38 | call me home


"Ikut nengok Ismail kagak?" Gusti bersuara di seberang. Dari riuhnya background kendaraan yang didengar Iis, agaknya si cowok tengah ada di jalan.

"Males." Iis menjawab teleponnya singkat, memandang langit abu-abu Jakarta di atas rumahnya.

Sudah seminggu di rumah dan nggak kemana-mana—menghadiri semua rapat BEM secara daring—tapi anehnya sakit-sakit di badan masih belum sepenuhnya hilang.

Lagipula suhu Lebak Bulus siang ini 32 derajat, rasa 38 derajat—kenapa nggak langsung 38 derajat aja, wahai weather.com?

"Yakin? Gue bawa oleh-oleh Yu Djum banyak nih. Kalau nggak dateng, nggak gue kasih."

"Yakin."

Iis mendengar temannya itu ketawa, dan ada suara tawa lain. Zane? Atau Bimo?

Tapi karena kemudian mendengar suara cewek, Iis akhirnya bisa menebak kalau Gusti sedang bertiga dengan Bimo dan Sabrina.

Gusti baru saja balik dari Magelang siang ini, dan nanti sore jadwal Ismail keluar dari rumah sakit—untuk kemudian dibawa pulang orang tuanya ke Simalugun sana. Bimo dan Sabrina mungkin sengaja menjemputnya di bandara—karena Sabrinalah yang paling ribut minta dibawakan oleh-oleh, sebelum kemudian lanjut ke rumah sakit.

"Kita jemput kalo emang mau ikut."

"Sama-sama belok ke rumah gue, kenapa nggak ngedrop Yu Djum-nya aja?" Iis memberi opsi, nggak ada adab. Tentu saja Gusti mendengus di seberang.

"Enakan di elo, Maemunah." Ada jeda beberapa saat sampai kemudian Gusti melanjutkan. "Yuk ah, ikutan. Buruan mandi. Nggak sampe sejam lagi kita nyampe rumah lo."

"Males, Gus. Panas."

"Lexusnya Bimo mantep AC-nya. Nggak usah banyak alesan. Nanti gue kasih Yu Djum-nya dua."

"Dua buat gue semua. Kalo mama nanya gimana?"

"Ya udah, tiga."

Iis ketawa. Terpaksa dia bangkit juga dari hammock di bawah pohon mangganya, membiarkan Haikal, abang satu-satunya menguasai properti.

"Apaan dua buat lo semua?? Gue gimana??" Haikal yang agaknya mendengar suara Gusti saking kencengnya volume handphone Iis tadi, auto protes.

"Lo nggak punya temen yang mau ngasih oleh-oleh tiap pulkam? Kasiaaan, deh!" Cewek itu menjulurkan lidah dan langsung cabut.

Hampir dua jam kemudian, tepat saat Iis mulai putus asa dan ingin tidur siang saja, kendaraan Bimo baru merayap ke halaman rumahnya.


~


Ismail menatap teman-teman yang memenuhi kamar rawat inapnya—sibuk makan gudeg—dengan pandangan tidak mengerti.

Dia sedang sakit, tapi kenapa teman-temannya ini tidak membiarkan dirinya hidup tenang sehari saja?

"Beneran nggak mau disuapin, Bang?" Sabrina nanya.

Mencium baunya saja Ismail sudah ingin muntah.

"Buruan diabisin, terus pulang deh kalian semua. Gue juga bentar lagi mau cabut."

"Kan kita baliknya nunggu lo cabut, Bambang. Ini kita dateng buat melepas kepergian lo!"

"Bodo amat."

Ismail menaikkan selimut sampai menutupi muka.

Tadinya, dia sudah senang karena bisa balik duluan ke Jakarta. Eh, malah keluar masuk RS terus dan sama sekali nggak bisa mencari keberadaan Regina yang kayak menghilang dari muka bumi itu.

Mana kakaknya ember banget, dibilang nggak usah bilang ke orang tua mereka, malah lapor dan akhirnya Mail dipaksa pulang kampung.

Pulang kampungnya sih oke. Tapi sampai sekarang Ismail merasa badannya kayak udah nggak ada harapan sembuh, dia takut kalau nanti saatnya KRS-an kondisinya belum juga membaik dan malah terpaksa ambil cuti. Mana masih ada BEM setengah periode juga, yang tentu saja akan berlipat-lipat repotnya kalau Mail tidak standby di kampus. Mau merelakan posisinya juga susah, karena nggak gampang bagi Mail untuk sampai ke titik ini, dipercaya jadi menteri.

Kenapa hidup Mail jadi kacau balau begini, sih?

"Masih sensi aja, Il." Setelah ganti banyak topik obrolan, mendadak Iis nyeletuk. "Udah, ikhlasin aja. Regina bukan jodoh lo."

