31 | projection


"Sabrina ...." Bukan cuma Sabrina yang tercenung, tapi Regina juga ikut mematung selama beberapa saat sebelum akhirnya buka suara.

Sabrina sendiri kontan menyumpah dalam hati.

Lain kali, jangan sampai dia menawarkan diri untuk membukakan pintu lagi! Demi apapun, ini adalah kali terakhir, titik. Sudah cukup dirinya dibikin repot oleh urusan orang lain!

"Nggak mungkin udah janjian sama Bang Mail, kan, Rei?" Melewatkan sesi ramah tamah, Sabrina langsung bertanya. Sebagai sesama manusia dan sesama perempuan, jujur dia sedikit tidak enak hati melihat orang yang berdiri di depannya ini terlihat kurang bugar, tapi sebagai teman Ismail yang jelas-jelas habis ditipu olehnya, dia harus tega. "'Cause doesn't seem like he wants to see you."

Regina mengangguk, kelihatan pilu. Kalau Regina nggak habis berbuat dosa, Sabrina mungkin akan memeluknya.

"Emang enggak janjian." Cewek itu mengaku, yang jelas membuat dahi Sabrina mengernyit.

Sabrina mungkin baru tujuh belas tahun sekarang, tapi dia yakin nggak akan se-ignorant dan se-selfish Regina di umur yang sama. "Please, don't put us into bigger trouble. Gue sama yang lain masih trauma sama kejadian minggu kemarin. Terlepas dari kita semua nggak tahu apa motif lo, yang lo lakuin ke kita itu jahat, Rei. Bukan cuma ke Bang Mail, tapi ke kita semua yang ada di rumah ini."

"Gue bukan mau apa-apa, Sab. I just worried about him. He doesn't look good this morning."

"Ya emang dia lagi sakit!" Kebangetan emang si Rei ini, Sabrina sampai mau nangis saking takjub. "Anak-anak sini semuanya juga sakit, at least mentally. Tolong sadar diri dong. Siapa yang bikin sakit kalau bukan elo? Please, pulang aja sebelum yang lain lihat. Mau tau kondisi Bang Mail doang, di kantor juga kan bisa."

"Siapa, Babe?"

Nah! Bimo sudah nanya duluan sebelum Regina pergi, gara-gara Sabrina kelamaan berdiri di depan pintu.

Belum sempat ada yang bergerak atau ada yang menjawab, cowok itu sudah tiba di belakang pacarnya, menguakkan daun pintu sedikit lebih lebar supaya bisa melihat siapa tamunya.

Sebuah helaan napas panjang kemudian terdengar di antara mereka.

"Elo, Rei." Bimo bersuara, ramah tiada terkira.

Sabrina melotot.

Bimo ini ada di pihak mana sih?

Bimo cuma mesem sebagai balasan pelototan pacarnya, sebelum kemudian pandangannya kembali fokus pada Regina. "How's it going?" Cowok itu basa-basi. "Sayang banget di teras nggak ada kursi. I really wanna hear from you, tapi sorry, sebaiknya enggak di dalem rumah, ya. Nggak enak sama yang lain."

Cowok itu mengangguk tipis ke pacarnya, memberi isyarat pada Sabrina agar masuk duluan.

Bukan urusan bocil, begitulah kira-kira kalau sorot mata Bimo diterjemahkan. Sabrina sudah paham betul bahasa tubuh pacarnya.

Merasa nggak ada gunanya nimbrung urusan orang dewasa, Sabrina langsung setuju dan segera permisi.

"Siapa, Sab?" Wajar kalau Gusti ikut-ikutan bertanya saat melihat Sabrina kembali ke sofa dengan tangan hampa.

"Regina." Sabrina sengaja menjawab hanya dengan gerak bibir tanpa suara, biar nggak ada yang dengar, sebelum kemudian dia duduk di sebelah Gusti.

