8 | panas dalam

"Oh, ya udah. Oke." Dengan mudahnya, Bimo mengoper pacarnya ke Zane.

Zane bengong.

Sebenarnya hubungan mereka itu gimana, sih? Sudah susah-susah bawa pacar ke Bali, bukannya memanfaatkan momen sebaik mungkin supaya bisa bareng ke mana-mana, ini si cowok dengan pasrahnya malah iya-iya saja membiarkan pacarnya meminta pindah ke mobil Zane!

Dan kemudian tanpa menunggu dipersilakan, Sabrina sudah masuk duluan dan duduk di jok belakang, membuat Zane melongo dua kali.

"Udah bilang Mbak Iis?" Zane menanyai, ikut-ikutan pasrah.

Sabrina malah pasang tampang bego. "Kenapa harus? Ini mobil lo, kan?"

Ya Mbak Iis kan sengaja minta Agus yang semobil sama Bimo biar dia bisa sama gue dan jauh-jauh dari elo, Oneeeng! Zane ingin berteriak di depan mukanya, tapi apa daya, dia bukan tukang adu domba.

Benar saja, Iis yang nggak tahu apa-apa karena sibuk foto-foto sama Regina langsung tampak bingung dan tidak senang saat membuka pintu di sebelah Zane dan mendapati Sabrina sudah ada di dalam.

Ada jeda beberapa saat setelah dia membuka pintu hingga kemudian mendudukkan bokongnya di jok. "Pindah ke sini, Sab?" tanyanya retoris. Mukanya datar banget, sama sekali nggak jago menutupi perasaan.

"Hooh." Yang ditanya juga nggak peka.

Suasana canggung begitu terasa sepanjang jalan dari parkiran rumah makan ke tempat yang dituju. Iis yang tadinya bawel, jadi diam seribu bahasa, membiarkan Sabrina mengambil alih semua topik obrolan, yang kemudian didominasi sahutan ala kadarnya oleh Zane, sampai ketika melewati turunan tajam yang membuat ketiganya diam dan fokus memperhatikan jalan.

"Pake gigi rendah biar remnya nggak cepet panas," Zane memberitahu Sabrina.

Sabrina mengangguk mengiyakan, tampak excited, bertolak belakang dengan Iis yang membatu sambil merapalkan doa di tempat duduknya.

"Kita tukeran tempat di mana, nih?"

"Nunggu agak landai."

Sekali lagi, ketiganya diam ketika melewati tanjakan curam. Yang pertama berhasil lolos sekali percobaan, yang kedua dan lebih curam, butuh dua kali.

Zane menjelaskan perbedaan mode 4H dan 4L ke Sabrina sebelum kemudian bermaksud bertukar posisi karena sudah memasuki area yang dirasa aman: jalannya cukup lebar, berkelok-kelok tapi tidak terlalu naik turun.

Iis yang baru ngeh, segera menghentikan Sabrina sebelum beranjak sedikitpun dari tempat semula.

Gila aja Sabrina mau menyetir di tempat curam begini? Mending kalau ban mereka cuma terbenam di pasir. Kalau terguling gimana?

Iis nggak benci off-road, tapi kalau Sabrina yang menyetir, lain cerita. "Gue turun di sini aja!"

Sabrina melongo. "Apaan sih, Mbak?"

"It's okay. She can handle it." Zane segera menengahi.

Tapi Iis keukeuh. "Terserah. Tapi gue mau turun."

"Ya masa lo mau ditinggal sendirian di sini?"

"Don't worry. I'll take care of myself."

Asli, Zane pusing banget kalau sudah ada di tengah drama cewek-cewek begini.

Emang bangsat bener teman-temannya! Bisa-bisanya Zane baru sadar telah dijebak menjadi pengasuh duo cewek paling menyebalkan semuka bumi sementara mereka semua sedang bersenang-senang!

Yang satu maksa nyetir, yang satu maksa turun. Maksudnya biar Zane membelah diri, gitu? Mau menemani Sabrina, kalau Iis ilang gimana? Mau menemani Iis, kalau mobilnya nyungsep dan Sabrina kenapa-kenapa gimana?

"Sebenernya nggak perlu khawatir sih, Is. Sabrina bisa nyetir, kok." Sekali lagi Zane mencoba membuat Iis kalem.

