10

WULFER dan Rutger masih dapat melihat asap hitam tebal di langit ketika para penjaga pucat menggiring keduanya keluar dari ruangan mereka untuk menyusuri lorong dengan terburu-buru. Beberapa penjaga berseragam hitam masih terlihat berlarian ke sana-sini.Wulfer dan Rutger dibawa menjauh dari seluruh kekacauan itu dan memasuki tangga batu tersembunyi yang mengarah ke bawah tanah.

Setelah rasanya melalui belasan pintu dan lorong panjang dan berkelok-kelok, mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan besar. Langit-langit batu ruangan itu berbentuk kubah dengan sebuah kandelar kristal besar dan berkilauan tergantung di pusatnya. Seluruh dinding yang mengelilingi ruangan bundar itu dilapisi oleh gorden beludru ungu gelap dan dihiasi ornamen-ornamen kuningan cantik pada tepi-tepinya. Lantainya pun dilapisi karpet indah bermotif rumit. Sofa-sofa elegan dan empuk mengisi nyaris sebagian besar ruangan itu, dengan meja-meja rendah penuh dengan hidangan-hidangan mewah, buah-buahan, dan piala-piala berisi alkohol.

Ketika Wulfer dan Rutger masuk, seluruh mata para tamu tertuju pada mereka. Kebanyakan memandangi Wulfer dengan sorot penasaran, sebagian was-was, sebagian terpana. Masing-masing terlihat membawa barang, berukuran besar maupun kecil. Setelah menyerap seluruh pemandangan itu, keduanya digiring ke sofa di salah satu sudut.

Ruang tunggu bagi para penjual? batin Wulfer.

"Masuk." perintah Si Pirang yang sedari tadi memegangi Wulfer. Mereka sudah menyiapkan kerangkeng baru untuk Wulfer, kali ini berbentuk seperti sangkar burung besar yang indah dan besi-besinya memiliki ukiran-ukiran penghias. Seberapa banyak kerangkeng yang mereka miliki di tempat ini?

"Sekarang kau hanya menunggu. Begitu dipanggil, kami akan membawanya keluar." Si Pirang berbicara pada Rutger seraya menunjuk ke arah bukaan gorden di seberang ruangan. Wulfer hanya bisa melihat sekilas ruangan benderang besar di baliknya ketika gorden itu tersibak, "Setelah harga dan pembeli ditetapkan, kami akan membawamu untuk mengurus perhitungannya."

"Berapa banyak barang-barang yang akan dipamerkan hari ini?" Rutger bertanya ingin tahu.

"Kau bisa menyaksikannya langsung dari belakang sini." dia memerintahkan kedua rekannya untuk menyibakkan gorden besar yang ternyata terhubung pada sisi samping panggung.

"Tentunya ini belum semuanya kan?" Rutger menggesturkan tangannya ke sekeliling ruangan, berusaha menggali informasi lebih jauh.

Si Pirang mengabaikan pertanyaan Rutger, "Kami akan memanggilmu bila panggung sudah siap."

Rutger melirik Wulfer, "Baiklah."

Menunggu di dalam ruangan bundar itu merupakan hal yang sangat menguji kewarasan Wulfer. Sementara acara lelang telah dimulai di panggung utama dan satu persatu penjual dipanggil keluar untuk menjajakan apapun yang mereka miliki, Wulfer memindai seisi ruangan, berusaha menemukan sesuatu yang mirip seperti gundu berwarna merah atau hitam. Terkadang, penjual membawa keluar sesuatu yang berada di dalam kotak, sehingga dia harus menunggu hingga nama benda itu diumumkan di panggung oleh pembawa acara. Dan sembari berkonsentrasi melakukan semua itu, dia juga berusaha mengabaikan tatapan-tatapan ingin tahu yang terarah padanya.

Wulfer masih kesulitan merubah diri menjadi normal karena emosinya tak kunjung stabil. Kepanikan dan kekhawatiran menguasainya. Tetapi dia memutuskan berada dalam wujud separuh monster mungkin yang terbaik, karena dengan begitu, publik tidak dapat mengenalinya sebagai salah satu anak Aldert Van Leanders.

