25 | no judgement


Paginya, saat sarapan, Gusti yang sudah nahan-nahan dari kapan tau, dibikin makin pusing dan sakit mata melihat kelakuan pasangan paling nggak berperasaan abad ini.

Yang cewek bisaan banget bermuka dua. Kemarin dikit-dikit ngomel kayak emak-emak, sekarang manja-manjaan di pangkuan pacarnya, makan aja minta disuapin! Sementara yang cowok, udah putus urat sungkannya. Padahal patungan bayar villanya adil sampai ke koma terakhir, ujung-ujungnya Gusti tetap merasa kayak salah masuk ruangan!

"Atas nama tuan muda Ganindra Bimo—yang namanya niru-niru nama seleb—gue minta maaf, Gus. Lo pasti udah eneg banget jadi kambing congek selama ini." Mail sok pengertian. Padahal, dia adalah sumber dari segala mala petaka. "Mohon maaf kalau Bimo bikin lo berasa ngontrak di bumi."

Gusti mencibir. "Bangke, elo tuh juga—"

Kalimatnya batal dilanjut.

Hampir saja dia keceplosan mengungkit-ungkit kebejatan Mail kemarin-kemarin. Lupa kalau dirinya ini pemaaf dan berbudi luhur.

Lagian, Mail pagi ini udah kelihatan kayak abis kena azab. Muka dan tangannya gosong setelah terbakar matahari seharian kemarin. Mungkin tu anak pakai sunscreen abal-abal gara-gara duit abis dipakai berfoya-foya sama Regina.

"Haruskah gue beli rumah kontrakan kita di Canggu, biar gue naik kasta jadi tuan tanah?" Gusti banting setir, membuat ketiga temannya mendengus.

Well, Agus cuma sesumbar, sih.

Nenek moyangnya emang saudagar kaya, ngalah-ngalahin istrinya Malin Kundang. Tapi di umur segini, saat Zane punya beberapa villa yang disewakan milik pribadi, Bimo punya rumah kos-kosan di beberapa kota dekat kampus-kampus besar, Gusti cuma punya beberapa lot saham di beberapa perusahaan yang familier di telinganya, hasil ngirit jajan dan rajin puasa Senin-Kamis, itu pun kurvanya kalau dipelototin tiap hari bikin hipertensi, jadi sebaiknya dihapus dulu dari ingatan sampai minimal sepuluh tahun mendatang.

"Julid amat, Mas." Sabrina, yang pagi ini konsisten menunjukkan tampang minta disayang, berdecak pelan. "Kalau ada kursi lain, gue juga mending duduk sendiri, kali!"

Melihat wajah cemberut pacarnya yang menggemaskan itu, Bimo auto tambah sayang. Lalu sengaja mencubit pelan pipi sang cewek, bikin Sabrina merengek manja, dan Gusti menahan muntah di tempat duduknya.

Tapi, yang diucapkan Sabrina memang make sense, tau.

Pasalnya, sekarang mereka sedang sarapan di belakang kamar, di pinggir kolam, di meja yang cuma menyediakan dua kursi. Ketambahan sofa one seater yang mereka gotong dari dalam, maka hanya tersedia tiga tempat duduk. Iya, di pinggir kolamnya nggak disediakan sun lounger sama sekali karena space-nya memang nggak luas-luas amat—selain emang kayaknya area situ jarang kena matahari. Ya sudah, daripada repot, Sabrina nebeng saja di pangkuan Bimo, makan sambil selimutan berdua. Praktis, plus romantis. Siapa suruh Si Agus dan Mail mendadak membatalkan rencana mereka untuk nyebur ke pool, floating breakfast ala-ala selebgram. Katanya, dingin banget.

Elaaah, padahal mereka yang cemen, Sabrina—yang sudah sepengertian ini—yang dikambing hitamkan.

"Bim, kalau capek bilang." Mail mendadak nyeletuk lagi, padahal teman-temannya lagi menghayati rasa makanan masing-masing.

