Bab 14
Wow, sebelumnya makasih untuk komen-komen kalian di bab sebelumnya. Ada beberapa macam teori ya hehe... Tapi sebagian bener, sebagian masih ada yang salah ( ꈍᴗꈍ)
Aku up lagi malem ini, di jam yang ... seharusnya aku udh tidur🥲 Tapi belum bisa merem sama sekali. Selamat membaca :)
***
Tepat satu minggu sejak aku mendapatkan kesempatan bekerja di tempat syuting sebagai pengganti Jennie. Berbagai hal kualami, mulai dari kurang tidur, diganggu senior, dimarahi LP, sampai diabaikan Taehyung gara-gara dia masih marah soal perpanjangan penundaan perceraian itu. Dan sekarang adalah proses evaluasi mingguan. Kami-para kru drama "Positively Yours"-meluangkan waktu di suatu ruang meeting untuk membahas perkembangan syuting selama sepekan. Jujur aku gugup karena ini adalah penentuan hidup dan matiku. Jika kinerjaku tidak memuaskan, maka aku harus angkat kaki dari tempat ini. Tak hanya itu, bahkan mungkin harus angkat kaki dari apartemen Taehyung dan siap untuk diceraikan.
Pak Yoongi-si pemegang status LP yang tegas-mulai membuka diskusi. Di antara banyaknya kursi, mengapa harus aku yang duduk tepat di depan pria ini? Ia sama sekali tidak melirikku. Kupikir, dia sudah benar-benar lupa kalau aku ini istrinya!
"Kerja bagus semuanya! Berkat kalian, drama kita menduduki rating tertinggi di minggu ini. Dan mungkin di minggu-minggu selanjutnya."
Tepuk tangan dan sorakan riuh menggema di ruangan seluas 15 m². Namun, hal itu tak cukup membuatku tenang. Bagaimana ini? Apakah aku tetap bisa melanjutkan tanggung jawabku sebagai asisten sutradara di sini? Cepatlah, aku ingin segera tahu hasilnya.
"Terima kasih, tentu kesuksesan ini tidak akan tercapai tanpa kerja keras kalian. Terutama kau, Sohyun."
"Sa-saya Pak?" Aku menunjuk diriku sendiri. Apa aku tidak salah dengar? Aku dipuji? Di depan orang-orang?
"Sejak kau datang, jadwal kami yang kacau jadi lebih teratur. Selain itu, aku melihat antusiasme dan semangatmu selama menjalankan tugas. Kau lulus ujian," ujar Pak Yoongi sambil tersenyum lebar.
Tak hanya beliau, tetapi seluruh kru menatapku dengan bangga. Mereka melempar senyum terbaiknya selagi mengucapkan selamat padaku. Tunggu, suasana bahagia apa ini? Bukankah mereka membenci kehadiranku?
"Maafkan aku, Kak. Waktu itu aku dipaksa kasar padamu. Aku sungguh tak bermaksud," kata seorang lelaki muda yang sangat aku ingat wajahnya.
Ya, dia yang bersikap tidak sopan padaku di hari pertama bekerja.
"Aku juga minta maaf, insiden kopi hari itu ... itu suruhan Sutradara Ye. Maaf banget, kau pasti sangat sakit hati ya?"
Bahkan wanita dengan model rambut mirip Suzy yang menyiramku dengan kopinya?
Aku refleks mengangkat kepalaku dan mencoba menatap mata Taehyung. Sial, laki-laki itu masih mengabaikanku. Dengan kacamata yang tersemat di wajahnya, serta beberapa dokumen yang dipegang di tangannya, Taehyung tampak sibuk.
"Jangan menatapku seperti itu. Ini dunia kerja. Kau pikir taman bermain? Tidak ada yang namanya senang-senang di sini. Jadi aku memberimu sedikit ujian, harusnya kau bersyukur."
Cih. Sedikit ia bilang? Aku nyaris frustrasi dengan sandiwara orang-orang itu. Tidak tahukah mereka bahwa aku sangat tertekan selama seminggu? Belum lagi masalah mimpi burukku yang semakin sering datang. Aku tidak mau gila, makanya aku masih sanggup bertahan demi melatih kewarasanku.
"Jadi, apa aku resmi diterima sebagai asistenmu?" tanyaku penasaran. Aku sudah tidak sabar mendengar keputusannya.
"Ya, tidak ada ruginya juga mempekerjakanmu di sini," jawabnya singkat lalu ia bangkit dari duduknya, meninggalkan ruang meeting.