"Tuan, bagaimana jika menjual anak itu kepadaku saja?" tanya salah seorang wanita berpenampilan elegan seraya menghampiri kerangkeng Wulfer. Wanita itu mengenakan perhiasan dan rias yang menunjukkan status sosialnya yang tinggi. Sorot matanya lapar ketika melihat Wulfer, "Dia tampak... menarik."

"Maaf, Nyonya. Tapi saya ingin menjualnya kepada para peserta lelang." Rutger menyelip di antara si wanita dan kerangkeng Wulfer untuk menghalaunya.

"Sayang sekali." wanita itu mengerucutkan bibirnya dan melirik Wulfer terakhir kali sebelum berbalik kembali ke tempatnya menunggu.

Proses lelang berlangsung lamban. Mereka menunggu selama beberapa jam, dan Wulfer dapat mendengar jelas tiap transaksi yang terjadi di panggung sebelah. Sementara itu Rutger mondar-mandir gelisah di dekat bukaan gorden, memata-matai tiap barang yang berhasil terjual.

Hingga akhirnya, hanya Wulfer dan Rutger yang tersisa di ruangan itu.

"Ini percuma, batunya tidak di sini..." umpat Rutger pelan.

Itu benar. Wulfer membatin pahit. Aku tidak merasakan dengung selain dari ruangan penyimpanan tadi. Tidak ada batu mencurigakan. Bahkan batu itu tidak masuk daftar penjualan malam ini. Semuanya memang hanyalah kesia-siaan...

Dug.

Dug. Dug.

Wulfer terenyak. A...apa itu?

Dug. Dug.

Dug. Dug.

"Kau mendengarnya?" Wulfer menyeletuk pada Rutger.

"....dan mungkin mereka menyisakan yang sedang naik daun untuk keluar terakhir..." Rutger menoleh, "Apa? Mendengar apa?"

"Aku tak yakin..." Wulfer menyipit, berusaha mempertajam pendengaran.

Ada dengung yang berbeda.

Rutger menajamkan mata, "Ada satu tamu baru yang masuk melalui pintu belakang..." ujarnya, "Sepertinya peserta terhormat. Dia menempati kursi khusus. Wulfer, apa rencana kita?!"

Wulfer dapat merasakan keberadaan materi baru. Mirip seperti ketika dia menyadari Eber telah memperoleh kerisnya dan merasakan dengungnya menembus kamar anak itu.

'Rasa' dari materi ini berbeda. Materi itu memiliki dengung dan aroma yang belum pernah ditemuinya. Yang lebih tajam, pekat, dan hidup. Seperti...

"Seperti... berdenyut." gumam Wulfer kepada dirinya sendiri.

Tiba-tiba gorden tersibak.

Si Pirang dan kedua rekan pucatnya kembali memasuki ruangan.

"Giliranmu." dia berkata pada Rutger.

Wulfer menyaksikan dua penjaga mendorong kerangkengnya menuju panggung, dan Wulfer kembali harus menahan rasa mual akibat bau manis memuakkan yang menguar dari tubuh para penjaga itu.

Mereka bukan manusia, batin Wulfer sengsara.

Panggung itu besar dan berbentuk separuh lingkaran. Hamparan kursi-kursi beludru dipenuhi oleh para peserta lelang mengelilingi panggung itu, yang posisinya semakin tinggi semakin ke belakang. Mirip seperti teater pementasan yang sering dikunjungi Wulfer dan saudara-saudarinya atas dasar paksaan sang ayah. Dua penjaga mendorong kerangkeng Wulfer dan memposisikannya persis di tengah panggung, sementara Si Pirang merendengi Rutger yang tampak gugup.

Wulfer mengamati para tamu yang memenuhi kursi-kursi di hadapannya. Semuanya mengenakan topeng separuh agar tak dapat dikenali, dan tampaknya berasal dari kalangan atas, dinilai dari pakaian mewah dan gestur mereka yang terpelajar.

