Bab 13

Rasa gelisah terus melandaku. Hari ini aku mendapatkan mimpi yang aneh lagi. Entahlah, namun sejak menjalani terapi, aku jadi sering diperlihatkan ingatan-ingatan tentang masa lalu Sohyun. Apalagi, aku baru tahu bahwa Jimin dan seseorang bernama Jinyoung memiliki hubungan darah. Ya, mereka adalah saudara.

Tiba-tiba dadaku terasa sakit. Bayangan penyesalan lagi-lagi muncul berhamburan. Kepalaku pusing. Bodohnya lagi, sekarang sedang waktunya untuk bekerja. Jika aku melakukan kesalahan, maka para senior itu akan punya alasan untuk mengerjaiku. Sampai kapan sih aku harus begini?

"Heh, kalau nggak serius kerja, udah resign aja. Jangan jadi beban di tim deh," sorak seorang wanita dengan rambut pendek. Ngomong-ngomong, gaya rambut itu memang lagi nge-trend sejak dipopulerkan oleh Bae Suzy di drama "While You Were Sleeping".

Aku yang cuma bawahan, sengaja tidak mau melawan karena ujung-ujungnya pasti akan adu mulut. Lalu, akulah yang dipersalahkan atas semuanya. Klasik, aku bisa menebak ide wanita itu yang sengaja mau memancing emosiku.

"Kamu berani cuekin aku?"

Dijawab salah, nggak dijawab salah.

"Hei, kenapa kalian ribut-ribut? Kita ini sedang sibuk, cepat yang lain dibantu!"

Akhirnya, api kecil ini berhasil dipadamkan tak kala line producer (LP) datang dan memergoki 'kemalasan' kami. Memiliki rekan kerja yang keras memang menyebalkan, tetapi aku sangat berterima kasih padanya sebab telah membebaskanku dari siksa neraka ini. Aku jadi tidak perlu menahan lebih lama lagi kesabaranku.

"Sohyun, bagaimana perkembangan kalender syutingnya?"

"Sudah 100% selesai, Pak. Kita tinggal mengadakan meeting untuk mengkoordinasikannya dengan departemen yang lain."

"Untuk pemain stand in sudah dapat yang cocok?"

"Masih perlu saya screening lagi, Pak. At least, kita sudah ada list pemain yang cocok. Ada sekitar empat orang."

"Bagus, usahakan lusa semua pekerjaan 'oke'. So, beat the clock. Kita terlalu membuang-buang waktu."

"Siap, Pak. Terima kasih arahannya."

"Iya, kembalilah bekerja. You did well."

Betapa leganya. Meskipun LP kami sangat strict, setidaknya ia tahu bagaimana cara menyemangati karyawan. Tidak seperti seseorang. Ngomong-ngomong, aku belum melihat batang hidungnya hari ini. Tidak masalah, lagi pula aku sedang bad mood melihat mukanya sekarang. Apalagi setelah dia terang-terangan menyiksaku di sini. Mungkin sebaiknya aku menghindarinya dulu sampai perasaanku membaik.

Ah, pusingnya.

***

"Sohyun, kenapa tidak bilang padaku kalau kau menggantikan Jennie jadi asisten sutradara?"

"Maaf, Kak. Semuanya terlalu mendadak, aku tidak sempat mengabarimu."

"Kau pasti kelelahan seharian bekerja. Kenapa memaksakan diri untuk terlihat di depan Taehyung sih? Bukannya kau terlalu menyiksa diri?"

Aku tidak tahu jika hubunganku dan Taehyung sebegitu transparan di mata Kak Jisoo. Kupikir aku menutupinya dengan baik. Tampaknya Kak Jisoo tahu, antara aku dan Taehyung sedang ada perselisihan.

Tetapi aku tak ingin membahasnya lebih lanjut. Tujuanku menemui Kak Jisoo-dan sekarang ini berada di dalam mobilnya-adalah ingin menanyakan soal mimpiku semalam.

Tanganku berkeringat dingin. Perasaanku berkecamuk. Aku ketakutan, di lain sisi juga menyesal begitu dalam. Terlebih, teriakanku di mimpi terdengar sangat nyata. Aku yang menangis berlutut sambil meminta maaf di bawah jasad Jinyoung yang tergantung dengan mata terbuka. Bibirku tidak mau berhenti padahal dalam hati, lelah sudah menyapa.

Sampai sekarang pun, setiap mengingat mimpi itu, aku tidak bisa tenang. Beruntung fokusku saat bekerja tidak terganggu.

"Kenapa aku punya penyesalan yang besar terhadap laki-laki itu, Kak?"