"Ngapain Regina ke sini? Di kantor kan udah ketemu, masih belum puas aja bikin huru-hara? Heran, deh."

"Ssst." Sabrina menyuruhnya diam berbarengan dengan suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.

Suara Gusti memang cuma berupa bisikan, tapi siapa tau kuping Mail lagi sensitif? Bisa makin panjang urusannya nanti. Masa mereka jauh-jauh ke Bali, kerjaannya bermuram durja terus?

Tapi kalau sudah nasib, ya biarpun suara Gusti mustahil terdengar Mail, pasti ada saja caranya, karena bahkan tanpa menegur semua orang yang ada di situ, Ismail langsung berjalan lurus ke arah pintu yang baru saja ditutup Bimo!


~


"Bukannya udah beres?" Zane bersuara ketika trio Bimo-Gusti-Sabrina tiba-tiba melipir ke dapur, dan cowok itu akhirnya melihat Regina masuk ke dalam rumah, lalu duduk di ruang tamu bersama Ismail.

"Biasanya orang ngomong beres cuma di mulut. Dalam hati lain lagi." Agus sotoy, padahal dia yang paling nggak bisa relate dengan kehidupan romansa teman-temannya.

Sabrina manggut-manggut. "Apalagi Bang Mail kayak udah terlanjur sayang banget gitu. Belum pernah gue lihat dia putus cinta sampe galau banget, sampe kebawa sakit." Saking fokus, sampai-sampai Sabrina terlambat sadar kalau Zane memandangnya dengan tatapan aneh. "Kenapa?"

"Hope you know what you're talking about." Cowok sombong-angkuh-menyebalkan itu kemudian berdecih. "Seminggu kenal, tidur bareng, terus baru sebulan jadian udah putus ... well, gue sih ragu kalau sakitnya karena broken heart. Wouldn't it be too naive to believe their relationship was that deep?"

Mulut Zane emang minta diuleg. Percuma ganteng kalau nggak akhlak not found!

"Kalau bukan karena itu, terus apa?" Iis menggantikan Sabrina bertanya.

Zane mengangkat kedua bahu. Memang nggak ada gunanya mendengarkan ocehan cowok bangsat ini. "Ya berdoa aja semoga nggak ada masalah serius."

"IMS, misal?" Gusti bisa-bisanya menanggapi Zane Simalakama! "Or he gets her pregnant ...."

"Gus!" Mbak Iis melotot.

Semuanya langsung pasang wajah ngeri.


~


"To the point aja." Ismail berkata pada Regina yang duduk tidak jauh darinya. "Nggak enak sama yang lain kalau kelamaan."

Regina mengangguk. Beberapa kali menghela napas panjang. Sebentar-sebentar perempuan itu melirik arah langit-langit, kelihatan gugup dan susah payah menahan tangis. Tapi Mail tidak berniat untuk terlalu peduli. Bagaimanapun juga, dia nggak boleh goyah. Yang ada di depannya ini istri orang yang sudah mempermainkan hidupnya!

"Kamu ... sakit apa, Ismail? Separah apa?" Regina mencicit pelan.

Susah sekali bagi Mail untuk tetap kalem di tempat duduknya. "Gue kira lo dateng mau minta maaf ke yang lain."

Regina menunduk dan mengangguk pelan beberapa kali hingga membuat kedua pundaknya sedikit bergetar. Padahal biasanya Regina selalu terlihat tenang dan tidak tahu malu. Tidak pernah terlihat merasa bersalah.

Tentu Ismail tidak sudi melihat Regina yang arogan seperti itu. Tapi melihat Regina yang seperti ini juga tidak membuatnya nyaman, hingga akhirnya Mail memutuskan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya.

Lagipula, Regina tidak pantas diladeni. Sudah baik dia memberi kesempatan terakhir padanya untuk berbicara, meski permohonan maaf untuk teman-temannya yang diharapkan Ismail tidak kunjung keluar dari bibirnya.