Dari atas panggung, Wulfer dapat mengendus aroma manis yang lebih kuat dan berasal dari mana-mana. Pembawa acara--yang juga mengenakan topeng separuh--berpenampilan lebih mencolok dengan jas buntut merah tua dan celana keemasan. Wajah di balik topeng itu juga sama pucatnya dengan para penjaga.

Kemudian pembawa acara itu mengumumkan dari balik podium kecil di sisi kiri panggung tempatnya berdiri.

"Akhirnya, yang ditunggu-tunggu malam ini. Monster yang tengah menjadi buruan publik dan kerajaan! Lelang dibuka dari satu juta gulden!"

Terdengar kasak-kusuk dari arah para tamu. Wulfer merasakan seluruh mata di balik topeng-topeng itu tertuju padanya. Jantungnya berdetak kencang. Bagaimana jika dia tidak bisa meloloskan diri dari situasi ini nanti?

Dug. Dug.

Dug. Dug.

Wulfer merasakannya lagi.

"Makhluk apa dia?" seseorang berseru dari kursi penonton.

"D-dia adalah monster serigala..." Rutger menyahut hati-hati.

"Bisakah dia bicara?"

"Tidak." dustanya, "Aku menemukannya di hutan. Liar dan... tak terkendali."

Dug. Dug.

Fokus Wulfer teralih pada denyutan itu. Asalnya dari salah satu kursi balkon yang terisi oleh tamu khusus.

Pria itu.

Pria yang tengah berbisik pada pengawalnya. Wulfer dapat merasakan tatapan orang itu dari balik topeng yang tak putus terhadapnya.

Dug. Dug.

"Jadi dia tidak jinak?" seruan lagi-lagi terdengar dari arah penonton.

"Tidak..." sahut Rutger.

"Apa makanannya?"

"Dia bisa makan apa saja..."

Si pengawal di balkon mengangguk pada apapun yang dibisikkan si pria, lalu berbalik keluar dan menghilang dari pandangan.

"Satu juta gulden oleh nomor empat puluh sembilan!"

"Apa dia berbahaya?!"

"Bisakah dia menuruti perintah?!"

"Y-yah..." Rutger tergagap.

"Satu juta seratus ribu? Ya, nomor dua belas!"

Rutger melayangkan tatapan panik kepada Wulfer seolah berkata, kita harus keluar dari sini!

Dari ekor matanya, Wulfer mendapati pengawal si pria misterius telah berada di samping panggung, memberi tatapan penuh arti kepada Si Pirang. Si Pirang kemudian mengangguk paham dan mengumumkan, "Dia dapat digunakan sebagai senjata... dengan sedikit latihan."

Si Pirang memberi aba-aba pada seorang penjaga berseragam hitam yang telah siap sedia di sudut panggung. Penjaga itu menggendong semacam kotak mesin di punggungnya, yang tersambung pada baton panjang. Kemudian, dia menyurukkan baton itu ke sela-sela kerangkeng dan menusukkan ujungnya ke tubuh Wulfer.

"AAAARGH!" Wulfer berteriak ketika aliran listrik berkekuatan tinggi menyengatnya.

"APA YANG KAULAKUKAN?!" Rutger hendak menyerbu maju, namun lengan-lengannya ditahan oleh dua penjaga pucat di kiri-kanannya.

Wulfer terjatuh berlutut, kedua tangannya mencengkeram jeruji kerangkeng, berusaha menahan rasa panas dan sakit yang mengaliri sekujur tubuhnya. Jantungnya berdentum-dentum tak terkendali. Napasnya satu-dua.

"Jika Anda membuatnya tunduk, Anda bisa mengendalikannya!" seru si pembawa acara, "Satu juta dua ratus ribu? Satu juta dua ratus ribu oleh nomor tiga puluh tiga!"

