22 | goosebumps
Tiga hari pasca kejadian, entah bagaimana Sabrina merasa suasana tempat tinggal mereka tidak kunjung membaik. Malah makin hari jadi makin suram. Padahal, nama Regina sudah tidak pernah lagi disebut-sebut, dan mereka telah kembali sarapan berenam hanya sehari berselang setelah tragedi terjadi.
Mungkin karena Bang Ismail masih diam seribu bahasa, cuma ngomong seperlunya? Itu pun sebagian besar hanya saat Sabrina menanyakan urusan BEM, karena wajah murungnya membuat Sabrina segan mengajak ngobrol nggak penting.
Atau karena tadi malam Zane dengan tidak setianya memilih menginap di tempat omnya di Seminyak? Pengurangan jumlah personil jelas berbanding lurus dengan keriweuhan, sehingga wajar jika suasana rumah jadi makin sepi.
Sebenarnya, cowok itu menawari yang lain untuk ikut pergi bersamanya, bahkan mereka semua diizinkan tinggal sampai akhir pekan kalau mau, mumpung sedang kosong, tapi yang lain menolak, karena Mail juga menolak, dan nggak enak mau meninggalkan Mail sendirian.
Lalu, si Mbak Iis—yang memang selalu kompak dengan Zane—juga mendadak ngide mau mengunjungi Mas Linggar lagi pada weekend ini. Belum terealisasi, sih, tapi sudah berkontribusi menambah kesan bahwa rumah mereka tidak terasa sama lagi.
Nggak pernah ada tawa lagi. Gloomy.
Sekarang bikin nggak betah.
Karena hampir selalu sunyi dan sepi, Sabrina jadi parnoan dan ogah jauh-jauh dari Bimo. Dia nggak akan pulang sebelum pacarnya itu tiba duluan, dan setelahnya akan menempel ke manapun Bimo pergi. Bahkan kalau mau ke kamar mandi saja, Sabrina pastikan dulu Bimo nggak akan menyingkir jauh-jauh dari pintu.
"Mungkin nggak sih kalau rumah ini tuh angker?" tanya cewek itu pada pacarnya selepas jam makan malam.
Karena Bimo ada rapat daring, mereka terpaksa makan malam berdua di rumah, setelah beberapa hari belakangan rutin berada di luar sampai hampir tengah malam.
Dan karena Zane tidak ada, Mbak Iis juga jadi rajin keluar bersama Mas Gusti, sementara Ismail yang memang jarang ada di rumah masih tidak berubah sama sekali kebiasaannya.
"Nggak mungkin lah, Sab. Ini daerah padet banget. Rumahnya juga nggak pernah kosong." Bimo yang Zoom-nya sudah di-mute menjawab kalem.
"Ya siapa tau, Bim. Kadang aku tuh denger suara-suara atau gerakan di belakang aku pas lagi di bawah sendirian." Sabrina sampai berkaca-kaca saat mengatakannya, antara takut beneran dan sedih karena nggak dipercaya oleh orang yang paling dia andalkan. "Dulu nggak kayak gitu karena rumahnya rame. Ada aja yang nyalain musik kenceng-kenceng. Sekarang mau ketawa aja sungkan. Jadinya ada pergerakan dikit, langsung kedengeran."
"Suara angin doang kali, Babe. Kan di gazebo lumayan kenceng anginnya. Atau nggak, suara dari villa sebelah. Tembok ketemu tembok, ada aja kan kemungkinan tembus dikit suaranya."
Ah, Bimo mode teguh pendirian memang susah dihasut.
Selagi Sabrina nggak punya bukti, dia hanya bisa banyak-banyak bersabar.
"Kalau Mbak Iis jadi pergi, aku di sini, ya," rengeknya setelah agak lama diam.
Bimo menoleh dari layar laptopnya untuk kesekian kali, mengulas senyum kebapakan. "Emang pernah sehari aja kamu nggak di sini?"
Sabrina manyun. "Maksudnya aku pindah semi permanen ke sini, bukan dateng kalau mau ngobrol doang."
"Iya, Babe, iya. Dipersilakan." Kalau sebelumnya cuma mute audio, sekarang Bimo mematikan kameranya juga untuk merengkuh pacarnya. "Kalau udah mulai homesick, weekend ini juga aku bisa nganter kamu pulang. Sekalian berangkat bareng Iis, kalau mau."
