1
🌒
SEGALANYA nampak putih.
Itu bukan putih yang menyenangkan. Bukan yang cerah seperti butiran menyilaukan yang melapisi tanah di pagi hari setelah badai salju berlangsung semalaman.
Itu adalah putih yang mencekam. Perpaduan suram dari lapisan tanah keras dan berbatu, pepohonan pucat berbatang kurus dan dahan-dahan yang tak berdaun, serta kabut tebal yang menggantung rendah di udara. Langit sewarna susu keruh melatarbelakangi seluruh pemandangan itu, tak memberi petunjuk apakah matahari masih bertengger tinggi di suatu tempat di atas sana, atau hendak tenggelam sewaktu-waktu.
Hutan itu memberi kesan seperti hutan mati, pada kebanyakan situasi.
Namun kali itu berbeda.
Sebuah teriakan kesakitan membelah udara, mengoyak keheningan dengan begitu tak berperasaan.
"Tidak!" pekik sebuah suara lain.
Warna merah menodai tanah. Geraman rendah dan dalam terdengar dari suatu tempat, tersembunyi di balik kabut. Bunyi napas itu berat dan mendengus-dengus. Dekat dan mengancam.
Kabut tersibak, menampakkan sebentuk moncong besar keperakan. Moncong itu membuka... memamerkan taring-taring tajam yang berukuran lebih besar dari jemari manusia. Dari sela-selanya menghembus asap, berasal dari napas panas milik sang makhluk... bukan, monster.
Sosok monster itu akhirnya muncul seutuhnya. Berkepala serigala dan bertubuh manusia. Ukurannya dua kali manusia dewasa. Seluruh tubuhnya tertutupi bulu lebat hitam, dengan lengan-lengan dan kaki-kaki kekar, cakar-cakar besar tajam dan melengkung, serta sepasang mata yang menatap mangsa di hadapannya dengan bengis.
Menatapnya.
Entah sejak kapan noda merah itu semakin meluas. Dan entah sejak kapan dia tak lagi sanggup menggerakan badannya. Pandangannya memburam. Dia hanya mampu merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat dan lengan-lengan kurus yang mendekapnya erat.
"Kumohon Ulf... tetap bersamaku...!" suara familiar itu kembali terdengar.
Monster serigala itu mengangkat satu tangannya ke udara.
"Ulf...!"
Cakar-cakar terkembang di udara.
"Ulf...!"
Dia tak mampu lagi mempertahankan kesadarannya.
Cakar-cakar itu akhirnya menebas.
"WULFER!"
Seruan itu menariknya ke kesadaran. Suara bernada khawatir yang sudah sangat tak asing. Suara yang sama dengan yang terus-menerus memanggilnya di hutan mengerikan itu.
Namun, saat ini tidak ada hutan dengan kabut yang menggantung. Tidak ada monster bermoncong perak. Tidak ada darah yang menggenang. Yang nampak dalam area penglihatannya adalah wajah cemas seorang anak laki-laki berambut pirang tebal yang tengah menunduk menatapnya, berlatar belakang langit bersemburat jingga dengan pucuk-pucuk pepohonan yang bergoyang tertiup angin.
"Wulfer. Sebentar lagi malam tiba." bocah pirang itu memberitahu.
Wulfer mendudukkan diri, kedua tangannya mencengkeram rerumputan di bawahnya. Dia masih merasakan jantungnya berpacu dengan sangat cepat dan napasnya satu-dua. Tubuhnya berkeringat, dan dia dapat mendengar darah berdesir kuat di telinganya.
Mimpi. Mimpi sial itu lagi.
"Eber..." Wulfer menyisiri rambut hitamnya dengan jemari yang gemetar, menyingkirkan helaian yang menempel lepek di kepala. Suaranya serak dan lelah ketika dia bertanya, "...apa yang kaulakukan di sini?"
"Sebentar lagi malam tiba." bocah pirang yang dipanggil Eber itu mengulang. Sepasang mata merah Eber yang identik dengan milik Wulfer itu menatapnya dengan sorot penuh arti, "Malam ini purnama."
Wulfer tersadar bahwa dirinya pastilah tertidur terlalu lama di luar sini hingga adiknya harus menyusulnya. Dia melihat matahari semakin tenggelam di garis horizon. Dia tidak punya banyak waktu, "Aku tahu. Kembalilah ke dalam rumah."