"Capek paan?" Bimo hanya mengerutkan alis, kurang antusias.

"Mangku Sabrina." Mail lalu menjelaskan, "Kalau capek, tuh Agus mau gantiin."

Kontan Gusti melemparinya dengan irisan acar timun di piringnya. Lebih berfaedah dipakai melempari muka Mail ketimbang terbuang percuma. "Sab, masih ada kesempatan buat lari kalau mau. Di sini terlalu mengerikan orang-orangnya."

"Selow, gue kalau mau lari, ya ngajak Bimo." Sabrina menjawab santuy saja, membuat Bimo mesam-mesem.

"Bimo juga mengerikan. Nggak inget dia temenannya sama siapa?" Gusti melirik Ismail.

"Kalau ngelihatnya pakai sudut pandang lo, sah-sah aja bilang gitu. Karena secara nggak sadar pasti mikir, kalau lo gampang terpengaruh, orang lain juga bisa jadi sama aja." Sabrina mesem sok imut. "Tapi gue udah lihat beberapa hal dari Bimo yang mungkin nggak lo lihat, Mas."

"Mampus lo dikuliahi Sabrina." Mail malah menjulurkan lidah. Emang ya, tu anak paling demen mengadu domba. Dia yang mulai, Agus yang kena getahnya.


~


Gusti nggak tahu ucapan Sabrina tadi bisa dipertanggung jawabkan apa enggak.

Bimo emang kelihatan nggak bermasalah selama ini, selain fakta kalau dia macarin anak di bawah umur. Well, Sabrina udah tujuh belas sekarang, tapi kan mereka pacarannya udah dari lama, sejak si cewek belum resmi jadi Maba, malah. Beda umur empat tahun dan salah satunya masih anak-anak, kelihatannya kayak grooming nggak sih, kalau orang mau nethink?

Beberapa bulan sebeluk mereka berangkat ke Bali, Gusti ingat dia pernah nanya ke Bimo, setengah kepo setengah julid, saat mereka semua lagi pergi makan di suatu tempat, dan Sabrina juga lagi manjaaaa banget sampe Gusti sakit mata. "Lo nemu bocil ini di mana, sih?"

Selama ini, Gusti nggak pernah peduli asal-usul pacar teman-temannya. Tapi berhubung Sabrina ini aneh—kadang naik derajat dari sekadar pacar teman menjadi temannya juga, kadang amit-amit bikin semua orang ingin menjauhkan Iis darinya biar otak Iis nggak ikut tercemar—Gusti lama-lama jadi kepikiran juga.

"Inget kosan gue di depan Grand Melati, nggak? Kos Putri." Bimo memulai dongengnya, menyebutkan salah satu apartemen dekat kampus mereka di Depok.

Mendengar obrolan itu, seisi meja kompak diam sejenak, termasuk Sabrina yang cuma bisa pasang muka sok cakep, sampai kemudian Mail sadar duluan.

"Taik!" Cowok yang saat itu masih berambut gondrong itu berseru jijik. "Anak kos lo embat?"

"Kalau cocok, kenapa enggak?" Bimo tidak tampak merasa berdosa.

Gusti yang baru connect, ikut-ikutan jijik. "Terus ... elo gak sadar lagi dibidik bapak kos?" tanyanya ke Sabrina kemudian.

"Sadar." Sabrina mesem, mengelus-elus lengan Bimo yang sedang dirangkulnya dengan sengaja. "Emang kenapa kalau bapak kos gue tukang modus?"

"Bagus, bagus. Dibidik Bapak Bimo emang nggak pa-pa. Dibidik Bapak Ismail yang nggak boleh." Karena Bimo jarang bikin dosa padanya, sekali-kali Gusti menjatuhkan Mail.

"Sialan." Mail mendecih.

Sabrina manggut-manggut, sepakat. "Kalau Mas Agus, sampai sekarang masih jomblo, ngebidiknya nunggu ada ukhti-ukhti kayak Mbak Iis, ya?"

