12

BLOEDSTEEN itu hitam dan berpendar di mata kiri Vasser.

Wulfer mengumpat.

Wulfer tahu persis bahwa keberadaan Penghisap Darah memang tak dapat disangkal. Dulu sekali, dia pernah menyaksikan Aldert menerima beberapa tamu rekanan bisnisnya yang berkulit pucat dan tak pernah menampakkan batang hidungnya ketika matahari masih bersinar.

Namun bila membandingkan para Penghisap Darah yang dijumpainya dulu dengan ciri Vasser dan anak-anak buahnya saat ini... mereka nampak... berbeda.

Wulfer ingat bahwa kaum Penghisap Darah yang dijumpainya dulu memiliki aroma yang sulit dideskripsikan. Wulfer tidak menyukainya, tetapi entah bagaimana sepertinya aroma itu memikat Debora dan Ignicia. Aroma itu begitu berbeda dengan yang diciumnya saat ini. Ruangan ini disesaki oleh bau manis yang memuakkan dan membuatnya kepingin muntah.

Selain itu, para Penghisap Darah yang ditemuinya dulu memiliki warna mata yang normal, tidak hitam seperti Para Pucat saat ini. Mata hitam milik Para Pucat, anehnya, juga memiliki pendar aneh yang serupa dengan Bloedsteen di mata kiri Vasser.

Menyadari reaksi Wulfer dan Rutger terhadap mata kirinya, Vasser mengulum senyum.

"Apakah ini yang kalian cari?" Vasser berdecak kecewa, "Butuh waktu lama sekali bagi kalian untuk menemukan ini."

"Jadi Wagner benar... kau mencuri Batu Darah?" Wulfer memancing agar Vasser terus bicara sementara dia merasakan seluruh lukanya nyaris tertutup sempurna.

Senyuman Vasser melebar, memamerkan taring-taring yang meneteskan darah segar milik Jenderal Wagner.

"Biar kuceritakan kisah awal mulanya, Nak. Jadi kalian bisa berhenti bersikap sok tahu dan menyebalkan."

Terdengar tawa-tawa mengejek dari Para Pucat. Wagner masih tergeletak di lantai, kehilangan semakin banyak darah, dan Rutger menatap Vasser dengan tegang dan waspada.

"Mari kembali ke satu setengah abad yang lalu, ketika aku masih berwujud pemuda kelewat polos yang bekerja sebagai alkemis kerajaan." Vasser memulai. Keheningan meliputi ruangan. Sepatunya yang beradu dengan lantai berkeletak-keletuk nyaring selagi dirinya berjalan perlahan sembari bercerita, "Sang Ratu menderita penyakit misterius dan Raja memanggil tabib-tabib dari berbagai wilayah untuk menyembuhkan istrinya. Tapi tak ada satupun yang berhasil. Nyaris segala cara telah dicoba, ratusan tabib telah bekerja sama denganku untuk menciptakan obat yang tepat, namun kondisi sang Ratu tak juga mengalami perubahan.

"Marah dan putus asa karena kesehatan Ratu semakin buruk, Raja menemuiku, mengutusku untuk memburu orang paling handal yang bisa kutemui untuk menyelamatkan Ratu. Apapun caranya. Apapun konsekuensinya.

"Dan aku menemukannya! Magier ternama dari negeri jauh. Ahli sihir yang mengatakan di dalam suratnya bahwa dia memiliki solusi dari masalah sang Raja. Kami mengundangnya, dan pada pertemuan itu, si Penyihir mengaku bahwa batu yang diciptakannya dapat 'menyembuhkan dan mengekalkan'. Tetapi dia mewanti-wanti Raja bahwa selepas digunakan, Batu itu harus kembali kepada si Penyihir, dan ada harga yang harus dibayar.

"Dengan tololnya, Raja setuju. Penyihir itu menanamkan Batu Darah pada nadi sang Ratu, dan secara ajaib... sang Ratu sembuh! Oh, betapa kerajaan merasa gembira akibat mukjizat itu. Perayaan dan pesta diadakan tanpa henti berhari-hari setelahnya. Penyihir dielu-elukan sebagai penyelamat... tetapi kala itu, aku sama sekali tak bisa menikmati kesenangan yang tengah merajalela. Karena adikku jatuh sakit.

