30 | fu


Sabrina membungkam mulutnya sendiri.

Matanya membeliak ngeri.

"Ya Tuhan—"

Segera dia menerjang masuk kamar Ismail, menghampiri cowok yang sedang terkapar di lantai itu.

"Astaga, astaga ... gue harus gimana ini? BIIIM! BIMOOO!!"

Sambil mulai menangis, dia guncang-guncangkan tubuh Ismail yang gemetar dan berkeringat, tapi Ismail tidak merespon panggilannya. Sekadar membuka mata pun tidak.

"BIMOOO!! Ya ampuuun, kenapa pada budek semua, sih?!"

Tanpa menunggu ada yang menolong, cewek itu langsung berinisiatif membantu Ismail bangkit dari permukaan lantai yang dingin, memindahkannya ke atas kasur. Puji Tuhan, badan jerapah Sabrina ternyata ada manfaatnya juga, sehingga nggak harus menunggu Bimo untuk bisa memapah Ismail kembali ke ranjang.

"Elo kenapa lagi sih, Bang?" Setelah lampu dinyalakan, bukannya lebih tenang, Sabrina malah makin histeris.

Sekali lihat saja, sudah jelas Ismail ini kayak orang sekarat! Rapuh dan kurus kering, sama sekali tidak seperti Mail yang biasanya.

Matanya cekung, tatapannya mengerikan seperti menahan sakit.

Padahal, di antara semua cowok-cowok di circle-nya, Mail ini yang paling fit, paling gesit di lapangan kalau tanding futsal! Hati siapa yang nggak mencelos melihat keadaannya sekarang coba?

"Terus kenapa diem aja di lantai? Udah tau kedinginan! Ini juga kenapa AC-nya dingin banget?!" Sabrina mau marah. Tapi ujung-ujungnya malah tambah menangis.

Mana Ismail nggak kunjung merespon pula!

"Sssh. I'm fine." Setelah diguncang-guncang lagi, barulah cowok itu menyahut pelan dengan mata masih terpejam.

"Fine gimana? Lemes kayak nggak bertulang gini! Terus keringat dingin tuh bahaya! Gue nggak mau lihat temen mati di depan mata, ya!"

"Lebay."

"Lebay gimana?!" Sabrina makin emosi. Dia udah ketakutan begini, bisa-bisanya yang dikhawatirkan malah sesantai itu! "Elo ada riwayat vertigo? Atau darah rendah? Please, semoga cuma hipoglikemia, elo kan beberapa hari ini makannya nggak jelas! Bentar, gue ambilin yang manis-manis—"

"Nggak usah, Sab."

"Nggak usah gimana? Demam tinggi, lemes, keringetan, kalau didiemin bisa kejang, bisa mati! Gue ambilin makanan, abis itu gue panggilin yang lain biar dianter ke—"

"Ambilin cokelat Iis di situ."

Sabrina menoleh ke tempat yang disebut Ismail, menemukan setengah bungkus cokelat murahan di atas meja, segera menyambarnya, membuka bungkusnya dan mengulurkannya ke mulut Ismail. Menunggu si cowok menelan hingga beberapa potong kecil.

"Now I'm fine, okay? Kurang gula aja kayaknya. Udah mendingan sekarang."

"Terus itu tadi kenapa diem aja di lantai?"

"Nggak apa-apa."

Sabrina mencubit lengannya keras-keras, tapi Ismail bahkan nggak berniat mengaduh.

"Gue cuma mau ke kamar mandi, terus mendadak lemes, terus jatuh. Ya emang kurang gula aja kayaknya."

"Kan! Gue nggak mau tau, gue bangunin yang lain biar dianter ke RS sekarang!"

"Nanti aja, please. Kalau ni cokelat abis dan pusingnya nggak ilang, gue ke dokter."

Menyebalkan!

Sabrina ikut sakit kepala.

Ada apa sih dengan cowok dan dokter? Tinggal berangkat aja susah amat!

Belum juga Sabrina mengucapkan closing statement, bunyi ringtone pada handphone Mail mengalihkan perhatian mereka berdua.