"Siapa maksudmu, Sohyun?"

"Tanpa kusebut, kau pasti tahu. Laki-laki yang terus muncul dalam mimpi burukku."

Kak Jisoo terdiam. Ekspresi yang sama ketika pertama kali aku menyebut nama Jinyoung kini ia tampilkan. Sebenarnya, ada apa di antara kami?

"Dan lagi, kenapa Kak Jisoo nggak bilang, kalau Jimin-terapisku-adalah saudara kandung dari Park Jinyoung? Bagaimana kemungkinan seperti ini bisa terjadi?"

"Sohyun, kau memberiku pertanyaan yang sulit."

"Sesulit apapun itu, aku harap Kak Jisoo mau menjelaskannya. Seluruhnya tanpa kecuali."

"Sohyun ... apa kau yakin? Ini bisa saja berbahaya pada kesehatan mentalmu. Aku tidak mau kau seperti dulu lagi, mungkin ada bagusnya kau amnesia begini. Kau jadi tidak harus mengingat-ingat kenangan buruk di masa lalu."

Mendengar ucapan Kak Jisoo, aku malah semakin penasaran. Semua tentang Kim Sohyun, aku ingin mengetahuinya secara pasti. Aku tidak mau merasa dibodohi. Cukup curang jika Tuhan memasukkanku ke tubuh ini tanpa memberiku pijakan apa-apa.

"Jadi, malam sebelum kejadian naas itu, kau dan Jinyoung bertengkar hebat. Jinyoung meminta putus darimu tapi kau tidak mengizinkannya. Jinyoung ingin mengejar orang yang dia suka. Ya, dia pindah ke lain hati. Ia sudah tidak lagi merasa cocok denganmu, dan gadis yang ia temui adalah gadis yang telah membuatnya kembali merasakan hidup."

"Jinyoung menemukan gadis yang dia suka?"

"Benar. Dia jatuh cinta pada orang lain."

Kenapa? Kenapa kejadiannya selalu sama? Kami-para wanita-seringkali dikhianati dan disakiti.

"Lalu? Kenapa Jinyoung mengakhiri hidupnya?"

"Gadis yang dia suka menolaknya. Ia tidak mau menjadi orang ketiga di antara kalian. Namun, kau tau apa yang terjadi selanjutnya?"

Aku menggelengkan kepala.

"Jinyoung mendatangimu, sore di jam pulang sekolah. Ia memaksamu untuk menemui gadis yang dia suka dan menjelaskan padanya bahwa di antara kalian sudah tidak ada apa-apa."

Apa? Kenapa laki-laki itu sampai ngotot ingin putus dari Sohyun? Apakah sikap Sohyun selama pacaran dengannya membuatnya tertekan?

"Kau tetap pada pendirianmu. Kalian sudah berpacaran dua tahun. Jadi, kau melihat ada masa depan yang indah dalam hubungan kalian. Kau pun memutuskan untuk mempertahankan Jinyoung apapun yang terjadi. Sayangnya, Jinyoung yang hatinya bimbang, hari itu juga ia mengakhiri hidup."

"Apa? Aku masih tidak paham. Kalau kami pacaran dua tahun, kenapa hubungan kami bisa retak? Ini pasti gara-gara gadis itu kan?"

Aku lupa bahwa aku Kim Sohyun. Emosiku meluap menyadari bahwa nasibku dan Sohyun sama-sama menyedihkan. Gimana sih rasanya orang yang kita cintai justru meninggalkan kita demi orang baru? Padahal, benang merah yang mengikat kami belum putus. Aku sungguh tidak mengerti dengan pikiran para lelaki.

"Sohyun, inilah kenapa aku tidak ingin mengingatkanmu. Tapi kau sangat penasaran dengan kehidupanmu di masa lalu. Aku bisa apa? Kau ingin tahu kan, kenapa penyesalanmu selama bertahun-tahun tidak pernah hilang? Bahkan ketika kau amnesia sekalipun, perasaan itu masih ada dan terus menyiksa?"

"Iya, Kakak benar. Aku ... ingin tahu. Kenapa hal itu bisa terjadi?"

"Sohyun, kau bisa mencegah kematian itu. Tapi, itu tidak kau lakukan."

"A-apa maksud Kakak? Aku membiarkan orang mati di hadapanku?"

"Jinyoung sudah mengancammu. Dia akan bunuh diri jika kau tidak mau putus darinya."

"Dan aku masih kukuh dengan keputusanku?"

Kak Jisoo mengangguk.

