5 | selingkuh
Karena Regina sudah melihatnya juga, nggak ada alasan bagi Mail untuk jadi banci. Segera dia bayar bill-nya dan pindah ke kafe tempat Regina duduk.
"Karena Mbak udah terlanjur lihat, gue jadi nggak punya alasan buat nggak nyapa." Mail mesem semanis madu dan kemudian bertanya kalem, "Menerima tamu, nggak?"
"Ya tempat duduk lo yang tadi udah dipake orang lain, masa gue usir?" Regina tertawa renyah, mempersilakan. Senyum yang selanjutnya terpampang di wajah cewek itu terasa berlipat-lipat kali lebih manis dari yang Mail usahakan tampak pada wajahnya sendiri, membuat Mail jadi diingatkan kembali betapa jomblonya dia sekarang. Baru disenyumin doang, hatinya sudah mleyot. Maklum, Mail sendiri sudah lupa kapan terakhir kali disenyumin cewek. Bersama Adisti, cewek terakhirnya, kayaknya sudah berbulan-bulan nggak saling bertukar senyum sebelum akhirnya putus beberapa minggu lalu.
Dan jujur, sejak Sabtu kemarin, saat pergi mantai rame-rame, dia sudah merasa terintimidasi oleh keberadaan Bimo-Sabrina dan Iis-Linggar. Mereka rame banget, kampret! Emang udah paling bener ide Bimo untuk membawa pacar ke sini. Kalau temen-temen lagi pada rese, ada alternatif orang lain buat nemenin sibuk sendiri. Sementara, kalau dia pergi-pergi sebatang kara begini, terus terang saja Mail merasa menyedihkan.
Pasalnya, dia ekstrovert seratus persen. Bertemu dan ngobrol dengan orang-orang adalah sumber energi tersendiri baginya.
"Lulus kuliah di Jakarta, langsung dapet kerjaan di sini ... you're livin in my dream, Mbak!" Mail duduk di beanbag sebelah Regina, sementara Regina menaikkan sebelah alis dengan ekspresif saat mendengar pernyataannya.
"Hahaha. Ya sorry kalau bikin envy. Tapi hidup gue emang indah banget kayak selebgram."
Dan ternyata Regina asyik. Nggak serame Mail, tapi nyambung. Untuk ukuran Mail yang udah nggak doyan obrolan unfaedah seperti yang dilakukannya ketika mendekati cewek saat masih sekolah atau masih Maba dulu, dia dapat banyak insight tentang kehidupan kerja di Canggu dan sekitarnya. Dari Regina juga Mail tahu kalau kelas diving yang diambil Sabrina terlalu mahal dan dia diberi rekomendasi tempat lain jika selanjutnya Sabrina mau ambil kelas surfing sekalian. Dan yang paling penting, Mail dapat rekomendasi penginapan murah dan bagus di berbagai spot wisata, mulai Bali sampai Sumba. Keren nggak tuh? Semoga saja masih ada waktu untuk mengeksekusinya sebelum harus balik ke kampus.
"Btw, lo sengaja sendirian ke sini, Mbak? Gue ganggu nggak, nih?" Mendadak, Mail kesentil sendiri setelah ngobrol ngalor-ngidul, padahal niat awalnya hanya menyapa sebentar.
Tapi ternyata Regina menggeleng. "Santai .... Tadinya sih emang lagi nggak pengen ngumpul sama anak kantor. Kesannya kayak lagi lembur kalau malem-malem ketemu mereka lagi, mereka lagi. Tapi berhubung lo nggak membosankan, bolehlah dikecualikan."
Sumpah, Mail merasa tersanjung. Apalagi disenyumi lagi setelahnya.
Gilaaa, ini senyum Regina manis banget, nggak ada dua.
~
Malam-malam saat sedang mengerjakan konsep Rector Cup—olimpiade olahraga antar fakultas yang menjadi program kerja Kementeriannya—di kamar Bimo, dari jendela yang dibentangkan lebar-lebar, Sabrina melihat motor Zane tiba.
Iis ada di boncengan motor itu. Terlihat kecil mungil. Kayak om dan ponakan kalau dijajarkan dengan Zane.
Tadinya Sabrina mau cuek-cuek saja dan mengurus urusannya sendiri. Tapi yang kemudian dilihatnya cukup menggelitik ginjal.
Zane turun dari motor dan membuka pagar, sementara Iis tetap duduk ogah-ogahan di jok kayak ratu. Bahkan, setelah Zane memasukkan motor itu ke halaman, Zane juga yang menutup pagar kembali. Sungguh sangat nggak efektif dan meresahkan. Apalagi jika yang terjadi berikutnya adalah mereka bercanda-canda dan nggak ada tampang kesal sedikitpun di wajah Zane setelah dibodoh-bodohi Mbak Iis. Padahal Sabrina yang cuma melihat saja sudah dibikin panas dalam menahan emosi.
Lalu, tidak lama kemudian, saat Sabrina turun ke dapur untuk mengambil minum, dua orang itu ternyata sedang ada di sana juga. Bergotong royong menyerut buah, hendak membuat rujak.
"Bang Zane tuh naksir Mbak Iis nggak sih?" Sabrina menyuarakan isi hatinya ke Bimo setelah kembali lagi ke kamar pacarnya itu.
Bimo yang lagi mengerjakan PR-nya dari tempat magang, memangku laptop di atas kusen jendela, mengerucutkan bibir berusaha memahami perkataan Sabrina. "Nggak, lah. Kan udah ada Linggar."
"Peka dikit dong, Bim. Perhatiin aja, Bang Zane tuh memperlakukan Mbak Iis beda. Soft banget, gilaaa. Lebih soft Zane ke Mbak Iis daripada Linggar ke Mbak Iis."
