5

"MENJAUH DARIKU!" raung Wulfer parau dalam wujud manusia serigalanya.

"Ulf...!"

"Kau akan terluka!"

Wulfer berlutut terengah-engah di lantai kurungan bawah tanahnya. Dia berhasil melakukan perubahan, namun masih kesulitan mengendalikan kehendaknya tanpa bercampur dengan kehendak monster itu.

"Tidak apa-apa, Ulf... kau bisa melakukannya." Eber ikut berlutut di hadapan Wulfer, mengulurkan sebelah tangan dengan perlahan untuk menyentuh moncongnya. Anak itu tengah berada di dalam kurungan bersama Wulfer yang berwujud monster, namun dia terdengar begitu tenang dan yakin, "Kau tidak akan menyakitiku."

"Kumohon!" Wulfer memohon kepada Aldert, "Keluarkan dia!"

Sementara itu Aldert hanya duduk di kursi kayu di luar jeruji, mengamati kedua anaknya dalam diam.

Tangan bercakar Wulfer hendak meraih sesuatu di lehernya, namun tak menemukannya. Monster di dalam dirinya terbahak-bahak.

Si kecil Wulfie tanpa kalungnya bisa apa?!

ENYAH KAU!

"Kali ini tanpa kalung." Eber mengingatkan, "Tidak apa-apa. Kau tidak butuh kalung itu."

Tawa kasar monster itu bergaung di kepala Wulfer.

Kau ingin aku enyah?! Apa jadinya dirimu tanpaku?!

Diam...!

Hanya cangkang kosong yang tak berguna!

Ujung jemari Eber menyentuh moncong Wulfer selama beberapa saat sebelum cakar-cakar Wulfer mencengkeram leher Eber. Wulfer berdiri, membawa Eber hingga terangkat dari tanah sementara Eber berkutat berjuang melepaskan diri.

"U-Ulf!" Eber memanggilnya, tercekik.

Monster jahanam!

Lihat apa yang bisa kulakukan! Kekuatan ini! Kemampuan ini!

Lepaskan dia!

Kita bisa melakukan apapun yang kita inginkan!

LEPASKAN ADIKKU!

Sampai kapan kau akan sadar bahwa perlawananmu sia-sia?!

Kumohon... lepaskan dia...!

Kau tahu, jauh di dalam lubuk hatimu kau sudah tahu...

Tidak!

...bahwa aku adalah kau. Dan kau adalah aku...

Tidak... kau adalah monster.

Ya... tetapi begitupun DIRIMU!

TIDAK!

Kau memanggil DIRIMU monster!

Berhenti!

PENGECUT!

Diam!

Kau ketakutan!

Tidak...

Oh, ya... kau takut!

Aku...

Dan kau membiarkan rasa takut menguasaimu?!

Aku tidak--

Kau akan membiarkan kita terbelenggu rasa takutmu yang tak berguna itu?! Selamanya?!

Kau tidak tahu apa-apa.

Oh, ya... aku tahu segalanya.

...

KETAKUTAN HANYALAH KESIA-SIAAN.

...

Kau tahu kau tidak perlu takut...

...

KAU TIDAK TAKUT.

Aku...

KAU TIDAK PANTAS TAKUT.

Aku... tidak takut.

Ya...

Aku tidak takut.

Kuasai aku...

...

Kuasai aku dan kita bisa melakukan segalanya.

...

Kau dan aku adalah sama.

...

Kau tidak perlu menyuruhku melepaskan lehernya.

...

Kendali di tanganmu.

Cengkeraman di leher Eber mengendur, dan akhirnya terlepas. Eber terjatuh ke lantai dan terbatuk-batuk, sementara Wulfer mengepalkan kedua tangannya.

Kendali... di tanganku.

Setelah pulih dari batuk-batuknya, Eber tersenyum amat lebar.

"Aku... aku tahu kau akan berhasil..." katanya terengah, namun tanpa keraguan sedikitpun.

Wulfer menegakkan dirinya, mengamati sosok dirinya yang berwujud manusia serigala dari atas ke bawah. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya, moncong hitamnya yang panjang, cakar-cakar di tangannya yang membuka-menutup sesuai kehendaknya...

Bunyi gemericing kunci dan pintu dibuka menyentakkan Wulfer kembali ke bumi. Dia menunduk menyaksikan sang ayah membuka kunci jeruji dan melebarkan pintunya.

