34 | one way


Agaknya, Ismail sedang tidak beruntung.

Sekuriti kosan Regina sedang meninggalkan pos, dan hingga sepuluh menit lebih dia berdiri di depan pagar, tidak ada seorangpun yang bisa dimintai pertolongan untuk memberinya akses masuk ke dalam.

Nggak mungkin dia menelepon Regina, kan? Mustahil diangkat.

Entah apa yang membuat cewek itu mantap menghindarinya, padahal kemarin-kemarin seperti tidak rela memutus hubungan meski sudah ketahuan sang suami.

Ismail bukannya rela jadi selingkuhan. Dia cuma ... nggak mungkin diam setelah mengetahui ada kemungkinan Regina hamil, kan?

Ismail juga bukannya udah siap banget untuk mempertanggung jawabkan semua kemungkinan terburuk. Tapi kan ... fuck, Mail nggak bisa mikir.

Lima belas menit. Dua puluh menit ....

Makin lama, makin anxious.

Sebentar lagi matahari tenggelam. Bahkan sebagian lampu jalan sudah menyala.

Ya Tuhan, apa sebaiknya Mail telepon saja?

Untungnya nggak perlu, karena tepat saat Mail hendak menyentuh ikon bergambar gagang telepon pada kontak Regina, dewa penyelamatnya datang.

Penghuni kamar sebelah Regina. Cewek juga, seumuran Regina. Tampak baru pulang kerja.

Ada bagusnya juga Ismail terlahir ramah dan secara alamiah akan bertegur sapa dengan orang-orang yang berpapasan dengannya di mana saja. Dan karena berpapasannya berkali-kali, sudah pasti Ismail mengenalinya.

"Boleh ikut masuk, nggak, Nez? Regina nggak jawab telepon gue, takut dia kenapa-napa. Tadi di kantor udah kelihatan nggak sehat." Ismail berusaha kelihatan memelas sekaligus tidak menyebalkan karena tahu rasanya direpoti orang yang nggak kenal-kenal banget.

Tetangga Regina yang bernama Inez itu menimbang sejenak. Kelihatan enggan. "Jujur, aku nggak mau terlibat masalah orang."

Ya sih, Mail paham.

Cukup lama bertetangga dengan Regina, nggak mungkin cuma Ismail satu-satunya tamu Regina yang Inez kenali. Nggak mungkin Inez nggak pernah ketemu suami Regina, dan hampir nggak mungkin Inez nggak mengetahui bahwa Ismail adalah selingkuhan.

Karena nggak ingin memaksa, Ismail kemudian mengangguk. "Seenggaknya boleh save nomor gue? Please kabarin kalau ngerasa ada yang nggak beres di kamar Regina."

Lagi-lagi Inez menunjukkan wajah enggan.

Nggak ada harapan.

Mail memutuskan akan menunggu sebentar lagi, barangkali Regina keluar mengambil pesanan delivery makan malam.

"Masuk aja, deh. Tapi jangan bilang kalau aku yang bawa kamu masuk." Di luar dugaan, tetangga Regina itu mendadak berubah pikiran. "Tapi kamu masuk duluan. Pastiin nggak belok ke mana-mana. Aku nyusul semenit lagi."

"Thank you, thank you." Ismail segera masuk sebelum penolongnya itu kembali bimbang, segera berjalan cepat ke ujung belakang area parkir, menuju tangga yang mengarah ke kamar Regina di lantai dua.

Kalau ditanya seberapa gugup dan takutnya Mail saat ini ... jawabannya lebih takut ketimbang saat pertama kali dipanggil ke ruang BK saat SMP.

Semua pikiran buruk berkecamuk di kepala.

Bagaimana kalau—seperti kata Gusti—Regina sedang tidak sendirian di kamarnya?

Meski nggak bermaksud tidak bertanggung jawab, tetap saja Mail ngeri akan mendapat bogem mentah lagi.

Di kondisi tubuh sehat saja dia sudah pasti kalah fisik, apalagi saat dia cuma tulang dibungkus kulit begini? Agaknya satu tempeleng saja bisa menumbangkannya.