"AAAAARGGH!" penjaga itu menyengat Wulfer untuk kedua kalinya, membuat besi-besi jeruji dalam cengkeraman Wulfer membengkok.

"HENTIKAN!" Rutger meraung dan memberontak, namun para penjaga pucat itu berhasil menahannya.

"Satu juta lima ratus ribu oleh nomor delapan belas!"

Darah menggelegak di balik kulitnya, sensasi familiar yang dirasakan Wulfer. Jeruji yang dicengkeramnya sudah tak berbentuk, menaikkan antusiasme para peserta lelang.

"Satu juta tujuh ratus ribu oleh dua puluh enam!"

"UAAARRGGGGHHH!!!" Wulfer meraung kesakitan ketika penjaga itu menyodokkan baton beraliran listrik untuk yang ketiga kalinya, kali ini tak langsung melepaskannya.

"Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan...!" Rutger berseru lemah.

"Dua juta!"

Ujung baton itu terus menempel ke rusuk Wulfer, menyiksanya. Aliran listrik pun menyambar ke jeruji kerangkengnya, membuat tangan-tangan Wulfer melekat pada besi-besi itu. Kebisingan memenuhi kepala Wulfer, jantungnya terasa hendak meledak, dan paru-parunya seperti terbakar.

Besi dalam cengkeramannya patah dan kendalinya akhirnya runtuh.

Raungan murka Wulfer memenuhi tempat itu.

Seisi aula hening menyaksikan pemandangan di hadapan mereka. Raut-raut penuh antisipasi, waspada, ketakutan, ketakjuban, menghiasi wajah-wajah separuh tertutup itu ketika perubahan Wulfer akhirnya terjadi di depan publik.

Tubuhnya membesar, rantai yang membelit tangannya menegang dan putus, pakaiannya tertarik dan robek akibat tak sanggup menampung wujud barunya. Bulu-bulu hitam menggantikan kulit yang mulus, cakar-cakar tajam tumbuh dan memanjang. Kepalanya bermetamorfosis ke bentuk menyerupai milik serigala, moncong yang memanjang dan telinga yang meruncing. Rahang yang panjang itu menampilkan deretan taring mengerikan nan tajam, serta menguarkan napas panas berasap dari sela-selanya.

Hanya mata merah itu yang tetap sama. Mata merah yang kini menampakkan sorot buas, penuh ancaman, liar dan bengis dengan aura membunuh.

Aliran listrik itu tak lagi memberi efek serupa sebelumnya. Monster serigala itu menyambar baton yang masih menempel di rusuknya, sepasang mata merahnya perlahan menoleh ke arah si penjaga yang memegangi baton. Penjaga itu terdongak dan mematung ketakutan, tak kuasa berpikir jernih untuk melarikan diri. Monster itu mencengkeram lengan si penjaga menyebabkannya terseret maju dan menghantam jeruji kerangkeng dengan keras hingga pingsan, lalu mematahkan batonnya menjadi dua.

Seiring jatuhnya baton ke dasar kurungan dengan berkelontangan, monster itu menjebol kerangkeng dengan kekuatan tendangannya dan menyerbu para penjaga di atas panggung.

Saat itulah aula yang sempat membeku seolah terdasar.

Teriakan-teriakan panik dan ketakutan dari para tamu terdengar, orang-orang berhamburan berusaha melarikan diri. Topi-topi para pria dan kipas para wanita bangsawan teronggok terlupakan. Beberapa terjatuh dan topeng-topeng terlepas, namun tak ada yang memedulikan penampilan. Yang terpenting adalah keluar dari tempat itu.

Namun belasan orang di bangku penonton tetap tinggal, mereka mencampakkan topeng yang mereka kenakan ke lantai dan mengeluarkan pistol dari balik saku jas.

Salah satunya merupakan wajah yang tak asing.

Dia adalah Jenderal Wagner.

"Tangkap monster itu dan lumpuhkan yang lainnya!" titah Jenderal Wagner kepada para anak buahnya, yang ternyata tidak hanya menyusup sebagai peserta lelang, namun beberapa juga menyamar menjadi penjaga berseragam hitam.

