjas dan berdasi. Tanpa basa-basi, Bibi mengeluarkan sebuah surat yang diletakkan dalam amplop cokelat.
"Tanda tangani itu."
"Apa ini, Bi?"
"Taehyung mungkin tak tega melakukannya, jadi aku sendiri yang turun tangan."
Aku memegang surat itu dengan diliputi rasa takut. Tanganku keringat dingin, tatapan tajam dari Bibi menghunus seperti belati. Aku merasa tidak nyaman. Tapi, tanpa dijelaskan, entah mengapa sepertinya aku tahu isi surat itu.
"Taehyung akan menceraikanmu."
Benar, kan, dugaanku.
"Apa Taehyung menyetujuinya?"
Pertanyaan konyol. Padahal, tadi Bibi sudah mengatakan. Mungkin Taehyung tak tega memberikan surat ini secara langsung padaku. Makanya, Bibi yang mewakilinya datang ke sini. Entahlah, hatiku menepis. Aku tidak yakin kalau Taehyung sungguh-sungguh memutuskan ingin bercerai. Walaupun pernah sekali Taehyung memintaku untuk melakukan tindakan itu, tetapi bukankah ia pernah berkata bahwa ia ingin memperbaiki segalanya? Memulai hubungan kami dari nol? Aku bisa merasakan ketulusannya. Namun, apa-apaan surat ini? Kenapa aku harus melihatnya lagi?
"Cepat, kau pikir aku punya waktu banyak di sini?! Sekali kau tanda tangan, maka hubungan kalian berakhir saat itu juga. Aku harap, kau tidak mengganggu keluarga kami lagi. Beruntung kami belum sempat mengekspos pernikahan kalian. Kalau iya, urusannya bisa semakin rumit."
"Mau seperti apa karier putraku nanti kalau punya istri seorang wanita gila dan pembunuh? Dari awal aku sudah berfirasat buruk. Kau bukan wanita yang baik dan tepat untuk putraku."
"Maaf, Bi."
"Bagus kalau kau tahu diri. Kalau sudah, segera tanda tangani itu."
"Maaf, Bi. Tapi maksudku bukan untuk itu. Aku meminta maaf karena tidak akan menandatangani dokumen ini. Aku hanya akan menandatanganinya hanya jika Taehyung yang memintanya sendiri."
"Apa?! Kau menentangku?"
"Tidak, Bi. Ini urusan rumah tangga kami, jadi kami sendiri yang akan menyelesaikannya."
"Dasar, wanita ini!"
Aku tidak bisa membubuhkan tanda tangan Sohyun di atas kertas itu. Apakah ini keinginanku atau keinginan Sohyun, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, saat ini aku ingin bertemu pria itu terlebih dahulu. Aku tidak mau menerima permintaan atau perintah apapun dari orang lain.
Dalam hatiku yang terdalam, aku sangat menyayangkan sikap Taehyung. Aku berharap lebih pada pria itu, berharap ia akan mengulurkan tangannya. Membawaku keluar dari neraka ini. Membayangkan kehidupan yang cerah dan bahagia. Andai saja.
"Permisi, Nyonya. Waktu menjenguknya sudah habis. Kami harus membawa Nona Sohyun kembali ke ruang tahanan."
"Ck, urusan kita belum selesai Sohyun. Cepat atau lambat, kalian harus bercerai!"
Jika menceraikan seseorang, memutus hubungan, semudah menjentikkan jari. Aku tak tahu, apakah penyesalan saat itu akan datang? Aku selalu percaya bahwa kesalahan apapun bisa diperbaiki. Ada kesempatan kedua. Jika aku memberikan kesempatan itu pada Taehyung, apakah dia dapat memanfaatkannya dengan baik?
Kumohon, datanglah. Ada banyak hal yang ingin aku konfirmasi darimu. Karena kau, satu-satunya yang masih aku percayai di dunia ini. Kim Taehyung....
***
Seminggu tepat semenjak aku ditahan. Hasil tes kejiwaan katanya segera keluar. Di samping itu, terdengar kabar bahwa aku akan segera menjalani sidang pertama. Seorang pengacara pun didatangkan untuk menangani kasusku. Lucu sekali, mereka mengatakan diri mereka sebagai pejuang keadilan. Tapi, mereka sama sekali tidak menunjukkan usahanya untuk memperjuangkan hakku.
Berkali-kali aku mendesah frustrasi. Menatap wajah pria itu pun aku sungguh muak. Untuk apa ia memberiku pertanyaan tetapi selalu diakhiri dengan penyangkalan? Rasanya aku ingin marah. Sangat marah hingga ingin menghancurkan meja yang membatasi kami!
