6 | the boss

"Special coffee for my boss." Begitu Regina tiba, Mail dengan pedenya langsung mengeluarkan tumbler dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja di depan mentor cantik mereka. Senyum menawan terpasang di wajah, terang-terangan mengabaikan teman yang sedang memelototinya. "Racikan gue sendiri."

"Wow. Thanks." Dengan sopan santun Regina menerima kopi itu. Minta izin untuk mencicipi, membuka tutupnya, menghirup wangi isinya. Dan sudah jelas, selanjutnya pujian untuk kopi Mail otomatis mengalir begitu saja, seperti yang sudah-sudah. Ismail's coffee never fails.

Sadar interaksi tidak normal yang dia lihat di hadapannya ini, refleks Gusti menggaruk ujung dagunya yang tidak gatal.

Bukannya Mail baru ketemu Regina sekali doang, di pagi hari mereka datang untuk survey lokasi? Pede banget di kantor ngomong elo-gue, udah kayak temen akrab? Udah tau kalau Regina doyan kopi, lagi. Ini dasarnya Gusti yang kaku dan telmi apa gimana?

Anehnya lagi, Regina nggak tampak canggung atau gimana-gimana. Biasa aja.

Sekonyong-konyong Gusti jadi merasa tersisih.

Mail SKSD dan bawain kopi segala, bukan biar dapat nilai A sendirian, kan?


~


Beres pembekalan dengan Regina, Agus langsung ditransfer ke divisi Mas Herlambang, sementara selama seminggu pertama Mail akan menjadi asistant Regina sebelum kemudian ditransfer ke Marketing, Mbak Indira. Intinya mah nggak seperti Agus yang akan menetap bersama Mas Herlambang sampai delapan minggu ke depan, posisi Mail akan di-rolling sampai lima aspek yang perlu dia masukkan ke laporan magang telah dia dapatkan semua. Untuk jadwalnya, terserah Regina, mengikuti divisi mana yang butuh tambahan tenaga. Dan kebetulan, minggu ini Regina yang butuh Mail karena mereka sedang recruitment PTpersonal trainer.

Dan tugas Mail hari ini sangat receh. Semacam jadi LO untuk para applicants. Yang mendampingi mereka di ruang tunggu, memanggil namanya satu persatu untuk wawancara. Kalau Agus tau, pasti Mail diketawain.

"Ini abis manggil, gue tunggu di depan aja, Mbak?" Sambil membaca-baca sepuluh map lolos seleksi administrasi dan tes tulis di mejanya, Mail bertanya.

Wawancaranya sendiri baru akan dilaksanakan dalam beberapa jam mendatang, tapi dia sudah standby di salah satu ruang meeting di lantai satu, satu-satunya lantai yang terlihat seperti kantor beneran di gedung kecil itu.

"Nggak, lah." Regina yang duduk di seberangnya mengalihkan perhatian sejenak dari layar MacBook-nya. "Ikut duduk di sini aja sama gue dan Mas Giordano kalau mau."

Nggak perlu dipersilakan dua kali, Mail iyakan saja daripada berjam-jam cosplay jadi mbak-mbak resepsionis di depan. Sekalian biar ada bahan nyombong dikit besok pagi kalau anak-anak mulai membahas kerjaan magang masing-masing di meja makan.

Soalnya, di antara mereka berlima, memang cuma Bimo yang magangnya kelihatan keren dan serius. Jam kantor on time. Pakaian klimis, rambut rapi, sepatu kinclong. Udah kayak kerja kantor beneran. Sementara itu, kerjaan Iis cuma nyanyi-nyanyi dan curhat-curhatan sama bayi-bayi di preschool-nya. Zane sama santainya dengan Mail dan Agus, bahkan mungkin lebih santai lagi.


~


"Duh, kamu mah nggak pernah percaya sama aku."

Sore-sore sepulang dari kelas-kelas yang dia ikuti, Sabrina main-main di kolam renang bersama pacarnya yang juga baru pulang.