Tapi Iis memang sudah bilat tekadnya. "Dia bahkan belum punya KTP dan SIM, tau!"

Sabrina ikut melotot. Berani bertaruh, sebelum Mbak Iis dapat SIM, dia juga sudah berlatih menyetir di umur Sabrina!

Dan nggak menunggu diiyakan, tau-tau Iis sudah melompat keluar.

"Tunggu Is, gue turun sama lo!" Nggak tahu harus bagaimana lagi, Zane membiarkan roda kemudi diambil alih oleh Sabrina. "Hati-hati, okay? Kalau sekiranya nggak sanggup lewat, berhenti dulu. Kalau ada yang landai buat puter balik, cepetan puter balik."

"Ashiaaap." Sabrina mengangguk dengan semangat berlebihan.

Zane tahu Sabrina bisa nyetir. Jago, malah. Tapi tetap saja membiarkannya sendirian terasa salah.

Tapi si Iis lagi ngambek, gimana dong?

Arrgh! Zane pengen menggigit orang!

"Ck." Tidak mau berlama-lama dan kehilangan jejak Iis yang sudah berjalan menjauh, Zane cepat-cepat menyusul temannya.

"Kenapa nggak bilang mau gantian sama Sabrina? Tau gitu gue bareng yang lain." Iis dongkol.

Zane yang sebenarnya sudah ikutan bete, pilih merangkulnya, menyembunyikan temannya yang mungil dari sengatan matahari. "Mana gue tau lo bakal mempermasalahin?"

Bangke, panasnya gila juga! Zane mendadak menyesal sudah memilih turun.


~


"I thought you won't like off-road thingy." Zane berkomentar ketika lima belas menit kemudian Sabrina dan rombongan yang lain kembali dengan selamat ke tempat Iis dan Zane berkamuflase jadi semak-semak karena nggak menemukan pohon satu pun untuk tempat untuk berteduh.

"Kenapa bilang gitu?" Sabrina turun dari mobil, ingin bergabung ke Mail yang sedang siap-siap menerbangkan drone sementara Zane baru akan memulai gilirannya menjelajah sekitar situ.

Zane tidak menyahut, cuma mengangkat bahu sekilas.

Sabrina mendengus pelan. Dasar nggak jelas!


~


Kalau Sabrina bisa menganugerahi Agus sebagai holiday planner terbaik, maka sudah pasti akan dia berikan.

Memang sih, Sabrina yang dikasih kehormatan membuat rundown. Tapi mastermind-nya tetaplah Agus. Agus yang mengajak explore Kintamani-Ubud dan menginap di villa Zane, sementara sebenarnya Sabrina ingin ke Uluwatu.

Agus bilang, sayang kalau ke Uluwatu sekarang di saat Sabrina belum jago surfing.

Benar juga.

Selain itu, villa yang Mas Agus minta ke Zane untuk ditempati mereka selama Sabtu-Minggu ini, memang sayang seandainya dibiarkan kosong seminggu saja.

Five bedrooms, sama seperti villa yang mereka sewa di Canggu, tapi ... versi berbintang-bintang. Bakal serasa nginep di resort beneran seandainya stafnya nggak diliburkan. Tapi berhubung mereka sudah diberi gratis, kudu tahu diri lah. Masa masih mengharap dilayani juga?

Sabrina dan Bimo dapat kamar di pojok belakang lantai dua, yang menghadap ke pool dan ke sawah-sawah di bukit seberang. Interiornya nggak kalah sama Bvlgari. Bikin serasa lagi honeymoon.

Sementara itu, sisanya berpencar ke kamar-kamar lain secara random. Sabrina bahkan nggak ambil pusing, Mbak Iis dapat kamar yang mana dan sama siapa. Dia masih dongkol.

"Cegukan?" Bimo yang baru keluar dari kamar mandi dan sibuk menggosok-gosok rambut dengan handuk menanyai Sabrina yang sudah duluan naik ke kasur. "Bentar, aku ambilin minum."

"Nggak usah, Bim."

"Emang cegukan gitu nggak capek?"

Sabrina nggak langsung menjawab. Kekenyangan memang membuatnya mengantuk parah dan berniat mengabaikan cegukannya untuk langsung tidur. Tapi kasihan Bimo dong, kalau dia berisik?

"Aku turun sendiri aja. Kamu nitip sesuatu?" tanyanya kemudian dengan mata tinggal tiga watt.