"Tubuhnya semakin kurus. Aku sudah meracikkan berbagai obat, memanggil tabib-tabib yang kupercayai, namun tidak ada yang mampu mengenali penyakit yang dideritanya. Tiap malam, aku mendengar adikku mengigau dalam tidurnya yang tak tenang, berteriak-teriak dan menggigiti dirinya sendiri seperti orang kehilangan akal... membuatku terpaksa merantainya ke ranjang. Hingga suatu hari, aku pulang dan mendapatinya sudah tak bernyawa akibat luka gigitan pada nadi tangannya yang diperbuatnya sendiri.

"Tak lama setelah kematian adikku yang mengibakan, salah seorang pegawai Raja mendatangiku dan menyerahkan sebuah kontrak. Kontrak rahasia yang berhasil dicurinya... yang ditandatangani oleh Raja dan adikku sendiri. Kontrak yang menyatakan bahwa adikku bersedia untuk menyumbangkan darahnya demi kesembuhan sang Ratu, dengan imbalan beberapa karung emas dan 'keamanan' atas posisiku di kerajaan."

Vasser tertawa keras, nyaris histeris. "Bedebah itu menipu adikku! Bedebah itu memilih untuk menggunakan adikku sebagai tumbal. 'Harga' yang diminta sang Penyihir. Dia menipu dan mengancam adikku. Jika dia kecewa padaku karena tak becus bekerja, bukankah lebih baik membunuhku saja?

"Aku mendatangi Raja dan Penyihir itu setelahnya, membuat kekacauan di ruang tahta dan didepak dari istana. Aku yang bodoh dan emosional, menyebarkan soal kontrak itu dan kaitannya dengan kematian adikku kepada orang-orang. Setelahnya, kerajaan mengumumkan tuduhan palsu atas pengkhianatanku dan pengkhianatan si Penyihir dalam usaha kami merebut tahta.

"Aku di sana ketika Penyihir itu digiring ke tiang gantungan, di tengah-tengah upayaku untuk menghilangkan jejak karena menjadi buronan kerajaan. Di hadapan publik, Penyihir itu mengutuk sang Raja karena merebut apa yang bukan miliknya, dan mengutuk semua orang yang terlibat dengan Batu Darah... tentu saja tidak ada yang percaya. Semua orang berpikir Penyihir itu melontarkan omong kosong di tengah-tengah keputusasaannya. Seharusnya aku datangi Raja saat itu juga dan menggorok leher tak bergunanya di tempat... tapi posisiku terlalu lemah..."

Vasser menghentikan langkahnya dan menjulang persis di hadapan Wulfer. Wulfer balas menatap pria itu, tak terpengaruh intimidasinya.

"Lalu aku menemui ayahmu, Aldert van Leanders."

Wulfer berusaha menjaga agar tidak menunjukkan reaksi apapun.

"Kami dulu adalah rival yang cukup tersohor. Aku, si alkemis kerajaan dan ayahmu, si ilmuwan misterius yang kaya raya." Vasser mengenang sinis, "Kami saling benci, namun kematian adikku cukup untuk membuatku menurunkan harga diri dan mendatangi pria uzur itu. Aku menjelaskan tentang Batu Darah, dan memohon padanya agar bekerja sama denganku untuk merebutnya dari tangan Raja. Ayahmu menolak mentah-mentah, menyuruhku untuk berhenti bersikap kekanakkan. Tapi apa yang terjadi? Ayahmu menggunakan pengetahuan tentang Batu Darah itu untuk berusaha menguasainya sendiri!"

Para Pucat mengeluarkan lengkingan-lengkingan berang, berpasang-pasang mata hitam mereka terarah pada Wulfer, yang masih berusaha berkonsentrasi mengendalikan arus energi di dalam tubuhnya.

"Tetapi sebelum Aldert melakukannya, batu itu berhasil kuperoleh."

Vasser terbahak.

"Butuh usaha luar biasa untuk menemukan ramuan yang tepat untuk menyamar dan menyelinap ke dalam istana ketika Raja sedang dalam perjalanan keluar kota. Saat rumor akan terjadinya perang telah meluas di antara rakyat. Karena itu tidak ada yang begitu peduli dengan keamanan sang Ratu.

"Aku berhasil mengambil batu itu ketika sang Ratu tengah tertidur lelap karena anggur spesial yang kusediakan saat makan malamnya. Besar sekali godaan untuk menuangkan racun saja alih-alih obat tidur. Dan untuk mencekik wanita itu hingga wajahnya membiru dan tak bernapas lagi. Tetapi aku tidak melakukannya. Kenapa? Karena aku ingin tahu bagaimana akhirnya."

Vasser mengelus mata kirinya dengan lembut seraya menyunggingkan senyuman puas.

