2

TAK JARANG Wulfer terbangun di tempat yang sama sekali tak dikenalinya.

Tahun 1755, pada bulan purnama pertamanya setelah insiden di Hutan Putih, Wulfer terbangun di parit besar hasil galian para pekerja perkebunan, beberapa puluh mijl dari rumahnya. Dia harus mencuri beberapa helai pakaian dari rumah warga pribumi dan melarikan diri sebelum ada yang melihatnya.

Pada 1762, sebelum sistem kurungan bawah tanah itu tercipta dengan sempurna, ketika Aldert masih merantainya dengan seadanya di kerangkeng besi yang gampang sekali penyok, Wulfer terbangun subuh-subuh di sebuah ceruk di dalam sebuah hutan, dengan mayat seekor kijang terhampar mengenaskan di sampingnya.

Pada 1773, Wulfer terbangun dengan tangan-tangan dan kaki-kaki terikat, dikelilingi para pendoa di altar sebuah gereja. Beberapa meneriakkan, "De zoon van een duivel!" dengan ketakutan sementara sang pendeta memegangi kepala Wulfer, merapalkan doa tanpa henti seolah hendak melakukan pengusiran setan. Tak sulit berpura-pura nampak lemah dan polos ketika penampilan fisik Wulfer senantiasa menyerupai anak laki-laki berusia dua belas tahun. Pendeta memutuskan melepaskan Wulfer... dan itu adalah kesalahan besar. Dia mengoyak beberapa kepala dalam wujud normalnya. Itu adalah pagi yang berantakan dan penguburannya merepotkan, tetapi Wulfer harus memastikan seluruh saksi mata tak mampu membocorkan jati dirinya ke manapun.

Pada 1796, baru empat tahun lalu, Wulfer mengambil tindakan nekat pertamanya. Butuh empat puluh tahun yang berlalu dengan keras dan menyengsarakan hingga dia berani untuk mengambil langkah itu. Ada penjara tua terlantar yang cocok untuk dijadikan persembunyian menjelang purnama. Dia mengepak beberapa barang yang penting saja dan pergi dari rumah, menuju tempat itu.

Namun si bodoh Eber entah bagaimana berhasil menyusul Wulfer. Anak itu mengikutinya, bersikeras menemaninya selama perubahan. Rantai di sekeliling tangan dan kaki Wulfer masih sangat kuat, serta jerujinya--walaupun hanya terbuat dari besi biasa, bukan perak--tebal dan kokoh, tetapi Wulfer belum pernah merasa setakut itu. Eber dengan takjub menyaksikan kakaknya berubah menjadi sosok mengerikan dari luar jeruji penjara, sementara Wulfer berusaha mati-matian melawan monster di dalam dirinya yang mengintai adik laki-lakinya dengan buas dan haus darah. Itu adalah pertama kalinya Wulfer merasa dia memegang kendali, walau sedikit saja. Tak pernah ingin lagi membahayakan adiknya, dia setuju untuk kembali ke rumah bersama Eber, menghadapi kemurkaan Aldert dengan masam.

Oleh karena itu, saat ini, terbangun di penjara bawah tanah familiar yang dibangun ayahnya merupakan hal yang sebetulnya patut Wulfer syukuri.

Suara bel berbunyi dengan nyaring. Sebuah pengeras suara yang mirip seperti radio tertanam di dinding, menyerukan perintah dari sang ayah untuk segera bangun.

"Kami tak punya sepanjang pagi untuk menungguimu bergabung di meja makan. Kau harus ke sekolah." suara ayahnya terdengar dari alat itu.

Wulfer mendengkus pahit, "Sekolah."

Anak laki-laki itu menatap sekelilingnya, mendapati sebuah pakaian bersih terlipat di luar jeruji. Wulfer menariknya, berhati-hati agar tangannya tidak menyentuh jeruji, lalu mengenakan pakaian itu. Dia juga memunguti kemeja dan celana yang berserakan serta compang-camping akibat perubahannya semalam.

"Tidak terlalu buruk." komentar Wulfer muram seraya mengamati bagian-bagian yang robek. Setelah selama ini, paling tidak dia belajar untuk selalu mengenakan pakaian yang longgar dan berbahan kuat demi meminimalkan kerusakan. Dia membuntal pakaian rusaknya dan membawanya bersamanya untuk dijahit nanti.

Selain mencermati jenis pakaian dan kemampuan menjahit yang sembrono, apa yang harus dibiasakan Wulfer dalam kehidupan terkutuknya ini adalah bagaimana seluruh tubuhnya terasa letih sehabis tiap perubahan. Seperti energinya nyaris terkuras dilahap si monster.