Tapi Sabrina menggeleng. "Sayang kelas surfing aku. Juga masa kita ikut-ikutan pergi pas ada yang kena musibah? Biar aja Zane sama Mbak Iis nggak tahu diri, kita sama Mas Gusti di sini aja nemenin Bang Mail."
Pacarnya emang bawel dan manja. Tapi loyalitasnya nggak usah diragukan.
Diam-diam Bimo bangga.
~
Paginya, karena sampai jam tujuh lewat tidak juga terdengar pergerakan dari kamar Ismail, Sabrina nekat mengetuk pintunya.
"Mas ... hari ini nggak masuk kerja, kah? Udah kesiangan lho."
Tidak ada sahutan.
Dilema sekali keputusan membangunkan Ismail ini.
Tujuannya baik, tapi belum tentu mendapatkan hasil yang baik.
Selain masih trauma kejadian Senin Subuh tempo hari, nggak pakai ada kejadian itu pun Sabrina takut kena sembur.
Namanya orang lagi tidur nyenyak, siapa sih yang nggak emosi kalau dibangunkan?
"Maaas, aku buka pintunya, ya?" Sabrina memperkeras suaranya saat tidak juga mendapat sahutan.
Aslinya sih males banget.
Lagi bangun aja Ismail biasa pakai kolor doang nggak pakai baju, dan sewaktu ada Regina terbukti kalau tidur gak pakai baju sama sekali, kalau ini nanti dia buka pintunya dan ternyata lagi-lagi Ismail telanjang bulat nggak selimutan gimana?
Ah, tapi ngapain? Dia kan lagi sendirian. Seenggaknya pasti masih pakai boxer.
Sabrina lalu nekat saja memutar knop di depannya, yang untung saja tidak terkunci.
"Mas—"
Tidak ada orang di atas kasur begitu pintu terbuka.
Sabrina langsung pusing.
Ismail nggak mungkin menghilang diculik dedemit, kan?
Segera dia keluar lagi, masuk ke kamar Bimo, lalu menggedor-gedor pintu kamar mandi.
"Ada apa?" Bimo memunculkan sedikit kepalanya lewat celah pintu. Rambutnya masih dipenuhi busa shampoo.
"Bang Mail nggak ada." Sabrina sudah ketakutan sendiri.
"Tunggu bentar. Nanti aku yang nyari."
Disuruh menunggu begitu, Sabrina menurut.
Benar-benar nggak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Dalam hati sibuk merapalkan doa-doa, semoga ketakutannya jadi nyata.
Asli, villa mereka kalau dilihat-lihat memang creepy sekali berkat interior dan eksterior yang terkesan vintage. Juga terlalu hijau dan rimbun, padahal ini di Canggu, bukan Ubud. Sabrina sesungguhnya ingin mengajak Bimo pindah saja ke tempat yang auranya lebih cerah dan modern kalau nggak ingat mereka sudah bayar sewa full di muka.
"Beneran nggak ada, Bim. Kupanggil nggak nyahut. Terus kasurnya juga rapi banget. Selimutnya tertata. Padahal, mana pernah Bang Mail beresin kasur pagi-pagi? Buang isi asbak keluar kamar aja males. Paling-paling kan kamarnya bersih cuma seminggu dua kali, pas mbak-mbak tukang bersih-bersihnya dateng. Nanti orangnya pergi, langsung berantakan lagi." Begitu Bimo keluar tidak sampai dua menit kemudian, Sabrina langsung memberondongnya dengan cerocosan panjang. Nggak sadar kalau dia telah mengganggu momentum Bimo untuk mengurus kebutuhan primernya. Malah, Bimo yang kudu ngalah dan batal buang hajat segala demi nggak berlama-lama berada di dalam kamar mandi.
"Kamar mandinya udah diperiksa?" Bimo bertanya kalem.
Alis Sabrina bertaut. "Ngapain? Nggak kedengeran suaranya, sama pintunya kebuka juga."
"Ya kali aja dia lagi berak pas kamu dateng, terus kupingnya disumpel earpod."
"Nggak mungkin ah kalo nggak denger. Orang aku gedor pintunya kenceng banget. Juga nggak kecium bau eek pas aku masuk."
