Bab 22
Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi sebelum benar-benar bisa memahami situasi. Itulah yang sekarang kualami. Memang terlambat, tapi ingatan mengenai perlakuan Taehyung pada Sohyun baru-baru ini terlintas. Meski tidak banyak yang dapat kuketahui, namun segini saja sudah cukup menjelaskan bagaimana karakter dari seorang Kim Taehyung.
Benar, setelah menikah ia jarang menemui Sohyun. Taehyung—yang tidak mudah menyukai wanita—tak pernah membiarkan seorang wanita pun masuk ke apartemennya. Maka dari itu, ia menyiapkan apartemen untuk dihuni Sohyun sendiri. Karena kesibukannya pula, Taehyung tak banyak berinteraksi dengan Sohyun. Sesekali pria itu datang, dan yang kulihat di ingatan Sohyun adalah pria itu yang selalu mencoba mengajak Sohyun bicara. Tapi, Sohyun banyak diam. Membuat Taehyung akhirnya menyerah dan bersikap tak acuh padanya.
Tepat sebelum kepergian Taehyung ke luar negeri demi urusan pekerjaan, ia mengunjungi Sohyun. Dalam ingatan itu, Taehyung mengatakan hal yang sangat menyentuh hatiku. Mendengarnya sekali saja sudah membuatku terharu. Aku tak yakin, apakah Sohyun merasakan yang sama karena yang kulihat wanita itu tak menunjukkan reaksi apa-apa.
"Sohyun, aku harus pergi bekerja. Mungkin akan memakan waktu selama kurang lebih sebulan. Untuk itu ... aku harap—" Taehyung menghentikan kalimatnya.
Sohyun berdiri membelakanginya. Taehyung hendak menyentuh pundak istrinya, namun ia urungkan.
"Aku harap, kau menjaga bayi kita dengan baik. Jaga kesehatanmu juga supaya bayi kita tidak ikut sakit...."
Sunyi. Sohyun tak menjawab, tapi Taehyung yakin, istrinya mendengarkan pesannya dengan baik. Dan sekali lagi, momen Taehyung yang berhasil membuatku terharu.
"Aku minta maaf, atas segala ucapan kasarku yang menyakitimu. Kau tahu, aku berniat untuk melupakan hal yang telah berlalu dan memulai kembali semua dari awal. Tentang hubungan kita, aku rasa ... kita bisa hidup bersama."
Itu adalah kalimat terakhir Taehyung sebelum ia pergi meninggalkan Sohyun malam itu. Setelahnya, kondisi Sohyun drop. Kesehatannya memburuk karena ia susah makan. Ia kekurangan gizi dan itu membuatnya pingsan serta dilarikan ke rumah sakit.
Tak ada yang merawatnya selama di rumah sakit, kecuali mama dan kakaknya yang rajin datang. Kondisi Sohyun memprihatikan. Matanya cekung dan menghitam. Tubuhnya kurus meskipun perutnya terlihat besar karena sedang masa kehamilan. Mamanya menangis setiap hari menyaksikan keadaan putrinya yang memilukan. Namun, di lain sisi, seseorang terlihat senang.
Kim Jisoo. Wanita cantik dan perhatian itu rupanya menjadi racun dalam kehidupan Sohyun. Beberapa fakta muncul secara bersamaan di ingatan Sohyun mengenai kakaknya. Semua saling berkaitan hingga aku tahu, apa yang menyebabkan perempuan itu menggila.
Pertama, kematian Jinyoung juga adalah akibat hasutannya. Sebuah kebohongan besar yang menyatakan kalau Sohyun merupakan penyebab kematian kekasihnya. Sohyun tahu kebusukan kakaknya tepat di hari dan waktu yang sama ketika Jinyoung memutuskan untuk gantung diri.
Tidak ada Sohyun yang egois dan over posesif. Karena kenyataannya adalah Kim Jisoo telah merayu Jinyoung, membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Lalu, mengatakan hal tak masuk akal seperti memintanya mempertaruhkan nyawa untuk membuktikan rasa cinta itu pada Jisoo. Sejak kenal dengan Jisoo, Jinyoung banyak berubah. Ia menjadi dingin dan kasar terhadap Sohyun, bahkan Jinyoung meminta putus pada gadis itu tanpa alasan yang jelas. Hingga Sohyun memergoki Jinyoung yang tengah bertekuk lutut di hadapan Jisoo dan memelas pada Jisoo agar menerima perasaannya.
