26 | pick me


Sabrina bangun dengan badan sakit-sakit, terutama di lutut dan betis, meski tidak sesakit saat bangun di resort pagi kemarin, berharap kakinya masih mau diajak kompromi, karena hari ini dia ada kelas fotografi yang ada kegiatan hunting foto outdoor-nya.

Awalnya, dia kira dialah yang bangun duluan seperti biasa. Ternyata, Bimo juga sudah bangun. Sekarang sedang memandangnya dengan tatapan aneh, malah.

"Kenapa, Babe?" Sabrina nanya, sambil berpikir cepat.

Semalam, dia memang nimbrung masuk di saat Bimo sudah lelap. Tentu dia sudah mengetuk dan meminta izin sebelum kemudian berbaring di sampingnya, dan Bimo sudah mengiyakan pula—entah sadar atau cuma setengah sadar. Tapi masa gitu doang dipermasalahkan? Kan udah biasa bobo bareng?

"Tanganku kayaknya perlu diamputasi." Bimo mendesis pelan.

"Hah?" Sabrina kontan panik, lalu meringis, lalu segera beringsut menjauh, sadar salah satu lengan Bimo masih dia jadikan bantal. "Ah, kamu biasanya kalau udah ketiduran juga ngejauh sendiri."

Mungkin karena Sabrina bilang lagi ketakutan, makanya Bimo pasrah saja dia peluk sampai pagi, meski kalau tidurnya sambil cuddling tuh, sejatinya Bimo yang rugi.

"Kamu peluknya kenceng banget, mana bisa gerak?" Bimo balik nuduh.

Sabrina mendelik. "Masa tenaga kamu kalah sama aku?"

Ya deh, ya deh. Sabrina selalu benar.

Bimo lalu meluruskan tangannya dan merubah posisi tidur. "Kamu kalau udah mau bangun, silakan. Aku merem setengah jam lagi, ya. Udah nggak parnoan, kan? Udah ada matahari, tuh."

Karena setelah menunjuk celah tirai jendela Bimo langsung merem lagi, Sabrina maju sedikit untuk mencubit lengannya yang katanya butuh diamputasi itu.

Tidak mendapat reaksi, dia pun kemudian memutuskan keluar dari kamar sang pacar.

Tadi malam, Bimo kayaknya emang kurang nyenyak tidurnya gara-gara diganggu olehnya.

Sambil berpikir mau sarapan apa, Sabrina mencepol rambutnya yang berantakan. Menyalakan lampu tangga karena area itu gelap, takut menggelinding ke bawah kalau turun tanpa penerangan.

Di ruang tamu yang sudah lebih terang karena cahaya matahari terbit dari pool area, dia menemukan selimut dan bantal berantakan di sofa, tampak seperti ada yang habis tidur di situ semalam.

Sabrina cuek saja ke kamarnya untuk cuci muka dan gosok gigi, sekilas tidak menemukan Mbak Iis di sana.

Saat dia ke dapur untuk membuat teh, Yang Mulia Zane Abram yang nggak ketahuan kapan kembali ke villa, sudah ada di sana—berdiri tegak di balik espresso maker.

"Can you tell me what happened last night?" Tiba-tiba si cowok bertanya dingin, seolah memang sengaja berdiri di sana menunggunya.

Sabrina mikir cepat. "Many things happened. Which one do you want to know?" tanyanya balik, sama dingin dan angkuhnya.

Zane sudah akan menyahut, tapi Sabrina yang enggan keluar jadi si kalah, segera mendahului lagi.

"Lo bukannya udah nggak minat tinggal di sini lagi, Bang? Lebih nyaman di villa mewah lo di Seminyak sana? Kenapa mendadak balik?" Mampus lo, gue omelin! Sabrina mbatin. Muak banget melihat muka songong senior satu ini. Udah tau temennya lagi susah, malah seneng-seneng sendiri, tanpa nengok Bang Mail dua kali. Ya emang sih, Mail kayak tai. Tapi kan dateng bareng-bareng sebagai keluarga, mbok ya sabar dikit. Segitu nggak berharganya seorang teman di matanya? "Oooh ... jangan bilang semalem Mbak Iis nelpon elo, curhat kalau gue kabur ke kamar Bimo, ninggalin dia sendirian di kamar angker. Gitu?"