"Oke kalau kamu nggak berkenan menjawab." Sekali lagi Regina menunduk dan mengangguk-angguk kecil. "Kamu kelihatan lebih baik sekarang dibanding di kantor tadi. Semoga emang beneran membaik. Tapi kalau nanti ternyata apapun keluhan kamu itu nggak kunjung membaik ... don't you think it's better for you to leave the island?"

Mail ternganga.

Sungguh di luar ekspektasi.

Bisa-bisanya Regina punya nyali untuk mengatakan hal sekeji itu? Mengusirnya? Wow. Dunia betul-betul terbalik. Yang salah yang ngelunjak.

"Sorry, I mean ... tinggal di sini nggak baik buat kondisi kamu. I know it's my fault, and I'm really sorry for putting you in trouble, tapi memang bener lebih baik kamu cepet pergi dari sini kan, Ismail?"

YA TUHAN, MAIL BENER-BENER SPEECHLESS.

Yang di depannya ini manusia apa bukan, sih?

"Kamu bisa balik ke Jakarta secepatnya. Dengan lembur-lembur kemarin, jam kerja kamu udah hampir memenuhi target, sisanya kalau pakai izin sakit masih wajar. Jangan khawatir data yang kamu butuhin belum lengkap, aku bakal kirimin semuanya buat kamu—that's the only thing I can help."

"Help?" Mail merasa 'muak' saja nggak cukup untuk menggambarkan bagaimana capek dan jijiknya mendengar perkataan Regina barusan. "Kalau lo emang bukan dateng buat minta maaf, buat gue pembicaraan ini nggak guna. Silakan pulang. Lo bisa ngoceh sepuasnya di kantor, tapi di rumah ini ada hak-hak penghuni lain yang mesti dihargai, dan gue udah cukup malu sama keributan yang kita bikin kemarin-kemarin. Please, jangan bikin hubungan gue sama temen-temen gue jadi makin nggak nyaman."

"Tapi tetep di sini nggak baik buat kesehatan kamu. Ketemu aku tiap hari di kantor pasti beban banget. Aku nggak mau kamu tambah kenapa-ken—"

"REI!" Suara Ismail naik beberapa oktaf untuk menghentikan cerocosan Regina yang nggak masuk akal. "Stop talking shit. Satu-satunya alasan gue biarin masuk adalah buat lihat seberapa menyesalnya elo ke temen-temen gue. Tapi kalau lo nggak merasa bersalah ke mereka, ya udah, just fuckin go!"

Regina terdiam. Menoleh pelan ke arah dapur, ke arah lima kepala sedang berlagak sibuk, berusaha tidak kelihatan sedang memperhatikan keberadannya.

"Right ...." Regina mengangguk. Ketika tatapannya kembali ke Ismail, sepasang matanya berkaca-kaca. Emosi yang sejak tadi ditahan, agaknya mulai tak terbendung. "I don't even have the audacity to apologize to them ... but—"

Ismail mengangkat tangan menghentikan Regina untuk lanjut berbicara. "No buts, just go."

Regina mengiyakan. "Don't be sick, okay? Kalau ngerasa tambah sakit, please go home to Jakarta. Aku pastiin magang kamu beres."

"Go."

Regina mengangguk-angguk.

Mail melanjutkan, "I really want to talk to you, with a cold head. But with your attitude, I don't think it's gonna work. Mending dicukupin segini aja urusan kita, nggak usah diperpanjang-diperumit. Nggak usah ada penjelasan apapun, nggak usah mengharap maaf-maafan—it's really over now. The end."

Ismail berdiri duluan, mempersilakan Regina keluar.

Regina sekali lagi mengangguk karena nggak mungkin tetap ngotot setelah diusir beberapa kali.

"I'm ... really sorry ... I shouldn't lie to you ...." Melihat Ismail tidak menyahut, Regina mengangguk-angguk kecil. "I ... will go now. See you tomorrow ...."