Kesabaran Sohyun mulai goyah. Detik itu juga ia menghampiri Jinyoung dan menampar pipi laki-laki yang sangat ia cintai untuk pertama kalinya dalam hidup. Hati Sohyun terluka atas penghianatan yang Jinyoung lakukan. Ia tak menyangka, dua tahun hubungan mereka akan berakhir sepedih itu. Kenapa harus kakaknya? Pertanyaan itu kerap muncul dalam hati Sohyun. Ia menyayangi kakaknya lebih dari apapun. Ia rela mengorbankan perasaannya jika memang Jinyoung dan kakaknya saling mencintai, tapi ... Sohyun bodoh jika melakukan itu setelah tahu kebenarannya.
Masih ingat perkataan Jisoo sewaktu menceritakan kisah Sohyun hari itu? Inilah kalimat yang dia ucap dan menimbulkan kebingungan di hatiku.
Memang seharusnya kau mempertahankan apa yang kau miliki kan? Lagi pula, gadis tidak tahu malu itu sudah seenaknya mengambil tempatmu. Wajar jika kau terluka.
Jika diterjemahkan dengan baik, Jisoo seolah-olah mengekspresikan perasaannya sendiri dengan mengganti kalimat itu menggunakan sudut pandang orang ketiga. Memperlihatkan kalau seakan dia peduli pada kondisi adiknya, padahal ia play victim.
Jisoo, sejak kecil ia merasa diperlakukan tidak adil. Dulu, Sohyun—anak bungsu di keluarganya—hidup dengan penuh kebahagiaan. Seperti yang sudah kuceritakan di awal, Sohyun adalah gadis bertalenta. Pujian selalu datang dari mana saja. Namanya dikenal banyak orang, termasuk tetangga, rekan bisnis papanya, serta teman-teman di sekolahnya. Ia mengharumkan label keluarga. Namun sebaliknya, Jisoo yang tak memiliki apapun—selain kecantikan wajah—menjadi iri terhadap Sohyun yang berhasil merebut hati banyak orang.
Setiap kali melihat wajah adiknya, Jisoo tidak bisa menahan dengki. Ia anak pertama di keluarga, tetapi selalu dibanding-bandingkan oleh papanya dengan Sohyun. Papanya malah sempat berkata kalau kemungkinan keluarga mereka akan lebih sejahtera jika Sohyun yang mengurusnya. Meskipun belum pasti, tetap saja Jisoo merasa terluka. Sohyun merebut semua yang dia miliki. Jisoo adalah korban, dan sudah sewajarnya ia menuntut keadilan. Namun, keadilan yang ia maksud, ia dapatkan melalui cara yang tidak benar.
Jisoo yang mengetahui sang adik menjalin cinta dengan Jinyoung, perlahan mendekati lelaki itu. Membuatnya takluk, lalu membuangnya di waktu yang tepat. Jisoo bahagia melihat Sohyun menderita dan kehilangan cintanya. Ia tak takut ketika Sohyun mengetahui semua kebenciannya selama ini, serta mengetahui bahwa dirinyalah orang ketiga yang telah mencuri cinta pertamanya.
Justru, sejak saat itu, Sohyun selalu ingin mengatakan pada semua orang bahwa sifat kakaknya tidak seperti yang mereka kira. Tidak ada Jisoo yang lemah lembut, perhatian, dan juga penyayang. Yang ada adalah Jisoo yang penuh dendam dan kebencian, Jisoo yang selalu ingin menjadi pusat perhatian, dan Jisoo yang mendapatkan apapun dengan menghalalkan segala cara.
"Sohyun, kau lupa Mama butuh donor ginjal?" ucap Jisoo di hari yang sama, sesaat setelah insiden kematian Jinyoung dan Sohyun yang berjuang menuntut keadilan.
"Apa maksud Kakak membawa-bawa masalah ini? Aku tidak peduli, Mama dan Papa tetap harus tahu ketidakwarasan Kak Jisoo. Aku akan memberitahukan mereka, lihat saja!"
"Oh, silakan saja kalau kau berani. Tapi, lihat apa yang kupegang ini."
Jisoo menyerahkan secarik kertas berisi hasil pemeriksaan laboratorium. Sohyun memicingkan matanya yang sembab dan merah, keadaannya sangat kacau.