Aku langsung gembira. Bibirku tidak bisa berhenti tersenyum. Dalam hati mengucap syukur tiada henti. Akhirnya, aku tidak akan bosan lagi dan kesempatanku dekat dengan Taehyung akan lebih banyak ke depannya. Semangat, Yooseul! Kau harus berhasil menuntaskan misimu!
Semua orang pun menggerombol di sekitarku. Menjabat tanganku dan beberapa senior cewek memberiku pelukan ramah. Mereka menyambutku dengan baik, berbeda dari apa yang aku bayangkan sebelumnya.
***
Aku berdiri menunggu taksi. Hari sudah sore, langit juga tampak gelap. Belakangan, hujan memang sering turun di kota ini. Orang-orang selalu membawa payung ke mana-mana dan di sinilah aku, berdiri seperti patung dengan perasaan was-was- takut kalau hujan tiba-tiba menerjang.
Kakiku mulai pegal. Yang benar saja tidak ada taksi yang kosong hari ini? Mungkin karena sedang jam pulang kerja, jadi banyak yang sudah penuh. Aku cemberut seketika.
Tin... Tin....
Mobil hitam berhenti di hadapanku. Ayolah, mendengar suara klaksonnya saja aku sudah bisa menebak, siapa orang di dalamnya. Lagi pula, kenapa mendadak menghampiriku? Apa dia sudah ingat siapa aku?
"Naik."
Kaca jendela mobil terbuka. Sosok dengan muka garangnya itu berbicara. Singkat dengan nada memerintah. Membuatku malas menanggapinya. Ia sudah sering mengabaikanku, jadi aku ingin sedikit balas dendam.
"Tidak mau? Ya, sudah."
Heh, berjuang sedikit kek! Kalau begini, aku bisa kehujanan di luar.
Taehyung sungguh tidak menawarkan yang kedua kalinya. Aku panik sebab titik-titik air mulai terjun dari langit. Pria ini, dasar tidak punya hati!
Melupakan harga diriku, aku buru-buru berlari masuk ke dalam mobil. Tidak peduli akan tatapannya yang meremehkan atau seringaian tipis yang muncul di bibirnya itu. Masa bodoh! Aku sangat malu. Argh! Kenapa aku selalu kalah dari pria ini? Bagaimana caraku menaklukkannya?
"Bukannya nggak jadi naik?"
"Diam kau."
"Ck, dasar wanita labil."
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan di antara kami. Suara hujan di luar cukup untuk meredam pikiran kami masing-masing. Mataku tertuju ke luar jendela, meneliti rembesan air yang jatuh dari atap mobil membentuk alur di kaca. Dingin. Meskipun begitu, terasa menyegarkan. Untuk saat ini aku merasa terhibur. Setelah apa yang terjadi padaku beberapa hari ini, pada akhirnya aku bisa merasakan sedikit kelegaan.
Aku sekali lagi tersenyum.
"Berhenti!"
Aku mencekal lengan Taehyung. Pria itu kaget dan langsung mengerem mobilnya.
"Kau gila?! Jangan seenaknya menyentuhku begitu! Hampir saja kita celaka."
Berlebihan. Aku baru saja melihat Hamin. Ya, adik sepupu kesayanganku. Anak yang selama ini selalu ingin kutemui. Ah, aku hampir menyerah sejak berkunjung ke Golden Bakery waktu itu. Tapi sekarang, Tuhan memberiku kesempatan bertemu dengannya lagi. Aku tidak boleh menyia-nyiakan.
"Kau mau ke mana?"
"Tunggu sebentar. Aku segera kembali."
"Hei!"
Apa yang anak itu lakukan? Kenapa dia belum pulang? Kenapa dia sendirian? Ya, walau sebenarnya Hamin tidak benar-benar sendiri. Ada seorang wanita muda-mungkin sepantaran Sohyun atau sedikit tua di atasnya-yang aku asumsikan sebagai guru playgroup Hamin.
"Hamin?"
Anak kecil itu menatapku. Matanya tentu saja tidak mengenaliku-Yooseul-yang adalah kakak kesayangannya. Sudut hatiku terasa terluka. Tapi, aku tidak boleh lengah begitu saja.
"Ke mana orang yang seharusnya menjemputmu?"
"Maaf, Nyonya ada hubungan apa dengan Hamin, ya?" tanya guru itu terdengar menyelidik.
"Oh, saya kenalan Neneknya Hamin. Apa Hamin masih belum dijemput juga?"
"Tadi seorang laki-laki yang mengaku Pamannya akan sedikit terlambat menjemput Hamin. Tapi, sampai sekarang tidak ada kabar."
