36 | shouldn't matter but it does


Ngobrol dengan Linggar selalu berhasil memberikan efek soothing setelahnya—membuat Iis jadi merasa diayomi.

Mungkin begini kali ya, yang dirasakan Sabrina seusai sesi deeptalk dengan pacarnya? Well, Bimo memang kayak tai kalau ke Iis, tapi Iis tahu bagaimana Bimo ke Sabrina. Dan Iis amat bersyukur ada Linggar di sampingnya malam ini, hingga dia bisa mantap mengetuk pintu kamar Ismail sebelum Zane keluar dari kamarnya dan meneriaki mereka semua untuk berangkat.

"Karena nggak tau besok masih hidup apa enggak, gue mau minta maaf sekarang, mumpung ada kesempatan." Iis membuka suara tidak lama setelah Mail menjawab ketukannya dan dia mengayunkan sedikit daun pintu kamar cowok tersebut hingga terbuka.

"Minta maaf buat apa? Malah gue yang punya banyak salah ke elo." Ismail menyahut tipis. Menoleh temannya sekilas saja.

Tadinya, Ismail sudah ingin pergi mandi, tapi batal karena kedatangan Iis. Jadinya, sekarang dia kembali duduk di pinggir kasur.

Iis mesem, permisi untuk masuk. "Lo abis nangis, Il?"

"Kagak." Tentu saja Mail mengelak, makin menjauhkan pandangannya dari sang tamu.

Kebodohannya akhir-akhir ini sudah sangat menjatuhkan harkat dan martabat, tentu saja Mail menolak kelihatan makin lemah.

He's a grown ass man. Memiliki diri sendiri sudah lebih dari cukup untuk mengatasi masalah hidupnya.

"Itu mata lo merah banget." Iis tidak mengiyakan begitu saja, malah berjalan makin dekat.

"Ini karena ngantuk. Semalem nggak bisa tidur, terus seharian tadi lumayan capek mondar-mandir. Jam makan siang nggak sempet istirahat."

Iis mengangguk, lalu beringsut duduk ke sebelah temannya.

Agak kikuk awalnya. Maklum, Iis dan Mail tuh kayak Tom and Jerry. Saling sayang sebenarnya, tapi bermanis-manis bukanlah gaya mereka.

"I've been watching you through the whole thing, tapi Il, jujur gue masih nggak ngerti gimana lihat situasi ini dari sudut pandang lo. Please enlighten me so I can stand by you."

Percaya nggak kalau Ismail tuh kayak margarin, gampang banget meleleh? Baru juga digituin, luluh sudah pertahanannya untuk terlihat sok tegar. Dalam hitungan menit, si cowok sesenggukan saja di pundak Iis, membuat Iis ingin tertawa sembari menepuk-nepuk pelan punggung temannya itu.

Badan aja gede, kelakuan sok, tapi cowok ini sebenernya masih bayi.

"Oalah Il, Il .... Poor you."


~


Kayaknya, Mail sudah agak gila karena tidak bisa menahan diri untuk nggak meminta taksi yang ditumpanginya berbelok ke arah kosan Regina di hari Senin pagi.

Entah kenapa, feeling-nya begitu kuat untuk menyuruhnya ke sana.

Semoga Regina nggak kenapa-napa. Cuma itu yang Mail harapkan saat berusaha meneleponnya, tapi nggak kunjung diangkat.

Semoga Regina cuma lagi sibuk siap-siap ke kantor dan nggak melihat handphone, Mail berdoa lagi.

Kalau ditanya apa motifnya melakukan ini, jujur Mail juga nggak tahu.

Dia memang menyukai Regina, tapi di titik ini tentu tujuannya sudah bukan agar bisa kembali bersama dengan perempuan itu. Sama sekali bukan. He just ... couldn't stand the thought of someone he knew getting hurt, without him doing anything about it.

Gaya banget lo Il, emang lo siapanya?? Yaah ... sekali lagi Mail nggak bisa menjawab. Pokoknya dia ingin ke tempat Regina sekarang.

Syukurlah, saat Mail tiba di tujuan, Regina juga baru saja turun dan sedang membuka pintu pagar.

