21 | not okay but ... please calm down?
Kalau Sabrina langsung menyalahkan diri sendiri karena tamu yang dia biarkan masuk membuat Ismail babak belur dan seisi rumah jadi merasa tidak nyaman, maka ... yang lain memang merasa tidak nyaman seperti yang Sabrina takutkan. Traumatized, malah—setidaknya begitulah yang dirasakan Iis.
Melihat sesama perempuan diseret-seret dengan kasar, tidak diindahkan meski menangis memohon-mohon sambil kesusahan memegangi bedcover yang nyaris tidak berhasil menutupi tubuhnya dan malah membuat66y terjungkal beberapa kali saat benda itu tidak sengaja terinjak ... entah bagaimana Iis merasa seolah dirinya bisa masuk ke jiwa Regina.
Iis nggak membenarkan perselingkuhan, apa pun alasannya. Tapi terlepas dari dosa-dosa yang diperbuat sang istri, Iis menyayangkan sikap suami Regina yang tidak memberi kesempatan perempuan itu untuk berbenah sedikit saja.
Dia bisa mengadilinya nanti, tapi berhenti satu detik untuk membiarkan Regina memastikan selimut yang dia pakai sudah sempurna menutupi kulitnya, akan mengubah keseluruhan jalan cerita di kepala Iis.
Yang tadi itu ... terlalu tragis.
"Zane ...?" Sambil merasakan tubuhnya menciut karena shock, Iis menoleh pada teman yang berdiri di sebelahnya.
Zane menempelkan telunjuk ke depan bibir, memberi isyarat untuk turun dulu, ketimbang buka suara di depan kamar Ismail.
Karena Iis mendadak telmi, Zane lalu berinisiatif menopang sedikit tubuhnya di punggung, mendorongnya pelan untuk berjalan kembali menuju tangga, meninggalkan Gusti di situ sendirian.
"You okay?" Setelah tiba di bawah, Zane bertanya.
Iis mengangguk antara sadar dan tidak.
"Mau keluar jogging bentar? Baliknya sekalian beli sarapan."
Sekali lagi Iis mengangguk. Lalu segera sadar kalau saat ini dia hanya mengenakan pakai jaket jeans Sabrina sebagai penutup kepala, yang dia sampirkan asal-asalan dan masih dia pegang erat-erat kedua sisinya di bawah dagu. "Tunggu gue ganti baju bentar, ya?"
"Hm." Zane yang kebetulan merasa pakaian tidurnya sudah proper dibawa keluar, memutuskan menunggu di sofa ruang tamu sambil memakai sepatu larinya yang memang selalu ditinggal di rak di dekat pintu depan.
Tidak sampai lima menit kemudian, mereka berdua sudah berjalan pelan ke arah pantai, seperti biasa—meski tidak berambisi finish di sana. Tapi yang tidak biasa adalah Iis kehilangan kemampuan untuk ceriwis membicarakan apa saja dengan sahabatnya itu.
"Dia itu cowok yang gue lihat di Mariott pas nganter Rachel, sama yang jemput Regina di Soetta kemarin lusa." Zane menggumam ketika sudah beberapa ratus meter meninggalkan villa.
Nggak ada maksud apa-apa. Cuma merasa perlu mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan akhir-akhir ini.
Zane memang sudah merasa ada yang aneh dengan Regina saat tidak sengaja melihatnya di Mariott dua minggu lalu. Ditambah gelagatnya saat pulang bersama dari Ngurah Rai kemarin sore.
Mungkin karena sudah diberi tahu Ismail kalau Zane dan dirinya berangkat menggunakan penerbangan yang sama ke Jakarta di hari sebelumnya, dan ada kemungkinan Zane melihatnya, makanya Regina jadi menjaga jarak.
Tapi belum sempat Zane menyelidiki lebih lanjut, bakul nasinya sudah tumpah duluan. Nggak terselamatkan.
"Sorry kalau sebelumnya gue terkesan ngeremehin apa yang lo ceritain waktu itu. Jadinya kita malah ngetawain Ismail, berasumsi kalau dia dan Regina cuma open relationship." Iis langsung dirundung rasa bersalah. Padahal, dia pernah ditolong Zane untuk kasus serupa, tapi malah mencegah Zane melakukan hal yang sama untuk teman mereka.
"Enggak, kok, gue diem karena waktu itu emang belum yakin. Baru kemarin banget yakinnya, itu pun sebatas ngira kalau Regina mainnya nggak sama Ismail doang." Zane lalu mengigat kembali ekspresi Regina dan Mail yang dia jumpai sore kemarin. "Tapi belum ada rencana mau peduli lebih lanjut juga, karena yaa ... tau sendiri Ismail gimana. Nggak yakin ngasih tau dia bakal ada efeknya. Paling-paling bakal ditrabas aja, nggak peduli Regina selingkuh sama orang lain atau justru dia yang ternyata selama ini jadi selingkuhan, karena kecil kemungkinan dia niat lanjut setelah magang kelar. Tapi ... tetep nggak ngira itu cewek udah nikah." Zane menelan ludah. Matanya memandang lurus ke jalan di depan. "Kalau Ismail beneran nggak tahu dan cuma jadi korban di sini, oke, gue turut berduka cita. Tapi kalau ternyata dia emang nggak peduli asal-usul dan langsung gasak ... I lost my respect. Fuck buddy sih fuck buddy, tapi nggak bini orang juga kali."
Iis nggak tahu harus menjawab apa.