Bagaimana juga kalau bukannya digebukin sampai mampus, tapi malah diseret ke kantor polisi? Bagaimana kalau Bapaknya di rumah sampai tahu dan dia tidak bisa lanjut kuliah di Depok? Masa depannya suram sekali.

Tapi Mail juga nggak mungkin tutup mata pada kondisi Regina.

Bagaimana kalau yang dia khawatirkan benar terjadi? Nggak mungkin Mail membiarkan Regina menghadapi semuanya sendirian.

Ya Tuhan ... Ismail yang berlumuran dosa ini masih boleh minta pertolongan nggak, sih?

Ya, ya, ya. Kemarin dia mikir apa aja pas berbuat maksiat? Giliran udah runyam, baru merengek-rengek.

Tiba di pangkal tangga, Ismail menarik napas panjang beberapa kali, berusaha tidak nervous. Dia lalu berbelok ke lorong pendek yang hanya berisi tiga kamar.

Kamar Regina di pintu pertama.

Shit. Kenapa tadi Ismail nggak tanya ke Inez, apakah ada orang lain atau tidak di kamar Regina beberapa hari ini? Paling nggak, dia bisa mempersiapkan mental lebih kalau memang harus ketemu Ibra.

Tiba di depan pintu kayu cokelat berukir khas Bali, Mail mengulurkan tangan untuk mengetuk pelan.

Syukurlah, tidak langsung ada sahutan sehingga Mail bisa bernapas dulu.

Lima detik kemudian, dia ketuk sekali lagi, kali ini disertai panggilan pelan.

Agak mengagetkan karena belum selesai Mail memanggil, daun pintu ganda itu sudah lebih dulu mengayun terbuka dengan sendirinya.

Tidak ada siapa-siapa di balik pintu.

Dada Ismail bergemuruh.

Perlahan dia melirik ke dalam.

Ya Tuhan ... dalamnya berantakan. Banyak kardus besar di dekat pintu.

Ismail memanggil Regina sekali lagi, lalu memutuskan masuk.

Pandangannya beredar mengelilingi ruangan seiring kakinya melangkah.

Sekilas saja kelihatan kalau habis ada tragedi.

Semua berantakan. Setumpuk kayu-kayu patah dan pecahan kaca disisihkan ke pinggir. Kasur queen size Regina didirikan menyandar dinding, sementara dipan kayunya tampak sedang diperbaiki.

Ismail lemas membayangkan bagaimana rupanya kamar ini sebelum dibereskan sama sekali?

Ya, suami mana yang akan membiarkan istrinya setelah ketahuan selingkuh? Tapi ... apa perlu dilampiaskan dengan cara seperti ini?

Oh, ya. Ismail tidak pantas mengkritisi, karena bukan dia yang mengalami.

Sepasang mata Ismail langsung terasa panas, nggak sanggup membayangkan apa saja yang sudah dilalui Regina minggu-minggu ini.

"Rei?"

Ismail menuju ke kamar mandi, barangkali Regina ada di sana, tapi ternyata kosong.

"Rei?"

"Ismail ...?"

Tahu-tahu yang dipanggil muncul di depan pintu kamar. Masih mengenakan pakaian yang tadi dia kenakan di kantor.

Di tangannya ada satu keranjang besar berisi pakaian yang nyaris jatuh karena kaget, tapi untung refleks Regina masih cukup baik.

"Ngapain kamu di sini?" Perempuan itu langsung panik begitu berhasil menguasai diri. "Kamu bilang supaya aku jaga jarak, terus kenapa malah ke sini?"

Ismail tidak mengindahkan. Fokusnya masih sepenuhnya terarah ke kondisi kamar yang terobrak-abrik. "Ini apa, Rei? What has he done to you?"

"Nggak ada apa-apa. Please, kamu pulang sekarang."

"Rei, look. Kamarmu kacau kayak gini, terus kamu gemetar kayak orang ketakutan, mana mungkin aku percaya nggak ada apa-apa?"