Tapi cuma Sabrina yang nyebur. Bimo sendiri biarpun sudah pakai celana renang, badannya masih kering kerontang. Duduk di gazebo dengan laptop terbuka di hadapan.

Nggak, Bimo bukannya lagi sok keren. Justru sebaliknya. Ternyata magang di KAP—bagian auditing—itu bikin capek.

Sehari kemarin masih santai, cuma dikasih pelatihan. Masuk hari kedua langsung diberi tugas membuat laporan keuangan klien yang mau diaudit. Dan sialnya, karena baru pertama kali mengerjakan, baru sampai tahap membuat Trial Balance saja Bimo sudah pusing. Karena nggak lucu seandainya untuk mengerjakan hal itu saja butuh waktu berhari-hari, Bimo jadi merasa perlu untuk latihan sendiri di rumah, biar matanya yang berasa mulai minus ini makin terbiasa melihat angka.

"Mereka tuh mesra banget semalam, Bim." Sambil mentas dari kolam karena telapak tangan dan kakinya terasa mulai keriput, tanda sudah kelamaan nyemplung di air, Sabrina melanjutkan ucapannya. "Masa pas Mbak Iis makan dan bibirnya cemot, Zane sampe turun tangan ngelapin. Keterlaluan nggak tuh? Mana tatapan matanya nggak kayak natap temen, lagi!"

Bimo yang memang nggak terlalu menyimak, masih menyahut 'hmm-hmm' saja sejak tadi

Kurang puas dengan jawaban Bimo, Sabrina lalu menarik bathrobe-nya dari stand hanger dan mengenakannya, lalu duduk di hadapan Bimo, membuat Bimo terpaksa mengalihkan fokus.

"Emang natapnya gimana?" Bersyukur sempat mendengar ucapan terakhir ceweknya itu, Bimo bertanya kalem. Bersyukur juga yang ditanya nggak sadar kalau dari tadi dicuekkin.

"Kayak gini." Sabrina menjelaskan dengan antusias. Memandang Bimo lekat-lekat.

"Kayak kamu lagi lihat aku?" Bimo ingin tertawa karena ekspresi Sabrina sama sekali nggak penuh cinta. Yang ada cewek itu pengen mendorong Bimo nyemplung kolam! "But looks like you want to murder me."

"Bukaaan." Sabrina segera menggeleng keras-keras. "Kayak kamu lihat aku."

Bisaan banget ini bocah! Bimo makin mau ngakak jadinya.

Wong perasaan dari tadi dia biasa aja, nggak yang gimana-gimana kalau melihat pacarnya. Ya tapi Sabrina emang bikin mood selalu bagus sih, sehingga tanpa sadar mungkin Bimo ikut-ikutan pasang wajah semringah tiap memandangnya. "Oke, oke. Berhubung aku belum lihat sendiri, sekarang aku cuma bisa iyain aja."

"Tuh kan." Sabrina manyun lagi.

"Bukan berarti aku nggak percaya." Bimo segera meralat. "Kan nggak mungkin juga aku langsung termakan kata-kata kamu. Kalau nggak terbukti, fitnah dong jatuhnya."

Sabrina makin manyun. Kehilangan satu-satunya orang yang mungkin bisa berpihak padanya.

Sumpah, hari ini Bimo nggak seru.

Padahal Sabrina juga nggak mungkin berniat bikin huru-hara. Paling banter, ghibahan soal Zane-Iis ini cuma bakal jadi rahasia mereka berdua sampai mampus, karena memendam rahasia seorang diri terlalu berat untuk Sabrina.

"Nggak usah cemberut gitu kali." Sambil berusaha menahan tawa, Bimo merangkul pacarnya dengan gemas. Mencubit pipinya dengan tangan lain yang menganggur.

Emang masih bocah sih ya.

Sabrina memang sudah berjuang jadi orang baik dan melakukan hal-hal baik. Kuliah dengan benar, ikut kegiatan ini itu, jadi relawan ini itu. Tapi tetap saja, ngadu ke pacar tentang hal apapun memberikan energi tersendiri untuknya. Kalau orang melihatnya julid sekali, ya itu cuma satu sisi aja. Selagi julidnya nggak pakai toa dan nggak di kelompok besar, Bimo masih maklum.