Anehnya, momen setelah perubahan adalah saat-saat ketika Wulfer merasa kepalanya berada dalam kondisi paling... waras. Wulfer amat menghargai waktu-waktu tersebut, karena dia dapat merasakan monster itu tertidur dalam dirinya, seperti seorang pelaut yang tersungkur tak sadarkan diri di pinggir jalan setelah puas berpesta bir semalaman. Dia dapat menikmati waktu tenang yang langka di mana kepalanya tidak menyeru-nyerukan Cakar! atau Hancurkan! atau Congkel jantungnya! atau dorongan-dorongan bengis semacam itu.

Wulfer membuka kode pada pintu baja kedua--bukan pintu yang sama dengan yang dia masuki semalam--dan berjalan letih menyusuri lorong batu panjang nan sempit. Di ujung lorong, dia kembali memanjat naik sebuah tangga dinding dan membuka pintu jebak di atas kepalanya.

Pintu jebak itu mengarah ke sebuah ruangan kecil. Tidak ada apapun di dalam ruangan itu selain sebuah rak buku tinggi yang berdiri sendirian dan ganjil di salah satu sisi dindingnya. Setelah memastikan pintu di lantai kembali tertutupi sempurna dengan karpet tebal, Wulfer menghampiri rak dan menarik sedikit salah satu buku biru tebal bersampul kulit berjudul Een Schijngestalte Van De Maan, judul yang seolah meledeknya.

Terdengar bunyi klik pelan sebelum rak buku mengayun terbuka, dan Wulfer melangkah ke sebuah lorong suram yang diapit dinding-dinding berpanel kayu gelap. Rak buku kembali mengayun menutup di belakangnya.

Lorong itu membawa Wulfer memasuki koridor terbuka yang mengelilingi empat sisi dinding sebuah atrium besar yang suram. Bila berdiri di pinggir koridor berpagar itu, Wulfer dapat melihat keseluruhan lima lantai dari atrium tersebut. Sebuah lift hitam bergaya kandang dengan jeruji-jeruji besi ornamental menempel pada tengah koridor di salah satu sisi, bergerak naik menghubungkan lantai terbawah atrium dengan lima lantai di atasnya, lalu menghilang ke balik langit-langit lantai teratas. Fakta itu--selain tidak adanya satupun jendela yang terpasang--menunjukkan bahwa seluruh bagian atrium tersebut berada di bawah tanah sebuah bangunan lain.

Wulfer meneruskan langkahnya menyusuri koridor--sambil merutuki kakinya yang telanjang karena sepatunya robek akibat perubahan--dan berhenti di hadapan sebuah dinding dengan lima pintu berjajar. Tiap-tiap pintu memiliki sebuah simbol di tengahnya. Tikus, serigala, jam pasir, bunga, dan api. Wulfer menghampiri salah satunya yang memiliki simbol berbentuk kepala serigala yang tengah melolong, identik dengan salah satu simbol yang terdapat di pintu baja bundar di tengah hutan. Hanya saja simbol yang berada di hadapan Wulfer saat ini jauh lebih besar.

Wulfer meregangkan tangan kanannya dan berkonsentrasi. Cakar-cakar tajam mewujud dari ujung-ujung jemarinya, menggantikan kuku-kuku pendek yang sebelumnya ada. Dia tersenyum puas. Setidaknya setelah nyaris lima puluh tahun, ada bagian yang bisa dikendalikannya dengan cukup baik.

Dia lalu memasukkan cakar-cakar itu ke lima lubang seukuran jari yang terdapat di sekeliling simbol. Dia memutar simbol itu sembilan puluh derajat hingga moncong si serigala menghadap ke kanan, lalu menekan lagi semakin dalam hingga jemarinya semakin tenggelam, dan pintu berat itu pun bergeser terbuka.

Pemandangan ruangan familiar di hadapannya membuat ketegangan di pundak Wulfer seolah terangkat seketika. Ranjang berantakan di salah satu sudut. Lemari berisikan pakaian-pakaian yang sebagian besar longgar dan memiliki jahitan--tidak ada mantel, dia tidak pernah membutuhkan pakaian tebal karena tubuhnya senantiasa terasa hangat. Meja dan kursi belajar yang amat jarang diduduki Wulfer. Dan sebuah peti kayu besar untuk menyimpan barang-barang penting lainnya.

Setelah membersihkan diri di dalam kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah--menyerupai setelan kerja yang terasa sesak dan terlalu formal, karena itu dia tak pernah repot-repot mengenakan dasi dan membiarkan kancing teratas kemejanya terbuka--Wulfer menyambar tasnya dan meninggalkan kamar, sebelumnya menyempatkan diri melirik ke arah ranjang dengan tatapan rindu.