"Seperti yang kau tahu, gagal ginjal Mama sudah memasuki stage akhir. Kalau tidak segera mendapat donor, nyawanya tak akan selamat. Kalau kau masih kukuh ingin memberitahukan Mama dan Papa tentang kejadian ini, aku pastikan, Mama akan mati dalam waktu dekat."
Satu lagi keunggulan dari Jisoo, ia pintar memanfaatkan situasi dan menjadikannya kesempatan untuk menggapai apa yang ia inginkan.
"Kak!! Jaga ucapanmu! Apa maksudmu membiarkan Mama mati? Kau putrinya—"
"Aku tidak peduli! Aku tidak peduli lagi pada wanita itu! Jika dia ibuku, kenapa dia selalu menomor-duakanku? Bahkan ia tak pernah memperhatikanku. Selalu saja kau yang jadi prioritasnya! Kau bebas menjalani hidupmu karena kau punya banyak kelebihan. Tidak sepertiku, aku lemah. Mama dan Papa selalu mengontrolku agar aku menjadi sepertimu. Aku muak dengan sikap mereka!"
"Kak, Mama dan Papa nggak pernah bermaksud seperti itu. Jika Kakak keberatan, kenapa tidak mencoba untuk bicara pada keduanya? Tunjukkan perasaan Kakak, bukan begini caranya."
"Aku mau bicara atau tidak, itu tidak akan merubah keadaan dan mempengaruhi keputusanku. Aku cuma ingin membuatmu menderita. Itu saja. Sekarang, kau pilih. Memberitahukan mereka tentang kejadian hari ini dan melihat Mama mati, atau ... kau tutup mulut seumur hidupmu dan mematuhi semua keinginanku."
Tatapan Jisoo terlihat menuntut. Wanita yang ia anggap sebagai sosok paling lemah lembut, ternyata berhati iblis. Sohyun kecewa dan sakit hati. Ini semua salahnya. Karena kedua orang tuanya selalu mengunggulkannya, Jisoo kurang mendapat perhatian. Sohyun menyesal ini semua harus terjadi.
Ia pun tak punya pilihan lain selain menerima kesepakatan Jisoo. Hanya ginjal wanita itu yang cocok untuk mamanya. Artinya, cuma Jisoo yang bisa menolong hidup sang mama. Sohyun terpaksa membuang jauh-jauh harapan untuk memperoleh keadilan.
Sohyun pikir kegilaan Jisoo akan berhenti setelah Jinyoung pergi. Ia salah. Gara-gara kejadian itu, Sohyun dimusuhi dan dituduh oleh satu sekolah. Nama baiknya tercemar, ia terpojok oleh rumor yang mengatakan bahwa ia adalah penyebab kematian Jinyoung. Akhirnya, beredar dan berkembanglah gosip yang menyangkut-pautkan dirinya. Sohyun merupakan gadis terakhir yang ditemui Jinyoung, seseorang sempat melihat keduanya bertengkar sehingga orang-orang mulai berasumsi kalau Jinyoung bunuh diri akibat sikap Sohyun yang egois.
Rumor sekecil itu tanpa Sohyun duga malah menjadi lubang besar yang mampu membenamkan tubuhnya. Ia tidak dapat berkutik ketika orang-orang menudingnya tiada henti. Setiap kali Sohyun mencoba mendekati papanya untuk mengatakan kejadian yang sesungguhnya, Jisoo selalu ada di sana untuk menghalangi. Sekarang, gadis itu punya senjata untuk melindungi dan membela diri. Ia berhasil menciptakan image yang baik di depan orang tua dan orang-orang sekitarnya. Ia bahkan "sukarela" mendonorkan ginjal pada sang mama, meninggalkan kesan yang mendalam di hati sang papa, mama, dan orang lain yang mengetahuinya. Jika Sohyun mengungkap kebusukan Jisoo, itu hanya akan membuat dirinya terlihat buruk di mata orang lain. Maka sejak itu, yang Sohyun lakukan adalah berusaha menerima cemoohan orang-orang yang dulu mengaguminya. Mendapat tatapan tajam setiap kali ia berjalan.
Awalnya Sohyun dapat bertahan, hingga papanya yang terlalu banyak mendapat laporan penurunan prestasi Sohyun mulai bertindak. Sohyun yang dikenal pandai dan berbakat, dikatakan banyak membuat masalah di sekolah. Mulai dari nilai-nilainya yang menurun, terlibat perkelahian dengan anak perempuan lain—yang mengejek dan mengatai Sohyun pembunuh—dan pada akhirnya keburukan itu menyebar ke relasi bisnis papanya. Membuat sang papa murka dan bersikap keras pada Sohyun.