Rahang Zane kaku.

Cih! Tebakan Sabrina jarang meleset. She can read aaall of them ... like an open book.

"Ceweknya cuma berdua, Sabrina." Zane membela Kanjeng Putri Iis Jamilah. Bikin Sabrina pingin lari ke kamar mandi. Bukan untuk muntah, tapi untuk berak, karena kayaknya lambungnya udah kosong, makan siangnya kemarin udah diolah jadi poop yang siap dikeluarkan. "Dan soal Seminyak, jangan bilang gue belum nawarin kalian semua untuk ikut."

Mendengar jawaban Zane yang sedikit ada benarnya itu, gigi-gigi Sabrina saling beradu menahan emosi. "She can't protect me. Ya jelas lah gue lari ke Bimo. Lagian Mbak Iis kan punya elo, punya Mas Agus juga! Kenapa mesti ngerepotin gue, di saat gue nggak pernah ngerepotin dia?"

"Kalau gue sama Agus ini cewek, udah pasti kita yang nemenin!"

"Terus itu tanggung jawab gue, gitu? Tanggung jawab gue untuk bikin temen lo lebih nyaman hidupnya?"

"Gue nggak bilang gitu." Aktivitas Zane mengisi bubuk kopi ke portafilter-nya terhenti. Cowok itu bahkan meletakkan benda-benda di tangannya begitu saja di atas meja, seperti sudah nggak punya hasrat bikin kopi lagi. "Gue cuma menyayangkan aja ... ada cewek se-selfish elo di depan mata gue."

Zane sudah akan pergi, tapi sekali lagi Sabrina bersuara duluan untuk menghentikan langkahnya.

"Kalau gue udah nggak mau ngomong sama Mbak Iis lagi setelah ini, it's your fault! Silakan jadi baby sitter buat temen lo itu selama empat minggu ke depan!" Sabrina tidak peduli kalau suaranya terlalu keras untuk didengar Iis Jamilah—yang sekarang entah berada di mana—atau didengar Mas Gusti di kamarnya. "Satu lagi Zane ... mending lo tanya dulu deh ke temen lo, pernah nggak sekali aja dia nganggep gue di rumah ini? Gue cuma anak bawang!"

Sambil menahan tangis, dia sengaja menubruk lengan Zane dan mendahuluinya naik ke tangga, kembali ke kamar Bimo.

Bimo yang nyawanya baru melayang semeter di atas permukaan kasur, jelas kebingungan melihat ceweknya histeris mengatakan sudah tidak betah tinggal di situ bersama yang lain.

"Aku benci temen-temen kamu." Sabrina sesenggukan.

Bimo cuma bisa memeluk dan mengelus-elus belakang kepalanya, selalu saja kesulitan mencerna situasi tiap kali Sabrina berlari sambil menangis padanya. "Ssh ... maafin aku udah bawa kamu ke sini, dan bikin kamu ngelaluin semua ini."

"Coba sekarang bilang ke aku, Bim. She's older than me. Kenapa aku harus merasa bertanggung jawab kalau dia kenapa-napa? Dan kenapa aku yang kena marah? Dia ngebela temennya dan marahin orang lain? Like ... what? Aku bahkan nggak akan kepikiran nyalahin orang lain untuk situasi buruk yang nimpa aku."

"Maaf ...." Sekali lagi Bimo cuma bisa menebak-nebak, meski agaknya dia tahu siapa biang keroknya.

Siapa lagi yang demen cari gara-gara sama Sabrina?

Sabrina masih menangis tersedu-sedu hingga beberapa saat kemudian. "Enough, Bim. Aku nggak mau lihat muka mereka berdua lagi."

Bimo mengangguk-angguk. "Kita bisa nyari tempat lain kalau kamu mau. Udah jalan setengah, tinggal sebulan lagi, pasti nggak sesusah dan se-boring saat ngelewatin bulan pertama kemarin, biarpun nantinya kita cuma berdua."

