6

WULFER MELIHAT WARNA MERAH.

Warna itu menodai seluruh tubuhnya. Seluruh pakaiannya basah dan lengket oleh merah itu. Dia meraba wajahnya dan mendapati merah itu berpindah ke kedua telapak tangannya yang gemetar. Dia menatap sekeliling dan menyadari suasana pucat dan mencekam yang familiar.

Hutan Putih.

Sejak kapan dirinya berada di sini?

Wulfer bersumpah pada dirinya sendiri tak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat terkutuk ini, lantas mengapa--

Terdengar suara rintihan dari suatu arah.

Suara itu terdengar seperti...

"Eber...?" panggil Wulfer awalnya ragu, namun ketika menyadari suara itu memang benar milik adiknya, kepanikan dan ketakutan memenuhi setiap inci tubuhnya dan Wulfer berteriak, "Eber?!"

Wulfer berjalan menembus kabut tebal, entah mengapa tak sanggup melangkahkan kaki dengan lebih cepat, seolah-olah kabut itu zat padat yang menghalangi. Suara itu semakin lama semakin jelas, dan tidak salah lagi, itu memang milik Eberulf. Wulfer meraung putus asa, "EBER?!"

Wulfer akhirnya menemukan sosok Eber, tergolek tak berdaya di atas tanah pucat hutan itu.

"Eber!" Wulfer berlutut di samping tubuh terbaring sang adik, dia tak berani menyentuhnya, khawatir warna merah itu mengotori Eber, "Apa yang terjadi?!"

Eber membuka matanya, sepasang iris merah itu balas menatapnya. Hanya saja, sorotnya tidak dikenali Wulfer. Tak nampak setitikpun kehangatan di dalamnya. Itu sorot yang membekukan tulang. Perlahan, bibir pucat Eber terbuka membentuk kata-kata.

"Ternyata mereka benar."

Wulfer memandanginya kebingungan.

Eber berbisik.

"Kami tak dapat mempercayaimu."

Wulfer menggeleng-geleng, "Tidak."

"Kau selamanya tidak akan pernah bisa melarikan diri."

"Itu tidak benar. Aku--"

"Kau adalah monster."

"TIDAK!" Wulfer menggeram, geraman dalam dan kasar dan tidak terdengar seperti suara normalnya. Wulfer menunduk, mendapati cakar-cakar tajam pada jemari kaki dan tangannya, seluruh bulu hitam yang menutupi tubuhnya. Sejak kapan dia--?

Eber tertawa. Dari tawanya, mengalir warna merah yang serupa dengan yang menyelimuti Wulfer. Dari ujung-ujung matanya. Dari dalam telinganya. Dari pori-porinya...

"Eber!"

"Bunuh aku, Wulfer!"

"Tidak!"

"BUNUH! AKU!"

"TIDAK!!!"

Wulfer menyaksikan dunia berputar ketika kursi yang tengah didudukinya terjatuh ke belakang membawa serta dirinya, memecahkan kesunyian di dalam perpustakaan mansion keluarga Leanders dengan bunyi gedubrakan bising.

Wulfer merangkak kepayahan di lantai kayu berpelitur, merasakan kepalanya seperti mau pecah. Dia mencengkeram kemeja di dadanya, tempat jantungnya dentum-dentum liar dan tak terkendali. Napasnya memburu, seluruh tubuhnya gemetar dan banjir keringat.

Jangan sekarang!

Dengan mengerahkan segenap kekuatan dan konsentrasi, Wulfer melawan rasa sakit di dadanya, menekannya dan memaksanya kembali tenggelam ke dasar. Menimbulkan efek samping yang tidak disangka-sangka. Dia bangkit dengan susah payah dan terseok-seok ke arah jendela, buru-buru membukanya dan muntah-muntah hebat ke halaman berumput di luar.

"Wah, kumat lagi."

Suara itu datangnya dari atas rak buku. Wulfer terduduk lesu di ambang jendela, terbatuk-batuk sementara satu tangannya merogoh ke balik kemeja, menarik keluar jam saku yang tergantung di ujung rantai kalung lehernya. Dia memejamkan mata sembari menggenggam jam saku itu erat-erat, berusaha mengatur napas. Merasakan dentuman di dadanya mereda.

Eber baik-baik saja. Itu hanya mimpi...