Gusti dan Iis auto keselek berjamaah. Muka mereka juga langsung horror.

Sementara Bimo, Zane, dan lain-lain, masih bisa ketawa sopan, Mail sudah duluan ngakak brutal. "Hahaha, Iis mah bukan ukhti-ukhti." Cowok itu sampai mau menangis membayangkan Iis menolak Gusti mentah-mentah, tapi nggak mungkin dia suarakan. Walau bagaimanapun juga, Mail nggak mau sahabatnya mati karena overthinking, 'seancur itukah dirinya sampe Iis aja nggak mau?' "Akhi-akhi kayak Masmu ini emang gak bakal pacaran, Sab. Nanti begitu siap, langsung ngajak nikah. LAKIK!"


~


Sayangnya, dua hari berlalu kelewat cepat kalau dipakai jalan-jalan dan bersenang-senang.

"Huuu, cepet banget udah siang aja." Sabrina bangkit dari tempatnya duduk dengan muka tidak rela.

"Nggak usah cemberut. Minggu depan kita cari tempat lain lagi." Bimo masih sempet-sempetnya pelukan dengan sang pacar di saat mereka sibuk berkemas.

"Jalan-jalan oke, tapi jangan nginep di luar lagi, deh. Masih sebulan lagi di sini, bisa-bisa over budget." Sabrina balas memeluk. "Kamu abis ini skripsinya jangan lama-lama ya, Bim. Terus kerja yang rajin, biar kita bisa sering-sering staycation. Nanti aku cepetin juga kuliahku biar cepet bantuin kamu nyari duit."

Bimo ketawa mendengar motivasi hidup pacarnya yang receh abis.

"Nggak usah diburu-buruin, yang penting nilai bagus, pengalaman dapet. Kamu SMP-SMA udah ambil aksel, kasian banget kalau kuliah mau buru-buru juga. Masih kecil udah mau kerja."

"Kayaknya kemarin-kemarin ada yang semangat bantuin aku cari info buat fast track?"

"Yaaa ... nggak ada yang salah sama mempersiapkan segala kemungkinan, sih. Cuma jangan terlalu dijadiin beban. Jangan lupa napas. You can always count on me, remember?"

"Uuuh Bimooo ... how can I not be in love with youuu?"

Mail dan Gusti tiba-tiba jadi tak kasat mata.


~


Mbak Iis tiba di rumah dengan sebuah taksi online tak lama setelah rombongan pesepeda tiba duluan.

Hari belum gelap, tapi karena capek, semuanya langsung masuk kamar masing-masing untuk bersih diri dan pergi tidur tanpa makan malam lebih dulu.

Meski hati meronta-ronta minta dibawa menaiki tangga bersama Bimo, dengan berat Sabrina melangkahkan kaki menuju ke kamarnya sendiri. Mengabaikan suasana rumah yang makin terasa wingit gara-gara ditinggalkan semua penghuninya dua hari penuh.

"Lampunya nggak mau dimatiin? Silau, nih." Mbak Iis protes saat berjam-jam kemudian lampu nakas Sabrina nggak juga dipadamkan, padahal Sabrinanya sudah setengah lelap sambil nonton film di HP pakai earbuds.

Sabrina menghela napas dalam dan panjang.

Nggak tahu kenapa, makin lama kenal, makin sering berinteraksi, ketidaksukaannya pada teman sekamarnya ini justru makin membubung tinggi.

Alih-alih memerintah sesukanya—meski nadanya nggak seperti memerintah—kenapa nggak coba nyari jalan tengah biar kedua belah pihak sama-sama senang? Sabrina tahu, dia sendiri juga bersikap sesukanya, tapi seandainya Mbak Iis mau menganggapnya 'setara', dan mempertimbangkan untuk mengajak diskusi selayaknya dia bersikap kepada keempat cowok penghuni rumah yang lain, mungkin Sabrina akan mau-mau saja menurunkan egonya.

"Gue lagi parnoan, Mbak. Mbak ngadep ke tembok aja kalau silau. Lampu gue juga nggak terang-terang amat."