"Buktikan padaku untuk seterusnya bahwa kau tidak akan memerlukan kerangkeng ini lagi." dia berkata. Ekspresinya dingin, namun terdapat kilat puas pada sorot mata dan ekspektasi dalam nada suaranya.

Alih-alih tersanjung akibat 'pujian' sang ayah, Wulfer meraih kerah pria itu dan menghantamkannya ke dinding batu di belakangnya dengan keras.

Di depan wajah Aldert, Wulfer memamerkan taring-taring tajamnya.

"Jangan pernah... libatkan Eber lagi."

🌒

Wulfer berlari menembus hutan dengan kecepatan luar biasa.

Kekuatan dan kehidupan berdentum-dentum di dalam dirinya, seperti denyut yang memabukkan.

Bila selama ini seluruh perubahannya terasa seperti mimpi buruk yang berlangsung dengan cepat dan kabur, saat ini begitu berbeda.

Rasanya seperti ada yang menyiramkan air dingin ke kepala Wulfer. Seperti dia melihat dunia dalam perspektif yang baru. Dan segalanya berlangsung dengan jelas, nyata, solid. Belum pernah dia merasakan semua yang berlangsung di sekitarnya se-riil ini dalam wujud monsternya.

Dia merasa bisa melakukan apapun, menjadi apapun. Dia kini berada dalam wujud serigalanya walaupun bulan hanya nampak separuh di langit. Hutan berkelebat di sekelilingnya, terasa hidup dan riuh dalam cara yang menyenangkan.

Dia bisa mendengar bunyi-bunyian sekecil apapun, tetapi kali ini dia sanggup memblokir dan mengatur fokus pada sesuatu yang perlu didengarnya. Penglihatannya tajam dan nyaris tak tertandingi. Dia mampu mendeteksi pergerakan seekor kumbang di dahan pohon yang jauh. Pemulihan dirinya berlangsung dengan begitu cepat dan mencengangkan. Dia mencoba menjatuhkan diri dari pohon tertinggi yang dipanjatnya barusan, membuat tulang selangkanya retak, namun rasa sakit itu hanya berlangsung beberapa detik hingga hilang sepenuhnya.

Tanpa sadar, Wulfer telah berlari hingga tiba di batas wilayah hutan milik Leanders. Dia mengenali area ini dari sungai besar yang membelahnya. Tanpa menghentikan larinya, dia mengambil ancang-ancang dan melompati sungai itu.

Di udara di puncak lompatannya, dia merubah diri dari wujud monster serigala kembali ke tubuh manusia. Dan... dia menikmatinya. Sebelumnya, perubahan-perubahannya selalu menyengsarakan dan menyakitkan, kontras dengan yang saat ini dirasakannya. Dia merasa... utuh. Kuat. Bebas.

Namun karena kurang perhitungan, sebelum mencapai ke daratan di seberang, Wulfer keburu terbawa gravitasi dan tercebur ke dalam air sungai. Ceburannya menimbulkan cipratan besar yang membuat burung-burung di puncak pepohonan beterbangan panik. Anak laki-laki itu memunculkan kepalanya ke permukaan air sambil terbahak-bahak.

"Maaf!" tawanya pada burung-burung itu sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Wulfer berenang ke tepian dan memanjat naik, berlari ke salah satu pohon yang memiliki tanda cakar di batangnya dan menggali dengan cepat. Dia mengeluarkan kotak dari dalam tanah dan menarik keluar kemeja longgar, suspender, dan celana panjang kebesaran yang bersih untuk kemudian dikenakannya.

Wulfer menggulung lengan kemejanya hingga siku sambil berjalan kembali ke tepian sungai dan mendongak, kembali mengamati bulan separuh di langit malam yang tak terhalang apapun. Dia merebahkan diri ke atas rumput dan memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya kembali dengan perlahan dan panjang. Dia mengingat kembali percakapannya dengan sang ayah, beberapa jam yang lalu.

"Memperbarui... darah?"

"Batu itu dinamakan 'Bloedsteen' bukan tanpa alasan. Dengan caranya yang misterius, batu itu mampu meregenerasi sel-sel darah di tubuh si pemakai agar terus... prima." Aldert memberitahu Wulfer seraya menunduk menatap dokumen yang tersebar di atas meja kerjanya, dokumen yang tempo hari Wulfer rampas dari Henrik Boer. Dia berupaya menjelaskan sesederhana mungkin, agar Wulfer dapat memahami fungsi batu pusaka yang berharga itu.