"Aku anter ke kantor." Ismail berjalan menghampirinya, dan seketika mencelos melihat penampakan Regina, yang seperti tidak tidur dan menangis semalaman, tapi coba ditutup-tutupi pakai makeup kelewat tebal.

"Are you insane? Aku kan udah bilang jangan ke sini!"

Tentu saja keterkejutan Regina melihatnya adalah hal yang sudah Mail duga. Tapi ternyata kali ini Regina bukan hanya terkejut, melainkan histeris, sambil mendorong-dorong bahu Ismail supaya lekas masuk kembali ke taksinya.

"Rei, Rei ... stop. Aku cuma mau kasih tumpangan."

"Aku nggak butuh!" Cewek itu bahkan sampai menangis segala, membuat makeup waterproof-nya tetap kelihatan sedikit berantakan.

Yah, Mail tahu, mungkin nggak seharusnya dia turun dari taksi. Padahal tujuannya datang cuma ingin melihat Regina dari jauh, tapi tadi dia refleks saja keluar karena melihat Regina juga keluar dari rumah.

"Okay, okay, I'll go. Aku cuma pengen mastiin kamu baik-baik aja."

"Kan bisa tunggu di kantor! Kamu tuh kenapa kayak gini sih, Ismail??"

"Iya, sorry, so—"

"DI KAMUS LO NGGAK ADA KATA MALU, YA?!"

Dan karena kabur bukanlah jiwanya, dalam hitungan detik kemudian sebuah bogem mentah mendarat dengan tepat di muka Ismail.

Right. Suami Regina.

Ismail manggut-manggut, menyerap rasa nyeri yang langsung terasa.

Toh, dia memang pantas menerimanya.

"Sekali lagi lo nemuin istri gue, you won't be able to see the sun!"


~


Shit. Sakit banget pukulan suami Regina kali kedua ini, jauh lebih sakit dibanding yang pertama. Mungkin karena kayaknya cowok itu sudah sarapan, jadi tenaganya full?

"Ckckck ... mantap!" Gusti mengacungkan jempol saat melihat temannya itu berusaha menotol-notol lukanya dengan sesuatu di depan kaca toilet kantor.

Sesuai kesepakatan dengan semuanya di rapat paripurna di villa Buleleng kemarin, mulai hari ini Gusti nggak akan terlalu mengekang Ismail. Bodo amat. Mail udah tua. Dan Regina lebih tua lagi. Mereka berdua tau apa yang mereka lakukan punya resiko. Ya sudah. Gusti mau kembali ke bangku penonton.

"Oy!" Baru juga Gusti tiba di depan urinoar terdekat, hendak buang air kecil dengan khidmat, Ismail memanggilnya. "Tadi Sabrina bawain sandwich dua kotak, satu buat lo, ada di tas gue, ambil aja."

"Lah, kan gue udah sarapan?"

"Gue juga. Itu buat cemilan, dia bilang."

"Oke, oke." Gusti mengangguk-angguk, menaikkan resleting celananya, dan kemudian berlalu, meninggalkan Mail kembali overthinking sendirian.

Setelah memastikan mukanya nggak kelihatan bonyok-bonyok amat, Ismail keluar menghampiri Gusti, memastikan temannya itu sudah mengambil kotak makan yang dia maksud, sekilas melihat Regina sedang berkeliling memperkenalkan karyawan baru ke beberapa staf yang ada. Tapi Ismail nggak bisa berlama-lama di situ karena harus turun ke lantai satu, tempat Mbak Gendis yang jadi bosnya minggu ini bekerja.

Tiga jam terasa sangat lama.

Sekuat tenaga Mail menahan diri untuk nggak izin ke kamar mandi demi mencari Regina seorang, hingga akhirnya jam istirahat tiba.

"Rei ...." Ismail menemukan cewek itu berjalan keluar kamar mandi lantai dua. Tapi tidak mau berhenti untuk sekadar meladeninnya dan malah berjalan lurus ke pantry, membuat teh manis untuk dirinya sendiri. "Have lunch with me, please. Di kafetaria aja."

"You lost weight." Tanpa menoleh dari teh celup yang sedang diseduhnya dengan air panas dari dispenser, cewek itu menggumam.