Wulfer membuka matanya, terengah-engah mengamati kondisi perpustakaan yang sudah gelap. Entah sudah berapa jam lamanya dia di dalam sini. Kemudian dia menatap tajam seekor tikus keperakan besar yang kini tengah meloncat turun dan mendarat dengan mulus tak jauh darinya. Tikus yang balas memperhatikannya dengan pandangan menghakimi.

Wulfer sudah tahu tikus aneh itu bisa bicara. Hanya saja rasanya masih menyeramkan tiap kali mendengar suara manusia yang keluar dari moncong itu alih-alih cicitan.

"Apa?" gerutu Wulfer, menyeka keringat dan sisa-sisa muntahan dari sudut bibir dengan lengan kemejanya.

Tikus perak itu hanya balik memandangi Wulfer, kali ini dengan sorot sinis.

"Ngomong saja kalau mau protes sesuatu!" Wulfer habis kesabaran.

"Menarik saja melihatmu berusaha membaca sesuatu." sahut tikus itu.

Wulfer memang tidak pernah menganggap dirinya pembaca ulung. Dia tidak pernah bertahan berhadap-hadapan dengan sebuah buku terlalu lama. Dia tidak pernah mengerti kesukaan Eber terhadap benda itu. Bahkan isi kamar adiknya itu senantiasa terlihat seperti toko buku yang habis terkena ledakan. Terkubur di balik tumpukan buku di perpustakaan seharian--demi mencari tahu lebih banyak mengenai Bloedsteen--bukanlah kebiasaan favorit Wulfer.

Paling tidak, dia bersyukur dinding-dinding perpustakaan dibangun lebih tebal dan lebih rapat dibanding ruangan-ruangan lain untuk alasan-alasan tertentu--seperti memblokir sebanyak mungkin suara-suara dari luar. Hal itu juga cukup membantu memblokir aroma samar dari Ruang Pengawetan (begitu Wulfer memutuskan untuk menyebut ruang dengan peti berisi mayat Moeder mulai saat ini) dan bebauan memuakkan yang merembes keluar dari arah kamar Ignicia.

Entah sejak kapan adik bungsunya itu memiliki hobi aneh mengumpulkan bola mata di dalam toples-toples mengerikan di kamarnya. Wulfer berani bertaruh bahwa Ignicia sendiri yang menjadi penyebab rumor soal Iblis Pemburu Mata itu, membuat larangan keluar malam itu diberlakukan untuk menghambat pergerakan kakak-kakaknya dalam mencari pusaka-pusaka. Siapa tahu? Entah bagaimana Wulfer mendapat perasaan bahwa tugas yang diberikan Aldert kepada mereka ini makin terasa seperti semacam perlombaan, apalagi dengan iming-iming 'satu permintaan' itu.

Mungkin karena kenyamanan perpustakaan itulah Wulfer sempat tertidur dan mengalami mimpi buruk.

Wulfer mendengkus pada si tikus, "Urusi urusanmu sendiri."

"Memang rencananya begitu."

Tikus itu mendadak menegakkan kepalanya, telinga kecilnya berkedut pelan seolah menangkap sesuatu dan kumisnya bergerak-gerak, lalu dia melesat cepat melewati Wulfer keluar jendela, menuju hutan dan menghilang dari pandangan.

Tergoda akan lambaian puncak-puncak pepohonan di kejauhan, semilir angin, dan cerahnya langit malam, Wulfer memutuskan untuk mengambil beberapa dokumen yang berserakan dari atas meja--beberapa lembarannya terlipat akibat tertimpa kepalanya tadi ketika dia ketiduran-- dan melompat keluar jendela perpustakaan.

Wulfer mendarat dengan agak kepayahan di halaman berumput, masih berusaha mengatur napasnya karena 'sesi kumat'nya tadi. Dengan cermat dia menghindari bekas muntahannya agar tak terinjak. Dia berjalan memasuki hutan, tak repot-repot menutup daun jendela yang terbuka jauh di belakangnya.

Entah sudah berapa banyak informasi yang ditelusuri Wulfer seharian ini. Dokumen rekam jejak perlelangan yang diperolehnya dari Henrik Boer. Buku-buku tentang batu-batu mulia. Catatan perdagangan barang berharga. Buku alkemi. Sihir. Legenda dan dongeng...