Tidak berniat mengantar sang perempuan keluar, Ismail langsung balik badan duluan menuju ke tangga kamarnya.

Tapi bahkan tanpa perlu melihat dari dekat, teman-temannya di dapur sudah bisa merasakan dengan jelas kalau teman mereka itu sedang amat patah hatinya—sama sekali tidak mencerminkan kejulidan Zane sepuluh menit lalu.


~


Iis mendesah pelan.

Tadinya dia mau nggak peduli, tapi beraaaat banget.

Dia bukan orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Dia juga bukan orang yang rela membuang-buang energi untuk membereskan masalah orang lain tanpa diminta.

Tapi Ismail kan bukan orang lain baginya! Ismail itu sahabatnya!

Menyerah, dia lepaskan apron bau ikan yang dia pakai, lalu berjalan cepat menyusul Regina keluar, mengabaikan tatapan heran teman-temannya yang lain.

"Rei!" Iis memanggil Regina, hingga Regina menoleh dan menghentikan langkah. "Promise me, it's gonna be the last time we see you."

Regina ternganga, tidak mengira akan mendengar hal itu dari mulut Iis. Selama beberapa saat, dia terlihat seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa.

Iis melanjutkan, "Selama ini gue diem dan mencoba ngerti, but one time is enough, Rei. Gue nggak akan ngasih kesempatan kedua buat lo nyakitin temen-temen gue. Silakan pergi cari orang lain, jangan Ismail. Dia juga udah muak ngelihat lo, kali, masa nggak sadar juga? Dia masih bertahan di sini karena nanggung, magang tinggal tiga minggu lagi, makanya dibetah-betahin! Kalau bukan karena magang, udah eneg juga dia ketemu elo mulu!"

Cukup lama Regina memandang Iis tanpa berkata-kata.

Di antara semua teman-teman Mail, sebenarnya Iis adalah yang paling dekat dengannya.

Iis kalem dan tidak banyak bicara, sekalinya ngobrol dengannya, mereka membicarakan topik-topik yang menenangkan hati.

Jadi ketika Iis yang mengatakan hal tersebut alih-alih orang lain, rasanya jadi berkali-kali lipat lebih menusuk.

Regina akhirnya mengangguk-angguk sambil menyusut air mata yang mulai merebak dengan lengan kaos yang dikenakan. "I know I'm stupid, and stubborn, but ... I don't mean to hurt all of you. I love him, Iis, you know that—"

"Enggak, gue nggak ngerti." Iis menggeleng kuat-kuat. "Kalau beneran sayang, harusnya lo nggak bohong dari awal. Gue tau temen gue gampang gampang deket sama siapapun, mungkin dia juga yang duluan deketin elo. Tapi andai lo bilang dari awal kalau lo nggak available, gue yakin nggak akan begini jadinya. Dan karena udah terlanjur, we hope nothing but you to leave us alone."

"I will, Iis. I will."

"I take your word. Sekali lagi gue lihat lo berusaha deketin Mail di luar urusan kantor, I'll make you regret knowing me."


~


Belum lama setelah semua orang bubar setelah makan malam, Iis yang baru selesai mandi keluar dari kamar berbarengan dengan Ismail turun dari tangga. Mereka berdua berjalan menuju ke arah yang sama: dapur.

Nggak merasa ada yang perlu dia bicarakan dengan Ismail, Iis mengabaikan temannya itu, lalu berniat langsung kembali ke kamar setelah mengisi ulang tumblernya dengan air dingin, tapi Ismail memanggilnya duluan.

"Is."

"Ya."

"Ngomongin apa aja sama Regina tadi?"

Sebuah helaan napas agak keras terdengar dari tempat Iis berdiri. "Just say goodbye."

"Is."

"Bisa to the point aja, nggak?!"

Melihat kemarahan temannya, Ismail mengulas senyum tipis. "Makasih udah peduliin gue. Tapi please, lain kali jangan ngomong apa-apa mengatasnamakan gue, ya? Isn't it called basic manners?"

