4 | long black

"Heeh, lo ngapain?"

Mail yang baru turun dari kamarnya langsung heboh melihat apa yang sedang dikerjakan Sabrina di dapur: bikin kopi.

"Bukan gitu caranya, Oneeeng!" Melihat Sabrina mengetuk-ketuk portafilter—tempat dituangnya bubuk kopi sebelum dipasang ke mesin espresso—dengan barbar, cowok itu bergegas menggeser tempat Sabrina berdiri, membuat sang cewek terbengong-bengong karena nggak paham apa maksud Bapak Menpora yang terhormat. "Elo ngerusak kopi mahal."

Ngerusak? What the hell?

Sabrina melongo mendengar tuduhan yang dilayangkan padanya itu. "Gue bikinnya udah sesuai sama yang diajarin Bang Zane, tau." Cewek itu menoleh ke Zane yang sudah anteng di meja makan dengan cangkir americanonya sendiri.

Mail ganti melotot ke Zane, si biang kerok yang telah menyebarkan ajaran sesat.

Zane mengangkat bahu dengan santai. "Gue kan bukan barista."

Ya nggak salah juga sih jawabannya. Tapi tetap saja Mail kesal.

Kalau nggak mau bikin dengan cara yang benar, kenapa nggak sekalian nyeduh kopi sachet? Kelakuan teman-temannya ini benar-benar merusak harkat dan martabat mesin espresso di depannya ini, satu-satunya barang bagus yang ada di bar rumah mereka.

"Kalian berdua emang kampretnya cocok banget, ya."

Dengan hampa, cowok maniak kopi itu kemudian mengambil portafilter satu lagi yang mengganggur dan menadahkannya ke bawah grinder sampai terisi penuh dengan bubuk kopi, kemudian merebut tamper di tangan Sabrina.

"Tamping-nya biasa aja. Kalau udah, nggak usah digetok-getok segala. Tau kan kalau yang namanya berlebihan itu nggak baik?"

Sabrina pengen menyahut dengan 'nyenyenyenye' yang biasa, tapi males kalau urusannya jadi panjang.

Soalnya, Mail dan kopi emang punya hubungan rada intim.

Meski sama-sama maniak kopi, Mail beda dengan Zane. Kalau kopi itu diibaratkan makanan enak, Zane adalah cowok berduit yang sanggup ke restoran berlabel michelin, sementara Mail adalah kokinya.

"Kalau di tap-tap gitu pas tamping, jadinya bakal ada crack di antara kopi sama pinggiran basket-nya. Coba tengok punya lo."

Mail membandingkan hasil tamping di portafilter-nya dengan milik Sabrina.

Ya emang sih, punya Mail terlihat padat dan rata, juga tidak ada rongga di pinggiran basket, sementara milik Sabrina memiliki rongga. Tapi karena mungkin lebar celahnya hanya sepersekian milimeter saking halusnya, Sabrina nggak terlalu ambil pusing. Segera dia pasang portafilter yang menurutnya sudah layak itu ke grouphead hingga terkunci, lalu meletakkan gelas di bawahnya.

"Ya Allah ... kalem napa, kalem? Itu makin retak aja udah, kopi lo, percuma di-tamping. Lagian, itu asal masang aja, udah dibersihin emang?"

"Udah, masku sayang. Gini, kan?" Sabrina memperagakan caranya membersihkan grouphead dengan memutar water faucet hingga air mengalir keluar dari grouphead yang akan digunakan Mail, dan jatuh ke dip tray di bawahnya, kemudian mematikannya kembali.

Mail berdecak, lanjut menguliahi Sabrina tentang perbandingan takaran kopi dan air yang tepat, juga perbedaan antara long black dengan americano selagi dirinya mulai mengisi sebuah gelas dengan air panas sebelum meletakkannya di bawah spout—tempat keluarnya espresso—sebelum memasang portafiler miliknya.

"Coba rasain punya gue." Cowok itu menyombong begitu setengah menit kemudian baik dia dan Sabrina sudah membawa gelas masing-masing.

"Nggak ada bedanya, tuh." Sabrina berkomentar setelah mencicip sedikit.

Mail melotot. Jelas-jelas long black miliknya—dengan komposisi yang sama—jadinya lebih kental dan secara look lebih appetizing. Karena airnya dituang duluan dengan espresso ditambahkan kemudian, crema-nya tidak pecah di bagian permukaan. Sementara milik Sabrina, karena air panas dituang setelah espresso, bagian yang kaya rasa jadi mengendap di bawah.

"Bim, sini, Bim. Tester."