"Ulf..." Eber memanggil Wulfer lagi seraya berlutut di sampingnya, tak peduli tanah mengotori celana dari setelan abu-abunya, "...apakah mimpi itu lagi? Hutan Putih?"
Wulfer hanya memalingkan wajahnya.
Eber bergumam ragu, "Kau akan baik-baik saja...?"
"PERGILAH!" Wulfer berseru marah.
Eber terdiam.
"Aku tahu apa yang harus kulakukan! Cuma... butuh waktu sebentar." geram Wulfer.
Eber hanya menatap Wulfer selama beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dan berbalik pergi.
Wulfer kembali merebahkan diri di atas rerumputan, menutupi kedua matanya dengan lengan kiri. Waktu-waktu menjelang purnama adalah yang terburuk. Emosi-emosi tak terkendali menyergapnya dan membuatnya kacau balau. Dia kehilangan kendali atas dirinya dan dia membenci itu.
Ya! Kau pantas membenci dirimu sendiri, Wulfer!
Wulfer menggeleng kuat-kuat, bangkit dengan cepat dan mengepalkan kedua tangannya.
Persetan kau, monster.
Mendadak, telinganya menangkap bunyi berkeresak dari balik semak-semak di kejauhan. Wulfer mengendus udara, merasakan aroma khas yang dikenalnya.
Kelinci.
Wulfer mengarahkan sepasang mata merahnya ke arah semak-semak itu. Jaraknya cukup jauh. Tidak ada dedaunan yang bergerak di sana. Hanya suara dan aroma yang sangat samar, yang normalnya tidak akan tertangkap indera manusia biasa.
Kejar!
Koyak!
BUNUH!
"DIAM!" Wulfer mengayunkan tinjunya ke batang pohon terdekat dan menghantamnya, membuat pohon bergetar dan burung-burung di puncaknya beterbangan dengan panik. Wulfer memejamkan mata dan mengatur napas, dadanya naik-turun dan rahangnya mengatup rapat.
"Diam..." dia mengulang dengan lebih pelan, kepada dirinya sendiri.
Setelah memungut flat cap-nya yang tergeletak di tanah di samping tempat berbaringnya tadi, mengenakannya, dan berusaha mati-matian mengabaikan bunyi-bunyian berkeresakan dari arah semak-semak, Wulfer berjalan semakin ke dalam hutan, ke arah yang berlawanan dengan yang diambil Eber.
Wulfer terus berjalan, sesekali mendongak menatap langit yang menggelap dengan waswas, hingga akhirnya tiba di sebuah pintu baja berbentuk bundar yang nyaris tersembunyi di balik tumpukan dedaunan kering di tanah. Wulfer menyingkirkan dedaunan itu dan tangannya menemukan sebuah tonjolan berbentuk lingkaran yang memiliki gambar mata panah pada pusatnya. Di sekeliling lingkaran itu terdapat puluhan simbol aneh yang acak, berlapis, dan sulit dipahami, tetapi tidak bagi Wulfer. Dia memutar lingkaran itu hingga mata panahnya menunjuk ke simbol-simbol tertentu dengan berurutan.
Tikus
Serigala
Jam pasir
Bunga
Api
Terdengar bunyi mesin-mesin bergeser. Wulfer meraih pegangan pada pintu yang tebal dan berat itu, membukanya, lalu memanjat masuk. Sebelum menutup pintu, dia mendongak ke arah langit, melihat matahari yang baru saja tenggelam, kemudian menutupnya. Bunyi geseran-geseran kembali terdengar, yang diakhiri dengan bunyi klik keras di atas kepalanya, mekanisme rumit yang diciptakan khusus agar pintu mengunci otomatis dari luar ketika ditutup.
Wulfer memanjat turun tangga di dinding dan mendarat menghadap ke sebuah terowongan batu yang panjang dan tak memiliki penerangan sama sekali. Tetapi mata Wulfer dapat melihat dalam kegelapan, jadi dia dapat berjalan tanpa masalah.
Semakin dekat dengan tujuannya, Wulfer menyadari nyeri di sekujur tubuhnya semakin menjadi. Keringat mengaliri pelipisnya dan jantungnya berdenyut dengan kecepatan abnormal sampai-sampai dia ngeri sendiri.
DEG!
"Argh...!"
Wulfer terjatuh separuh berlutut, satu tangannya mencengkeram jantungnya yang terasa nyeri dan panas, satu tangannya yang lain bersandar pada dinding batu yang dingin. Anak laki-laki itu menggeram frustasi dan berupaya bangkit, "Verdomme!"
