The Carnation of Bloody

Penulis: Jiya_Uyee
Keyword: Sekarang, Mau, Melihat, dan Anyelir

◇ ○ ◇

"Tolong! Tolong aku!"

Suara jerita minta tolong itu sukses mengusik indra pendengaranku. Meski yang kudapati hanya pepohonan tinggi yang mengelilingiku, tapi aku senang karena ada orang lain di sini. Kulangkahkan kaki secepat mungkin, walau aku tahu aku tak bisa bergerak lebih cepat lagi.

Baru saja 20 langkah kuambil, tapi napasku sudah ngos-ngosan. Rasanya aku baru saja lari maraton tanpa diberi kesempatan untuk minum. Napasku yang naik turun dengan cepat membuatku berpikir negatif jika aku akan mati setelah ini.

Mataku melebar menyaksikan perempuan yang terikat di sebuah pohon beringin. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya, jelas sekali jika perempuan itu tengah merintih kesakitan. Aku berniat untuk mendekatinya dan menolong, namun sebuah pisau yang entah dari mana tiba-tiba melesat tepat ke arah dada perempuan tersebut.

Aku terpekik ketakutan manakala perempuan tersebut langsung berubah menjadi wujud manusia yang mengerikan. Wajahnya rusak parah, kulitnya seperti baru saja diparut oleh aspal jalan, bahkan aku yakin jika hidung perempuan itu sudah tak ada, ditambah rongga mata kirinya yang terlihat hampa. Entah kemana perginya bola mata itu.

Badanku bergetar kala dia berjalan semakin mendekat, dan aku berusaha untuk berjalan mundur walau rasanya sulit karena ketakutan melihat wajah ngeri itu. Senyum seringai yang tercipta dari  bibir sobek perempuan mengerikan itu membuatku diam terpaku.

Aku ingat pesan ibuku, di mana pun aku berada, jika melihat sosok cantik berubah menjadi layaknya setan, aku harus menacapkan setangkai anyelir ke matanya. Tapi sekarang aku tidak---eh, sejak kapan ada setangkai anyelir di tanganku?

Mengabaikan perkara bunga anyelir, tepat saat aku menghadap ke depan, tangan perempuan mengerikan itu sudah mau menyentuh leherku. Aku yang panik dan bercampur ngeri karena berhadapan dengannya, refleks tanganku bergerak untuk menancapkan setangkai anyelir ke matanya.

Jleb!

Perempuan itu seketika menjerit keras lalu terduduk, memberikan celah padaku untuk kabur. Nahas, kakiku malah dipegang kuat oleh perempuan yang sudah tak dapat melihat lagi.

"Aaaaa .... tolong!" jeritku kencang dalam kepanikan.

Mataku terbuka lebar, tubuhku langsung memasang posisi duduk dengan napas pendek-pendek akibat mimpi barusan. Keringat sebiji jagung membanjiri area pelipisku. Netraku seketika mengedar ke sekeliling guna memastikan jika ia bukan sedang di tengah hutan dan berhadapan dengan perempuan mengerikan itu lagi.

Gelas berisi air putih yang ada di atas nakas langsung kuraih dan kuteguk hingga menyisakan airnya yang tinggal setengah. Aku langsung terkejut ketika pintu kamarku dibuka oleh ibuku secara tiba-tiba.

"Mimpi lagi?" tanya ibuku yang sudah duduk di atas kasurku.

Aku hanya mengangguk. Ini sudah menjadi mimpiku yang kelima semenjak aku pindah rumah. Entah kenapa setiap bulan pasti aku memimpikan hal yang serupa, melihat sosok mengerikan di mimpi dan harus menancapkan setangkai anyelir di matanya.

"Tidak apa-apa, jangan takut. Asal kamu melakukan seperti yang ibu katakan, semua akan baik-baik saja," ucap ibuku sembari mengusap lembut rambutku.

"Tapi kenapa mimpi Adiba aneh, Bu? Adiba kaya lagi nyerang setannya beneran?" Dan yang jelas mimpiku selalu datang setiap bulan.

"Tugasmu hanya melakukan apa yang ibu suruh, jangan banyak tanya. Sekarang, kamu tidurlah."

"Tapi, Bu, Adiba---"

"Tidur!" bentak ibuku. "Ibu bilang tidur, ya tidur!"

Aku terdiam mendengar bentakan ibu. Dengan pelan ku anggukan kepalaku, lalu menarik selimut dan memejamkan mata. Selama mata terpejam, aku dapat mendengar helaan napas dari ibu yang kemudia ada suara langkah kaki menjauh, disusul suara pintu tertutup.

