Bab 25

Jimin, Jisoo, Jimin, Jisoo ... kedua nama itu terus berputar di kepalaku. Semakin dipikirkan, semakin membuatku khawatir. Apakah mereka berdua punya hubungan khusus? Apa mereka berdua punya niat jahat terhadap Sohyun?

Gara-gara menguping percakapan Jisoo kemarin, aku jadi tidak bisa tenang. Aku yang sedang bersama Hamin di rumah Nyonya Dalhee, tidak dapat fokus menemani anak itu bermain. Bibi sampai menegurku karena aku terlalu lama melamun.

Kegelisahanku sementara buyar, ketika Seokjin datang menggandeng seorang wanita bersamanya. Melihatnya dari dekat, lagi dan lagi, entah rasanya aku masih merasa sakit hati. Pria ini bahagia di atas penderitaanku, bagaimana aku tidak benci? Masa bodoh soal cinta! Satu-satunya perasaanku yang tersisa padanya adalah murka.

"Ma, aku pulang." Jin masuk ke rumah dengan santai membawa kekasih barunya itu.

Tak tahu kenapa, tapi aku mengendus sesuatu yang berbeda. Maksudku, pertemuan kedua ibu dan anak ini diliputi ketegangan. Terbukti dari cara Jin menatap tajam ibunya dan Bibi yang menatap resah Jin. Mendeteksi adanya sinyal yang tidak ramah untuk anak kecil seusia Hamin, aku langsung membawa Hamin masuk ke kamar Bibi yang letaknya agak jauh. Supaya, Hamin bebas dari kata-kata yang tidak pantas didengarkan. Dan ia tak terpengaruh pada kekacauan yang akan terjadi berikutnya.

"Jin, kenapa kau bawa wanita ini?" Pada akhirnya, pertanyaan itu Bibi keluarkan.

Aku yang berdiri di balik tembok, dapat mendengar jelas percakapan kedua orang itu. Aku yakin, wanita yang datang bersama Jin adalah pacar barunya. Atau mungkin, wanita yang malam itu tidur bersamanya di apartemen.

"Ma, ini Irene, calon istriku."

Ca–calon istri? Apakah eksistensiku begitu cepat ia lupakan? Semudah itu Jin membawa calon yang baru. Selama kami berpacaran, tak sekalipun ia bilang kalau ia sungguh-sungguh mencintaiku. Jin memang menunjukkan bentuk perhatian dan kasih sayangnya, yang ternyata itu palsu. Sikapnya berubah semakin cuek di detik-detik terakhir, aku abaikan itu karena kupikir dia sibuk. Namun, betapa bodohnya aku. Jikalau tahu Jin tak pernah menaruh rasa padaku, sejak awal sudah pasti kutolak perjodohan itu. Aku juga pasti masih hidup sampai sekarang di tubuh lamaku. Mengingat kembali kenangan itu, sungguh rasanya masih sangat menyakitkan.

"Jin, bukankah Mama sudah bilang, jangan dulu. Kita masih dalam suasana berkabung," ucap Bibi lembut.

"Mau sampai kapan, Ma? Usia Jin sudah cukup matang untuk menikah. Lagi pula, Jin mencintai Irene. Kami saling suka."

"Tidak masalah, Nak. Kalau kau mencintai pilihanmu, tapi Mama mohon ... kalau kau meminta restu Mama untuk menikahi wanita ini, Mama kira tidak untuk sekarang."

"Mama egois! Anak Mama itu aku, atau gadis kampung itu?! Mama selalu mengutamakannya, Mama tidak pernah peduli pada kebahagiaanku!"

Plak. Suara tamparan keras mendarat tepat di pipi Seokjin. Meninggalkan bekas kemerahan. Jadi selama ini, hal itu yang kau pendam, Oppa? Kau tidak menyukaiku karena kau pikir aku terlalu larut dan ikut campur ke dalam keluargamu? Aku mengambil perhatian ibumu dan merenggut kebahagiaanmu?

"Kamu sudah berani melawan Mama, Jin? Kamu berani membentak Mamamu sendiri? Di mana akal sehatmu?!"

"Mama lah yang menyebabkan aku jadi begini! Kalau Mama dari dulu tak memaksaku melakukan apapun sesuai keinginan Mama, aku tidak akan membangkang."

Mataku berkaca-kaca memerhatikan kondisi Bibi. Beliau membelaku?