Nggak cukup mencubit dan mencium pipi, Bimo lalu mendekatkan bibirnya ke bibir cewek itu dan memagutnya dengan lembut. Mengelus pipinya yang dingin dan kasar kebanyakan kena air berkaporit.

Sabrina membalas ciumannya perlahan. Sambil merem dan melingkarkan lengan ke leher di depannya sementara Bimo memperhatikan wajah kesayangannya itu dari jarak amat dekat.

Sebuah senyum tersungging meski tulang hidung Sabrina yang menekan wajahnya cukup terasa mengganggu.

Ciuman yang buruk. Selalu.

Bimo tertawa dalam hati.

Tapi bagusnya, a kiss is just a kiss, never lead them astray, biar kata sudah seminggu lebih tinggal bersama, bahkan di seminggu sebelum yang lain tiba, mereka cuma berduaan di rumah besar itu.

"Terus aje lo berdua cium-ciuman kayak ikan!"

Tiba-tiba Agus sudah nyelonong masuk dan menghujat, membuat kedua tersangka yang tertangkap basah segera mundur teratur. Bimo pura-pura bego. Sabrina garuk-garuk kulit kepalanya yang nasih basah.

"Btw, si Mail belum nyampe?" Sambil melempar tas dan menjatuhkan bokong di tempat kosong yang tersisa, Agus heran juga melihat rumah masih sepi, padahal tadi Mail bahkan pamit keluar dari kantor duluan dibanding dirinya.

"Ngapain jauh-jauh magang ke Canggu kalau cuma mau kerja-pulang-kerja-pulang?" Bimo bertanya pelan, balik memangku laptopnya. "Mantai paling, Gus. Mabok, nyari cewek. Emang Mail kayak lau, pulang kerja langsung balik ke rumah?"

Sebelas dua belas dengan pacarnya, mulut Bimo emang nggak ada akhlak.

Well, di circle mereka emang cuma Agus dan Iis yang masih rada berakhlak.

Tapi karena omongan pedas Bimo ada benarnya, dengan berat hati, Agus jadi mengakui kalau dirinya merasa kuper.

Kalau diingat-ingat, meski nggak bisa dianggap anak rumahan, teman nongkrong Agus di Jakarta ya cuma anak-anak ini aja. Jadi, giliran sekarang mereka pada sibuk sendiri-sendiri, baru kerasa kalau Agus ternyata nggak begitu pandai bergaul.

Mau nyepi sendirian di pantai, kok ngenes amat rasanya. Mending dia nimbrung paksa ke pasangan Bimo-Sabrina, sekalian jadi wasit demi menghindarkan terjadinya hal-hal tidak senonoh di rumah mereka.

"Daripada gabut, balapan renang sama Sabrina sono!" Bimo ngide. Akal-akalannya saja supaya lepas dari tanggung jawab mengurus momongannya.

"Nggak level." Agus menggeleng, memandang rendah cewek di hadapannya. Ya gimana yaa, Agus yang rumahnya dekat sungai besar dan punya skill renang nggak kalah sama Poseidon, masa disuruh adu renang sama cewek kemarin sore yang jauh-jauh ke bali untuk ambil kelas renang dan diving?

Bimo melotot samar, mulai masuk tahap memaksa. "Gue nyusul bentar lagi," tambahnya dengan suara lebih dalam.

Emang dasar calon pasutri nggak tahu diri.

Akhirnya Gusti ikut nyebur ke kolam dan balapan renang dengan balita asuhan mereka itu. Untungnya, Sabrina sangat kompetitif, jadi biarpun renangnya amburadul nggak jelas pakai gaya apa, lomba abal-abal mereka jadi nggak boring-boring amat. Bahkan kalau mau mengabaikan teknik dan estetika, speed Sabrina oke juga.