"Jadi batu itu memberi semacam... kekekalan kepada darah pemakainya?"

"Kau bisa bilang begitu."

Sang ayah kemudian melepas monocle-nya dan memijit matanya, tampak lelah dan frustasi.

"'Dibeli secara anonim'... tentu saja." dengusnya, rahangnya mengatup geram.

"Jadi tak ada petunjuk sama sekali?"

Aldert akhirnya mendongak menatapnya, "Maka itu tugasmu. Temukan Batu Darah dan rebut dari tangan pemilik barunya."

Wulfer mengamati sang ayah dalam diam. Pria itu mengutus kelima anaknya untuk mencari lima buah benda yang masing-masing memiliki kekuatan luar biasa. Pusaka-pusaka sakti yang berada entah di mana, dan Wulfer berani bertaruh menemukannya bukanlah perkara sederhana. Dan entah hal macam apa yang harus dilakukan mereka demi memperoleh benda-benda ajaib itu.

Sungguh menakjubkan efek yang dimiliki sosok 'Moeder' terhadap Aldert Van Leanders.

Ya, bajingan sinting mana yang tergila-gila dengan mayat yang terendam air selama entah berapa lama dan sudah abu-abu seperti itu?!

Lamunan liar Wulfer terputus oleh Aldert yang menatapnya seraya menaikkan alis.

"Ada lagi?" tanyanya dingin.

Wulfer memasukkan kedua tangan ke saku celana gombrongnya.

"'Sebuah permintaan'. Kau benar-benar akan mengabulkannya?" tanya Wulfer.

Aldert kembali mengenakan monocle-nya dan tersenyum simpul.

"Kau akan terkejut akan betapa murah hatinya diriku, Nak."

"Tidak yakin bakal seroyal itu kalau dia tahu apa yang kuinginkan." Wulfer melipat kedua lengannya di belakang kepala, berbicara pada langit malam.

Bila memikirkan apa yang diinginkannya, dia teringat akan sang adik, Eber. Sudah bukan suatu keanehan lagi bagi Wulfer melihat adiknya itu menghilang pada waktu-waktu tertentu entah ke mana. Dia menghadapi monsternya sendiri, pikir Wulfer selalu, dan dia merasa bersalah karena tidak bisa terus berada di sampingnya dan membantunya. 

Membantu? suara liar itu menertawakan dirinya sendiri, memangnya kau pernah peduli?

Wulfer mendadak terduduk tegak.

Dia mendengar sesuatu.

Dan sesuatu atau seseorang itu tengah berada di balik salah satu pepohonan.

"Debora?" Wulfer mengernyit ke arah satu pohon di arah pukul sepuluhnya.

Gadis berambut hitam itu melangkah keluar dari balik pohon, raut jengkel yang samar mewarnai wajahnya.

"Telingamu itu mengerikan." komentarnya.

"Sedang apa kau?" alis Wulfer mengerut curiga.

"Melakukan tugasku." sahutnya pendek, membenahi sarung tangan kulit yang dikenakannya. Wulfer diam-diam mengamati gerakan itu.

Wulfer cukup yakin bahwa Debora tidak begitu menyukainya. Selama ini, dia selalu mendapat kesan setiap kali sesi 'cakap-cakap' mereka--yang seringnya dimulai dengan canggung olehnya--Debora selalu merespon dengan dingin. Seolah ada tembok 'serigala-dilarang-masuk' yang mengelilinginya. Rasa takut? Debora tak punya alasan untuk merasa terancam dengan kondisi Wulfer. Gadis itu dapat membuat Wulfer dalam wujud monster sekalipun hancur menjadi debu hanya dengan sentuhannya...

...yang mana membuat Wulfer lega karena Debora belum melepas sarung tangan di hadapannya saat ini.

"Di hutan?" tanya Wulfer.

Debora mengangkat alis, "Memangnya hutan ini milikmu? Lagipula sejak jam malam itu diberlakukan, pergerakan semakin terbatas. Jadi harus cari rute alternatif."

"Jam malam?"

Debora memutar bola mata.

"Beredar sedikit dong. Ada rumor 'iblis pemburu mata' berkeliaran di kota, jadi diberlakukan larangan keluar rumah selepas petang."