Wulfer kembali menyusuri koridor terbuka dan memasuki lift, yang kemudian membawanya naik melewati langit-langit atrium dan tiba di bordes tangga yang cukup luas. Interior di atas sini lebih memamerkan kesan mewah, seolah Aldert menginginkan para tamu menganggap mansion ini hanyalah mansion megah milik orang kaya normal manapun. Tetapi pria tua itu mempertahankan tema suram pada properti miliknya. Kayu-kayu warna gelap, langit-langit yang tinggi, jendela-jendela besar dengan gorden tebal, karpet berkualitas tinggi yang melapisi nyaris seluruh lantai, serta lukisan-lukisan muram maupun patung-patung menyeramkan yang terlihat menghiasi beberapa sudut ruangan.

Wulfer tiba di sebuah pintu mahogani besar yang separuh terbuka. Dia melangkah masuk ke ruang makan besar--yang lebih sering disebutnya 'ruang makan sopan', karena mereka juga memiliki ruang makan di bawah tanah--dan mendapati meja kayu besar di tengah ruangan telah terisi oleh seluruh anggota keluarga Leanders.

Asmosius, pemuda lima belas tahun berwajah tampan dan berambut klimis yang tengah menyuap supnya dengan tenang di dekat kepala meja. Tetapi ketampanan itu hanyalah ilusi. Tidak ada yang kepingin tahu apa yang sebenarnya berada di balik wajah sempurna itu. Wulfer menangkap gerakan di dekat kaki kursi Asmosius dan mendapati seekor tikus putih besar tengah duduk patuh di situ, sesekali menerima cuilan roti dari si pemuda.

Eberulf, adik kembarnya yang mendongak dan tersenyum lebar ketika melihat Wulfer menduduki kursi di sebelahnya. Mungkin lega mendapati Wulfer berhasil melalui malam perubahannya tanpa insiden apapun. Rambut pirangnya berbinar lembut tertimpa cahaya dari kandelar yang tergantung di langit-langit.

Debora, yang berusia sebelas tahun. Berwajah cantik dengan tahi lalat di ujung mata kanannya. Dia mengangkat wajahnya sejenak ketika melihat Wulfer bergabung di meja makan namun mengalihkan kembali pandangannya ke piring. Dia membenahi sarung tangan yang terpasang di kedua tangannya dan meneruskan makan, tak repot-repot peduli.

Ignicia, yang termuda dan berusia sepuluh tahun. Rambut kuncir duanya bergoyang pelan ketika dia menoleh ke arah Wulfer. Dia memandang kakak laki-lakinya itu dengan sepasang mata yang berlainan warna. Sejujurnya, kedua mata itu membuat Wulfer merinding.

Kalau boleh jujur, Wulfer lebih sudi ketiduran saja sampai siang di dalam kerangkeng bawah tanahnya dibandingkan harus makan bersama dengan keempat saudara-saudaranya seperti ini.

"Malam yang panjang, Kakak? Sepertinya aku dengar satu atau dua lolongan entah dari mana semalam..." Ignicia menyunggingkan senyuman menggoda pada Wulfer.

Wulfer meraih roti dari nampan di tengah meja dalam diam.

"Oh, pakai ini." Ignicia menyorongkan sepasang garpu dan pisau besi yang berpenampilan agak redup dibandingkan alat makan berkilau yang digunakan semua orang di meja makan, "Kita nggak mau Wulfie kita tersayang luka-luka karena pakai perak--"

"KAU BERISIK!" Wulfer menggebrak meja dengan kepalan tangannya, menyebabkan meja bergetar hebat dan alat-alat makan beterbangan sekilas.

"Wulfer."

Suara tegas itu berasal dari kepala meja, tempat di mana Aldert Van Leanders, sang kepala keluarga, duduk. Tongkat berjalannya bersandar setia di samping kursinya.

"Aku tidak mau kau membelah mejaku, lagi-lagi. Aku sudah muak memesan meja baru tiap kali kau kesulitan mengontrol emosi." pria itu memperingatkan.

Wulfer melayangkan tatapan dengki kepada Ignicia--yang memuntir-muntir ujung rambutnya sambil senyam-senyum puas--lalu merobek rotinya dengan kejengkelan yang tak berusaha dia tutup-tutupi, "Maaf, Vader."

Sementara Asmosius menatap mangkuk di hadapannya dengan iba.

"Ah. Supku tumpah sedikit." komentarnya pelan.

Makan pagi berlangsung dengan cukup normal--walaupun diselingi cicitan-cicitan kecil dari arah bawah meja Asmosius yang membuat Wulfer gemas setengah mati--dan lima bersaudara itu pun bertolak dari mansion untuk berangkat ke sekolah.

Wulfer tak pernah merasa bahwa dirinya adalah pelajar yang baik, karena pikirannya terus-menerus teralihkan oleh keriuhan yang tidak perlu. Memiliki indera ratusan kali lebih tajam dibanding manusia biasa seringkali hanya menimbulkan masalah. Ditambah, teknisnya dia telah berusia nyaris lima puluh tahun. Apa yang ayahnya harapkan dengan mendaftarkan seluruh kakak-beradik Leanders yang aneh ke salah satu sekolah di Buttervia? Bukankah semakin keberadaan mereka yang janggal tak diketahui publik, akan semakin baik?