Wulfer belum berhasil menarik petunjuk dari hasil seluruh galian itu. Dia hanya menemukan satu pembahasan mengenai Bloedsteen dalam salah satu buku sihir aneh milik ayahnya. Batu itu rupanya juga dikenal sebagai Batu Darah atau Batu Delima. Dikatakan bahwa batu itu merupakan produk dari ilmu sihir hitam dan eksistensinya masih disangsikan, dan bahwa kemampuan magis dari batu tersebut adalah membuat darah sang pemakai senantiasa dalam kondisi prima, menuntun sang pemakai pada kehidupan yang kekal.

Mau tak mau Wulfer jadi bertanya-tanya sendiri. Bagaimana jika dirinya memiliki Bloedsteen? Andai saja Bloedsteen menjamin kekekalannya, dan wujudnya bukanlah anak laki-laki berusia dua belas tahun, melainkan seorang pria dewasa, apakah dirinya akhirnya akan merasakan kepuasan itu? Apakah dirinya akan terlena?

Yang pasti, hal pertama yang akan dilakukannya adalah hengkang dari sini. Bila dia memiliki wujud dewasa--imortal pula--dia dapat melakukan nyaris segalanya. Mungkin dia akan berkeliling dunia. Tidak, sebelum itu dia akan membakar mansion milik ayahnya. Dia juga akan mampir ke Hutan Putih dan membakar tempat jahanam itu. Barulah dia akan berkeliling dunia... dan mungkin sesekali melakukan perburuan ugal-ugalan atau memporak-porandakan desa kecil ketika sedang bosan setengah mati.

Entah berapa lama Wulfer berpikir melantur hingga dia tiba di bagian hutan favoritnya. Bagian itu berada agak lebih tinggi dibanding wilayah hutan lainnya dan memiliki bukaan yang memungkinkannya untuk menatap langit tanpa terhalang puncak pepohonan.

Di dasar salah satu pohon yang membatasi bukaan tersebut terdapat onggokkan bebatuan, salah satunya merupakan batu besar yang permukaannya nyaris datar, tempat ideal bagi Wulfer untuk tidur-tiduran sembari mengamati langit di bawah naungan dahan-dahan pohon.

Wulfer memanjat naik ke permukaan batu itu dan berbaring, merebahkan kepala di satu tangannya yang terlipat, sementara satu tangannya yang lain memegangi dokumen rahasia curiannya. Dia menatap deretan daftar nama-nama orang yang pernah mengikuti lelang gelap dan menjadi pembeli barang-barang berharga ilegal, lalu mengacak rambutnya frustasi. Sudah puluhan kali Wulfer meneliti daftar itu, mengira-ngira nama barang yang mungkin saja merupakan Batu Darah. Namun lagi-lagi itu sama sekali tidak membantu, karena batu itu bisa berwujud apa saja. Ditanam sebagai aksen di belati ukir. Menjadi bandul utama sebuah kalung berlian. Pelengkap batu berharga di mahkota selundupan...

Wulfer menggeram, "Di saat-saat seperti ini, otak sial milik Asmo mungkin ada gunanya."

"Masih kasar saja dia, ya, Emma?"

Si pemilik suara, Asmosius, muncul dari balik salah satu pepohonan. Seperti biasa kakak tertuanya itu tampak tampan dan necis untuk anak laki-laki seusianya. Senyuman tipis misterius terkembang di bibirnya. Dia tampak ganjil dan mencolok di antara pepohonan yang gelap.

Di dekat kakinya berdiri Emma, tikus perak sinis di perpustakaan tadi. Beberapa tikus kecil lainnya berlarian di sekitar mereka.

"Kau tahu aku bisa mendengarmu dari tadi. Makanya aku sengaja ngomong begitu." seloroh Wulfer, mendudukkan diri dengan ogah-ogahan.

"Kau tahu aku nggak akan repot-repot meminjamkan 'otak sial'ku untuk membantumu. Jadi apa gunanya?"

Wulfer mengangkat bahu, "Patut dicoba, kan."

Asmosius hanya tersenyum. Dia mengangkat tangan kirinya dan mengeluarkan sarung tangan kulit dari dalam saku jasnya. Ketika sarung tangan itu telah terpasang, kerumunan tikus-tikus kecil di dekat kakinya membubarkan diri.