"Zane emang udah terlahir soft, sih. Kalau dia nggak soft ke kamu, itu karena kamu spesial aja—ceweknya Bimo yang nggak boleh dia deketin secara personal."
Sabrina manyun, karena bukan itu maksudnya.
"Ya emang kenapa sih, Sab? Naksir kan hak segala bangsa."
"Tapi kalau dia ngasih kesempatan Zane buat deketin dia pas Linggar nggak ada, bukannya udah beda cerita?"
Bimo geleng-geleng kepala. Padahal, Iis mah nggak mungkin selingkuh. Lagi anget-angetnya dia tuh sama Linggar, setelah proses PDKT setahun lebih. Jangankan Zane, dideketin Shawn Mendes juga dia bakal nolak. "Julid banget ya kamu, kalau udah menyangkut Iis."
Sabrina melengos.
Bimo sih nggak ngerasain dijulidin duluan sama Mbak Iis. Sementara Sabrina, udah punya dendam kesumat, masih harus sekamar pula. Rasanya tiap hari kepala Sabrina jadi berasap dibuatnya.
Kesal dengan Bimo, Sabrina memilih turun. Sekalian saja dia jadi bunglon, nimbrung acara ngerujak di dapur. Nggak apa-apa deh dia betah-betahin melihat dua seniornya sok mesra kayak kontrakan cuma milik berdua.
Dan sumpah, mereka nggak mungkin nggak selingkuh kalau cara Zane memandang cewek yang duduk rapet di sebelahnya itu udah kayak orang abis kena pelet. Terlalu berbunga-bunga.
Syukurlah, sebelum Sabrina menggila, pintu depan terbuka dan Mail muncul dari sana. Kelihatan lagi happy.
"Abis dapet kenalan cewek cantik? Senyam-senyum kayak psikopat." Sabrina menyongsong kedatangannya, karena lagi butuh.
"Sab, behave. Ngomong sama senior, loh."
"Creepy tau senyum lo." Sabrina tidak mengindahkan. "Tapi bener kan apa gue bilang, abis ketemu cewek?"
"Iya." Mail menyahut singkat. Menoleh untuk menyapa dua temannya yang lain di meja makan—sesuatu yang nggak pernah dia lakukan karena biasanya hobi nyelonong aja.
"Sumpah?" Sabrina melotot karena nggak menyangka tebakan ngasalnya bisa begitu tepat. Ya Mail emang fuckboy, sih. Tapi tetep aja ini mengejutkan. "Siapa? Cepet banget, baru juga tiga hari di sini, udah tebar jala aja."
Mail ogah menjawab. Mencubit keras-keras satu pipi cewek bawel di depannya itu. "Gimana kelas lo tadi? Lancar?" tanyanya mengalihkan topik, sok kebapakan.
"B aja." Sabrina masih manyun.
"Terus gimana konsep buat Rakor 1? Udah beres?"
"On process. Dan ada yang pengen gue tanyain."
"Oke." Masih sok kebapakan, Mail manggut-manggut. "Gue mandi bentar. Sepuluh menit lagi gue samper di gazebo."
Sabrina mengangguk.
Lalu melirik meja makan sekali lagi.
Gila ya, mereka terang-terangan banget selingkuhnya!
~
Sepeninggal Sabrina ke gazebo yang nggak kelihatan dari meja makan, Zane dan Iis ngakak pelan-pelan, langsung ingat kejadian sejam sebelumnya saat Agus memberitahukan hal menarik—setidaknya bagi Zane.
"Sabrina dari tadi celangak-celunguk, niat banget mau ngegep orang selingkuh." Agus komen sambil mencomot mangga gadung yang baru kelar dipotong Iis.
Sebagian mangga yang dia beli memang sudah terlalu matang dan nggak bisa diserut. Tadinya Zane request disimpan aja buat jus besok pagi, tapi Agus maksa minta dikupasin sekarang.
"Siapa emang yang mau digep?" Iis ikut mencomot sepotong yang ternyata manis banget kayak hidupnya.
"Elu, bege. Selingkuh ama Zane di belakang Linggar."
"Lah?" Iis kontan melongo, sementara Zane yang berniat nggak nimbrung, jadi ketawa mendengar namanya dibawa-bawa.
Padahal, kalau ada cowok yang nggak mungkin Iis dekati untuk urusan romansa, Zane adalah salah satunya. Iis sudah berteman dengannya sejak Maba. Zane sudah kayak adik kandungnya yang bisa di-bully sekaligus dimanfaatkan—biarpun secara umur, Zane sedikit lebih tua. Jadi, kalau pacaran sama Zane aja nggak mungkin, apalagi selingkuh? Hina banget Iis rasanya untuk sekedar membayangkan hal itu terjadi.
"Gue punya dosa apa sih sama tuh cewek?" Zane nggak habis pikir.
Kayaknya, selera Bimo emang perlu dievaluasi. Bagaimanapun juga, beda usia 4 tahun dengan latar belakang jauh berbeda membuat Sabrina jadi seolah-olah berasal dari dimensi lain dibanding mereka semua. Lebih sering nggak nyambung daripada nyambungnya.
Cowok itu kemudian menarik badan Iis dengan satu tangan—yang mengingatkan Iis betapa mininya dia dibandingkan dengan si onta—supaya mepet di sebelahnya. Lalu menggeser tangannya sendiri bertumpu di pinggiran bench kayu di belakang punggung Iis, biar kelihatan setengah merengkuh. "Udah sono lo minggir, Gus. Gangguin orang lagi selingkuh aja."
#TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top