Iis yang sudah bisa menebak apa urusan Mail dengannya, memutar bola mata malas. "'Udahlah, ajak aja Sabrina, Zane kan selow, pasti setuju-setuju aja'. Remember?" Perempuan itu tertawa. "Sekarang mau jilat liur sendiri? Ya, gue sadar gue bohong, tapi gue ngelakuin buat elo. Sementara yang lo lakuin dulu, bukan buat kepentingan orang yang namanya lo pake."

"Ngatas namain orang lain tanpa nanya dulu gitu, gue juga enggak ngerasa benar, kok. Zane punya hak untuk ngebantah, sebagaimana gue juga."

"Mau lo apa, sih, Mail?" Mau mengaku atau tidak, sebenarnya Iis juga sadar kalau dia salah, karenanya ucapan Mail membuatnya agak ke-trigger. "Lo mau citra lo tetep baik di depan Regina? Atau lo masih berharap Regina terus-terusan bolak-balik ke sini? Lebih parahnya, lo mau lanjutin hubungan kalian sampai tiga minggu ke depan, atau sekalian lo pisahin dia dari suaminya?"

"Is!"

"Kalau itu yang lo mau, ya gue mending keluar aja sih dari tempat ini. Lama-lama nggak sehat gue punya temen kayak lo!"


#TBC


[AAAAA W KANGEN MBA IIS GELUD AMA AGUS DI CERITA SEBELAH!!]


Funfact #WE:

Sewa villa mereka di Canggu per bulan berapaan?

20 mio udah include listrik, wifi, cleaning service, pool+garden maintenance, ganti linen kamar 1x per minggu. Karena ada 5 kamar, jadi per kamar mereka iuran 4 jutaan [kecuali Bimo yang bayar 2 kamar dan Iis yang penghuni gratisan]. Jatuhnya worth it banget sewa villa daripada ngekos.

Tapi sekarang harga segitu udah nggak ada kayaknya. 5br paling nggak masih di atas 25 mio, itu juga yang B aja villanya.


Terus kalau di Depok, Bimo ini si bapak kos yang menghuni lantai 1 rumah kosan [selantai sama mbak2 karyawan penjaga kosannya]. Kamarnya mevvah dan luas abieees, yang kalau disekat-sekat bisa jadi 5 kamar kosan.

Sementara Sabrina nempatin kamar kelas paling murah di kos Bimo [1,5 jutaan, padahal di kos itu rangenya antara 1,5-5,5 jt/bulan]. Sab pernah diumpetin di kamar Bimo apa enggak? Of course ... nggak. Mereka liarnya kalo lagi staycation jauh-jauh dari kampus doang.

Agus sama Mail kosnya juga B aja, nggak jauh beda sama Sabrina, asal kamar mandi dalam dan ber-AC. Mail sering pindah kosan karena demen ngerokok sambil pupup dan sering kelupaan ngilangin jejak, jadi tiap ketauan 2x sama mbak penjaga kos, auto kick.

Iis nggak ngekos, tiap hari PP Lebak Bulu-Depok.

Zane awalnya tinggal di apartemen studio 3 jutaan deket-deket fakultasnya. Tapi cuma setahun, abis itu pindah ke kosan dengan harga sama tapi kamarnya legaan. Pas skripsian, dia balik ke Jakarta karena ngampusnya udah jarang-jarang. Alhamdulillah dospemnya juga tipe yang selow, bimbingan lebih sering lewat zoom.

Jadi intinya mah gaya hidup anak-anak zaman ini B aja kalau dibandingin sama generasinya adek Trinda, yang pas kuliah di depok dibeliin apart deket kampus, kerja di Relevent dibeliin lagi di Dharmawangsa. Jajan skincare adek Trinda per bulan juga udah setara uang kos masnya. #BapakPrawirodiprodjoPilihKasih #PrivilegeAnakWedok

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top