Entah Iis ini sedang menghibur atau meledek, Ismail nggak ngerti.

"Kalau jadi gue, lo kesel nggak?"

"Ya kesel, sih." Iis meringis. "Tapi mungkin poinnya emang bukan di elo bisa nolongin Regina atau enggak. Bisa jadi, yang harus di-highlight dari pengalaman buruk lo ini adalah bahwa nggak semua yang lo mau bisa lo wujudin. Ada kalanya hal-hal berjalan nggak sesuai dengan kemauan lo, dan lo kudu belajar legowo. Legowo ini susah banget loh, kalau bisa ngelakuin, that's great. Elo berhasil unlock satu level penting dalam proses adulting."

Ismail berdecih. Ngomong doang mah enak. "Rasanya kayak ada buaya nyangkut di tenggorokan."

Gusti ikut berdecih. "Bukan cuma elo yang kesel ya, anjrit! Kita semua juga kesel, pengen tau Regina gimana sekarang. Tapi ya udah sih. Nomer udah nggak aktif, alamat KTP udah nggak valid, sosmed nggak punya, mau lo cari ke mana? Sensus ke kecamatan satu-satu?"

Terakhir, Zane juga berdecih.

Dari tadi dia hanya menonton, hanya fokus dengan makanannya. Dia memang hanya datang sebagai formalitas, karena Gusti bilang nggak akan memaafkannya kalau sampai nggak datang setelah Gusti merogoh kocek dalam-dalam untuk membawakan oleh-oleh.

Well, kalau ditanya apakah ada yang bisa dia petik dari kebodohan Ismail akhir-akhir ini ... kayaknya nggak ada, selain jangan bodoh aja. Nggak semua pengalaman orang perlu dia ambil hikmahnya kan? Please deh, Zane nggak serajin itu.


~


Far, far away from the gudeg thingy, Regina was crying her heart out.

"Don't touch me!" Perempuan itu memekik ketika Ibra menyentuh dagunya, tidak peduli sedang berada di kamar rumah sakit dan suaranya bisa saja terdengar perawat yang berjaga di nurse station dekat kamarnya. "Don't. You. Dare. To. Touch. Me. I'm no longer afraid of you."

"Apa sih, Rei? Drama amat." Ibra tertawa.

"Drama? You're sick!"

"Regina, you're the one who was hospitalized."

"And you're the one who made me like this!"

"Like what? Elo cheating, dan gue mau maafin lo dengan lapang dada? Tapi lo udah terlanjur makan ati dan jatuh sakit dengan sendirinya."

"Sakit dengan sendirinya? Go to hell, Ibra—I always end up like this whenever you're mad, and I'm not that stupid not to realize what you've done!"

"Me, go to hell? Lo pikir lo akan masuk surga? Lo lupa apa yang udah lo lakuin? Gue ingetin ya, Sayang. You've slept with another guy behind my back. Dan kalau lo nggak tahu, itu termasuk dosa besar, loh."

Regina mengusap air matanya. "And you ... you're not just sleeping with another woman behind my back! You ruined my life since I was only 18! You and your family treated me like shit, even though my pregnancy back then was our fault, not just mine! You abuse me physically and mentally! And you don't let me go easily because I'm your favorite toy—and now isn't just me, but also the guy I like! I should have ended this bullshit a long time ago! I shouldn't have even married you in the first place!"

"Whoaa, whoaa, whoaa. Makin drama." Sekali lagi Ibra tertawa. "Don't be ridiculous. We're a happy couple just few weeks ago. Makanya kalau temenan, pilih-pilih dong, biar nggak kena pengaruh buruk."

Lelaki itu mengambil handbag-nya dari meja samping tempat tidur dan berdiri. Mengusap air mata istrinya, dan bahkan menjatuhkan kecupan di puncak kepala.

"Or ... maybe it's time for you to see a psychiatrist," ujarnya terakhir kali, sebelum kemudian meninggalkan Regina di ruangannya sendirian.


[tamat]


Tadinya mau gw detailin soal rumah tangga Regina, tapi takut salah. Ilmu gw masih cetek, nanti malah sesat.


Btw, masih ada scene yang ngebingungin dan bikin gagal paham gak? Atau ada scene yang kalian ditunggu-tunggu tapi malah nggak dimunculin??

Terus, yang mau berbaik hati komen, kasih tau dong kekurangan cerita ini di mana? Soalnya menurut gw premis dan konfliknya bagus, sayang aja kalau nggak serius diedit suatu saat nanti.

Dan gitu aja, tengkyuu udah mau baca sampe part terakhir.


PS. Versi komedi cerita ini, dengan POV terfokus pada Zane, bisa kalian baca dengan judul #Notdatingyet. Masih on-going di Wattpad.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top