Telepon dari nomor penting. Buktinya, Ismail yang dari tadi merem mendadak menyipitkan mata, berusaha melek.

Sabrina melihat cowok itu menghela napas panjang, meraih ponselnya dengan terpaksa.

"Sab ...." Cowok itu menahan Sabrina meninggalkan tempat.

"Apa?" Sabrina menyahut antara kesal dan masih cemas.

"Nggak usah bilang ke yang lain. Kalau butuh dianter ke dokter, gue nanti bilang sendiri."

"Bodoamat!"

"Please."

"Enggak mau."

"Please." Kali ini Mail menatapnya sangat serius. Mau nggak mau Sabrina harus setuju. "Sekarang tolong tutupin pintunya. Bapak gue yang nelepon."


~


"Ada ribut-ribut apa?" Zane membuka pintu kamarnya dan mengolokkan kepala sedikit ke arah Sabrina yang baru saja keluar dari kamar Ismail.

Sudah tidak berminat meladeni siapapun, cewek itu cuma menaikkan kedua bahu sekilas, bahkan tanpa menghentikan langkah.

Sungguh nggak peka, Zane masih saja nyerocos nanya-nanya. "Terus kenapa tadi elo teriak?"

"Ada tikus di kamar Mail."

"Ck. Mana ada tikus di sini?"

"Kalau nggak percaya cek sendiri aja!"

Sabrina kemudian melengos masuk ke kamar Bimo.

Kemarin dia sudah nggak kesal pada Zane, tapi sejak semalam balik kesal lagi.

Entah Zane atau dia yang labil. Sabrina nggak mau ambil pusing.


~


Kepo sekaligus nggak mau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, Zane mengabaikan Sabrina dan menghampiri kamar tetangganya. Lalu mengetuk pelan.

"Kata Sabrina ada tikus di kamar lo," katanya sembari menguakkan daun pintu.

Mail yang tampak sedang menelepon, menoleh padanya, menjauhkan ponsel dari kuping. "Hooh. Udah keluar lagi tapi."

"Sorry—gue nggak tau lo lagi nelepon." Zane bersiap menutup pintu kembali.

"Udah kelar juga. Bapak gue bangunin Subuhan."

Zane cuma mendengus pelan karena nggak percaya, tapi ogah ikut campur juga. Melihat sepertinya tidak ada masalah, dia pun menutup kembali daun pintu di tangannya.


~


Kembali ke masa-masa sebelum dunianya diruntuhkan Regina, sebelum jam delapan Mail sudah turun ke bawah. Sudah rapi, meskipun muka pucatnya susah ditutupi.

Sebenarnya bukan pucat, sih. Kulit cokelat Ismail nggak kelihatan berbeda, hanya kantong matanya saja yang kayak nggak tidur setahun. Kelihatan capek dan sayu. Tapi nggak terlalu mengerikan karena dasarnya memang cakep.

Setelah menyapa Iis yang lagi mondar-mandir di ruang tamu mencari sebelah sepatunya yang katanya disembunyikan Agus, Mail berjalan lurus ke dapur. Cowok itu langsung mencari-cari cangkir bersih untuk dipanaskan, mengabaikan Sabrina yang sedang membuat scrambled egg—untuk sarapan dirinya sendiri, tentu, karena penghuni lain kalau dikasih telur doang nggak kenyang.

"Lo beneran nggak mau cuti sehari lagi?" Sabrina terdengar masih kesal.

Mail mesem. "Dokternya kemarin bilang apa? Gue hari ini bisa masuk, kan?"

"Ya tapi ternyata keadaan lo tadi lebih parah dibanding kemarin." Sadar nggak ada gunanya ngomong sama Ismail, Sabrina mendengus pelan. Menumpahkan telurnya yang sudah matang ke piring, kemudian siap meninggalkan tempat. "Terserah, deh. Gue udah nggak mau tau."


~


Hahaha.

Kalau teman-temannya aja udah capek, apa kabar Mail?

Jujur kalau mau ngikutin maunya hati, ya dia pengen balik aja ke Jakarta sekarang juga.