"Ya kalaupun aku kenapa-napa, I deserved this, Ismail. You already know that. Aku nyakitin dia, wajar dia nyakitin aku balik. Sebagaimana kamu kecewa ke aku, wajar kalau dia lebih kecewa dan kemudian ngelampiasin. Terutama karena emang dia yang paling berhak kecewa."

Regina pasti sudah menangis kalau saja Ismail tidak ada di situ.

Tapi meski harus melihat perempuan di depannya itu menangis, Ismail tidak berniat pergi begitu saja.

Perlahan dia melangkah mendekat dan mengambil alih pegangan Regina pada keranjang pakaiannya.

Melihat raut perempuan itu dari dekat, hati Ismail seperti teriris.

Padahal kemarin-kemarin Ismail berharap Regina mendapatkan ganjaran yang setimpal. Tapi melihatnya menahan pedih seperti ini, Mail merasa malu sekaligus tidak terima.

"What did he do to you? Nggak mukul, kan?" tanyanya parau.

Tidak terdengar sahutan Regina. Hanya ada suara isak tertahan.

"Rei, jawab!"

"Please, kamu pulang!"

Ismail ganti mencengkeram satu lengan Regina, memandangnya lurus-lurus. "Dipukul di mana?"

Karena yang ditanya tidak menjawab, dia meneliti punggung tangan perempuan itu, lalu naik ke wajahnya.

"You're hiding something don't you? It's Canggu, no one wear turtleneck here." Ismail mendesis marah. "Bilang ke aku, dipukul di mana?"

"Aku nggak dipukul. Aku nggak kenapa-napa. Justru kamu yang bikin aku khawatir, harusnya kamu balik ke Jakarta sekarang, tapi kamu nggak mau denger."

"Ngapain juga aku kabur ke Jakarta sekarang? Aku nggak sepengecut itu."

"Kamu sakit, dan pergi dari tempat yang bikin kamu sakit itu namanya bukan kabur!"

Ismail hampir saja memaksa Regina memperlihatkan tubuh yang sedang coba ditutup rapat-rapat oleh perempuan itu, tapi segera ingat hal itu tidak bisa dibenarkan. Baru juga dia mengambil alih keranjang Regina sepenuhnya untuk diletakkan di lantai, fokus matanya teralihkan pada pemandangan mengerikan di depannya.

"You ...?" Ismail sampai kehilangan kemampuan berkata-kata, sepenuhnya terpaku pada Regina. "Rei ...."

Air mata Ismail tumpah. Mengerang sejadi-jadinya melihat celana panjang khaki Regina yang berlelehan darah di bagian paha dalamnya.

Ya Tuhan ...

Apa yang terjadi pada perempuan ini?

"Rei ...." Ismail jatuh terduduk. Tidak lagi peduli apakah suaranya akan terdengar sampai ke kamar Inez atau tidak. "What happened to you?"

Regina yang juga ikut menangis cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu ...?"

"Kamu nggak seharusnya lihat aku kayak gini. Please, kamu pulang sekarang. Please ...."

"Rei ...."

"Please, Ismail!"

"Kamu kenapa sampai berdarah-darah gini? Kamu apain badan kamu? Atau ... kamu diapain?"

Regina ikut duduk, menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Kamu yang kenapa? Aku cuma lagi mens, makanya tadi balik duluan."

"Do you think I'm stupid? Darah mens nggak sebanyak itu."

"But it is." Regina menaikkan nadanya cukup tinggi saking bingung bagaimana mengusir Ismail.

"Kalau gitu ayo ke dokter. Ayo kita perjelas kalau kamu emang nggak kenapa-napa."

Regina menggeleng tegas. "Not today. I'll explain everything, but not today. Please, go home. Jangan dateng ke sini lagi. Aku nggak mau kamu makin kenapa-napa."

Ismail bergeming. Kepalanya terasa sangat ringan, sampai-sampai dia merasa wajar bila sebentar lagi kehilangan kesadaran.

"If you are worried about me, please go home."

Pada akhirnya, dengan tubuh hampir pingsan, Ismail terpaksa pergi juga.


~


Jam tujuh lewat sedikit. Mungkin sudah tidak terhitung berapa kali Sabrina melirik jam di pojokan layar laptopnya dan backpack di atas meja yang sudah siap diajak cabut sejak tadi sore.