Si kampret Bimo juga nggak membuat reaksi yang berbeda. "Ini sih kurang diaduk aja punya Sabrina."

Emang dasar teman-temannya nggak ngerti seni!

"Ya udah, sih. Kenapa dibikin ribet? Kalau lo mau kopi enak, jangan nyuruh Sabrina bikin. Kalau mau orang lain menikmati kopi lo yang sempurna itu, bikinin sekalian. Mau monetize skill bikin kopi lo, dagang aja sono."

"Setuju." Sabrina mengekor pacarnya ke meja makan. Menyodorkan gelas kopinya ke Bimo untuk berbagi. Dia punya gerd, jadi nggak bisa minum kopi banyak-banyak.

Iis dan Agus lalu menyusul tidak lama kemudian. Mail memaksa mereka semua mencicipi dan membandingkan secara langsung kopinya dengan kopi Sabrina dan Zane.

"Lo serius nggak ngerasain bedanya? Selera lo beneran serendah itu?" Mail menyikut Zane yang duduk di sebelahnya, masih pantang menyerah.

"Masih aja dibahas!" Sabrina dan Bimo sewot duluan.

Tapi karena Mail tampak sangat berharap, Zane terpaksa mengatakan apa yang ingin temennya dengar: sebuah review jujur.

"Iya, punya lo paling mantep. Gih, buka warkop sana."

Mail ketawa senang.

Bahagianya memang sesederhana itu.


~


Naga-naganya, hari ini memang apesnya Mail.

Mbak Regina—divisi HR sekaligus mentor para intern—nggak hadir di hari pertama dia dan Gusti masuk.

Luntang-lantung seperti anak ilang, akhirnya mereka berdua dipungut oleh Mas Herlambang—divisi IT yang di-plot menggantikan Regina pada detik-detik terakhir—untuk melakukan sesi perkenalan.

Karena kayaknya Mas Herlambang juga kagok mau ngapain, mereka bertiga sengaja berlama-lama mengelilingi gym sampai hampir setengah hari. Sisanya, di saat harusnya Mbak Regina memberi mereka berdua sosialisasi mengenai segala macam aturan juga melakukan penempatan untuk mereka berdua selama dua bulan mendatang, keduanya terpaksa mengekor Mas Herlambang lagi.

Nggak ngapa-ngapain.

Mas Herlambang cuma lagi ngutak-atik cikal-bakal database online untuk member gym karena selama ini memang belum ada.

Mereka berdua disuruh lihat-lihat doang.

Dan sumpah, Mail cuma bisa plonga-plongo, nggak seperti Agus yang langsung nyambung.

Mail pernah ngurus website BEM saat maba. Tapi ya yang bisa dia lakukan cuma sebatas upload konten dan bayar hosting sebulan sekali. Segala macam coding-coding-an serta isi cPanel, dia gak paham dan belum tertarik untuk memahami kecuali sudah yakin habis ini bakal lulus dengan predikat summa cumlaude.

Udah tontonannya nggak menarik, Mas Herlambang ternyata bukan tipe orang yang akan ia pilih untuk jadikan teman ngobrol pula. Kenapa? Jayus banget, cuy. Cukup Agus aja yang bikin hidup Mail capek harus pura-pura tertawa menghadapi guyonannya yang nggak pernah lucu.

Sialnya, tau nggak kenapa Mas Herlambang mirip banget sama Agus? Ternyata mereka berdua satu kampung halaman. Sama-sama dari Jogja.

Nggak tahan duduk bengong lama-lama, akhirnya Mail ikut Mas Lukman—bagian Facilities, Maintenance, and Procurement—yang mendadak sibuk menjelang sore karena kedatangan banyak peralatan baru. Nggak apa-apalah dia membantu testdrive sambil ngisi checklist, sekalian PDKT dengan Mas Giordano, sang Fitness Manager, yang secara topik obrolan lebih nyambung dengannya ketimbang dua rekannya terdahulu.

Sorenya, saat hendak cabut, yang ditunggu-tunggu Mail seharian muncul juga. Turun dari taksi di depan pos sekuriti.

"Ismail, udah mau pulang?" Regina menanyainya dengan raut muka penuh penyesalan. "Sorry, I couldn't make it. Terpaksa ambil cuti di hari pertama kamu masuk."

Mail mesem. Ya sebenarnya rada kesel, sih. Tapi siapalah dia? Sudah untung yang lain kooperatif meladeni kegabutannya, meski semuanya lagi sibuk karena karyawan Fitness Founders memang nggak banyak dan strukturnya padat. "Selow sih, Mbak. Tadi diselamatkan sama Mas Herlambang dan Mas Lukman."