Prajurit-prajurit itu berseru serempak, melepaskan tembakan-tembakan ke arah para penjaga.

Para penjaga berseragam hitam tak tinggal diam, mereka berkelit dan menyerbu para prajurit, dan kedua kubu seketika terlibat dalam pertarungan yang membuat aula lelang kacau balau dan dipenuhi asap.

Namun, para penjaga necis berwajah pucat nampaknya tak repot-repot memedulikan kekacauan itu. Fokus mereka tertuju pada monster serigala besar yang sulit dikendalikan, serta pada para prajurit--termasuk Wagner--yang berhasil merangsek maju dan naik ke atas panggung.

"Monster itu milikku! Kalian urusi sisanya, tanpa sisa!" Si Pirang berteriak memerintahkan bawahannya.

Para pucat itu terlihat gembira. Mereka menyunggingkan senyuman lebar yang menampilkan deretan taring tajam mengerikan, seperti milik si wanita budak yang berusaha menerkam Rutger tadi.

"Apa-apaan?!" seruan-seruan kaget berasal dari para prajurit kerajaan, jelas tak mempercayai pemandangan di hadapan mereka. Makhluk-makhluk pucat bertaring itu melepaskan tawa melengking yang membuat bulu kuduk berdiri, lalu menerjang para prajurit tanpa bermodalkan senjata apapun, sama sekali tak memedulikan tembakan-tembakan yang lepas maupun sabetan pedang dari musuh mereka.

"Uaaakh!" teriakan-teriakan para prajurit yang ketakutan dan kepayahan terdengar. Makhluk-makhluk itu menggigit, mencakar... menodai karpet lantai aula itu dengan corak-corak cipratan darah segar. Entah bagaimana, kekuatan fisik makhluk-makhluk itu begitu luar biasa hingga dapat mengungguli pasukan kerajaan yang terlatih dalam waktu singkat.

Para prajurit yang berhasil mencapai panggung masih berusaha mempertahankan diri dari serangan liar para penjaga, namun Wagner menyadari dengan cepat bahwa pasukannya tak punya banyak kesempatan.

"Enyah kalian iblis!" teriak Jenderal Wagner, menembakkan peluru ke kepala si pembawa acara, namun dengan horornya dia menyaksikan peluru itu menembus kepala makhluk itu, hanya menyebabkannya terhuyung sejenak, sebelum si pembawa acara kembali tegak dan tertawa-tawa mengejek.

"Sterfelijk!" cemoohnya seraya menatap Jenderal Wagner dengan sorot lapar, sama sekali tak terpengaruh dengan lubang di kepalanya.

Si Pirang, yang tengah menghadapi Wulfer, menyeringai dan mendesis mengancam. Wulfer mendongak dari korbannya yang telah tergeletak di lantai panggung dengan posisi tulang-belulang mencuat ke sana ke mari. Darah menetes-netes dari sela-sela gigi tajamnya.

Si Pirang melompat menyerbu.

"JANGAN!" Rutger berhasil meloloskan diri dari cengkeraman lengah salah satu makhluk pucat dan menerjang Si Pirang hingga keduanya tersungkur. Si Pirang mengayunkan lengannya hingga menghantam kepala Rutger, membuatnya terpental dan terjatuh dari panggung dalam kondisi tak sadarkan diri.

Pemandangan itu seperti siraman air dingin yang mengembalikan kesadaran Wulfer.

Wulfer memandangi sosok Rutger yang terkulai pingsan di bawah panggung, menyentakkannya kembali ke pikiran jernihnya.

"Kau..." Wulfer menggeram murka.

"Kau hanya perlu jadi anjing baik..." Si Pirang meludahkan darah hitam hasil hantaman Rutger dari bibirnya, lalu menerjang.