Antara cemas karena Bang Ismail nggak kunjung pulang dan cemas nggak jadi berangkat jalan-jalan, kira-kira bobotnya sama beratnya.

Sebenarnya nggak masalah sih kalau dirinya nggak jadi pergi, tapi Sabrina nggak enak ke Zane yang sudah terlanjur mengeluarkan uang tidak sedikit untuk sewa villa.

Ya tentu, Zane pasti tetap akan pergi, dengan atau tanpa Ismail—karena ceweknya akan datang jauh-jauh dari Jakarta—tapi tetap saja, dia pasti kesal kalau ada drama lagi di saat dia sudah berkontribusi mengembalikan suasana rumah seperti semula.

"Udah beres?" Bimo menjulurkan kepala lewat pintu kamar Sabrina, bertanya ke pacarnya yang sedang menjalankan tugas sebagai anggota BEM yang baik.

"Hampir." Sabrina meringis. Tadinya dia menyepi ke kamar biar bisa fokus, tapi ternyata sama saja, di kamar pun malah kepikiran Ismail.

"Tumben kalem, nggak rempong minta bantuin?"

"Eung ... percayalah Bim, kalau selama ini aku terlihat rempong, itu cuma biar rame aja. Soalnya—selain Bang Ismail—kalian semua introvert parah. Kalau bukan aku yang ngeramein, yang ada rumahnya jadi kayak kuburan."

"Ya, ya, ya." Bimo ketawa aja. "Nanti kalau butuh bantuan, aku rebahan di atas."

Sabrina mengangguk, berusaha kembali fokus merekap hasil kerja anggota seksi kepanitiaannya seminggu ini. Sejauh ini, biarpun kerjanya remote, semua anggotanya menjalankan jobdesk masing-masing dengan baik, nggak ada yang sok merasa paling berhak bahagia dan kabur-kaburan, makanya Sabrina cenderung santai.

Jam setengah delapan, Sabrina mematikan laptop dan memutuskan keluar kamar karena mendadak lapar. Rencananya, mereka semua akan makan malam dalam perjalanan ke Buleleng nanti, tapi kayaknya nggak keburu.

"Katanya mau rebahan?" Sabrina bertanya ke pacarnya yang ternyata malah ada di dapur.

"Nggak jadi, keburu laper."

"Mau dibikinin sesuatu? Apa delivery aja? Tapi ntar delivery kelamaan?"

"Aku udah pesen kok, udah otw driver-nya." Cowok yang ternyata sedang mengupas buah itu kemudian menusuk sepotong semangka kuning untuk disuapkan ke Sabrina. "Nah, itu kayaknya udah nyampe."

Tapi Bimo kecele, karena ternyata suara ribut-ribut yang datang adalah Linggar dan Rachel, yang dijemput di bandara oleh Zane dan Mbak Iis.

"Gojek lo di belakang, tuh." Zane memberitahu saat berpapasan dengan Bimo di ruang tamu. "Yang lain dibeliin sekalian, nggak? Kalau enggak, gue order sendiri."

"Sejak kapan Bimo nggak inget temen?" Mas Gusti yang baru keluar kamar balik nanya ke Zane, membuat Sabrina yang mendengar jadi pengen ikut menyombongkan akhlak pacarnya.

Dan orang yang paling ditunggu-tunggu, Ismail, akhirnya tiba ketika beberapa orang sudah selesai makan.

"Bang?"

Sabrina menyenggol Bimo karena Ismail tidak menjawab sapaannya.

Yang disapa malah berjalan lurus ke dapur, mengambil air dingin dari dispenser. Meneguk sampai habis dengan gerakan kasar.

Nggak perlu ada kata-kata untuk menjelaskan bahwa kepergiannya ke kos Regina tadi tidak membuahkan hasil yang baik.

"Nanti aja. Biar adem dulu, baru ditanyain." Bimo memberitahu Sabrina untuk tetap duduk, sementara dia kemudian memperhatikan Ismail sampai selesai minum. "Makan dulu, cuy."