"Sudah selesai merajai para tikus rupanya." Wulfer mengangkat alis. Sayang dirinya tidak punya kemampuan seperti milik kakaknya. Kan keren juga kalau dia bisa mengendalikan serigala-serigala untuk tunduk di bawah perintahnya.

Asmosius merapikan sarung tangannya, "Banyak yang harus dikerjakan."

Wulfer mengamati pakaian bepergian yang dikenakan Asmosius, "Di luar jam malam?"

Asmosius terkekeh pelan, "Apa kita perlu peduli soal itu?"

Ya, memang tidak ada yang peduli. Toh itu kerjaan Ignicia.

"Aku akan pergi selama beberapa hari. Tiga hari, mungkin. Tergantung suasana hati dan kelancaran segalanya." Asmosius memberitahu.

Ada apa dengannya? batin Wulfer keheranan. Dia bukan tipe yang merasa wajib untuk berpamitan dulu sebelum menghilang entah ke mana.

"Kau menemukannya? Jantung entah-apa itu?" tanya Wulfer.

Sang kakak lagi-lagi hanya tersenyum misterius, membuat Wulfer rasanya kepingin mencekik leher mulusnya itu.

"Anggap saja aku sudah mati kalau tidak kembali sesuai jadwal." ujar Asmosius, melambaikan satu tangannya sambil berlalu, hingga profilnya lenyap ditelan kegelapan malam.

🌒

Wulfer bersumpah tidak akan pernah lagi menjejakkan kaki ke tempat yang bernama 'perpustakaan'.

Mengunjungi perpustakaan sekolahnya adalah sebuah kesia-siaan. Staf penjaga perpustakaan memberitahu Wulfer bahwa buku-buku atau dokumen yang berhubungan dengan sihir hitam, kutukan, dan sejenisnya terlarang di area sekolah, karena pada dasarnya praktiknya merupakan hal yang ilegal. Dalam hati Wulfer bertanya-tanya bagaimana kira-kira reaksi penjaga itu bila tahu siapa Wulfer sebenarnya, karena ironisnya, yang tengah berhadap-hadapan dengannya saat ini adalah produk kutukan yang lahir dari segala sesuatu yang berlabel ilegal di dalam laboratorium milik Albert van Leanders itu sendiri. Kalau itu berarti dirinya 'terlarang' berada di sekolah, Wulfer sih senang-senang saja.

Dia juga menghabiskan sepanjang siang hingga sore harinya berkelana di perpustakaan kota, berharap menemukan sekelumit petunjuk. Namun setelah menyadari skala yang harus ditelusurinya di dalam gedung besar tiga lantai itu, kemungkinannya adalah dia baru akan menemukan petunjuk sekitar lima tahun kemudian.

Wulfer telah mencoba menyelinap kembali ke markas rahasia Jenderal Wagner, namun bangunan itu telah kosong melompong. Sementara tak ada gunanya juga mencoba menerobos kediaman sang Jenderal. Tempat itu sudah mirip seperti penjara saking ketatnya keamanan semenjak insiden yang menimpa Boer dan Arie Wagner.

Dia muak, letih, dan putus asa. Dia butuh petunjuk.

Maka malam itu, dia memutuskan untuk mengunjungi Vossensteeg.

Dan rupanya, bukan hanya anak-anak Leanders yang masa bodoh dengan larangan keluar rumah selepas petang. Buktinya, tempat itu masih ramai oleh orang-orang bahkan di malam hari. Wulfer merasa agak mencolok berada di situ, walaupun dia mengenakan kemeja serta celana paling paling sederhana yang dimilikinya. Dia menurunkan ujung topi tweed nya hingga menutupi wajahnya sedikit, berjalan merunduk melalui gang-gang sempit, rumah-rumah minum yang kumuh, dan menyelip-nyelip di antara kios-kios dengan penjual-penjualnya yang lebih seringnya terdengar meneriakkan umpatan-umpatan kasar. Namun tidak ada yang repot-repot melirik dua kali ke arahnya. Mungkin mereka mengira Wulfer hanyalah anak copet yang biasa berkeliaran di sekitar sini.

