27 | tersentuh
Iis memandang cowok di depannya dengan penuh curiga, sementara yang dipandang masih sibuk makan tanpa sedikit pun terusik dengan apa yang barusan terjadi: Bimo dan Sabrina nyelonong ke gazebo, mengabaikan mereka bertiga—Gusti, Iis, dan Zane—di meja makan.
Tentu di meja makan hanya bertiga. Karena seperti biasa, Ismail butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap dibanding yang lain.
Melihat Zane selesai sarapan duluan tidak lama kemudian, segera Iis tarik lengan kemeja temannya itu supaya menjauh dari Gusti. "Kenapa lagi?" tanyanya to the point.
"Apanya yang kenapa?" Zane malah balik nanya dengan muka sok polos.
"She doesn't like me, I understand, berhubung semalem kita abis ribut. Tapi yang barusan tadi, kayaknya lebih serius ketimbang urusan lampu tidur doang. Jadi, abis lo apain tuh si bocil?"
Tidak bisa mengelak bahwa dia tidak melakukan apa-apa, Zane akhirnya hanya mengangkat bahu dengan malas. Lalu berjalan menuju rak sepatu dan memakai salah satu miliknya, mengabaikan Iis yang masih menunggu jawaban. "Lo mau nebeng apa enggak?"
"Zaneee!"
"Buruan!"
Sambil manyun, Iis segera lari ke kamar untuk mengambil tas. Kesal, tapi daripada ke sekolah jalan? Cuma lima menit, sih, tapi panasnya udah nyengat!
"Lo bikin urusan makin runyam tau nggak?" Gerutunya sembari menaiki jok motor di belakang Zane.
"Ya udah sih, cuekin balik aja. Bukan temen lo juga."
"Enteng banget ngomongnya, Pak!" Iis mencubit pinggang temannya itu berbarengan dengan motor mulai melaju, tapi Zane tidak memberikan reaksi berlebihan. Akhirnya Iis pasrah saja, membiarkan Sabrina berpikiran negatif padanya. Padahal, demi apapun, dia nggak bermaksud membuat itu cewek diomeli Zane.
Semalam, Iis memang nggak bisa tidur lagi semenjak Sabrina meninggalkannya ke kamar Bimo. Zane yang kebetulan melihatnya online, mengirim chat dan menanyakan, 'Tumben kebo masih bangun?'
Jadilah Iis cerita kalau dia ikut parno setelah ditinggal Sabrina.
Zane muncul di villa tidak lama kemudian, mengajak temannya tidur di depan TV saja, daripada nggak tidur sama sekali. End of the story.
~
Yang dilakukan Mail setiba di kantor adalah mengedit poster lowongan HR yang akan dibuka selama beberapa hari mendatang.
Regina betulan akan resign. Tepatnya tiga bulan setelah personil baru masuk. Tapi Mail menahan diri untuk tidak bertanya apa pun.
Tentu saja Mail nggak perlu khawatir Regina akan bersikap tidak kooperatif. Malah cewek itu membebaskannya untuk bekerja di mana saja, asal tugasnya beres.
Setidaknya selama mengerjakan poster, hidup Mail damai-damai saja, sampai tiba waktunya dia menyerahkan hasil pekerjaannya, dan menanyakan apakah ada revisi atau tidak.
Ismail meneliti poster itu sesaat, sebelum kemudian pandangannya pindah ke cowok di depannya.
Mail pura-pura tidak menyadari, kerenanya kemudian Regina bersuara. "Kamu sehat, Ismail?"
Gerakan tangan Mail yang memegang mouse terhenti, tapi dia tidak mengalihkan pandangan dari layar PC.
Dadanya bergemuruh nggak tahu diri. Susah payah dia berusaha terlihat biasa-biasa saja.
"Lo mengharapnya gue gimana?" tanyanya balik tidak lama kemudian, dengan suara nyaris datar.
Regina tersenyum kecut mendapati sahutan yang jauh dari ramah itu. "Kamu kelihatan kurusan. Aku harap kamu nggak kenapa-napa."
"Gue kurusan apa enggak, it's none of your business, kan?" Satu alis cowok itu terangkat. Tapi Regina, yang pembawaannya hampir selalu tenang, tidak tampak berniat ingin menyahuti. "Jujur, gue malu mesti nyindir-nyindir lo kayak gini. Tapi susah nganggep lo nggak lebih dari bos gue, nganggep lo seolah-olah nggak pernah bikin salah ke gue. Please don't make it harder for me, Rei. Gue bener-bener butuh magang gue selesai sesuai rencana."
Bertepatan dengan jarum arlojinya menunjukkan angka 12, Ismail pamit, bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan Regina lebih dulu.
Is he overreacting?
Mail pusing sendiri.
Regina kan cuma nanyain kabar, which is nggak melewati batas sebagai mentor di tempat kerja.
Damn it. Mail mau menghilang saja dari muka bumi.
~
"Gue nggak butuh diselametin kali." Ismail berkata saat melihat Sabrina berdiri dekat pos sekuriti kantornya, melambaikan tangan girang karena nggak perlu menunggu lama.
"Hahaha, who knows? Mas Agus bilang, lo kerja bareng Regina lagi mulai hari ini." Sabrina segera menyeret Ismail masuk lagi ke dalam, tidak sanggup terpapar matahari lagi kalau mesti diajak nyari makan siang di luar. Dalam hati cewek itu ketawa. Menyelamatkan Mail dari kecanggungan di kantor? Yang ada Sabrina lagi menyelamatkan diri sendiri!