Ismail menghela napas. "Yes. Even I've lost 6 kgs."

Bahkan itu terakhir kali dia ke dokter beberapa hari lalu, sementara sampai sekarang dia nyaris tidak bisa lagi makan apapun tanpa memuntahkannya. Semua makanan terasa kayak sampah di mulut Ismail.

"Harusnya kamu dengerin aku untuk balik aja ke Jakarta."

"Ya tapi kenapa aku yang disuruh pergi? Salahku apa?"

Regina tidak mampu menjawab. Dia menyesap minumannya dan berniat hendak pergi, tapi Ismail menggamit lengannya.

"Kita lagi di kantor, Ismail. Siapa aja bisa lihat."

"Then, please have lunch with me."

Regina mengangguk. "Ajakin Gusti. Aku ajak anak baru sekalian."

"Sama aja bohong."

Regina tidak menjawab lagi. Tapi melihat cewek itu menyeka air matanya, Mail bisa apa?


~


Saking pening, Mail sampai nggak sadar bahwa dirinya nyaris ngusruk ke selokan saat turun dari ojek motor yang membawanya pulang ke rumah di sore hari. Untungnya Sabrina dan Bimo lagi ada di TKP—tampak baru tiba juga—dan refleks Bimo cukup bagus untuk menggamit lengannya sebelum temannya itu mereka ulang adegan Sabrina nyemplung comberan di pasar bulan lalu.

"Bang!" Sabrina menatap Ismail dengan horor setelah dituntun Bimo dan dirinya masuk rumah dan duduk di sofa tamu. "Sumpah badan lo kerempeng banget."

Cewek itu juga mengacung-acungkan pergelangan tangan Ismail yang dipegangnya, menatap super ngeri pada lengan kurus yang terlihat dari sebatas bawah siku tempat lengan kemeja panjangnya tergulung. "Ini apa, Bang? Tinggal tulang dibungkus kulit!"

"Kasih gue teh manis dong, Sab. Lemes banget."

Sabrina berdecak, tapi cepat tanggap dan segera lari ke dapur, sementara Bimo kelihatan capek banget, nggak tahu mau ngapain.

"Lo nggak makan siang?" Bimo menuduh.

Mail ketawa pelan. "Makan, lah."

"Tapi lo muntahin?"

"Kagak, anjir."

"Terus kenapa lemes?"

"Ya lemes mah lemes aja."

Bimo berdecak, melihat temannya itu minum teh yang diberikan Sabrina tidak lama kemudian.

"Nggak usah naik ke atas dulu. Gue sama Sabrina udah order makan malem."

Ismail mengangguk-angguk, meletakkan gelasnya yang tersisa setengah ke atas meja, kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

Sebenernya dia ini kenapa, sih? Tadi di kantor nggak terlalu kerasa pusing, tapi sore ini penyakitnya balik lagi.

"Sama boleh minta ambilin selimut nggak sih, Sab? Kok gue menggigil."

Sabrina melotot. "Lo mending opname lagi aja nggak sih? Seriusan gue takut lo nggak bangun pas gue ketok kamar lo besok pagi."

Tapi sekali lagi Sabrina dengan tabah berjalan ke kamarnya dan mengambilkan selimut untuk Ismail. Bahkan dia yang menyampirkan selimut itu ke atas tubuh seniornya yang sudah meringkuk di atas sofa saat ia kembali dari kamar.

"Haruskah gue balik ke Jakarta aja sekarang ...?" Mail menggumam. "Regina bilang, dia bakal bantuin biar jam kerja gue terpenuhi ....."

Tidak ada yang bisa menyahut.

Mail tersenyum tipis.

"Sorry ya, gue ngerepotin mulu."

Bimo dan Sabrina tetap tidak menjawab.

"Nanti-nanti kalau kalian repot dan gue masih idup, jangan sungkan ngerepotin gue balik."

"Bisa diem aja nggak?" Sabrina menyentak. Dia beneran takut Ismail nggak bangun besok pagi, malah diingetin lagi.