"Kau adalah orang terakhir yang bersamanya. Semua menyalahkanmu atas tragedi itu, karena mereka pikir, kau yang harusnya bisa menyelamatkannya malah lepas tangan dan pura-pura tidak tahu. Mereka menyebutmu pembunuh mulai saat itu. Dan kau pun mulai dibenci atas keegoisanmu."

Napasku tertahan selagi Kak Jisoo menceritakan segala hal mengenai Kim Sohyun. Aku tidak habis pikir. Ceritanya sangat realistis dan meyakinkan, tetapi rasanya aku masih tidak bisa percaya. Roh wanita malang yang aku temui di alam kematian itu, memiliki masa lalu kelam seperti ini. Ia membuat dirinya sendiri menderita.

Aku mulai memijit keningku. Sekarang semuanya semakin jelas saja. Apakah Kim Sohyun terlihat tertekan dan penuh beban gara-gara penyesalan yang ia pendam selama bertahun-tahun?

Dari cerita Kak Jisoo, tampaknya Sohyun sangat mencintai mantan pacarnya itu hingga ia tak ingin melepaskannya. Ketoksikan hubungan mereka telah berakibat fatal. Kalau aku menjadi Sohyun saat itu, mungkin aku akan menyerah. Sebab, hubungannya dengan Jinyoung sudah tidak tertolong lagi. Apa untungnya menyelamatkan dua tahun hubungan mereka hanya untuk mendapatkan luka yang sama selama bertahun-tahun? Sohyun tidak layak mendapatkannya. Ia lebih berharga daripada itu. Lagi pula, semuanya sudah terlambat juga.

"Sohyun, kau sangat obsesif terhadapnya. Kau over posesif, membatasi pergaulannya dengan orang lain. Kau terlalu mengikatnya. Itulah mengapa, ia ingin putus darimu dan mengejar gadis lain."

Aku menoleh ke arah Kak Jisoo. Kenapa Kak Jisoo berbicara seperti itu? Itu hanya akan memojokkan Kim Sohyun. Bukankah seharusnya ia menghibur Kim Sohyun di saat seperti ini?

"Tapi, kau memilih keputusan yang baik. Memang seharusnya kau mempertahankan apa yang kau miliki kan? Lagi pula, gadis tidak tahu malu itu sudah seenaknya mengambil tempatmu. Wajar jika kau terluka. Di sini, kau juga menjadi korban."

Tiba-tiba saja Kak Jisoo berubah pikiran?

Ah tidak. Aku hanya tidak bisa memahami alur pemikirannya. Apa maksudnya?

"Oh, benar. Aku ada janji dengan seseorang. Maaf, Sohyun. Aku tidak bisa mengantarmu sampai rumahmu. Tapi tenang saja, manajerku yang akan mengantarmu ke sana."

"Eh, Kak Jisoo mau ke mana?"

Aku panik ketika mobil kami mendadak berhenti. Kak Jisoo memakai masker penutup wajahnya serta buru-buru mengambil tasnya.

"Ada seseorang yang harus aku temui. Jangan khawatir, manajerku baik. Kau akan di antarkan dengan selamat."

"Tapi, Kak? Kak-"

Kak Jisoo tidak menggubrisku. Ia berjalan cepat menuju ke sebuah mobil yang tidak jauh dari mobil kami. Sayang sekali, kacanya tidak bisa ditembus oleh mataku. Yang jelas, seorang pria ada di dalam sana. Apa Kak Jisoo diam-diam pacaran?

***

Di mimpi Sohyun....

Sohyun berlutut karena kakinya terasa lemas. Ia terlambat menyusul orang yang ia sukai itu. Hingga dalam sekejap mata, apa yang ia miliki telah tiada.

Laki-laki itu, cinta pertamanya, orang favoritnya, yang selalu peduli dan perhatian padanya. Park Jinyoung, dengan tekad gilanya telah mengakhiri hidupnya sendiri. Hanya demi gadis yang asal-usulnya tidak diketahui, Park Jinyoung mengorbankan kebahagiaan dan masa depannya.

"Maafkan aku, aku yang salah. Kau benar, harusnya kita putus saja. Maafkan aku, Jinyoung. Kembalilah hidup, kumohon...."

Seribu kali pun Sohyun mengucap kalimat itu untuk memanggil kembali kekasihnya yang telah pergi, itu tidak akan terjadi.

Air mata terus mengalir dari kedua bola matanya. Dipanggilnya sang kekasih tiada henti, diucapnya maaf berkali-kali. Namun, semuanya tidak ada artinya lagi. Ia telah benar-benar pergi.

***

Tbc

Temukan keanehan di chapter kali ini ^^ semoga beruntung.

Tunggu kelanjutannya chingudeul~

Good night and happy weekend🌌✨








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top