"Anda jangan berbohong, sebaiknya berkata jujur saja. Toh, ujung-ujungnya kasus ini akan dimenangkan oleh pelapor."
"Pak, saya ini klien Bapak. Bagaimana bisa Bapak tidak mau mendengar penjelasan saya? Apa benar Bapak ini pengacara profesional?"
"Nona, kalau ada banyak bukti kuat yang mendukung pernyataan Anda. Jelas, saya berani menjamin Anda bebas dari tuduhan. Tapi, tidak ada satu pun bukti yang menyatakan kalau Anda tidak bersalah. Lalu saya harus bagaimana? Seprofesional apapun seorang pengacara, yang namanya bukti itu adalah senjata terampuh."
Benar. Tidak ada bukti. Kebetulan atau memang disengaja, tetapi kamera CCTV di apartemen Jisoo tidak pernah dinyalakan dengan alasan privasi. Aneh. Aktris memang butuh privasi, tetapi apa wanita itu tidak takut jika sewaktu-waktu diikuti atau diserang oleh penguntit? Jisung—yang berada dalam tubuh Jimin—juga menghilang. Padahal ia satu-satunya saksi. Aku harus bagaimana?
"Setidaknya, Anda mengusahakan yang terbaik. Bukannya malah pesimis, Pak. Kalau begini, bagaimana cara saya mempercayakan kasus saya pada Bapak?"
"Nona. Sejak awal, kasus Anda ini memang tak bisa diselamatkan. Anda memiliki riwayat depresi, riwayat bunuh diri sampai beberapa kali. Yang terakhir, Anda melompat dari lantai lima dan bahkan membuat janin Anda keguguran. Ingat kasus lama yang menyeret nama Anda? Anda diduga menjadi penyebab kematian mantan kekasih Anda."
"Pak! Bagaimana bisa Anda menjadikan itu semua sebagai alasan? Dan yang terakhir, itu rumor tak berdasar. Saya tidak percaya, pengacara bermartabat tinggi seperti Anda menggunakan rumor murahan untuk memaksa kliennya mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukan!"
"Nona, lebih baik Anda mengaku saja. Jika terbukti bersalah, maka hukuman Anda bisa lebih diringankan."
"Tidak ada gunanya berdiskusi dengan Bapak. Kalau Bapak tidak bisa mempercayai pernyataan saya, lebih baik Bapak angkat tangan saja menangani kasus ini."
Dan begitulah keputusan terakhir kubuat. Aku tidak akan menempatkan orang-orang yang tidak mendukungku secara penuh berada di sisiku. Apa gunanya? Mereka cuma mau membuat mentalku semakin jatuh. Berhadapan dengan mereka hanya membuat darahku mendidih dan emosiku sulit terkontrol.
Kepolisian pun susah menemukan pengacara pengganti. Sesuai hukum, sidang tidak dapat dilakukan apabila aku tak mendapat pengacara pendamping. Hukum? Apa itu hukum? Jika orang-orang hanya percaya pada apa yang mereka lihat dan dengar tanpa peduli apa orang lain merasa adil akan itu, hukum di negara ini tidak akan dibutuhkan!
Namun, di titik terpurukku ini, aku masih punya sedikit harapan. Aku merasa akan ada bantuan yang datang. Mungkin ini cuma efek dari rasa kecewa yang kurasakan, tetapi ... kadang kita tidak boleh mengabaikan pemikiran positif yang menghampiri. Orang bijak bilang, selalu ada jalan. Di balik kesulitan, akan datang kemudahan. Itu yang kuyakini.
Keesokan harinya, polisi yang kubenci wajahnya itu muncul lagi. Akhir-akhir ini ia sering datang untuk menyampaikan pesan agar aku menemui pengacara yang mereka bawakan. Aku selalu menolak. Beberapa mungkin aku ladeni, tapi hasilnya sama saja. Mereka pesimis pada kondisi kasusku yang tanpa bukti.
Namun kali ini, aku bersemangat untuk menemui seseorang yang datang itu. Ketika mereka menyebutkan nama Taehyung, hatiku berdesir dan harapan yang tadinya nyaris kukubur dalam-dalam, akhirnya mencuat kembali ke permukaan.
"Taehyung? Dan kau?!"
Aku tidak menduga, Taehyung datang bersama seseorang yang kupikir tak akan kembali. Apakah harapan yang cuma setetes itu benar-benar akan terwujud?
***
Tbc
Teruntuk Tuan Kim Taehyung, tolong tebar kebaikan Anda selagi Anda berulang tahun.
Sekian dan terima kasih.
Salam,
Oca
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top