"Orang yang kamu bilang sebagai gadis kampungan itu tidak pernah sedikit pun membentak Mama. Gadis yang kamu bilang kampungan itu, bekerja keras setiap hari, membanting tulang untuk keluarganya. Pamannya dan juga Hamin. Di umur yang masih muda, ia melepas sekolahnya. Mengorbankan masa depannya demi kebahagiaan orang lain. Gadis yang kamu bilang kampungan itu jauh lebih punya perasaan daripada kamu, Jin! Jangan sekali-kali kamu merendahkannya!"

"Ya, teruskan! Teruskan saja memuji-muji dia di depanku! Aku muak sama Mama! Aku capek, aku bosan terus dibanding-bandingkan dengan gadis bodoh itu! Terus saja, Ma! Jelek-jelekkan aku, aku sudah tidak peduli!"

"Jin ...."

"Pokoknya, aku tidak mau tahu. Baik dengan atau tanpa restu Mama, aku akan tetap menikahi Irene. Mama tidak perlu mencariku lagi karena mulai detik ini, aku angkat kaki dari rumah! Dan aku bukan anakmu lagi!"

"Jin!! Jin, kau akan menyesali keputusanmu!" teriak Bibi. "Jin!!"

Air mataku mengalir. Mengapa aku dulu menyukai pria buruk sepertinya? Aku tidak tahu harus bagaimana. Dengan sisa tenaga, aku berlari menghampiri Bibi. Memeluknya dari belakang, mencoba menenangkannya yang terisak. Aku tahu, hubungan Bibi dan Jin akhir-akhir ini tidak akur. Bibi sempat mengatakannya padaku, tapi aku tak menduga kalau pria itu sampai memutuskan untuk pergi dari rumah dan kabur bersama wanitanya. Itu keterlaluan!

"Tiga puluh tahun Bibi membesarkan putra Bibi, ia tak pernah membentak. Sejak kenal dengan wanita itu, Jin jarang pulang. Ia tidak bisa dihubungi, bahkan tidak bisa ditemui di hotelnya. Apa salah Bibi, Nak? Apa salah Bibi sampai harus kehilangan putra Bibi yang sangat Bibi cintai? Sudah cukup sedih Bibi kehilangan Yooseul, calon menantu Bibi, sekarang Bibi harus kehilangan Jin, darah daging dan satu-satunya keluarga yang Bibi miliki."

Aku mengeratkan pelukanku pada Bibi. Menangis bersamanya. Bagiku—yang tidak punya orang tua sejak usia dini—menyaksikan Bibi menitikkan air mata adalah penderitaan terberat. Bibi sudah seperti ibu kandungku sendiri. Bibi selalu mendengar ceritaku, memberiku nasehat dan saran-saran yang selalu kubutuhkan, menenangkanku di kala aku banyak pikiran. Dan sekarang, seorang ibu berhati lembut ini harus disakiti oleh orang yang paling dia sayang. Demi membelaku, seorang gadis yang bukan siapa-siapanya, melainkan anak yatim–piatu miskin yang ia angkat sebagai calon menantu. Aku—yang sekarang—dan Bibi menjadi dekat sejak memutuskan untuk mengadopsi Hamin. Kami sering mengobrol dan berkeluh kesah. Hingga rasanya, ketika Bibi berada pada posisi terendah seperti ini, aku ingin selalu ada di sampingnya.

"Bi, jangan menangis. Bibi tidak boleh membuang air mata Bibi untuk putra seperti itu. Bibi ingat kata-kataku, Jin pasti kembali. Ia pasti menyadari kebodohannya dan kembali memohon ampun pada Bibi. Ya, Bi? Jangan nangis lagi."

Karena keadaan Bibi sedang tidak baik, aku memutuskan untuk menginap di sini bersama Hamin. Namun, Bibi menolakku. Bibi bilang, Taehyung pasti membutuhkanku di rumah dan aku tidak boleh meninggalkan keluargaku. Ini masalah yang sepele dan lumrah baginya. Bagaimana bisa? Seorang anak yang ia besarkan tiga puluh tahun lebih pergi meninggalkannya hanya karena bertemu wanita yang ia suka. Ini lebih dari serius!

"Tapi, Bi. Bagi Sohyun, Bibi juga adalah keluarga," ucapku meyakinkannya.

"Tidak, Nak. Bibi tidak apa-apa. Tapi kalau boleh meminta sesuatu, bisakah Hamin saja yang menginap di sini?"

Aku melirik pada ruangan tempat Hamin tertidur pulas setelah aktif bermain tadi. Baiklah, tidak ada salahnya meninggalkan Hamin di rumah neneknya. Besok akan kutemui lagi dia.