Sialnya aku tidak berhasil kembali tidur, dan malah kembali membuka mata. Kulirik jam yang masih menujukkan pukul 12 malam kurang seperempat menit. Masih terlalu lama untuk menyambut datangnya esok pagi.

Kupaksa kembali mataku untuk terpejam, diikuti gerakan tubuh untuk mencoba mencari posisi yang nyaman agar mata ini lekas benar-benar terpejam. Maksudku benar-benar tidur. Kalau hanya terpejam, sekarang pun sudah ku lakukan.

Tunggu, kenapa tiba-tiba hidungku menangkap bau kemenyan yang dibakar? Otomatis rasa penasaranku terdorong, menyebabkan mataku langsung terbuka, mencari tahu dari mana asal bau kemenyan tengah malam begini.

Tapi, kenapa kepalaku pusing?
Kenapa mataku jadi ngantuk begini?
Rasanya ... rasanya aku melihat ada seseorang yang masuk ... tapi pada akhirnya semua yang tersisa hanya gelap dan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

***

Entah apa yang terjadi padaku, tapi untuk yang kelima kalinya, aku bangun jam 12 siang. Ah, aku seperti orang simulasi mati. Tidur tanpa ingat bangun.

Seperti manusia normal, jika sudah setengah hari tak makan maka perutku juga terasa lapar. Dan di sinilah aku sekarang berada, di meja makan untuk mengambil jatah makanku yang biasanya sudah disiapkan oleh ibu.

Sepiring nasi dengan lauk tempe goreng dan tumisan sawi sudah tersaji di atas meja makan, memancing hasrat untuk segera memindahkan makanan tersebut ke dalam perut. Di sampingnya ada segelas teh anyelir yang harus aku habiskan setiap harinya.

Jujur, aku benci rasanya. Apalagi warnanya yang merah, mengingatkanku pada darah. Menghirup aromanya saja aku langsung ingin muntah.

Aku melihat ke arah jendela saat suara canda tawa rombongan anak sekolah lewat di depan rumahku. Aku suka sekali memandangi mereka ketika berangkat dan pulang sekolah. Melihat mereka, membuatku berambisi untuk sembuh dari penyakit anehku ini. Penyakit yang entah bagaimana caranya membuatku tidak boleh lelah dan terpapar sinar matahari lama-lama. Jika itu terjadi, maka aku akan pingsan dan tubuhku menjadi sakit-sakitan.

Meski begitu, ibuku tak pernah membawaku ke rumah sakit. Iya, aku tahu jika ibuku yang seorang janda susah payah banting tulang demi menghidupiku. Karena itu, ibu memilih mengobatiku secara tradisional. Ibu kerap memintaku untuk meminum teh anyelir sebagai alternatif pengobatan penyakit anehku, dan akibatnya terpaksa setiap hari aku harus menahan mual ketika minuman itu melewati kerongkonganku.

Saat ingin kembali ke kamar, kakiku entah kenapa malah memilih diam di depan pintu kamar ibu. Desakan rasa penasaran akibat ibu tak pernah mengizinkanku masuk ke kamarnya sukses membuatku melanggar aturan itu. Kini kakiku berhasil menjejaki kamar yang tak terlalu luas itu.

Satu hal yang membuatku bingung, netraku tak sengaja mendapati lima lembar foto di atas nakas. Foto tersebut memang bukan orang yang kukenal tapi foto itu adalah orang-orang yang ada di mimpiku. Orang-orang yang mendapat penyiksaan random dan berubah menjadi makluk yang mengerikan, yang pada akhirnya harus ia tusuk dengan setangkai anyelir pada matanya.

Aku takut, tapi aku juga bingung. Sebenarnya foto di nakas itu foto siapa dan untuk apa? Kenapa ibu menyimapan foto orang asing di kamarnya?

"Aku harus tanya sama ibuk kalau beliau pulang!" ucapku berjalan menuju ke luar. Tapi langkah kakiku terhenti tepat di dekat kasur dimana ada ada sesuatu yang mengusik pemandangan. Sebuah bunga anyelir dengan tangkai berlumur darah membuatku bergidik ngeri.

Secepat kilat aku langsung berlari keluar dari kamar ibu, menuju kamarku sendiri dan membanting tubuh ke kasur. Rasa takut itu masih menjalar di tubuhku. Aku takut melihat bunga anyelir itu. Aku takut dengan darah yang melumurinya. Siapa yang tega melakukan peneroran semacam itu?