"Dengar-dengar, wanita itu menjadi gila setelah batunya hilang. Dia berkeliaran menggigiti dan mencakari para pegawai istana, menyebabkan dirinya harus dikurung di dalam suatu kamar terpencil di puncak menara tertinggi. Raja tidak sanggup menyaksikan kekasih hidupnya berubah menjadi sesuatu yang jahat dan menyerupai monster... hingga membuatnya mengakhiri nyawa istrinya dan nyawanya sendiri. Kerajaan kacau balau setelahnya, terjadi perebutan tahta di antara para pewaris di tengah kondisi perang, dan tak ada yang punya waktu untuk repot-repot mencari batu itu.

"Dan adikku? Bagaimana dengan adikku? Oh, tidak. Aku tak pernah menguburnya. Aku cukup mengawetkannya kalau-kalau aku berhasil mendapatkan Baru Darah. Aku menanamkan batu itu pada nadi adikku dan... tak ada yang terjadi. Tak ada yang memberitahuku bahwa batu itu tak berguna terhadap sesuatu yang telah menjadi mayat."

Wulfer mengepalkan kedua tangannya. Tentu saja. Itulah sebabnya Vader meminta kami mencari beberapa pusaka untuk melengkapi kemampuan Bloedsteen. Batu itu hanya akan menjaga Moeder agar tetap kekal.

Guntur menggelegar di luar jendela bersama dengan kilatnya yang menerangi separuh wajah Vasser, membuatnya terlihat jauh lebih mengerikan.

"Daripada tersia-sia, kuputuskan untuk menggunakan sendiri batu itu... dan merasakan kutukan yang dimaksud si Penyihir."

"Kau tak bisa bertahan tanpa darah manusia." simpul Wulfer, "Tak bisa hewan, hanya darah milik manusia."

"Hebat!" puji Vasser seraya bertepuk tangan, Betapa cemerlang anak laki-laki Aldert van Leanders!"

Wulfer merapatkan rahangnya, "Dan kau sama buruknya dengan Raja-mu. Kau terus mengganti identitasmu dan menggelar lelang itu setiap tahun... memasukkan batu itu ke dalam daftar barang agar pihak kerajaan tetap 'diingatkan' bahwa benda itu masih ada."

Vasser tertawa puas, "Bagus!"

Wulfer menyeringai, "Sejak awal, Bloedsteen tidak pernah berpindah tangan pada pelelangan manapun, kau hanya menyamarkannya sebagai salah satu benda yang diperjualbelikan. Kau menantang pihak kerajaan untuk menemukannya."

Raut ketakutan dan keterkejutan Rutger perlahan berganti menjadi pemahaman, disusul amarah.

"Kau..." katanya, suaranya bergetar karena marah, "...kau adalah pembunuh istriku, Lijsbet."

"Istrimu?" Vasser melepas atasan jasnya yang penuh oleh darah dan melemparkannya ke lantai. Dia melonggarkan cravat kemeja putihnya, "Hmm... kau harus lebih spesifik, karena aku membunuh banyak orang."

Mendengarnya, Rutger tak mampu lagi membendung emosinya. Pria itu meraung.

"PEMBUNUH!"

Kejadian itu hanya berlangsung kurang dari dua detik. Rutger menyerbu ke arah Vasser seperti seekor banteng. Vasser nampak antusias, seolah menantikan serangan Rutger.

Tetapi Wulfer bergerak lebih cepat. Dia menerjang dan menarik tubuh Rutger, membawa pria itu bersamanya. Dan sebelum Vasser maupun para Pucat sempat bereaksi, dia berlari ke arah Jenderal Wagner dan menyambar perutnya.

Teriakan-teriakan murka terdengar dari berbagai arah, membuat telinga Wulfer serasa digergaji, namun dia tak peduli. Dengan membawa Rutger dan Wagner di pundaknya, Wulfer terus berlari menyeberangi ruangan gelap itu secepat yang kakinya sanggup lakukan. Diiringi kilatan dan petir yang menggemuruh, dia menabrakkan dirinya ke jendela besar di belakang kursi tahta Vasser.

Lalu dia melompat jatuh.

🌒

A/N:

Another update before the independence day of Indonesia!

Bagaimana menurutmu tentang chapter ini? Tinggalkan komentar & vote. Dan jangan lupa untuk mampir di cerita kakak-beradik Leanders lainnya!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats by Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout by me :)
3. Eberulf: The Black Fang by Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand by Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell by ZiviaZee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top