"Enggak." Bimo menggeleng dan lanjut mengeringkan rambutnya.

Saat Sabrina turun, sebagian besar lampu sudah padam. Tidak ada suara-suara lagi karena pasti yang lain juga sudah pada tidur.

Tanpa prasangka, Sabrina berjalan lurus ke dapur yang terletak di bagian belakang villa, hanya dibatasi sliding door kaca dengan area kolam yang belum sempat mereka jajah karena sudah kemalaman saat tiba tadi.

Ketika setengah jalan menuangkan air dingin dari dispenser ke dalam satu tumbler besar, barulah Sabrina menyadari ada kasak-kusuk tidak jauh di depannya.

Pegangan Sabrina pada tumblernya mendadak mengetat tanpa sadar.

Jantungnya berdegup, dia lalu menelan ludah sambil berusaha melihat lebih tajam ke arah gazebo di dekat kolam.

Tidak terlihat jelas karena selain remang-remang, di sekitarnya banyak ditumbuhi tanaman pisang-pisangan. Tapi meski begitu, warna-warna pakaian yang sekelibat terlihat di sana masih tertangkap jelas.

Mail dan Regina.

Sabrina membekap mulutnya dengan kedua tangan.

Oh. My. Goodness.

Dia membeku.

Telinganya makin awas dan sayup-sayup terdengar suara yang tidak semestinya dia dengar.

Sekujur tubuhnya mendadak terasa gerah.

Bagaimanapun dia menyadari nggak seharusnya berdiam di situ, Sabrina tidak bisa beranjak. Otaknya mendadak nggak terkoneksi dengan syaraf gerak di kaki.

Malahan, kini fokusnya tidak lagi berada lada tumbler di tangan yang sudah hampir terisi penuh.

"Bengong aja, awas tumpah, tuh!"

Anjrit!

Jantung Sabrina langsung copot saat lampu tiba-tiba menyala. Refleks melepas tombol air dingin dari tangannya.

Kalau tadi dia merasa berdebar dilanda adrenalin, sekarang malah seperti mau mati saking kaget mendapati Zane sudah berdiri tidak jauh darinya.

Refleks, pandangannya kembali melirik ke sumber perhatiannya sebelumnya sebelum kemudian kembali ke Zane. Berusaha menutupi sebisanya.

"Nggak perlu ngagetin juga, kali." Sabrina menyahut kesal.

"Situ yang kaget, orang lain yang disalahin?" Zane balas nyolot, membuat perhatian Sabrina teralihkan sepenuhnya. "Lagian ngambil air, bukannya nyalain lampu, malah gelap-gelapan. Lantainya ampe banjir, lo nggak lihat?"

"Nggak sampe banjir, kali!" Kesal diomeli, Sabrina lalu menggeret keset dari depan kulkas. "Lagian nggak segelap itu juga. Situ nggak lihat tadi cahaya dari teras nembus ke sini?"

Zane tidak menjawab dan malah mengatakan hal lain dengan nada bossy. "Kalau udah, buruan balik kamar sono."

Kalau saja dia nggak ingin kabur dari Mail sebelum ketahuan, Sabrina pasti akan mendebatnya sampai mampus. Tapi berhubung sebaliknya, akhirnya dia hanya mengiyakan dan cepat-cepat kembali ke kamarnya.

Bimo sudah menghilang di balik selimut.

Sabrina menekan-nekan dadanya yang masih terasa bergemuruh, perlahan berjalan menuju jendela.

Gazebo tidak terlihat dari sana kecuali bagian atapnya. Tapi Sabrina merasa seolah-olah masih bisa melihatnya dengan jelas.

Sabrina merinding, segera menyusul Bimo naik ke kasur, bahkan tanpa sempat minum karena tanpa dia sadari, cegukannya sudah hilang sendiri.

Tapi tentu saja, dia nggak bisa tidur.

"Kenapa?" Bimo bertanya menyadari orang di sebelahnya gelisah.

"Mau dipeluk, Bim."

Bimo mendekat dan memeluknya tanpa banyak tanya.

Sabrina berusaha merem.

Tapi lagi-lagi pikirannya kembali ke gazebo depan kolam.

Suara-suara tadi itu ... Mail dan Mbak Regina beneran having sex di situ? Sialan benar, mereka yang enak, Sabrina yang nggak bisa tidur.


~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top