~


Karena nggak tahu mau ngapain, sepulang kerja Zane berinisiatif menjemput Iis di sekolah tempatnya magang.

"Preschool apaan jam segini baru balik?" Zane bertanya ke temannya.

Iis melengos, malas menjelaskan apa saja yang ada di balik tembok preschool slash daycare tempatnya menghabiskan waktu seharian ini. Tapi yang jelas, anak-anak didiknya tidak di-dzolimi. Mereka main dan bersenang-senang seharian. Mainan edukatif tentunya. Juga dipastikan cukup makan dan cukup istirahat.

"Elo tuh yang kerja apaan, jam segini udah balik." Jadinya, Iis balas meledek. Soalnya, kalau perjalanan Zane memakan waktu setengah jam, berarti cowok itu balik jauh lebih awal dibanding dirinya, dong?

Zane cuma bisa ketawa.

Well, emang nggak banyak yang bisa dia kerjakan di hari pertama ini. Selain perkenalan dan diajak keliling-keliling kantor yang nggak seberapa besar tapi super nyaman dengan banyak pepohonan dan eksterior-interior kayu, Zane disuruh ikut ke ruang kelas. Ada pematerian tentang rumput laut untuk siswa pencinta alam dari Sidoarjo yang akan melakukan penelitian di Nusa Penida. Zane disuruh nonton merangkap jadi operator. Selesainya sudah lewat jam makan siang. Dia lalu beramah tamah sebentar sampai tamunya pulang, sebelum kemudian ikut pulang.

Tapi overall Zane masih menyukai pilihannya magang di lembaga non profit. Mending dia berurusan dengan upaya penyelamatan ekosistem pantai dan hutan ketimbang memenuhi kepalanya dengan duit, duit, dan duit.

"Jalan-jalan, yuk. Masih sore, nih."

Iis jual mahal.

Nggak, sih. Iis mageran aja orangnya.

"Apa perlu gue izin Linggar dulu?" Zane menggodanya. Padahal Zane yang paling tahu, Iis dan Linggar belum sampai ke tahap mana-mana.

"Sa ae lu, Onta." Iis menoyor muka temannya. "Ogah gue kalau jalan."

"Nggak jalan secara harfiah juga kali. Ini kan gue bawa motor. Masa motornya didorong sambil jalan?!"

"Ye lah." Iis terpaksa mengiyakan, malas tarik ulur di pinggir jalan yang ramai dan panas, biarpun sebenarnya lebih ingin langsung pulang dan mandi. "Ke mana?"

"Mantai aja, mantai. Nyari makan yang enak."

"Makan mulu."

"Mau nggak?"

"Ya mau sih, ketimbang jalan." Iis pun naik ke boncengan motor temannya itu.

"Peluk biar gak jatuh." Zane ceriwis.

"Najis."

Dan kemudian, motor itu melesat pergi.

Eh, nggak melesat juga sih, karena jalanan macet naudzubillah dengan banyaknya pemotor lain dan juga pejalan kaki.


~


Mail nggak tahu apa yang membuatnya demen duduk berjam-jam di beanbag lusuh kafe-kafe mahal yang berjejer sepanjang Echo Beach. Mendengar musik dari arah belakangnya bersahut-sahutan. Merasakan angin menerpa kemejanya yang berbahan dingin dan anti lecek. Berikut pasir hangat di kakinya yang telanjang.

Oh, dan satu lagi ... seafood segar.

Kayaknya enak, nih, abis lulus kuliah, kerja yang bener biar tajir. Abis itu pensiun dini dan menghabiskan masa tua di Bali.

Nggak usah tajir-tajir amat, deh. Soalnya kalau mau tajir dengan kerja keras di Jakarta, bisa-bisa dia mati duluan sebelum menikmati hidup saking tiap hari harus berjumpa dengan anxiety dan depresi khas para corporate slave. Dapat kerja apa aja di sini juga udah oke biar bisa mantai terus sepulang ngantor.

Dan kemudian, pandangan cowok itu tidak sengaja jatuh pada sosok cantik di beanbag kafe sebelah.

Regina.

Duduk sendirian setengah membelakanginya, sedang memandang lurus-lurus ke arah menghilangnya matahari. Beach dress dan rambut panjangnya bergerak-gerak pelan terkena angin.

Posisi cewek itu cukup jauh darinya, tapi entah mengapa Mail serasa bisa mencium wanginya.

Mendadak Mail gelisah.

Susah nih, harus menahan diri nggak menegur orang yang dia kenal.

Cantik. Sendirian pula.

Jadi ... mending samper, kagak?


#TBC




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top