"Kalau itu mau Bibi, Sohyun tidak bisa menolak. Tapi, Bibi janji ya, jangan sedih lagi. Kalau ada masalah, telepon Sohyun saja."

"Iya, Nak. Terima kasih banyak," kata Bibi. Kedua matanya masih menyorot wajahku dengan ekspresi sendu.

"Nak, kau mengingatkan Bibi pada Yooseul. Seandainya dia masih ada di dunia ini, dia akan melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan. Dia akan mengucapkan hal yang sama seperti yang kau ucapkan. Dia akan mengkhawatirkan Bibi, sampai-sampai hatinya menjadi tidak tenang."

Mama benar, itulah yang aku rasakan saat ini. Kalau saja aku bisa mengatakan yang sejujurnya, bahwa aku sekarang ada di hadapan Mama, mungkin Mama tidak akan percaya. Yang jelas, aku sangat menyayangi Mama.

Sebelum benar-benar pulang dan masuk ke mobil Taehyung, aku memeluk Bibi sekali lagi. Memintanya untuk segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Walaupun aku yakin, Bibi bukanlah orang yang bisa bersikap santai jika itu berhubungan denganku—Yooseul—maupun Jin. Karena, kami berdua adalah putra dan putrinya.

***

"Sayang, kau kenapa? Ceritakan apa yang terjadi di rumah Nyonya Dalhee."

Taehyung yang peka pada perubahan mood-ku, memintaku untuk menjelaskan alasan di baliknya. Menyandarkan kepalaku pada pundak Taehyung, aku berbicara panjang–lebar secara detail mengenai apa yang Bibi alami. Taehyung tak menjawab apapun, ia fokus mendengarkanku dan setelahnya, aku dapat merasakan tangannya dengan lembut mengusap puncak kepalaku. Lalu, mengecupnya cukup lama.

"Harimu pasti berat, ya? Kau bisa cerita padaku, apa pun dan kapan pun kau butuh. Karena sekarang, kita bukan orang asing lagi. Melainkan dua orang yang saling menyembuhkan apabila salah satunya terluka."

Tenggorokan Taehyung bergetar, suara beratnya begitu ramah di telingaku. Perlahan, kantukku mulai datang. Dan tanpa sadar, aku sudah tertidur di atas pangkuannya.

Keesokan paginya, aku terbangun. Semalam suntuk, Taehyung memberikan lengannya untuk menjadi bantalan kepalaku. Ia menghangatkanku dengan pelukannya. Membuatku bersyukur telah bertemu pria sepertinya. Merasa mood-ku berangsur membaik, aku mencium bibirnya sebagai tanda terima kasih untuk kenyamanan yang ia berikan semalam. Mumpung pria ini masih lelap, karena kalau dia bangun, aku bisa dalam bahaya.

Cup. Terima kasih, Taehyung. Berkatmu, perasaanku sudah jauh lebih baik sekarang.

"Hem? Cuma sekali saja?" Sebelah mata Taehyung terbuka. Suara paraunya langsung menyambutku, aku terkejut. Ketahuan.

Tapi, tak seperti yang aku bayangkan. Alih-alih menyerangku dengan ciuman baliknya, Taehyung malah duduk dan memeluk erat tubuhku.

"Good morning, Sayang. Senang melihatmu tersenyum seperti sedia kala."

Aku pun bernapas lega. Taehyung bersikap normal dan tidak menggila. Tumben sekali. Merasa perlu ke dapur untuk menyiapkan sarapan, aku menuruni ranjang duluan. Melangkah beberapa meter menjauhi tempat tidur, aku menengok ke belakang. Memastikan apakah Taehyung bangkit untuk mencegahku pergi.

Tidak? Yang kulihat Taehyung menguap lebar, mengucek kedua matanya. Kutunggu beberapa detik namun tetap tak ada pergerakan. Bukannya aku mengharapkan sesuatu terjadi, tapi melihat Taehyung yang setenang ini membuatku cukup terkesima.

Di dapur, aku mulai memasak. Mengambil bahan-bahan yang sebelumnya sudah kubeli bersama Taehyung di supermarket. Kalau dulu Taehyung seperti mau mencincangku dikala aku menyentuh makanannya yang ada di kulkas, namun sekarang bahan-bahan ini milik kami bersama.

Aku mematikan kompor setelah tumisan daging, sosis, dengan paprika ini matang. Menyisihkan beberapa porsi untuk kuberikan pada Bibi. Saat sibuk menabur biji wijen di atas masakanku, sesuatu melingkari leherku.