Mail yang sehat saja sudah kurus kering, apalagi Mail yang lagi sakit-sakitan kayak begini? Terlalu mengerikan untuk dilihat. Bahkan Bimo yang biasanya paling tabah saja sempat berjengit ngeri ketika memapah temannya tadi, saking kelihatan entengnya badan Ismail.

"Ya ... umur orang siapa yang tahu, sih?"

Sabrina kontan mencubit Ismail.

Yang dicubit malas bereaksi.

Mau melek saja dia malas.

Sesakit itu badan Ismail sore ini. Lebih sakit ketimbang saat Sabrina menemukannya jatuh dari kasur pagi-pagi minggu lalu.

"Jujur, lo kelihatan lebih kacau dari sebelum ke IGD waktu itu, Bang." Sabrina bersuara sambil merangkul tangan Bimo. "Beneran nggak mau ke rumah sakit lagi?"

"Makan dulu aja. Ini udah dateng abang ojolnya." Bimo bangkit berdiri.

Sabrina mengekor karena nggak mau ditinggal berduaan dengan Ismail.

Ismail tersenyum pedih.

Tiba-tiba saja wajah dengan pipi kurus, cekung, dan sepasang mata sembab Regina terlintas di kepala.

Apa perempuan itu juga mengalami sakit yang sama? Tapi kan dia yang bikin ulah?

Wait

Ismail mendadak bangkit dari sofa.

Kan dia tahu siklus datang bulan Regina?


~


Berjam-jam setelah makan malam, Ismail masih belum juga berkesempatan untuk memejamkan mata lagi karena kerjaan BEM yang sudah dia garap sepanjang weekend masih belum kelar juga. Apalagi sebagian besar anak buahnya sedang hectic di lokasi magang masing-masing, rada susah diajak nge-Zoom lama-lama.

Oke, bohong.

Urusan BEM sama sekali nggak bikin pusing. Dan normalnya, Ismail bisa tidur dulu sejam dua jam sebelum lanjut membuka laptop lagi.

Yang sekarang membuatnya hampir tidak bisa fokus melakukan apapun adalah karena dia mendadak teringat banyak hal. Percakapannya dengan Regina tentang PMS di malam terakhir mereka sebelum suaminya datang menyeretnya keluar, insiden tabrakan di depan toilet kantor yang membuat pouch Regina jatuh dan Mail sempat tidak sengaja melihat banyak perlengkapan sanitary di dalamnya, juga intensitas Regina keluar-masuk kamar mandi kantor dengan pouch tersebut setiap harinya.

Biasanya Mail nggak ngeh.

Atau nggak peduli.

Tapi sekarang dia ingat semua karena terasa janggal.

She has had her period for more than two weeks now.

Dan Mail tahu itu tidak normal—apalagi setelah tahu sesehat dan senormal apa siklus Regina di bulan sebelumnya.

Putus asa dengan konsentrasi yang menolak dikendalikan, Ismail mematikan laptopnya, mengambil jaket dari tumpukan pakaian bersih di lemari dan berjalan keluar kamar.

Silakan labeli dia bebal karena memang yang selanjutnya cowok itu lakukan adalah mengetik alamat Regina pada aplikasi ojek online.

Sekali lagi, dia nggak mau ngapa-ngapain. Cuma mau lihat situasi dari jauh. Dan kali ini dia benar-benar berusaha mematuhinya: duduk diam di dalam taksi, memperhatikan bahwa mobil berwarna yellow carnival yang tadi pagi dipakai suami Regina sudah tidak ada.

"Pak, di sini dulu lima menit nggak apa-apa, kan?" Ismail menanyai supir taksinya, tapi belum sempat dia mendengar jawaban, Regina terlihat berjalan dari ujung gang, dan Ismail memanggilnya, "Rei!"

Regina berjalan lurus ke arah rumah.

"Gue boleh turun, nggak?"

Tangan Regina bergerak membuka gembok pagar.

Ismail nekat turun karena tidak ada aba-aba untuk menyuruhnya pergi.

Setelah pintu terbuka dan Ismail ada di sebelahnya, Regina cuma berdiri diam.

"Nggak usah masuk, ya?" Perempuan itu kelihatan tidak berenergi sama sekali. Ismail bukan ibunya, tapi melihat Regina seperti ini, dia ikut nelangsa.