Kemarahan papanya mencapai puncak ketika beliau tahu bahwa Sohyun hamil di luar nikah. Sohyun yang mengambil cuti dari sekolah karena kondisi kejiwaannya yang tidak baik, diajak berlibur bersama kakaknya ke Gangwon-do. Inilah awal dari segalanya. Awal di mana Sohyun bertemu dengan Taehyung dan kehidupan pernikahannya bermula.
Mengetahui hal itu, tentu aku tidak akan ragu mengatakan kalau Jisoo sengaja membawa Sohyun ke lokasi yang sama di mana tunangannya berada. Dan aku juga tidak akan ragu menduga bahwa Jisoo yang membuat Sohyun mabuk sehingga berakhir di ranjang Taehyung dan menyebabkan kehamilan itu. Jisoo pasti sengaja membuat skenario baru yang akan semakin menjatuhkan nama baik Sohyun.
Seorang adik yang merebut tunangan kakaknya, bahkan hamil dengan orang yang akan kakaknya nikahi. Kira-kira seperti itulah opini publik yang ingin Jisoo ciptakan. Bukan fisik, melainkan mental. Jisoo menyasar mental Kim Sohyun yang kala itu memang sudah melemah. Dan sayangnya, ia berhasil.
***
Kembali di waktu sekarang, Taehyung dan aku pergi ke Golden Bakery. Menanggapi tawaran pria itu—yang bersedia mengadopsi Hamin—aku pun dengan semangat mengiyakan. Meskipun aku harus rela melepas pekerjaan. Karena, siapa yang akan menjaga Hamin jika aku dan Taehyung sibuk bekerja? Aku tidak terlalu percaya pada pengasuh. Dan aku tidak akan membiarkan Hamin tumbuh di tangan orang lain serta kekurangan kasih sayang dariku, kakak sepupunya yang sebentar lagi akan ia panggil 'Mama'.
"Kau yakin akan mengundurkan diri dari pekerjaanmu, Sohyun?" tanya Taehyung sewaktu kami berdua masih di dalam mobil.
"Iya. Aku yang akan merawat Hamin dengan tanganku sendiri."
"Sayang sekali. Padahal kau berbakat menjadi seorang asisten sutradara. Tapi kau benar, di antara kita harus ada yang merawat Hamin."
"Lalu, apa rencanamu? Apa kau sendiri tidak masalah jika aku keluar dari pekerjaan?"
"Tenang saja. Aku bisa cari penggantimu. Lagian, banyak anak baru yang bisa diandalkan. Aku akan menyeleksi satu di antara mereka. Jay, misalnya."
"Kau benar. Jay itu sangat ahli, dia bisa diandalkan."
Aku menyetujui pendapat Taehyung tentang Jay. Anak muda yang pernah terlibat prank terhadapku. Dia yang dulu berpura-pura bersikap kurang ajar untuk mengetesku. Sebenarnya, Jay bisa dikatakan memiliki kinerja yang memuaskan. Aku pun menyukai semangat anak itu.
"Ya sudah, ayo turun. Kita temui Nyonya Dalhee untuk membicarakan rencana mengadopsi Hamin."
Bakery sibuk seperti biasa. Banyak pengunjung yang datang bahkan sesaat setelah toko dibuka. Terlihat Bibi yang sedang beramah-tamah mengunjungi meja para pelanggan. Beliau menghentikan aktivitasnya ketika mengetahui kedatanganku dan Taehyung.
"Nak Sohyun? Ini—"
"Suami saya, Bi. Kami datang ingin membicarakan hal penting. Apa Bibi ada waktu?"
"Ah, tentu saja, Nak. Mari masuk ke dalam. Kita bicarakan di ruanganku."
Bibi menyambut kami secara terbuka. Bibi pernah bilang, jika ada orang tua yang ingin mengasuh Hamin, beliau akan mempertimbangkannya dengan baik. Tidak mungkin kan, Bibi menyerahkan Hamin begitu saja pada orang asing? Bukannya tidak mau merawat Hamin, hanya saja ... Bibi merasa tidak muda lagi. Kelak, jika putranya—Seokjin—menikah, ia akan memiliki kehidupannya sendiri. Mengetahui bagaimana sikap Jin yang enggan merawat Hamin, Bibi tidak ada pilihan lain selain mencarikan orang tua asuh.