Iblis pemburu mata? Yang benar saja.

"Mau bagaimana lagi," gerutu Wulfer, "...belakangan terlalu sibuk dikerangkeng."

Wulfer berani bersumpah dia melihat sudut bibir Debora naik sedikit sebelum lenyap sepenuhnya dan gadis itu kembali dengan ekspresi ketusnya.

 "Dan setelah bebas, kau hanya akan keluyuran sambil tidur-tiduran tanpa alas kaki di mana-mana?" tuding Debora.

Wulfer menggeram jengkel, "Sepatuku robek--"

"Carilah motivasi." dia berbalik dan berjalan menjauh, "Vader tidak akan tiba-tiba menjadikanmu anak emas hanya karena kau sudah bisa berubah seenak-enaknya."

Wulfer berdecih dan menunggu sampai punggung gadis itu menghilang di kejauhan sebelum kembali merebahkan diri.

Motivasi.

Penerimaan diri... dan motivasi.

Paling tidak itu kesimpulan yang berhasil ditarik Wulfer atas keberhasilan perubahannya selama dua hari belakangan. Mungkinkah itu kuncinya? Hal yang menghambat Wulfer selama berpuluh-puluh tahun ini?

Selama ini emosi yang menguasai Wulfer selama perubahan adalah ketakutan. Ketakutan terhadap dirinya yang lain, yang liar, yang kejam, dan yang tak mampu dikendalikan. Ketakutan bahwa suatu hari, monster itu akan memakannya dari dalam, tidak menyisakan setitikpun eksistensi diri Wulfer yang 'normal'.

Namun penolakan itu justru menghadangnya seperti jalan buntu. Monster yang mencemarinya di Hutan Putih. Ya, mencemari. Sejak awal tidak ada gunanya Wulfer mencoba melawan. Untuk apa melawan sesuatu yang sudah tak mungkin terpisahkan lagi?

Karena itu, dia memutuskan untuk merengkuh sang monster.

Merengkuh seluruh dirinya.

Dan dia memerlukan motivasi. Misalnya, semangat untuk membuktikan diri kepada sang ayah pada saat dirinya melakukan pengejaran kereta kuda Boer membakar dadanya saat itu, membantunya mewujud dalam bentuk yang belum pernah terjadi sebelumnya; manusia dengan separuh wajah dan separuh lengan monster serigala. Atau... keinginan kuat untuk menjauhkan sang adik dari marabahaya seperti pada 'sesi latihan liar'nya kemarin bersama Eber. Keduanya merupakan motivasi yang cukup untuk membuktikan bahwa dia mampu memegang kendali atas pikiran warasnya.

Selama ini Wulfer selalu menganggap suara-suara bengis yang memenuhi kepalanya bukanlah bagian dari dirinya. Bahwa sang monster adalah sesuatu yang dia harap dengan naifnya suatu hari dapat dienyahkan, mengembalikan dirinya yang dulu, cangkang kosong atau apapun. Dia menolak mengakui bahwa apapun yang ditulari Moncong Perak di Hutan Putih itu telah melebur di dalam dirinya sedemikian rupa, hingga tak mungkin memisahkan dirinya dari hal itu.

Namun tak ada gunanya lagi menyangkal fakta itu. Membenci 'sang monster' adalah sesuatu yang melelahkan dan sia-sia, yang hanya membuat dirinya terjerembab lagi dan lagi dalam lingkaran kesengsaraan yang mengikis keberanian dan kepercayaan dirinya. Setelah nyaris lima puluh tahun, dia akhirnya memahami bahwa sejak awal tidak seharusnya Wulfer memberikan sebutan 'monster'. Monster itu, tak lain tak bukan, adalah dirinya. Anugerah sekaligus kutukan. Bagian dirinya yang kuat, kejam, liar, haus darah, dan tak mengenal rasa takut. Yang telah lama memohon-mohon di dalam dirinya dengan caranya sendiri untuk sebuah penerimaan.

'Kau tidak takut.'

Wulfer mengamini kata-kata itu.

"Aku tidak takut lagi."

🌒

A/N:

Selamat Lebaran bagi para pembaca yang merayakannya :)
Kali ini hanya chapter yang pendek, tapi cukup penting untuk menjabarkan 'isi kepala' Wulfer lebih jauh.

Jika belum, yuk mampir ke cerita lainnya yang merupakan bagian dari Leanders Series!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top