Kemudian, dia akhirnya tiba di sebuah pintu baja lengkung dengan sesosok pria tua berdiri di ambangnya. Pria itu mengenakan jubah panjang di luar setelan necis hijau tua. Dia berdiri agak timpang, dengan satu tangan bertumpu pada sebuah tongkat kayu berukir yang tampaknya dibuat khusus. Wajahnya tirus namun elegan, dengan garis-garis wajah tajam, tulang pipi tinggi, dan hidung yang agak bengkok. Sepasang mata dinginnya menunduk menatap Wulfer, monocle yang dikenakannya berkilat tertimpa cahaya temaram dari lampu minyak yang menerangi ruangan di belakangnya.
"Kau terlambat." ujarnya. Suaranya kaku. Dalam. Otoriter.
"Aku... ketiduran..." Wulfer menyahut susah payah di tengah-tengah rasa sakit dan badai yang terjadi di kepalanya.
Pria tua itu mengetukkan tongkatnya ke lantai batu ruang bawah tanah dengan keras, menimbulkan gaung menyeramkan yang memantul di dinding-dinding batu. Matanya menyipit berbahaya.
"Kita tidak mengambil resiko."
Wulfer balas menatap pria itu dengan sorot menantang, tak peduli dirinya pastilah terlihat menyedihkan saat ini.
"Kau yang tidak mengambil resiko, Vader."
Wulfer merasakan setitik kepuasan ketika mengamati kemarahan mewarnai ekspresi si pria. Kedua cuping hidung pria itu mengembang, bibirnya terkatup rapat.
Ya, itu benar! Aku bisa saja mengacaukan hidupmu, pria tua!
"Masuk." titahnya.
Wulfer berjalan memasuki ruangan melewati si pria, sengaja menyenggolkan pundaknya ke tubuh pria itu sekasar mungkin. Dia mendengar pintu baja di belakangnya ditutup dan berbunyi klak-klik pelan.
Ruangan bawah tanah itu tak memiliki bentuk, karena dibangun dengan mengikuti struktur batu di sekitarnya. Juga tidak memiliki perabot apapun selain sebuah lampu minyak yang menempel di dinding dan sebuah kursi kayu. Ada satu lagi pintu baja di sisi seberang, yang mengarah ke lorong lain.
Yang mencolok dari ruangan itu adalah keberadaan sebuah ceruk besar yang diberi jeruji-jeruji sehingga tampak seperti penjara.
Si pria tua membuka pintu penjara itu dan Wulfer terhuyung masuk. Dia meraba-raba sakunya. Tidak ada. Di mana benda itu?!
Wulfer sudah tak sanggup berkonsentrasi pada apapun yang terjadi di sekelilingnya. Ruangan di sekitarnya mengabur, ditenggelamkan gelegak amarah, kebisingan, dan rasa nyeri yang luar biasa. Jutaan suara-suara yang tidak mampu diuraikan satu persatu memenuhi pendengarannya. Derak api. Detak jantung dan desiran darah yang bukan miliknya. Bunyi kunci diputar, besi-besi yang beradu memekakkan telinga. Suara jangkrik. Kepakan sayap. Cicitan tikus. Helaian rumput saling beradu. Gesekan debu.
DEG!
"UUARRRGGH!" Wulfer roboh pada lututnya, kedua tangannya bertumpu ke lantai. Sekujur tubuhnya gemetar hebat dan panas menghembus keluar dari sela-sela giginya, gigi yang perlahan membesar dan meruncing, diikuti bentuk wajah dan hidung yang berubah menjadi seperti moncong binatang, punggung yang melebar dan melengkung, lengan-lengan dan kaki-kaki yang memanjang, kuku-kuku yang berubah menjadi cakar-cakar tajam mengerikan. Seiring perubahan itu, sekujur tubuh Wulfer ditumbuhi bulu hitam legam, menjalar mulai dari kaki hingga ke puncak kepalanya, di mana sepasang telinga runcing berada.
Si pria terduduk di kursi luar penjara, mengamati semua itu dalam keterpukauan. Sepasang matanya yang tadi bersorot dingin telah berubah sepenuhnya. Dia menatap proses metamorfosis itu dengan binar kekaguman bercampur antusiasme yang menyala-nyala.
Kemudian proses itu akhirnya berhenti. Selama beberapa saat, ruangan diisi keheningan mencekam.