"Jadi begini, Bi. Kami berencana ingin mengadopsi Hamin. Bagaimana menurut Bibi?"
Bibi agak terkejut mendengar kalimatku. Taehyung pun membuka mulut dan mencoba meyakinkan Bibi.
"Sejak pertama bertemu dengan Hamin, saya menyukainya. Hamin anak yang menggemaskan, dia pintar dan punya rasa ingin tahu tinggi. Saya dan istri saya sangat ingin menjadikan Hamin putra kami. Kami berjanji akan merawatnya dengan baik."
Bibi tiba-tiba menitikkan air mata. Aku panik seketika. Taehyung juga tampak gelagapan. Kami bingung harus berbuat apa.
"Bibi kenapa menangis? Ka–kalau Bibi tidak bersedia menyerahkan Hamin, kami tidak akan memaksa kok."
"Bukan begitu, Nak. Bibi percaya pada kalian. Kalian bisa menjadi orang tua yang baik bagi Hamin. Hanya saja ... Bibi merasa sedih dan bersalah pada keluarga anak itu."
Deg. Napasku tercekat. Keluarga Hamin? Itu adalah aku—Yoon Yooseul —dan Paman Harang.
"Seorang gadis yang Bibi kenal dan Bibi anggap sebagai putri sendiri, meninggal cukup tragis dua bulan yang lalu. Ia adalah kakak sepupu kesayangan Hamin. Tak lama kemudian, pamannya—ayah Hamin—menyusul karena terkena serangan jantung. Hamin yang masih kecil sudah harus kehilangan keluarganya. Itu membuat Bibi tidak bisa tidur setiap malam. Bibi senang, Nak. Bibi senang karena kalian lah yang akan mengadopsi cucu Bibi."
Mataku berkaca-kaca mendengar cerita Bibi tentangku dan juga Paman. Aku pun mendekat ke arah Bibi dan merangkulnya. Aku tak dapat membendung rasa sedihku hingga ikut meneteslah air mataku di depan Bibi dan Taehyung.
"Terima kasih, Nak," ujar Bibi tulus dengan suara bergetar.
"Tidak, Bi. Berterima kasihlah pada Taehyung, dia yang sangat ingin mengadopsi Hamin."
Ucapan terima kasih ini pantas ditujukan pada Taehyung. Ia lah yang menyetujui ideku. Tanpa sepertujuannya, Hamin tidak akan mungkin tinggal bersama kami.
Setelah menyelesaikan urusan dengan Bibi, kami pamit pulang. Rencana selanjutnya adalah membuat pendekatan dengan Hamin. Kupikir itu tidak sulit, karena yang kulihat Hamin sangat menyukai Taehyung. Mereka pasti cepat akrab.
"Tae—"
Kegiatanku yang mengenakan sabuk pengaman terhenti ketika Taehyung menggerakkan jemarinya mengusap sisa air mata yang mengalir di pipiku.
"Jangan nangis lagi. Sudah cukup aku melihatmu menangis, saatnya kau bahagia."
Aku tak dapat berkata-kata. Kalimat Taehyung barusan menyentuh relung hatiku yang paling dalam. Ia berhasil menenangkanku dengan kalimat dan sikapnya yang lembut.
"Aku akan mencoba melakukan apapun agar kau bahagia. Jangan cemas, Hamin pasti mau ikut bersama kita."
"Terima kasih, Taehyung. Terima kasih telah mengabulkan permintaanku."
Lelaki itu tersenyum. Sangat lebar hingga rasanya membuatku tak bisa mengenali dirinya yang asli.
"Kalau begitu, kau juga harus mengabulkan permintaanku sebagai bentuk terima kasih itu."
"Hm, oke .... Apa yang kau minta? Katakan."
"Cium aku."
***
Tbc
Hayoloh!!
Aku ketik panjang lebar di bab ini dan akhirnya berhasil double up juga.
Setelah baca bab ini, apa yang kalian pikirkan? Silakan isi asumsi kalian di kolom komentar.
Wah, Taehyung udah mulai ngegas nih. Nggak pake ragu-ragu atau jaim lagi.
Kira-kira, bagaimana hubungan mereka ke depannya? Kalau saja Taehyung tahu bahwa Sohyun yang asli sudah mati, dan yang ada di depannya adalah Yooseul, apa yang akan terjadi?
Tunggu update selanjutnya🤭
Selamat malam dan selamat tidur😴😇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top