Wulfer menangkap kedua lengan Si Pirang dan membantingnya ke lantai, sekali... dua kali... tiga kali... namun semua itu seolah tak memiliki efek pada fisiknya. Pria itu bangkit dan terkekeh-kekeh, tubuhnya dipenuhi luka yang mengeluarkan darah hitam namun dia masih tampak sama kuat seperti sebelumnya.

"Tak pernahkah kau mempelajari tentang kami?" tawanya pada Wulfer.

Makhluk pucat yang tadi menjaga Rutger tiba-tiba memanjat punggung Wulfer dan menanamkan taring-taringnya di leher Wulfer, menyebabkan raungan kesakitannya memenuhi aula itu. Wulfer menarik kepala si makhluk dari lehernya dan melemparkan makhluk itu ke seberang ruangan. Makhluk itu menubruk salah satu pilar besar penyangga balkon dengan keras dan tersungkur pingsan.

"Menyerahlah," Si Pirang berkata, sementara Wulfer berjalan mendekat mengabaikan darah hangat yang menyembur keluar dari bekas gigitan di lehernya. "Kau sudah kalah."

"Aku... tidak pernah kalah..." Wulfer merasakan keganjilan ketika menyadari bekas luka di lehernya tak kunjung pulih. Kemudian dia merasakan matanya berkunang-kunang dan kakinya melemah. Si Pirang memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang, namun jelas tak memperhitungkan kecepatan dan sisa tenaga yang dimiliki Wulfer.

Wulfer mencengkeram wajah Si Pirang dengan satu tangannya, mengangkatnya ke udara, membuatnya terlihat seperti ikan yang diangkat dari air. Si Pirang memberontak, meronta dan menyayatkan kuku-kuku tajamnya di tangan Wulfer.

Sebelum makhluk itu dapat melukai tangannya lebih jauh, Wulfer memperkuat cengkeramannya, dia menekankan cakar-cakar miliknya hingga menembus kepala makhluk itu dan menghancurkan tengkoraknya.

Si Pirang terkulai seperti boneka kain di tangan Wulfer. Ketika Wulfer melepaskannya, tubuh makhluk itu terjatuh ke lantai panggung dengan kepala berlumur darah hitam yang sudah tak memiliki bentuk.

Terdengar suara tumbukkan dari belakangnya, berasal dari hantaman yang diberikan si pembawa acara kepada Jenderal Wagner. Dengan wajah bersimbah darah dan kondisi mengenaskan, Wagner masih berusaha melawan. Tanpa berpikir, Wulfer menyambar leher si pembawa acara dan menarik lepas kepalanya dari tubuhnya.

Harus... keluar... Wulfer mengamati sekeliling dengan pandangan yang semakin memburam. Pasukan Wagner telah kalah dan sang Jenderal separuh pingsan. Ketika Wulfer hendak menghampiri Rutger yang tergolek di dasar panggung, dia merasakan sesuatu menancap ke punggungnya.

Dia berbalik, mendapati si pengawal tamu misterius telah menancapkan sesuatu. Pengawal pucat itu menarik lepas sebuah jarum panjang yang terhubung pada tabung berisi cairan kehijauan, dan Wulfer merasakan tubuhnya sempoyongan.

Wulfer ambruk ke lantai. Tak kuasa bergerak maupun berpikir.

Satu-satunya hal yang dilihatnya sebelum pandangannya menggelap, adalah sepasang sepatu kulit mengilap yang melangkah menghampirinya, dan kelebatan jubah sewarna darah.

Pria misterius itu berlutut di dekat telinga Wulfer.

"Kau seharusnya tidak bertindak ceroboh."

🌒

A/N:

Wulfer itu bawaannya temperamen & serba spontan. Jadi... Pak Misterius, kalo bapak nyuruh Wulfer supaya 'tidak bertindak ceroboh', itu kayak... menentang takdir dan kehendak saya, hehe.

Leave votes and comments, jangan lupa kunjungi seri cerita Leanders lainnya!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats by Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout by me :)
3. Eberulf: The Black Fang by Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand by Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell by ZiviaZee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top