Aku menangis ketakutan di bawah gulungan selimut. Ibu belum pulang dan aku hanya sendiri di rumah. Takut. Aku sangat takut.

***

Gubrak!

Suara benda jatuh membuatku yang tengah menyisir rambut langsung menghamburkan diri ke luar kamar. Ku coba memanggil-mangil nama ibu, tapi tak ada sahutan. Hingga suara orang terbatuk dari kamar ibu membuatku langsung berlari ke sana.

Mataku membola menyaksikan ibu sedang terbatuk-batuh dengan darah yang terus menetes dari mulutnya di dekat nakas, ada sebuah vas kosong dari kayu yang tergeletak di lantai. Sepertinya, itulah bunyi yang kudengar tadi.

Seketika aku langsung menghampiri beliau dengan air mata yang sudah meluruh ke pipi. "I-ibu kenapa?" Dadaku semakin terasa sesak ketika ibu menjatuhkan tubuhnya ke pangkuanku.

Perempuan yang paling aku sayangi itu tersenyum lembut. "Sayang, dengerin ibu, ya ..." ucapan ibu tersendat karena ia kembali terbatuk. " ... sekarang kamu keluar dan kunci kamar ibu. Jangan pernah masuk apa pun yang terjadi."

"Ke-kenapa, Bu?" tanyaku sembari menghirup ingusku kuat-kuat akibat menangis.

"Karena ibu akan pergi selamanya. Ibu sudah menumbalkan diri ibu demi kesembuhan dan kesejahteraan kamu. Setelah ibu pergi, kamu akan menemukan kebahagiaanmu, Nak."

Omong kosong macam apa ini? Tidak mungkin ibu melakukan hal konyol demikian. Pasti ibuku sedang bercanda.

"Apa sih, Bu? Ibu sedang bercanda, ya?" tanyaku sembari tertawa, tapi tertawa yang kupaksa.

"Coba lihat ... sesajen di dekat pintu."

Aku langsung menoleh ke belakang, mendapati sebuah nampan yang berisi bunga 7 rupa, nasi yang dibentuk bulat-bulat, beberapa jenis sayur, yang semuanya di bungkus dengan daun pisang dengan melipat ujung yang satu dan mebiarkan ujung yang lain terbuka. Di depan sesajen tersebut ada kemenyan yang masih menyala namun sudah mulai padam karena bagian kemenyan sudah nyaris terbakar semua. Di samping kanannya ada 6 tangkai bunga anyelir berwarna merah darah dan 6 buah foto yang dijajarkan.

"Sebentar lagi dia datang, jadi kamu harus pergi. Dan ingat ... kamu tidak boleh mengacau sesajen itu sampai kepergian ibu genap seminggu."

Aku menggeleng kuat. Aku tidak percaya dengan semua ini. Ibu pasti berbohong, bantahku dalam hati.

"Semoga kamu akan bahagia setelah ini, Nak."

"Nggak! Kebahagiaanku cuma sama ibu!" pekikku lalu memeluk ibu erat-erat. Aku tidak ingin kehilangan ibu sama sekali.

Ibu menggeleng dalampelukan. "Kamu sakit karena perbuatan ibu yang bersekutu dengan jin, maka ibu menumbalkan diri untuk kesembuhan kamu, Nak. Ibu tahu kamu melihat anyelir berdarah di kamar ibu, kan?" Aku langsung melepaskan pelukan lalu mengangguk. Tak peduli ibu tahu dari mana. "Itulah tanda jika ibu akan menjadi tumbal untuk makluk si dukun."

Tangisku semakin menjadi ketika mata ibu sesekali terpejam, seakan menahan mata agar tak terpejam adalah hal yang berat.

"Bahagia, ya sayang!" lirih ibuku terakhir kalinya.

Duniaku terasa terhenti saat melihat ibu memejamkan matanya, kurasakan detak jantungnya sudah tak lagi terasa. Bahkan saat tangan gemetraku mendekat ke arah hidungnya, tak ada lagi ku rasa hembusan hangat yang keluar dari sana.

Tubuhku bergetar hebat, tangis kerasku memecah seketika. Kulihat sebuah sesajen di lantai di dekat pintu, kemenyannya sudah padam, menyisakan asap yang mengepul di atasnya.

Aku muak dengan semua ini, aku hampiri sesajen yang ada di lantai. Kuserak dan kukacaukan semua isi sesajen yang ada di dalam nampan berbentuk bulat itu. Bahkan bunga-bunga anyelir yang ada di sana aku patahkan dan aku injak-injak hingga tak berbentuk.