Kelas fotografinya sudah selesai. Kalau harus berdiam diri di rumah sampai Mbak Iis pulang duluan ... ugh, males banget, kan? Mending Sabrina jalan-jalan dulu sambil menunggu Bimo.
Beruntung Mail nggak menolak diajak makan di kafetaria, sekalian menunggu Agus yang masih diculik Mas Lukman.
"Woy, itu Regina, kan?" Sabrina yang kebetulan menoleh ke luar jendela mendadak nyeletuk.
Mail menggumam malas sebagai jawaban. Dia bahkan nggak susah-susah mengikuti arah pandang Sabrina untuk menjawab.
Melihat apa yang baru saja lewat di depan mata itu, Sabrina jadi bertopang dagu. "Kayaknya bukan cuma elo deh, yang menderita, Bang. Liat aja, dia juga kayak tulang dibungkus kulit doang gitu sekarang."
Ismail berdecak. "Jangan bikin gue merasa bersalah, ya. Gue bersalah ke elo sama yang lain, tapi ke dia ... I didn't do wrong."
"You did wrong. Elo flirting di saat yang nggak tepat." Sabrina melotot nggak terima. "Dia pasti lagi beneran butuh pengalihan saat elo datang dengan pedenya dan ngomong ... 'Guuurl, you're very welcome', gitu. Ya udah. Things happened."
"Kalau dia nggak bohong, nggak akan ada masalah."
"Kalau elo bisa sedikit ngontrol mulut manis lo, dan mau background check dulu sebelum pedekate sama cewek ...."
"Gue bukan mau nikah."
"Tapi jalan sama cewek yang nggak jelas asal usulnya, it's ridiculous."
"I didn't say casual dating is for everyone."
"Wait ... do I blame the victim again?" Sabrina mendadak menyadari sesuatu.
Sungguh dia bingung kalau urusannya begini.
Mail emang korban. Tapi menurutnya, Mail juga salah. Jadi gimana dong?
Mail berdecih. "Yes, absolutely. Lo telah menyakiti hati gue."
"Hahaha. Tetep aja it takes two to tango." Sabrina meneguk Mango Latte-nya banyak-banyak karena pusing. "Ya pokoknya lo harus hati-hati, lah. Your dick belongs in your pants, not in your personality."
~
Apesnya, Bimo malah lembur hari ini.
Well ... it's monday.
Sabrina nggak tahu intern di KAP tuh kerjaannya ngapain, but seems like her boyfriend take his job seriously.
Nggak ada pilihan lain, karena merasa badannya lengket dan bau setelah kena matahari seharian, Sabrina terpaksa berjalan pulang.
Sambil menguatkan mental, dia mampir dulu ke Circle K dekat villa, mengelilingi berbagai rak pelan-pelan.
Sepuluh menit pertama, keranjang di tangannya masih kosong.
Dia kan nggak salah, kenapa harus pusing, ya nggak sih?
Kalau ada yang harus sungkan tuh, ya si Zane sama Mbak Iis, kan?
Au ah.
Cewek itu segera mencomot beberapa pack Yakult, lalu berjalan ke kasir.
Saat dia memasukkan belanjaannya ke kulkas di villa, Zane lah yang pertama muncul. Menuruni tangga dengan gestur sok cool, berjalan lurus menuju dapur.
Melihat pakaiannya rapi dan tubuhnya wangi, sepertinya cowok itu baru datang dan langsung mandi.
Kalau Zane sudah datang, berarti Mbak Iis juga sudah di rumah.
Sabrina menelan ludah, entah kenapa masih juga merasa bersalah.
Apa dia lebay?
Dia memang nggak suka dengan Mbak Iis dan Zane, tapi haruskah dia terang-terangan tidak ingin berteman dengan mereka?
Aish, Sabrina memang adalah protagonis sejati. Nggak peduli siapapun yang salah, tiap terjadi masalah, ya dia tetap ikut merasa tidak enak hati!
"Sorry about this morning." Zane bersuara sembari menadahkan gelas ke dispenser, berdiri membelakangi Sabrina yang masih menghadap kulkas. "I've hurt you, and I feel bad."
Selesai dengan pekerjaannya, Sabrina menutup pintu kulkas perlahan. Karena Zane balik badan, dia lalu balik badan juga, sehingga keduanya jadi berhadap-hadapan.
"Iis nggak ngadu apa-apa ke gue. It's just me being an asshole. Gue harap hubungan lo sama roommate lo nggak jadi makin jelek gara-gara gue."
Sabrina nggak menyahut.
Dia masih kesal, dan jujur ingin mencubit lengan cowok itu keras-keras sampai menangis dan nggak berani mengganggunya lagi.
Tapi dia diam saja.
Kalau dia beneran mencubit, dan luka di lengan Zane membekas, nanti dia juga yang depresi.
"You don't have to forgive me. Just do you. Whatever you think it's right."
Cowok itu menepuk pelan bahu Sabrina sebelum kemudian beranjak pergi dengan gelas air putih yang sudah terisi penuh di tangan, meninggalkan Sabrina yang berkaca-kaca sendirian tidak lama kemudian.
#TBA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top