Kim Seokjin! Pasti pria itu yang bertanggung jawab dalam mengantar-jemput anak ini. Bisa-bisanya ia membuat Hamin-ku menunggu. Bahkan sampai sore? Tidak ada sekolah playgroup manapun yang beroperasi sampai sore hari. Ini sudah keterlaluan lamanya.
"Tante siapa?"
Ah, Hamin. Kau menyakiti hatiku. Seumur hidup, baru kali ini aku dipanggil Tante olehnya dan bukan Kakak.
"Hamin, aku kenal dengan nenekmu. Mau ikut dengan Tante? Akan Tante antarkan pulang."
Hamin menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar juga, selama ini aku selalu mengajarinya agar jangan terlalu percaya pada orang asing. Sekarang ini, aku adalah orang asing baginya.
"Kau tidak percaya pada Tante? Bagaimana kalau Tante menelepon nenekmu supaya kau percaya?"
Anak itu mengangguk dengan polosnya. Yoo Hamin, Kak Yooseul sangat rindu padamu. Aku ingin sekali memelukmu, tapi aku sadar itu hanya akan membuatmu takut.
Tanpa basa-basi, aku mengambil ponselku dari tas yang masih kubawa. Sebelum pulang dari Golden Bakery, aku sempat meminta nomor telepon dari Nyonya Dalhee. Aku tahu kemungkinan semacam ini dapat terjadi. Dan akhirnya, aku punya kesempatan untuk menelepon orang yang sudah seperti ibu kandungku sendiri.
"Halo?"
"Halo Bibi, ini Kim Sohyun."
"Oh, Sohyun? Ada apa menelepon Bibi?"
"Sebenarnya, saya tidak sengaja melihat cucu Bibi yang waktu itu. Dia ada di depan sekolahnya dan masih belum dijemput."
"Benarkah? Biarkan Bibi bicara padanya."
Aku langsung menyerahkan ponselku pada Hamin. Anak itu berteriak, "Nenek!!" dengan tawa riangnya. Kenapa setiap melihatnya tertawa begitu, aku selalu merasa sangat sedih? Mungkin aku terlalu merindukan anak ini. Merindukan tingkah polosnya, sikapnya yang selalu banyak tanya, dan juga tawanya.
"Tante?"
"Eh, i-iya Hamin?"
"Kata Nenek, Hamin halus ikut Tante dulu."
Hamin masih kesulitan ngomong "r". Licu sekali.
"Eh? Benarkah?"
Wah, ketika Nyonya Dalhee yang berbicara, ia langsung percaya. Kapan ya tiba saatnya anak ini akan memelukku tanpa ragu dan mencium pipiku lagi?
"Baiklah. Ayo, kita lari masuk ke dalam mobil itu. Di sana ada suami Tante yang sudah menunggu."
"Yee!"
Hamin berjingkrak-jingkrak. Aku pun memilih untuk menggendongnya. Karena jalanan yang licin, aku takut ia akan tergelincir di jalan.
***
"Anak siapa yang kau culik ini?!" teriak Taehyung dengan kagetnya.
"Tenanglah, kau membuat Hamin takut. Jangan teriak-teriak, bisa?" kesalku.
Wajar saja ekspresinya dan reaksinya begitu. Aku yang keluar tanpa penjelasan, tiba-tiba kembali menggendong anak orang.
"Ini Yoo Hamin, cucu dari kenalanku. Pokoknya, hari ini Hamin akan ikut sementara dengan kita."
"Seenaknya saja. Kita pulangkan dia sekarang."
"Tidak boleh! Maksudku, neneknya sedang ada urusan di luar rumah. Sementara, pamannya masih sibuk dengan pekerjaannya di hotel. Bibi memintaku untuk mengajaknya dulu pulang bersama kita."
Taehyung mendesah.
"Kau pikir rumah kita tempat penitipan anak? Apa dia tidak punya keluarga lain?"
"Hamin yatim-piatu. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain keluarga Bibi pemilik toko kue itu. Tolong, biarkan dia bersama kita. Tidak akan lama, nanti juga akan dijemput pulang kok. Ya? Kasihan dia."
Taehyung menghindari kontak mata denganku. Ia tampak sedang berpikir. Hamin mengetahui kondisi mencengangkan ini, ia hanya diam menonton kami dari tadi. Bahkan, Hamin begitu lama memperhatikan Taehyung. Kedua tangan kecilnya memeluk pinggangku erat.
"Kau urus dia. Jangan menyusahkanku."
"Oke, dimengerti!"