Iis yang jelas nggak puas dengan jawaban menjengkelkan Sabrina, cuma bisa mendesah bete, lalu balik badan dan menutupi mukanya dengan bantal. Tidur miring menghadap tembok. Bagaimanapun juga dia harus tidur kalau nggak mau ngantuk saat kerja besok. Nurutin debat sama Sabrina, cuma bikin tensi naik aja.

Lagian, salah dia sendiri, mau-maunya numpang di kontrakan Bimo ini.

Baru juga Iis mencoba lelap, terdengar jeritan nyaring Sabrina, membuatnya jadi tersentak bangun lagi.

Nyari kamar kos sendiri untuk sebulan ke depan kayaknya lebih baik, deh, daripada mati muda tiap hari berurusan sama pacar Bimo yang childish ini!

"Kan! Mbak denger suara barusan?" Cewek rese itu merengek.

Iis mengucek mata.

Tampaknya, Sabrina belum tidur dari tadi. Masih asyik main HP.

"Suara apaan?" Iis bertanya malas. Dia sendiri tidak merasa mendengar apa-apa selain jeritan teman sekasurnya.

"Ledakan!" Sabrina histeris, sudah bangkit duluan dari kasur, sedang mencari-cari sandalnya yang menghilang sebelah di balik kolong tempat tidur.

Nggak menunggu Iis menjawab lagi, cewek itu langsung keluar dari kamar tanpa menutup pintu kembali, lalu menyalakan semua lampu di ruang tamu.

"Asli, suaranya kenceng banget." Sabrina masih histeris. Lebih histeris saat tidak menemukan sumber suara ledakan yang dimaksud.

Nggak tampak ada kekacauan apapun di rumah.

Sabrina bukan cuma mengecek ruang tamu-dapur-ruang makan, tapi juga keluar rumah, menuju gang depan yang sepi. Lagi-lagi nggak menemukan apa-apa. Hanya tampak beberapa kendaraan masih lalu lalang di jalan utama tidak jauh dari situ.

"Ledakan apa?" Iis yang sudah tiba di teras terpaksa bertanya.

"Gue juga nggak tahu." Sabrina frustasi. "Tapi emang Mbak nggak pernah denger yang aneh-aneh selama ini?"

Iis menggeleng.

"Gue sering." Sepasang matanya mulai berkaca-kaca. "Ada yang lewat, ada suara-suara nggak jelas. Pokoknya gue digangguin mulu! Semoga kali ini bukan suara santet atau semacemnya!"

Iis kontan melongo.

Dia jarang di rumah—jarang melek di rumah dan memperhatikan sekeliling, maksudnya. Pulang magang biasanya sudah habis tenaga, kelar makan malam langsung masuk kamar dan tidur kalau nggak dipaksa keluar sama yang lain. Jadi entah dirinya terlalu kebo atau Sabrina yang cuma mengada-ada.

"Gue mau ke Bimo, Mbak." Dan tau-tau juniornya itu sudah membuat keputusan sebelum Iis sempat bersuara.

Iis melongo.

Habis menakut-nakuti dirinya, terus sekarang malah mau kabur?

Iis benar-benar tidak habis pikir.

Kalau yang dikatakannya memang benar—rumah yang mereka tempati emang banyak gangguannya—masa teman sekamarnya nggak mempedulikan keselamatan Iis juga?

"Terus, gue tidur sendirian?" Iis bertanya seperti orang bodoh.

"Mbak takut?" Dengan wajah mengobarkan bendera merah, Sabrina menaikkan sebelah alis. "Dua malem kemarin Mbak bebas pergi pergi sendiri ninggalin gue sendirian di kamar 'kita', tapi gue nggak boleh ninggalin Mbak? Oh, wow."

Iis nggak sanggup menjawab. Tahu-tahu Sabrina sudah meninggalkannya menuju tangga.

Keesokan paginya, bangun-bangun Sabrina malah ditegur Zane!


#TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top