"Apa ini?"

"Hadiah pernikahan dariku," bisik Taehyung di telingaku.

"Tiba-tiba?"

"Tidak, aku sudah ingin memberikannya malam itu."

"Malam itu? Kapan?"

"Waktu kita hampir melakukannya."

Aku tak berani bicara lebih jauh lagi. Cukup sampai itu saja yang dibahas karena pipiku mulai merona. Taehyung bergelayut manja, merengkuh tubuhku yang tampak mungil dibandingkan dengan tubuhnya.

"Sayang, kau lupa mengucapkan sesuatu."

"Oh, benar. Terima kasih, kalungnya sangat cantik, aku menyukainya."

"Bukan, masih kurang."

"Kurang apa?" Aku membalikkan badanku menghadap Taehyung.

"Kurang ini." Dan dia pun meraup bibirku penuh cinta. Aku membalasnya, melingkarkan tanganku di lehernya. Kami tenggelam dalam ciuman yang romantis dan tidak menuntut.

"Hari ini aku mau mengajakmu pergi ke suatu tempat," ucap Taehyung di sela-sela ciumannya.

"Ke mana?"

"Ke rumah orang tuaku."

***

"Kau gugup?" Pertanyaan Taehyung yang kusambut dengan kernyitan di dahi.

"Bagaimana tidak? Kau lupa, terakhir kali pertemuan kami gimana?"

Aku merujuk pada pertemuan perdanaku—sebagai Yooseul—dengan kedua orang tua Taehyung, terutama mamanya. Harus berjumpa lagi dengan wanita kejam itu, rasanya kakiku lemas dan tidak sanggup melangkah. Awalnya, aku mengagumi betapa megah dan mewah bangunan yang berdiri tegak di hadapanku ini. Lalu, membayangkan siapa yang tinggal di dalamnya, membuat perasaanku campur aduk antara tidak suka dan ingin kabur saja.

"Ngomong-ngomong, apakah mamamu masih menjodoh-jodohkanmu dengan wanita lain?" tanyaku penasaran.

Hubungan kami kan sudah membaik dan cukup dekat sekarang. Rasanya aku akan meledak kalau mengetahui Taehyung harus menemui wanita-wanita cantik undangan mamanya lagi.

"Justru itu. Kita ke sini karena semalam Mama mengirimiku pesan untuk datang ke rumahnya. Katanya, ada makan malam spesial."

"Spesial? Apa artinya ... ada wanita yang mau dikenalkan padamu?"

"Ya. Walaupun Mama tidak menjelaskannya secara rinci, aku sudah tahu niatnya mengundangku ke mari. Pasti Mama mendatangkan wanita yang terakhir kutemui."

"Lalu, kenapa kau mengajakku? Untuk melihatmu makan bersama wanita lain?" sungutku.

"Tidak. Aku ingin memperjelas hubungan kita. Aku ingin menegaskan kembali mengenai siapa dirimu dan bagaimana seharusnya Mama bersikap."

"Taehyung?" Aku meragukan ucapan Taehyung. "Apa kau sudah ada rencana?"

"Iya. Aku menyiapkan rencana agar Mama dan Papa menerimamu."

"Apa itu?"

"Nanti kau akan tahu."

"Seberapa besar kemungkinannya berhasil?"

"Hm ... 90%?"

"Itu terlalu tinggi! Jangan membuatku berharap, aku tahu ini sesuatu yang mustahil."

"Percayalah, Sohyun. Dengan bantuan Papa, rencana ini akan sukses. Kau belum pernah bicara dengan Papaku, kan?"

Mengingat papanya Taehyung, iya, kalau dipikir-pikir kami belum pernah bicara satu sama lain. Bahkan dalam ingatan Sohyun, pria itu selalu memberinya tatapan yang menghakimi.

"Papaku itu tegas. Keputusannya di rumah ini menjadi hukum yang harus ditaati. Jika dibandingkan dengan Mama, otoritas Papa lebih mutlak. Mama atau siapa pun, tak dapat menentang Papa. Yah, walaupun aku pernah menentangnya sekali seumur hidup, dan dampaknya kini aku rasakan."

Taehyung menggenggam erat tanganku. Berjalan beriringan dengannya, kami memasuki rumah itu. Beberapa pelayan datang menyambut. Lebih masuk ke dalam, aku meneliti setiap dinding yang digantungi pajangan. Berbagai lukisan klasik dan kuno—yang harganya kuyakini jutaan dollar—terpampang nyata. Ini rumah atau museum sih?