Cape deh.
Sambil berusaha sabar, Bimo mengeratkan lilitan handuk di pinggangnya, sebelum kemudian melangkah keluar, melewati kamar kosong Zane, dan menuju tetangga ujung.
Sabrina mengekor rapat di belakangnya.
Pintu kamar Ismail masih terbuka lebar saat mereka masuk, karena Sabrina nggak kepikiran untuk menutupnya kembali saat kabur mencari perlindungan Bimo.
"Astagfirullah hal adzim ...." Bimo nyebut, berhenti mendadak tidak jauh dari pintu, membuat Sabrina menubruk punggungnya yang masih setengah basah. "Kalau bukan Ismail, terus itu siapa, sayangkuuu?"
Sabrina muncul dari persembunyian sambil menggosok-gosok tulang hidungnya yang sakit kena tulang punggung Bimo. Mendapati Ismail sudah berdiri di hadapannya, dengan handuk besar terlilit di pinggang, dan handuk kecil di atas kepala. Tampak baru selesai bersih diri.
"T-t-tapi tadi ... nggak ada, Bim ...." Sabrina ingin membela diri, tapi nggak punya argumen bagus.
"Ismail emang gitu, kalau nggak lagi bawa cewek, kamarnya nggak dikunci, ke kamar mandi juga nggak ditutup pintunya."
Sabrina masih sangsi.
"Dan mungkin kebetulan aja tadi pas kamu ke sini, eeknya nggak bau." Bimo menambahkan, membuat sebelah alis Ismail terangkat karena nggak paham apa yang dibicarakan tamunya, dan muka Sabrina kontan merah padam karena malu.
~
Ketika Sabrina mengatakan dia terlihat pucat saat sarapan tadi pagi, sebetulnya Mail sendiri sadar ada yang terasa aneh dengan badannya.
Mungkin gara-gara semalam hampir tidak tidur sama sekali karena insomnia?
Bego, emang.
Setelah hampir sebulan ini keenakan nggak pernah menghabiskan malam sendirian, ketika akhirnya nggak mendapati keberadaan orang lain di kasurnya, rasanya malah seperti tidak sedang berada di kamarnya sendiri, dan Mail jadi nggak bisa tidur.
"Yakin nggak mau ditemenin ke dokter?" Sabrina menanyainya tepat sebelum berangkat. "Pagi-pagi gini biasanya dokter praktik masih ada, sebelum berangkat ke tempat dinas masing-masing."
Cewek itu sudah mengeluarkan ponsel untuk browsing tempat praktik dokter umum terdekat, tapi ternyata Ismail malah menggeleng.
"Udah mau telat, nih. Ntar sore aja pulang kerja, kalau masih lemes, gue mampir ke dokter sendiri."
Sabrina mengiyakan saja meski agak-agak nggak percaya. Soalnya, muka-muka kayak Ismail ini cenderung menganggap remeh penyakit, dan kemungkinan besar baru mau ke dokter kalau udah sekarat.
Dan Mail nggak menampik.
Pusing karena insom doang, pake ke dokter, manja amat! Kecuali kalau insomnya berhari-hari sampai nggak bisa tidur sama sekali dan bikin nggak produktif di tempat kerja, baru deh Mail butuh resep obat tidur.
Sialnya, bagai jatuh ketimpa tangga, begitu menginjakkan kaki di kantor Fitness Founders, sepasang mata cowok yang lagi nggak enak badan itu langsung bertumbukan dengan Regina yang duduk di balik meja terdekat dari arah pintu masuk. Tidak sendirian, melainkan bersama Giordano.
Ismail memutuskan untuk berlagak bego, mencari tempat sejauh-jauhnya dari meja Regina sembari menunggu Mas Rizal datang. Untungnya, personil service and sales department yang jadi bosnya minggu ini itu lebih senang kerja di outdoor, di kursi bawah pohon sambil menyeruput es degan, atau di cafetaria biar bisa sambil ngemil, jadi Mail nggak perlu terlalu berusaha menghindar sampai jam pulang.
Karena Regina hobi pulang teng go, Mail yang kebetulan masih larut dalam obrolan setengah serius dengan Mas Rizal di cafetaria sengaja nambah-nambah topik sampai Regina keluar duluan.