Sejujurnya, Vossensteeg lebih mirip seperti sarang penyamun alih-alih pasar. Tempat itu awalnya didirikan untuk menjadi pusat aktifitas jual-beli yang diperuntukkan bagi warna Buttervia menengah ke bawah. Namun sejak pemecatan massal para buruh Netherlander yang bekerja di galangan kapal akibat pemiliknya bangkrut, tempat itu beralih fungsi menjadi penampungan buruh-buruh miskin yang putus asa dan butuh uang. Mereka akhirnya berujung menjarah kapal-kapal yang ditelantarkan di galangan dan menjual apapun yang bisa dijual dan dipreteli di tempat ini. Sekarang, fungsi Vossensteeg telah bergeser sedemikian rupa hingga dikenal sebagai pasar untuk mencari barang-barang 'tak lazim'. Minuman keras yang belum mendapat izin, senjata ilegal, emas-emas dan perhiasan selundupan, bahkan hingga jual beli budak, bila kau tahu harus bertanya ke siapa.

Ketika tengah berjalan melewati segerombolan pria mabuk yang duduk-duduk di depan kedai minum yang berbau apak, sebaris percakapan tertangkap telinga tajam Wulfer.

"...tak tahu diuntung, si De Vasser itu!"

Wulfer memperlambat langkahnya, merasa mengenali nama itu. Dia tahu dia pernah membacanya di suatu tempat, dan menyadari bahwa nama itu tercantum pada daftar teratas dokumen Boer.

Jan De Vasser. Penyelenggara lelang ilegal.

Wulfer berbelok dan menyelip ke celah sempit di antara kedai minum dan bangunan bobrok di belakangnya, lalu mulai memanjat naik. Dia meraih batu-batu yang menonjol pada dindingnya, menapakkan kaki di atas kusen jendela, menggelayut dengan dua tangan dan menghela tubuhnya naik hingga berhasil mencapai atap. Wulfer merayap di atapnya dan membuat dirinya sedatar mungkin dengan berbaring telungkup. Dari atas sini, dia dapat mencuri dengar percakapan para pemabuk itu tanpa khawatir terlihat oleh siapapun.

"...jaga bicaramu, brengsek! Bisa-bisa kau yang menghilang setelah ini." bisik salah satunya dengan suara rendah memperingatkan.

Salah satu suara yang baru menimpali dengan lamban karena pengaruh alkohol, "Beritanya bahkan tidak akan muncul di manapun."

"Rutger, Buruh Rendahan Yang Menghilang Akibat Macam-Macam dengan Jan De Vasser! Siapa yang mau bikin tajuk utama semacam itu? Sama saja bunuh diri."

Gerombolan buruh itu tertawa-tawa diiringi umpatan "Stommert!" dari salah satunya, sementara Wulfer merasakan jantungnya berdegup penuh antisipasi.

"Aku boleh saja buruh rendahan, tapi Vasser melanggar perjanjiannya." Rutger menggeram marah, "Dia berjanji akan memasukkan Lijsbet ke dalam salah satu barang pelelangan minggu ini, tetapi membatalkannya karena alasan 'kurang bermakna'..."

"Siapa Lijsbet?"

"Revolver bodohnya itu..."

"Itu bukan 'revolver bodoh'! Lijsbet adalah temuan antik yang sudah berusia lebih dari seratus tahun! Aku mengukur emas yang digunakan dalam ukiran gagangnya dan aku tahu nilainya tidak main-main--"

"Ya, si bodoh Rutger dan revolvernya yang dibawanya berkeliling dan dinamainya seperti nama mantan istrinya..."

Tawa membahana kembali memenuhi gang itu.

"Jual saja lewat aku. Aku akan mencarikan pembeli yang kira-kira cocok. Mungkin menawarkan ke beberapa bangsawan. Goeken, Bercke, Leanders..."

"Hmm... belum cukup. Perlelangan Vasser adalah yang terbaik dari segi harga. Capaian tertinggi yang tak dapat kau peroleh di manapun."

"Tentu saja, pembelinya tidak perlu bayar pajak."

"Itu lelang gelap, tolol."

"Jadi apa, kau akan mengemis-ngemis pada Vasser agar Lijsbet bisa masuk daftar barang?"