Mobil pun kembali melaju membelah jalanan kota yang masih ramai di tengah hujan. Di perjalanan, Hamin yang kelelahan, tertidur di pangkuanku. Hatiku menghangat. Aku mengusap dan mengecup puncak kepala adik kesayanganku. Aku merasa sedih bercampur bahagia. Mungkin aku tidak akan bisa memeluknya lagi seperti ini jika aku tidak berada di tubuh Sohyun. Aku lagi-lagi merasa bersyukur.
Taehyung yang memutuskan untuk tidak ingin terlibat, dengan anehnya mengambil alih Hamin. Sesampainya di basement apartemen, ia menggantikanku menggendong Hamin. Tanpa bicara apa-apa, membuatku heran dan bertanya-tanya.
Katanya nggak mau disusahkan? Malah dia bikin repot diri sendiri.
Aku tidak bertanya macam-macam karena aku tahu karakternya. Aku malas berdebat dengannya. Sebaiknya, aku ikuti Taehyung dari belakang.
Bibirku tersenyum diam-diam. Seorang Taehyung yang dingin ternyata bisa pandai menggendong anak kecil tanpa membangunkannya dari tidur. Taehyung seperti seorang ayah saja.
Seandainya Sohyun tidak keguguran gara-gara kecelakaan dari lantai lima itu, mungkin sekarang sudah ada bayi di gendongan Taehyung. Ah, aku membayangkan apa sih? Mana mungkin Taehyung senang dengan kehadiran bayi Sohyun? Bayi itu pasti tidak diharapkan meski Taehyung ingin bertanggung jawab sekalipun. Sampai bayi itu dewasa, ia tak akan pernah mendapat kasih sayang dari ayahnya.
"Paman?"
Ketika memasukkan password, Hamin terbangun sambil mengucek matanya.
"Hamin sudah bangun? Sini Tante gendong."
"Aku bisa. Kau pikir aku lemah?"
Kenapa dia yang sewot? Hei, itu adikku! Bukan anakmu! Huh. Berani-beraninya memisahkan kami!
"Wah, ini lumah Paman?" Hamin menatap sekeliling dengan berbinar-binar.
Benar, ekonomi kami yang sulit pasti membuatnya jarang bahkan hampir tidak pernah melihat pemandangan rumah seindah dan semewah ini. Reaksinya sama seperti ketika aku masuk pertama kali ke apartemen ini. Duniaku dan Sohyun sungguh sangat berbeda.
"Hamin mandi dulu, ya? Badanmu basah kena hujan tadi. Kita ganti baju juga biar Hamin tidak masuk angin," pengertianku.
Hamin mengangguk dengan semangat. Taehyung pun akhirnya merelakan Hamin kembali padaku.
"Nih, urus dia. Jangan ganggu aku lagi."
"Eh, lagi pula siapa yang mengganggumu? Kau sendiri yang mau menggendongnya."
Pria itu! Sehat tidak sih? Apa terjadi kerusakan di otaknya?
"Ayo, Sayang."
"Tante, Paman itu suami Tante?"
Bukan.
"Iya, makanya kami tinggal serumah kan."
"Kenapa Tante beltengkal telus?"
Ya, seperti inilah Hamin. Dia penuh dengan pertanyaan di kepalanya.
"Katanya, pertengkaran di antara suami-istri itu akan menambah cinta di antara keduanya."
"Tante, Hamin tidak paham."
Aku tertawa. Sama, aku juga tidak paham Hamin. Mana mungkin aku dan pria itu bisa akur? Pertengkaran itu cuma berujung masalah. Mana ada pertengkaran menambah rasa cinta antar pasangan?
"Sini."
Taehyung entah muncul dari mana, tiba-tiba dia kembali dan menculik Hamin dariku.
"Eh, mau kau bawa ke mana dia?"
"Kau mengajarinya yang tidak-tidak."
"Kau tidak menjawab pertanyaanku, mau kau bawa ke mana Hamin?" ucapku sambil terus menyusul langkah Taehyung.
"Dia akan mandi bersamaku. Kenapa? Mau ikut bergabung?" ejeknya.
Kemudian, pintu pun tertutup dengan rapat.
"Ah! Menyebalkan!! Aku kan masih belum puas kangen-kangenan dengan Hamin-ku! Awas saja kau, Kim Taehyung!"
***
Tbc
Kita break dulu dari teori. Biarkan hubungan TaeSo ada perkembangan hehe
🤭
Taehyung nih diam-diam demen sama anak kecil. Ekspresinya menolak, tapi hatinya tidak😚😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top