Ismail menoleh ke Bimo dan mengangguk, tapi tubuhnya tidak bergerak selangkahpun dari depan dispenser. Dan saat beberapa saat kemudian dia melihat Rachel dan Linggar di meja makan, cowok itu terlihat agak kaget. "Oh, sorry, ke Buleleng-nya berangkat malem ini, ya? Kalian nungguin gue?"

"Saaans. Makan dulu, mandi dulu. Bulelengnya nggak ke mana-mana." Lagi-lagi ucapan Bimo membuat Sabrina makin kagum dengan kedewasaan pacarnya.

Dan syukurlah, sebagai outsider, Linggar dan Rachel pamit tak lama kemudian, ke kamar pacar masing-masing.

Agak lama hingga akhirnya Ismail mau bergeser ke meja makan. Lalu duduk lemas sambil memijat pelipis dengan satu tangan.

Zane dan Mbak Iis saling pandang menunggunya bicara. Gusti dan Bimo menatap Ismail dengan sabar, sementara Sabrina mengedarkan pandangan ke seisi meja bergantian.

Sabrina benci situasi seperti ini. Terlalu dramatis untuk dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun.

Oke, dia sudah pengalaman menyaksikan drama kakak kandungnya dengan sang pacar bertahun-tahun, tapi drama yang melibatkan istri orang lain jelas beda level.

"Gue mampir ke kosannya." Ismail menggumam. Wajahnya menghadap Sabrina yang duduk tepat di seberangnya, tapi sepasang matanya menatap kosong.

Kadang, ekspresi yang seperti itu membuat Sabrina takut bahwa yang ada di depannya ini bukan Ismail sungguhan. Terlalu kelam. Seperti sedang kerasukan.

"Terus?" Mbak Iis bertanya tanpa gentar.

Ismail seperti kesulitan menjawab, sehingga Gusti berusaha memberi pencerahan. "Udah kejawab, pertanyaan lo sore tadi?"

Ismail mengangguk. Dan Sabrina bisa melihat jelas sepasang mata kosongnya berkaca-kaca.

Sabrina menggenggam tangan Bimo di bawah meja karena takut. Haruskah dia pamit ke kamar? Tapi ada Linggar di sana. Haruskah dia ke kamar Bimo? Tapi sekarang sedang tegang-tegangnya.

"Astagh ... firullah hal adzim ...?" Mas Gusti akhirnya bernapas setelah beberapa saat menahan. Lalu menggaruk belakang kepala karena bingung harus bereaksi bagaimana.

Sebagai yang kurang paham topik pembicaraan, Zane dan Mbak Iis sekali lagi saling pandang, tapi urung bertanya.

"Dia enggak hamil." Ismail menambahkan, hingga semua kompak menunjukkan lega.

"Bagus, kan? Alhamdulillah." Mas Gusti menanggapi.

Ismail melanjutkan lagi, "Tapi gue yakin lakinya abusive."

Lebih dari informasi sebelumnya, kali ini semua kompak membatu.

"Tapi bukannya udah bisa ditebak dari cara dia nyeret-nyeret Regina dari sini waktu itu?" Sabrina coba bersuara.

"I know." Ismail mengangguk. "Tapi ngelihat langsung kondisinya sekarang ... much worst than I thought it would be."

Sabrina terlalu jahat kah kalau merasakan sangat sedikit empati mendengar penuturan Ismail kali ini?

Mungkin karena dia tidak melihat langsung dan tidak bisa membayangkan seburuk apa hal yang dialami Regina sekarang.

Tapi ... Regina juga jahat.

Ya, Sabrina tahu, kejahatannya nggak lantas membuat Regina pantas dijahati. Tapi tetap saja, kalau dibalik, jahatnya suami Regina, nggak lantas membuat Regina berhak selingkuh, kan? Kalau nggak cocok, ya bubar baik-baik sebelum memulai hubungan dengan yang lain emang nggak bisa?

Memikirkan banyak kemungkinan membuat kepala Sabrina sakit duluan.

Ini jelas urusan orang dewasa. Dia sebaiknya tutup mulut saja.