Sosok Wulfer menghilang digantikan makhluk berbulu hitam, berkepala serigala dan bertubuh manusia. Monster itu perlahan bangkit, besar dan menjulang hingga nyaris menyentuh langit-langit ruang bawah tanah, dan nampak seperti sesuatu yang melangkah keluar dari mimpi buruk.
Satu-satunya kesamaan antara monster hitam itu dengan Wulfer adalah warna mata mereka.
Merah seperti darah.
Pundak makhluk itu naik turun, bernapas berat akibat perubahannya. Asap menguar dari sekujur tubuh dan sela-sela giginya, seolah melepaskan panas. Cakar-cakarnya meregang dan mengepal dalam gerakan lambat dan ragu, seolah sang monster tengah menguji kekuatannya.
"Luar biasa indah." bisik si pria tua dengan khidmat.
Perhatian monster itu teralih pada sosok yang duduk di atas kursi. Monster itu menyeringai murka. Lalu diiringi geraman rendah menggetarkan, monster itu menerjang ke arah si pria tua.
Detik ketika tubuhnya menyentuh jeruji penjara, sang monster terhuyung mundur dan menggerung kesakitan. Kulit yang terkena permukaan jeruji seketika berasap, seperti terkena timah panas.
Pria tua itu bangkit dari kursinya. Sudut bibirnya naik mengejek.
"Kau lupa ini perak, Nak?"
Sang monster berdiri di sudut terjauh, matanya mengawasi pergerakan si pria dengan awas. Si pria berjalan terpincang-pincang mendekati jeruji, untuk dapat mengamati luka bakar itu dengan lebih baik.
Namun luka-luka di tubuh monster itu telah lenyap tak bersisa. Pulih nyaris seketika.
Aldert Van Leanders berdiri menatap manusia serigala hitam itu dengan seringaian puas terkembang lebar di wajahnya.
"Tak peduli berapa puluh tahun menyaksikannya, kau benar-benar sebuah ciptaan yang mengagumkan, Wulfer Van Leanders."
Dan lolongan keras yang membuat bulu kuduk berdiri kerap terdengar di sepanjang malam purnama itu.
🌒
A/N:
Halo. Lama nggak bersua di Wattpad :')
Terima kasih sudah berkunjung di cerita baruku yang berjudul Wulfer : The Black Snout [Leanders Series].
Leanders Series adalah sebuah proyek kolaborasi menulis pertamaku. 'Leanders' sejatinya merupakan nama belakang dari lima kakak-beradik yang memiliki keunikan masing-masing, dan mereka akan menjadi karakter-karakter utama dari seri ini. Tiap karakter memiliki kisah berbeda yang akan diceritakan secara terpisah, namun tetap memiliki plot dasar yang sama.
Wulfer adalah tokohku, salah satu dari lima kakak-beradik Leanders . Dan aku menceritakan kisahnya di akun ini. Kalau kalian penasaran dengan kisah empat tokoh Leanders lainnya, kalian bisa cek empat penulis hebat yang nama & judul ceritanya akan aku cantumkan di bagian bawah.
Aku merasa terhormat bisa bekerjasama dengan mereka. Aku berterimakasih karena telah diberikan kesempatan untuk bergabung dengan proyek exciting ini. Dan sejujurnya, ini pertama kalinya aku menulis 'novel' dengan tenggat waktu, jadi aku harus temenan sama sesuatu yang namanya insecurity, hahaha.
Tiap chapter kemungkinan tidak akan di-update secara reguler, karena draft masih belum sepenuhnya selesai. Dan sedikit curhat, cerita ini ditulis di tengah-tengah 'keriuhan' kehidupan nyata. Tapi aku berusaha keras supaya cerita ini nggak akan menjadi satu lagi cerita yang bikin kalian menghela napas panjang karena menggantung tanpa jelas kapan bakal selesainya. Aku sendiri bukan penggemar digantungin penulis, jadi... fingers crossed.
Jangan lupa mampir ke seri Leanders bersaudara lainnya! Mari bertemu dengan si sulung Asmosius ... pengendali tikus disertai otak jenius, Wulfer sang werewolf, Eberulf sang cacat yang mengawasi segala langkah maju dunia, Debora dengan tangan leburnya dan Ignicia si bungsu yang dijuluki sebagai gadis dari neraka.
Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee
Catatan tambahan:
Terima kasih khusus untuk Ralorra sudah menjadi penggagas ide Leanders Series & ZiviaZee untuk desain sampul & banners yang mengkeren :'D
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top