Kali ini Sabrina tidak langsung menjawab.

Kalau dipikir-pikir ... satu bulan itu bukan waktu yang sebentar, lho.

Mereka bisa saja menyewa kamar kos dengan harga miring. Tapi apa itu pilihan yang tepat?

Enggak. Pindah bisa bikin hubungan Bimo dan teman-temannya ikut buruk, padahal mereka sudah bersahabat sejak lama. Masih ada BEM setengah periode juga.

Meski Sabrina nggak peduli dengan Iis dan Zane, dia nggak merasa Ismail dan Mas Gusti perlu dijauhi.

Well, Ismail adalah tersangka yang bikin keadaan kacau, tapi selebihnya dia tidak bersikap buruk kepada sesama penghuni rumah. Nggak kayak dua nama yang mulai saat ini akan lebih baik kalau dia hindari.


~


Untung sudah gosok gigi dan cuci muka, ya kan? Biarpun nggak jadi bikin teh dan mencomot roti, dan sekarang harus menahan lapar karena mesti sembunyi di kamar Bimo, masih mending mulut Sabrina nggak bau jigong.

"Agus bilang, dia udah beliin sarapan pecel Madiun. Dari kemarin kamu pengen itu, kan?" Bimo yang sudah rapi, kayak suami-suami teladan yang mau pergi mencari nafkah, memberi tahu sambil membalas chat Gusti di handphone-nya.

Handphone Sabrina sendiri sudah jelas ketinggalan di kamarnya, tapi dia menolak saat Bimo menawarkan diri untuk mengambilkannya.

"Kamu sarapan duluan deh, Bim. Nanti aku turun kalau semua udah berangkat." Sabrina mencicit di atas kasur.

Gengsi dong ya, abis neriakin Zane kayak gitu, terus sekarang dia turun dan nimbrung sarapan, yang nggak jelas dibelinya pakai duit siapa?

"Hmm ... ya terserah sih kalau kamu nyamannya gitu. Tapi beneran nggak pa-pa aku tinggal makan sendiri?"

Masalahnya, Sabrina ini nggak pernah jelas kalau soal makan. Kadang lahap banget tanpa diingetin dan disuruh-suruh, kadang disuapin juga masih ogah-ogahan.

Meski Sabrina selalu bilang kalau dia bisa ngurus urusan lambungnya sendiri, tapi Bimo menolak percaya.

Kalau maag-nya kumat, siapa yang repot?

Akhirnya Sabrina setuju diajak turun. Timnya dibanding tim Mbak Iis adalah dua banding empat. Nggak seharusnya dia menderita sendiri di saat dia tidak merasa melakukan kesalahan.

"Tapi kita makannya misah, ya, Bim. Ogah aku ngelihat muka temenmu." Sabrina memberi syarat saat Bimo sudah akan keluar dan mencangklong tasnya.

Bimo mengangguk pasrah.

"Aku tuh paling benci sama cewek yang suka manfaatin kekalemannya dan 'berlagak' butuh dilindungi. Just call me 'pick me girl', I don't give a fuck. Yang jelas aku nggak akan pernah jadi cewek kayak dia. As if jadi kalem dan berbadan mungil itu istimewa." Sabrina masih menggerutu.

Bimo menghela napas, merangkul pundak pacarnya yang belum mandi itu, mencium pelan pelipisnya untuk menenangkannya. Tidak punya pilihan lain, dia kemudian mengikuti Sabrina memisahkan diri dengan yang lain, duduk berdua di gazebo. Membicarakan apapun asal bisa membuat Sabrina lupa pada eksistensi Iis dan Zane yang pagi ini sangat dibencinya.


#TBC


OMG, w nulis part ini cuma butuh waktu beberapa jam doang, senangnyaaa~

Padahal dari bulan November struggle banget mau nulis, hawa2nya negatif terus. Semoga setelah ini bisa rajin update tiap hari. Aminin please.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top