Saat aku berbalik pemndangan mengerikan menyapa netraku. Entah sejak kapan sosok makluk aneh dengan badan besar, berbulu hitam seperti beruang, dan kuku panjangnya tengah mencengkram kepala ibuku itu hadir dan memunggungi keberdaanku. Aku tahu bunyi memilukan itu, bunyi yang dikeluarkan dari mulut seperti sedang menyantap hidangan. Dan kini, ibuku menjadi hidangannya karena ibu adalah tumbal terakhir untuk kesembuhanku.

Meski tubuhku bergetar hebat dengan jantung yang berdegup kencang, aku harus pergi jika tak ingin dimakan oleh makluk seperti itu. Walaupun aku tahu, jika aku bukan tumbalnya.

Sekuat tenaga aku berlari menuju kamar dan menguncinya. Tujuannku hanya satu, bersembunyi di balik selimut. Tapi, jangankan ingin bersembunyi, mendekat ke kasur saja aku tak mau.

Rasa panik yang makin menjadi membuatku langsung terduduk sembari memandangi anyelir berdarah di atas kasur. Detik berikutnya tubuhku langsung terbatuk hebat, darah keluar dengan begitu banyak dari mulutku. Rasanya ajalku benar-benar sudah dekat sekarang.

Hidungku mencium aroma anyelir yang sangat kuat, menyebabkan tubuhku langsung limbung begitu saja. Dalam pandangan yang mulai mengabur, kulihat sosok hitam berbulu yang tengah menyeringai kepadaku.

"Ini akibatnya karena kamu merusak sesajen untukku!"

🌟✨🌟

Sintya buru-buru menutup buku berjudul The Carnation of Bloody yang baru saja ia baca saat tiba-tiba seseorang membuka pintu ruang kelas dengan keras. Perempuan dengan seragam putih abu-abu dan bando yang melingkar di atas kepalanya, kini tengah berdiri di ambang pintu.

Jantungnya berdegup cepat saat tahu siapa orang yang datang, dialah pemilik asli buku yang seharusnya tak ia baca. Tapi karena perempuan itu mengatakan buku itu mendapat kutukan, ia jadi semakin penasaran untuk membacanya. Percaya atau tidak, teman berbandonya itu mengatakan hal aneh, jika nenek buyutnya adalah dukun dan buku yang baru ia baca adalah buku terlarang untuk dibaca.

Buku hasil curian itu sengaja Sintya simpan di tas dan akan dibaca saat temannya sedang rapat OSIS. Namun, ia tak menyangka jika temannya akan datang lebih cepat dari dugaannya. Pintu yang sengaja ditutup pun demi keamanan saat ia membaca.

"Sin! Kamu ambil buku The Carnation of Bloody punyaku?" cerca perempuan yang bernama Calysta.

Buru-buru Sintya menutupi buku yang baru ia baca dengan tangannya. Namun gelagatnya sudah keburu terbaca oleh temannya. Dengan cepat buku itu sudah berpindah tangan pada Calysta.

"Kenapa kamu baca, Sin?" marah Calysta sembari memukul meja.

Sintya langsung menunduk, terlalu takut untuk kontak mata dengan temannya secara langsung. "A--aku cuma penasaran aja kok. Tapi aku belum sempat baca," ucap Sintya bohong. Jujur, ia takut jika Calysta akan marah besar padanya.

Calysta menghela napas. "Ya udah, deh. Tapi lain kali jangan baca, ya!" tandasnya.

Sintya mendongak. "Siap!" ucapnya mrmberi hormat dengan senyum lebar yang ia pajang. "Tapi, kamu kok cepet rapatnya?" keponya.

"Aku nggak jadi rapat OSIS, jadi kita langsung pulang aja!" ajak perempuan berbando itu.

Sintya tentu merasa lega karena akhirnya Calysta tak marah padanya. Bahkan sebelum pulang, perempuan dengan hiasan kepala bando itu malah mentraktirnya makan mi ayam di warung kesukaannya.

Senyum lengkung yang sebelumnya tercipta harus pupus saat Sintya masuk ke dalam kamarnya. Dimana tepatnya di atas kasurnya yang bersprei putih, ada setangkai anyelir yang teronggok di sana.

Tubuhnya memaku di tempat ketika menyadari sesuatu yang ganjil dari bunga tersebut. Bunga anyelir tersebut  ... berdarah.

-Tamat-

◇ ○ ◇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top