"Pegawai Vasser sudah mengatur jadwal temu kedua untukku, kalau isi suratnya bukan omong kosong." Rutger berkata, "Ada gunanya juga aku keras kepala. Mereka bilang akan menghitung ulang nilai Lijsbet dan bila kusebut aku menemukannya di bekas Engel Klauwen, mungkin mereka akan berubah pikiran..."

"Tunggu... siapa pula itu Engel Kla...?"

"Nama kapal saudagar yang kita jarah minggu lalu, dungu!"

Wulfer membalikkan tubuhnya menatap langit, nyaris tidak mempercayai keberuntungannya. Begitu banyak informasi berguna yang didapatnya dari hasil menguping pembicaraan sekelompok buruh mabuk. Dia memaksakan otaknya bekerja dengan cepat.

Dia memiliki ide. Ide tolol dan nekat, tetapi dia tak punya banyak waktu untuk memperhitungkan resiko atau kemungkinan-kemungkinan. Sekarang atau tidak sama sekali.

Maka setelah gerombolan itu akhirnya membubarkan diri, Wulfer melompati atap-atap, tak memutuskan pandangannya dari Rutger, si pria tinggi besar berperut buncit itu. Dia membuntuti si pria hingga dia terpisah dari kawanannya dan berjalan sendirian menyusuri jalanan di tengah malam. Ketika mencapai kawasan sepi, barulah Wulfer mengizinkan emosinya berkuasa.

Wulfer melompat turun dari atap, merubah diri dalam hitungan detik di udara, hingga ketika kaki-kakinya mencapai tanah, dia telah berada dalam wujud manusia serigala.

Rutger mengerem langkahnya, menyadari suara tapak pelan dari belakangnya. Bunyi napas berat seseorang... sesuatu... yang terdengar olehnya. Bulu kuduknya merinding. Satu tangannya meraih ke balik jas lusuh yang dikenakannya untuk meraih senjata api, sebelum dirinya berbalik dan menengadah syok.

Monster itu hitam, besar, menjulang di hadapannya seperti sosok yang merangkak keluar dari mimpi buruk. Seluruh tubuhnya dipenuhi bulu hitam yang menguarkan asap panas. Sepasang matanya berwarna merah, semerah darah... dan kepala itu menyerupai milik serigala, dengan dua telinga runcing serta moncong hitam yang menyeringai padanya, memamerkan taring-taring seukuran belati, seolah menertawai ketidakberdayaannya.

Rutger hanya mampu terbelalak dan membeku. Pistol di tangannya terlepas dan terjatuh ke tanah terlupakan. Dia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya tak keluar.

"A-a...a..." dia terjatuh ke belakang, menyeret dirinya menjauh walaupun dia tahu itu hal yang sia-sia, mengira si monster akan menerjang dan mengoyak-ngoyaknya menjadi serpihan. Namun monster itu melangkah dengan tenang dan pelan, cakar-cakar panjang di tangannya berkilau tertimpa cahaya rembulan, membuat Rutger nyaris kencing di celana.

"To...tolong..." Rutger mencicit, jelas tak didengar siapapun. Bayangan monster itu menutupi seluruh tubuh Rutger, menyelubunginya dengan kegelapan ketika sosoknya berlutut di depan Rutger. Moncong hitamnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya yang mengernyit ketakutan.

"Ssssh." monster itu berbisik, memerintahkan Rutger agar bungkam.

"K-kumohon..." Rutger mencicit, "...kumohon jangan bunuh aku..."

Monster itu meletakkan cakar-cakar tajamnya di sekeliling leher Rutger, lalu mencengkeramnya dan menariknya hingga terangkat dari tanah dan kaki-kakinya menendangi udara dengan liar.

"K-kumohon..." Rutger mengeluarkan suara tercekik.

"Turuti perintahku, dan nyawamu takkan melayang." suara parau monster itu mengaliri seluruh sel-sel penyusun tubuh Rutger dengan hawa dingin dan ketakutan.

Rutger tak sanggup berpikir lagi. Dia mengangguk dengan sisa-sisa tenaganya.

Monster itu menyeringai puas.

"Bagus."

🌒

A/N:

Setelah sekian purnama, akhirnya update juga :')

BTW udah pada cek Leanders Series lainnya belum? Kalo belum yuk bisa yuk besties :D

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats by Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout by me :)
3. Eberulf: The Black Fang by Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand by Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell by ZiviaZee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top