Sembari memikirkan itu ketika menuruni tangga teras, Eber menyusulnya.

"Ulf." adiknya merendenginya sementara mereka menyeberangi halaman. Dari luar sini mereka dapat melihat betapa luasnya halaman yang mengelilingi mansion, membentang hingga kawasan hutan 'kecil' tempat Wulfer ketiduran kemarin, "Ini."

Eber menyerahkan sebuah jam saku kuningan yang tampak usang dan tua. Jarumnya sudah tidak bergerak, terjebak di angka yang sama.

"Di mana kau menemukannya?" Wulfer menerima jam saku itu di telapak tangannya dengan tak percaya.

"Kau menjatuhkannya di dekat pintu bundar di hutan." Eber menjawab.

Wulfer memaki dirinya sendiri, dalam hati bersumpah untuk tidak pernah lagi melakukan hal seceroboh itu. Dia menggenggam erat jam saku itu dan mengalungkan rantai tipisnya ke sekeliling leher.

"Aku tidak akan menghilangkannya lagi." gumam Wulfer, memasukkan kedua tangannya ke saku celana sementara Eber berderap di sampingnya dengan ekspresi gembira.

"Sama-sama." balasnya cerah, membuat Wulfer mendengkus pelan.

Ketika Eber tengah melihat ke arah lain, diam-diam Wulfer menyentuh jam sakunya, sebuah token yang telah lama terasa seperti perpanjangan dari dirinya.

Wulfer teringat lagi memori pertamanya, ketika dia terbangun di ruang bawah tanah temaram milik Aldert yang penuh dengan alat-alat aneh. Saat membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah sesosok bocah pirang bermata merah yang terbaring di sampingnya dengan kulit-kulit dipenuhi jahitan. Dirinya sendiri pun begitu. Tangannya terasa agak miring di bagian pergelangan dan ada jahitan besar-besar di bagian lutut, dada, serta pelipisnya. Itulah pertama kalinya Aldert memberikan nama kepada mereka berdua. Sepasang anak laki-laki kembar yang seumuran, walau berbeda rupa.

"Wulfer Van Leanders." kala itu Aldert memberi Wulfer nama pertama kali, sebelum tatapannya beralih ke bocah pirang di sebelah Wulfer, "Eberulf Van Leanders. Mulai sekarang, kalian berdua adalah anak-anakku."

Mungkin itulah sebabnya Eber selalu menganggap Wulfer lebih tua, walaupun teknisnya mereka diciptakan bersamaan.

Ingatan ketika Eber pertama kali memanggil Wulfer dengan sebutan 'kakak' juga kembali menyeruak ke permukaan. Waktu itu mereka berdua tengah berbaring bersebelahan di hutan belakang mansion, menikmati waktu penghujung senja yang tenang. Semilir angin menerbangkan dedaunan kering di sekitar mereka.

"Ulf." Eber membuka suara.

"Hm." Wulfer menyahut, kedua matanya masih terpejam.

Terdengar bunyi kain dan tahu-tahu, Eber meletakkan sebuah benda kecil berkilau di atas telapak tangan Wulfer yang terbuka. Wulfer membuka matanya.

Sebuah jam saku.

"Ingat toko jam tua yang kita kunjungi beberapa minggu lalu? Aku membuatnya sendiri, dibantu pengrajin yang bekerja di sana. Detaknya lembut, agar tidak terlalu mengganggu pendengaranmu."

Wulfer mengamat-amati jam saku itu dengan kagum. Eber benar. Entah bagaimana, alih-alih bising, detak jarum jam itu terasa... menenangkan. Dia membuka katupnya dan mendapati sebuah ukiran kasar berbentuk kepala serigala yang nampaknya hasil pekerjaan tangan Eber sendiri.

"Kuharap itu bisa membantumu, walau sedikit." jelas Eber.

Wulfer kehilangan kata-kata.

"Eber, ini..."

Eber, seperti biasanya, tak perlu mendengarkan kelanjutan perkataan Wulfer. Bocah pirang itu menatap Wulfer sambil tersenyum lebar.

"Sama-sama, Kakak."

🌒

A/N:

Jangan lupa mampir ke seri Leanders bersaudara lainnya! Mari bertemu dengan si sulung Asmosius ... pengendali tikus disertai otak jenius, Wulfer sang werewolf, Eberulf sang cacat yang mengawasi segala langkah maju dunia, Debora dengan tangan leburnya dan Ignicia si bungsu yang dijuluki sebagai gadis dari neraka.

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

Sampai jumpa di chapter berikutnya. Tinggalkan jejakmu dengan vote dan komentar :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top