Beberapa puluh menit berselang, Zane datang bersama Iis, tapi ogah diajak nyebur dan langsung belok ke kamar masing-masing.

"Kan ... apa aku bilang ...." Sabrina yang sudah kembali menepi, berbisik ke kuping pacarnya. "Pasti ada sesuatu di antara mereka."

Tapi belum sempat dia ngomong lebih banyak, pasangan yang menjadi objek pembicaraannya sudah balik kanan, nimbrung sambil membawa makanan.

"Weekend pertama kasih kita nginep di Ubud dong, Bos." Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba Agus melontarkan ide random. Tapi yang lain jelas nggak mungkin nggak setuju—kecuali sang juragan villa tentu saja.

"Ngapain nginep sih? PP juga cuma sejam." Zane membuka kaleng minuman isotonik dan meneguknya ala-ala mas-mas iklan.

Gusti mencibir, bertepatan dengan pintu terbuka dan muncul Ismail bin Mail. "Lo mau ngerasain villa mewah, nggak?"

Mail yang nggak tahu apa-apa, iya-iya saja, apalagi saat kemudian Gusti tanpa persetujuan Zane sudah kembali memaparkan rencanan hebatnya.

"Tapi gue bawa temen boleh?" Seakan masih kurang merepotkan, Mail malah nego.

"Njrit, baru empat hari di sini, udah ada gandengan?" Sekali lagi, selain Zane, semuanya terbawa arus pembicaraan.

Mail menggeleng, tapi muka tengilnya mengatakan sebaliknya. "Temen."

"Siapa?" Agus langsung mencecar.

"Regina."

"Regina ... Mbak Regina?"

"Yep."

Cuma Agus yang nyambung.

Plus Bimo, yang ternyata kemudian manggut-manggut. "Sejak kapan lo manggilnya nggak pake embel-embel?"

"Masih kok, kalau di kantor."

Mendengar jawaban terakhir itu, muka Agus langsung jadi sepet.

Bimo yang emang tegaan menoleh ke Agus dengan muka sombong tidak terkira. "Lau ditikam dari belakang, Gus? Kasian, deh."


~


"Kenapa, Mas?" Malam harinya saat baru turun dari kamar Bimo dan hendak masuk kamarnya sendiri, Sabrina tidak sengaja melihat Gusti sedang termenung sendirian di living room.

TV di depannya menyala, tapi dengan volume sekecil itu, Sabrina ragu sang cowok sedang sungguh-sungguh menontonnya.

"Masih mikirin Regina-Regina itu, ya?" Sabrina berdiri di belakang sofa, menepuk pelan pundaknya, membuat Gusti kemudian menoleh dan menggeleng. Kelihatan merana sekali. "Nggak mungkin kali Mail sengaja menyabotase dirimu. Lagian kan kalian beda jurusan, magangnya juga di divisi yang beda. Nggak ada persaingan. Kalau Mail lebih akrab sama mentor kalian, ya gimana yaa, Mail orangnya murahan, sih."

Mendengar juniornya itu sudah nyerocos duluan dengan sotoynya, Gusti cuma ketawa tipis. Rada heran melihatnya masih aja full energy padahal sekarang sudah tengah malam. Mungkin energi ABG emang beda. Gusti suka lupa, sih, kalau dibandingkan dengan Sabrina, dia dan yang lain emang sudah tua renta.

"Kebiasaan begadang aja, Sab. Ini badan jadi nggak sadar diri kalau sekarang kudu rajin bangun pagi."

"Oh." Barulah cewek itu meringis malu. "Gue bikinin susu panas biar bisa tidur, ya."

Dan tanpa menunggu diiyakan, cewek itu sudah nyelonong ke dapur.

Meski sering merepotkan, pacar Bimo itu seringkali baiknya kebangetan. Zane aja yang apes, selalu berurusan dengan Sabrina pas bagian minusnya aja.

Padahal, kalau dia tahu Sabrina sepengertian ini, bisa-bisa dia sayang ke itu cewek melebihi sayangnya Gusti, Mail, dan bahkan Bimo sendiri!


#TBC




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top