"I'm worried. I've tried not to, but still can't help it."

Regina berkaca-kaca mendengarnya. Tapi memutuskan untuk nggak merespon.

"Aku nggak bisa lihat kamu kayak gini. Please tell me what happened to you, and what I can do to make your life better."

"Nggak ada, Ismail, nggak ada." Perempuan itu berusaha nggak menangis, tapi nggak bisa. "Ngizinin kamu masuk ke hidup aku adalah kesalahan, dan aku nggak mau bikin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya."

"But surely you have your reasons in the first place."

"Tetep nggak seharusnya aku normalisasi tindakan aku, kan?"

Right.

Ismail begitu kesal karena dia tidak punya hak memaksa Regina bicara padanya.

"Aku juga kekeh nanya bukan biar bisa terus berhubungan sama kamu. Aku nanya, barangkali ada yang bisa aku bantu. Aku berkontribusi juga untuk bikin hidup kamu berantakan, so let me do something to fix it." Ismail menghela napas panjang. "Dia nyakitin kamu, kan? Sejak kapan?"

Regina cuma menyeka air matanya dan menggeleng-geleng. "Good Night, Ismail. Sampai ketemu besok di kantor."

Dan kemudian perempuan itu berjalan masuk meninggalkan Ismail.


~


"Dari tempat Regina, ya?" Iis bertanya saat Ismail membuka pintu rumah. Rupanya Iis belum tidur dan malah main HP gelap-gelapan di ruang tamu.

Ismail mengangguk kalem sembari menutup pintu dan melepaskan sepatunya.

"Mau makan lagi, nggak? Gue pengen Indomie, tapi nggak mau ngabisin seporsi sendiri." Iis nanya.

"Boleh." Sekali lagi, Ismail mengangguk, membuat temannya itu tersenyum senang dan segera kabur ke dapur, membawa semangkuk mie kuah tanpa telur dan cabe rawit lima menit kemudian.

"Awas aja kalo dimuntahin. Ini momen seumur hidup sekali, seorang Iis mau berbagi mie hasil ngerebus sendiri sama lo."

Ismail cuma mesem sambil menerima garpu dan sendok yang diulurkan temannya, kemudian makan dalam diam.

Hebatnya. micin Indomie cukup bersahabat dengan lambungnya.

"Cerita apa ke, Il. Hening banget kayak sidang skripsi." Iis berusaha mencairkan suasana, tapi gagal.

"I have nothing to say." Mail lempeng-lempeng saja, tipikal hidup segan mati tak mau.

"Tadi ketemu?"

"Ketemu."

"Ngomong apa?"

"Nggak ngomong apa-apa."

"Astaga." Iis depresi. Ingin menjambak rambut sendiri, tapi dia bisanya menjambak jilbab sendiri—yang mana nggak mungkin dia lakukan. "Sejujurnya, menurut gue, Regina itu bitch abis. Tapi ya nggak bisa dipungkiri bahwa situasi orang beda-beda. Gue yakin dia udah nerima cukup banyak pressure dari mana-mana, dan bukan hak gue buat ngehakimi. So, what I'm going to say is ... kalau dia nggak bersedia ngomong sama lo, let me talk to her. Sekarang mau lo apa?"


#TBC


Kurang 1 part yeuu.

Kemaren w abis baca ulang ini cerita dan nemu scene ini. Mengkesal, karena abis itu gak ada pembahasan lanjutan sama sekali dan jadi plot hole. Mau disisipin di akhir-akhir penjelasannya kok maksa banget?? Ya udah, maklumin aja yak.

Btw, ini tuh ada hubungannya sama kecelakaan di Malang th 2014 itu looh. Yang kalian baca di scene terakhir SABRINA'S DATING 101. Dan malah jadi plot hole lagi karena kalo gak salah, di sono w nulisnya zane kagak inget pernah ketemu sab jauh sebelum sab ama bimo dan gak tau sab juga ada di TKP? Padahal harusnya zane udah ngenalin sab dari cewek itu maba, tapi deseu diem aja, soalnya momen pertama mereka ketemu emang semenyakitkan itu, huhuhuu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top