Dan tepat sekali, jam lima pas, cewek itu terlihat berjalan keluar dari kantor.
Barulah Mail sadar, ada yang berbeda dengan cewek itu hari ini.
Kalau biasanya Regina cuek saja berangkat kerja dengan kaos polo dan jeans, juga muka polosan, kali ini dia mengenakan rok terusan selutut warna cerah bermotif dan sepasang heels. Bahkan makeup-nya—meski nggak terbilang menor—masih terlihat jelas dari jendela tempat Mail duduk di lantai dua.
Tapi keheranan Mail segera terjawab saat melihat cewek yang sampai tiga hari lalu masih dia anggap seperti belahan jiwanya itu kemudian memasuki sebuah mobil yang berhenti tidak jauh dari pos sekuriti. Regina dijemput suaminya.
Cih. Jadi tampilan girlie itu Cuma terjadi di depan suaminya aja.
Mail langsung buang muka. Muak.
Bahkan sudah lupa kalau beberapa hari ini dia sempat khawatir bagaimana nasib Regina pasca diseret-seret keluar dari kamarnya.
Meski sedang marah dan sangat terluka, dia nggak bakal segitunya memperlakukan cewek. Well, entah juga ya, Mail kan belum married, dan belum tahu rasanya diselingkuhi istri sendiri.
"Mumpung masih sore, mau ke Omnia, nggak?" Mendadak Mail punya ide brilian.
Mas Rizal yang otaknya sebelas dua belas dengan Mail mengernyitkan dahi. "Jauh amat? Repot pulangnya, cuy."
"Naik ojek aja, pulangnya taxi, gue yang bayar."
"Ckckck. Anak muda tangguh sekali pendiriannya yaa ...." Tapi nggak pakai drama, si Rizal luluh juga. Emang dasarnya dia sama murahannya kayak Ismail, susah bilang enggak pada ajakan bersenang-senang.
Ismail tersenyum miris. Berusaha mengenyahkan apa pun yang sedang menggerogoti jiwa.
Namanya casual dating emang bukan sesuatu yang perlu pakai hati, sih. Ismailnya aja yang nggak pinter-pinter dari dulu.
Kalau kencan sebulan doang bikin dia sampai patah hati segala, mending Mail nggak usah sok-sokan ngedeketin cewek lagi!
Sambil merutuki nasib buruknya, bersama Mas Rizal, cowok itu kemudian naik ojek menuju Uluwatu, ke sebuah premium dayclub di sana.
Mumpung tanggal muda, nggak ada salahnya menikmati sore di tempat yang agak jauh dan keren dikit. Mencoba menghibur diri dengan minuman mahal.
Lagian, apa sih yang dia sesalkan dari menghilangnya Regina dari hidupnya?
Ain't no pussy that good!
Sialnya, yang namanya Ismail memang kayaknya mengeluarkan feromon yang memikat para wanita.
Mustahil cewek-cewek yang nggak datang bersama pasangan mau membiarkannya duduk sendirian di bar. Belum lama tiba, baru juga menghabiskan segelas Dirty Martini, seorang cewek yang lebih cantik dan lebih seksi dibanding Regina mendatanginya dan mengajak turun ke dance floor.
Malas mencari-cari alasan untuk menolak, Ismail menurut saja setelah melihat Mas Rizal juga sibuk dengan kenalan barunya. Segera berjalan mengikuti cewek yang sore ini cuma pakai bikini warna oranye dan menggamit erat tangannya menuju tengah kerumunan muda-mudi di hall.
"Oh, di sini Magang? Enak, lah." Cewek itu tertawa renyah di telinganya sembari melenggak-lenggokkan tubuh, sambil sesekali sengaja merapat padanya. "Gue juga dulu magang di sini, lanjut ditawarin kerja begitu lulus. Mayan, berasa liburan terus tapi dibayar."
Shit!
Cewek yang lebih tua lagi.
Ismail mendadak trauma.
Di sela-sela gerakan tubuhnya, dia lalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak minum lagi karena setelah ini masih harus menempuh perjalanan panjang kembali ke Canggu, dan besok pagi juga masih harus masuk kerja.
#TBC
Bonus muka ismail yang paling gak mantuable sedunia beberapa tahun mendatang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top