"Hai, Kak!"

Suara seorang lelaki menyita perhatianku. Ia memeluk Taehyung begitu kami tiba. Sudah lama tidak lihat anak ini. Kim Hyunjin.

"Aku kira, Kakak nggak akan datang. Ya, meskipun semalam kita sudah membicarakan rencana Kakak, tapi aku tidak menduga Kak Taehyung membawa wanita tua ini."

Dia mulai lagi. Dasar!

"Kau berani mengejek istriku?!" ancam Taehyung. "Kupotong nanti suplai keuanganku ke rekeningmu, mau?"

"Hehe, jangan, Kak. Maaf deh. Peace...."

Kalau Kim Hyunjin saja masih meminta uang kepada kakaknya, ada kemungkinan uang sakunya kurang atau sengaja dikurangi. Berarti betul, Papa Taehyung orangnya tegas.

"Nak, kau datang—"

Mama Taehyung meneliti penampilanku dari atas sampai bawah dengan sinisnya. Lalu menggaet lengan Taehyung, membawanya duduk di meja makan. Sementara aku, ditinggalkan di belakang. Beruntung ada Hyunjin yang menemani jalanku. Kalau tidak, aku benar-benar akan kabur dan pulang saja ke apartemen.

Seperti dugaan Taehyung, wanita itulah yang diundang oleh mamanya. Wanita yang sama, yang kutemui di pesta perkumpulan di vila waktu itu. Mengetahui kehadiranku, wanita—yang aku lupa siapa namanya—itu memicing tidak suka.

"Sepertinya ada tamu tidak diundang, maaf Nona Yongsun," sindir Bibi.

"Ma, apa maksud Mama menyebutnya sebagai tamu tak diundang? Dia istriku. Ke manapun aku pergi, dia harus ikut."

Aku membelalak. Apa tidak masalah berterus-terang tentang statusku di depan orang lain? Dulu saja Taehyung mengatakan bahwa hubungan kami hanyalah rekan kerja di depan wanita ini. Tapi anehnya, wanita bernama Yongsun tidak memberikan tanggapan apa-apa seolah ia tahu siapa aku sebenarnya.

"Lagi pula, kami berdua datang ke mari karena suatu alasan."

"Taehyung? Apa yang kau bicarakan? Wanita ini bukan siapa-siapamu, kenapa kau bicara melantur?!" elak mamanya. Sesekali melirik Yongsun, takut kalau-kalau wanita itu dibuat salah paham.

"Tidak perlu ada yang ditutup-tutupi, Ma. Aku sudah memberitahu semuanya pada Nona Yongsun, bahwa aku telah menikahi Sohyun setahun lalu."

"Nak!!"

"Ma, dengar. Kami ke sini untuk meminta restu Mama. Kami akan menikah ulang, secara resmi, secara besar-besaran."

"Apa?!" kagetku dan Bibi bersamaan. Taehyung melirikku, tersenyum simpul. "Iya, Ma. Aku akan mengumumkan siapa istriku yang sebenarnya agar seluruh dunia tahu."

"Taehyung, jangan bercanda! Kau tahu, papamu tidak akan suka!"

"Mama jangan cemas. Aku sudah bernegosiasi dengan Papa. Papa  menyetujuinya."

"Apa? Ba–bagaimana bisa?"

Apa yang Taehyung rencanakan?

"Kakak Ipar, jangan kaget begitu. Mukamu kelihatan jelek," ejek Hyunjin yang sepertinya tahu apa yang sedang terjadi.

"Aku sepakat untuk melepaskan pekerjaanku sebagai sutradara. Setelah project drama terakhirku, aku akan bergabung ke perusahaan Papa. Menggantikan posisi Papa dan hidup sebagai suami Sohyun."

***

Tbc

Nah, kita lerai dulu konflik antara TaeSo dengan keluarga Taehyung.

Selama ini Taehyung sudah merencanakan banyak hal untuk masa depan pernikahannya sama Sohyun. Dia juga sampai mempertimbangkan akan meninggalkan dunia perfilman, dunia yang dia gemari sejak muda demi keluarga kecilnya. Tapi, kita nggak tahu, bagaimana Sohyun alias Yooseul menyikapi hal ini? Bagaimana perasaannya? Kalo menikah ulang, otomatis kan yang mengucap janji bukan Sohyun lagi, melainkan Yooseul🙂

Spoiler: di bab selanjutnya, Sohyun akan bertemu dengan Jimin. Dan rahasia Jimin akan secepatnya terkuak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top