Dan cewek itu kemudian sekali lagi menoleh ke Bimo.

"Dia ngomong apa?" Bimo masih konsisten dengan nada kalem tanpa judgement-nya.

"Nggak ngomong apa-apa."

"Terus apa rencana lo?"

Sekali lagi Ismail tidak bisa menjawab.

Mbak Iis menghela napas. "Gue tau gue bakal kelihatan paling nggak berperasaan di sini ... tapi lo yakin, dia nggak lagi berusaha memanipulasi lo lagi? Dia pernah bohongin elo, Ismail, dan gue harap lo nggak lupa itu."

Ismail memandang balik Mbak Iis dengan sepasang mata menyipit, tidak percaya temannya itu bisa mengeluarkan kata-kata setajam ini.

Mbak Iis melanjutkan, "Lo tahu dari mana kalau yang nyakitin Regina itu suaminya? Dari mana lo tahu yang berurusan sama Regina cuma suaminya dan elo doang? Harusnya lo nggak kemakan omongan dia mentah-mentah. Nggak semua orang bisa kita tolong."

Mas Gusti kebingungan melihat dua temannya saling bersitegang. "Please, guys, tinggal beberapa minggu, fokus kelarin magang dulu bisa nggak? Regina bisa dipikirin lagi setelah itu. Gue beneran nggak mau kita pulang udah nggak temenan lagi."

Ismail yang merasa obrolan malam ini nggak ada gunanya, mendesis pelan. "Dia nggak minta diselametin, Is. Malah dia nyuruh gue pergi."

"Lo suka sama dia, makanya bias!" Mbak Iis ikut mendesis.

Nggak mau ribut, Ismail bangkit dari kursinya. "Kalian aja yang berangkat ke Buleleng. Gue nggak mau ngerusak suasana."

Selepas Ismail pergi, Mbak Iis ikut undur diri ke halaman depan.

Mas Gusti mengejarnya.


~


"Boleh nggak kalau gue minta omongan Ismail jangan dimasukin hati? Dia lagi stress, paling besok juga menyesal udah bentak lo." Cowok itu berusaha mengadem-ademkan temannya yang tentu saja sedang menangis. Tipikal Iis. Kejam diluar, ujung-ujungnya nangis sendiri di pojokan.

Mbak Iis menoleh, menyeka air mata yang membuat pandangannya kabur. "Gue nggak marah ke Ismail, Gus." Cewek itu berusaha keras menghentikan tangisnya. "Gue marah ke diri sendiri. Kenapa gue nggak bisa sabar kalau urusan Regina? Gue juga bingung. Omongan gue tadi pasti kelewatan banget. Gue tadi pasti nyakitin Ismail. Kenapa lo nggak nyuruh gue diem tadi?"

Karena temannya terus-terusan meracau, Gusti mendekat dan mendekapnya. "Sssh. It's okay. Namanya lagi panas, kadang orang bisa kelepasan. Yang penting kan udah sadar."

"Nggak biasanya gue victim blaming, tapi nggak tau kenapa gue benci banget sama Regina ...."

"Iya, iya, gue paham. Regina nyakitin temen lo, wajar kalau lo benci sama dia. Sssh, kalem, okay? Abis makan gule kambing, tensi lo naik banget pasti, makanya demen marah-marah."

Alis Iis bertaut, mendongakkan muka untuk menatap temannya. Kemudian tangannya mengepal untuk memukul dada temannya beberapa kali. "Sialan lo!"

Gusti ketawa. Lega karena Iis nggak mendadak mau kabur lagi.

Lalu saat dia menoleh ke salah satu jendela yang gordennya terbuka, Gusti refleks melepaskan rengkuhannya ke Iis.

Ck, rutuknya dalam hati melihat Linggar di balik jendela. Jangan nambah masalah, please.


#TBC

Feelingnya kurang dapet, I know. Konsekuensi kelamaan hiatus. 

Bakal diedit diksinya kalau udah sempet~


Ini kira-kira tamatnya kurang 2 part lagi, abis itu baru gw kerjain rewrite physical distancing buat edisi terbit yaa. Makasih udah sabar nunggu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top