Persetan dengan magangnya yang sudah setengah jalan. Dia bisa mengajukan magang lagi di lain tempat, di Depok saja, yang dekat-dekat kampus, biar bisa jalan sekalian dengan jadwal kuliah, nggak harus nunggu liburan lagi. Soalnya, Bali yang sekarang terasa memuakkan. Bertahan tiga minggu kayaknya bukanlah hal yang akan mudah dia lalui.

Selain itu, badannya juga memuakkan.

Seumur-umur nggak pernah sakit, tiba-tiba kayak mau mati aja. Dikasih makan nggak bisa, diobatin nggak ngefek, diajak tidur juga susahnya naudzubillah. Bangun-bangun badan bukannya jadi enteng dan seger, malah makin berat dan sakit!

"Kalau emang masih sakit, pulang aja nggak apa-apa, Ismail."

Regina juga bisa-bisanya masih bersikap seolah-olah nggak punya dosa. Mail sudah susah payah meminimalkan interaksi mereka berdua, tapi cewek itu malah sebentar-sebentar bersuara yang sebenarnya tidak perlu, membuat kepala Mail makin mau pecah.

"I know what's best for me. Kalau emang nggak sanggup masuk full day, gue nggak akan dateng. Jadi tolong kooperatif aja selama kerjaan gue beres."

Syukurlah, Mail membuktikan ucapannya.

Kerjaannya beres sampai waktunya pulang. Dia juga nggak jatuh pingsan, yang lagi-lagi bikin Sabrina flashback ke hari-hari sebelumnya: Mail emang sakitnya kalo pagi doang—morning sickness, kayak ibu-ibu hamil muda!


~


"Udah lama aku nggak disayang-sayang." Sabrina mendekati Bimo yang baru kelar mandi dan sedang duduk-duduk di ruang tamu.

Sebenarnya pengen nyium, tapi rame, jadi nggak usah dulu.

Mau pindah ke kamar Bimo biar bisa leluasa ciuman juga kayaknya Bimo lagi sumpek terkurung di dalam ruang sempit setelah seharian badannya dipakai kerja keras.

"Maap ya, dua hari kemarin lembur terus." Bimo membentangkan kedua tangan, merengkuh si bocah erat-erat. Kalau nggak kayak Teletubbies ya kayak Barney, dikit-dikit pelukan.

Gusti yang duduk di dekat situ cuma bisa berlagak nggak lihat. Mau pindah nimbrung dengan Zane dan Iis di dapur, mager bangeeet.

Pasalnya, siapapun tahu kalau dua temannya itu nggak bisa masak. Eh, dengan gobloknya Zane pulang kantor membawa kakap merah segar. Mana gede banget, katanya beratnya 1,3 kilogram.

Sekarang, dia dan Iis jadi terpaksa turun tangan mengeksekusi. Iis kebagian membuat sambal matah, Zane yang membakar. Entah mengapa mereka berdua tidak mendelegasikan tugas mulia itu ke Sabrina. Mungkin karena Sabrina hari ini melaut sampai sore?

Gusti mendadak geli sendiri.

Kata 'melaut' jika dipadukan dengan visual Sabrina saat ini—gosong karena kebanyakan surfing, dengan rambut cat merahnya yang sudah mulai luntur, menyisakan warna bleaching kuning kemerahan—benar-benar pas. Kalau ni anak pulang, Gusti nggak akan heran semisal bapak kandungnya tidak mengenalinya.

Mendadak pintu diketuk.

Tiga orang yang ada di ruang tamu otomatis saling pandang.

"Ada yang pesen makan?" Bimo bertanya.

Tidak ada yang menyahut.

Ketukan itu terdengar lagi.

Sabrina lalu bangkit berdiri. "Gue aja yang bukain."

Begitu tiba di depan pintu, baru juga membukanya sedikit, Sabrina sudah menyesal.

Karena Regina lah yang berdiri di hadapannya.


#TBC


Yaampoon, w capek mikirin lanjutan cerita ini. 

Konfliknya terlalu serius buat jiwa anak pantaikuuh.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top