Hubungan Bimo-Sabrina saja sudah mengerikan baginya. Nggak mungkin Iis bisa relate dengan gaya hidup penuh dosa para bujang metropolitan macam Zane dan Ismail. Apalagi tadi Iis telat datang ke lokasi, hampir nggak tahu apa-apa selain adegan Regina diseret-seret dalam keadaan menangis tanpa busana, lalu dia diteriaki untuk membukakan pintu.
Iis bahkan nggak sempat melihat keadaan Ismail untuk bisa menilai apakah temannya itu korban atau tersangka.
"Zane, mampir ke situ aja, yuk." Iis yang sudah kehilangan minat untuk lanjut berjalan, mendadak menghentikan langkah, menunjuk sebuah warung makan yang baru buka. "Mau ngeteh. Gue butuh asupan sukrosa."
~
Suasana rumah jadi kaku.
Kalau sebelum-sebelumnya area dapur dan meja makan selalu ribut dan kacau di jam sarapan, pagi ini trio Gusti-Iis-Zane makan dalam diam ketika Bimo akhirnya turun bersama Sabrina.
Ada tiga kotak nasi lain yang masih terbungkus rapat di dekat mereka.
Bimo merangkul Sabrina dan membawanya ikut duduk. Menggeser satu kotak lontong sayur ke hadapan pacarnya.
Sabrina tidak langsung makan.
Melihat tiga orang lain di meja itu tidak bereaksi sama sekali terhadap kehadirannya, ABG itu mendadak merasa dikucilkan.
"Aku izin nggak ikut kelas hari ini ya, Bim?" Dengan suara amat pelan, Sabrina mencicit di ketiak pacarnya.
Bimo mengangguk maklum. Menepuk pelan pundak sang cewek untuk menenangkan. "Tapi tetep makan dulu. Abis itu terserah, mau di rumah aja atau pergi-pergi ke mana."
Giliran Bimo yang bersuara, yang lain kompak menoleh sekilas.
Tapi setelah itu kembali fokus pada aktivitas masing-masing lagi, hingga satu per satu pamit pergi, meninggalkan Sabrina duduk sendirian di meja. Bengong. Mendadak merasa tidak termotivasi melakukan apa pun.
Berpuluh-puluh menit setelah semuanya berangkat, barulah Ismail akhirnya turun dari kamarnya.
Sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor.
"Sarapan, Bang?" Sabrina menawari karena nggak mungkin berlagak nggak melihat.
Tapi seniornya itu menggeleng. "Ada makeup nggak, Sab? Buat nutupin bonyok di muka."
"Ada." Sabrina mengangguk. "Sini gue bantu."
~
Gusti melihat Ismail masuk ruangan kantor jam sembilan kurang lima menit.
Mukanya lesu, tapi selebihnya terlihat presentable untuk bekerja seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda muka bonyok habis ditonjok seperti yang dideskripsikan yang lain tadi pagi di meja makan. Dan jangan ditanya, pakaiannya jelas rapi, as always.
Cowok itu mengambil meja tidak jauh dari tempatnya, tapi Gusti sungkan untuk menegur. Pilih berlagak bego dan fokus menyalakan laptopnya sendiri, sebelum kemudian betul-betul terhanyut pada pekerjaan yang diberikan padanya oleh Mas Herlambang padanya.
Saat beberapa puluh menit kemudian Gusti meregangkan punggung dan memperhatikan sepenjuru ruang, tahu-tahu Mail sudah tidak ada di sana.
Kalau minggu kemarin temannya itu terlihat sibuk dengan Mbak Indira, agaknya minggu ini di-rolling lagi ke departemen lain karena sekarang Mbak Indira duduk sendirian di pojokan.
"Mbak Regina nggak masuk lagi?" Gusti iseng bertanya pada Mas Herlambang setelah sampai jam sepuluh tidak melihat penampakan Regina di sana. 'Lagi' dia maksudkan karena sebelumnya Regina sudah pernah absen, di hari pertama dia dan Ismail magang.
Tapi bisa saja sekarang cewek itu cuma sedang berada di ruangan lain, dan bukannya absen. Gusti juga nggak terlalu berharap mendapat jawaban serius.
Kalau dijawab syukur, enggak ya udah.
Tapi tampaknya, Mas Herlambang peka juga jadi orang. "Hooh. Lagi sama si Giordano, workshop di Jakarta."
Rahang Gusti jatuh tanpa sadar. "Lah, seriusan?" tanyanya memastikan, jadi bingung sendiri, karena Regina kan baru kemarin sore kembali dari Jakarta? Ini ada konspirasi apa gimana? "Perasaan tadi pagi gue masih ketemu ...."
Bisa saja sih kalau memang Regina ada tugas kerja ke sana, meski kepulangannya kemarin jadi nggak masuk akal. Juga santainya dia semalam saat memutuskan menginap di kontrakan mereka nggak kayak orang yang keesokan paginya harus pergi lagi ngejar pesawat.
Tapi kalau jawaban Mas Herlambang bisa dipertanggung jawabkan, Regina sedang perjalanan dinas dengan Mas Giordano sekarang, setelah apa yang empat jam sebelumnya dia alami, meski agak bego—karena kesannya pulang ke Bali hanya demi melepas rindu sama kasur hangatnya Mail sebentar doang—Gusti ingin mengapresiasi profesionalitasnya.
"Oh ya? Ketemu di mana?" Di luar dugaan Gusti, Mas Herlambang balik nanya.
Mampus lo! Gusti langsung menyesal telah bertanya dan berujung keceplosan sendiri.
"Nevermind." Mas Herlambang ketawa melihat muka panik Gusti dan melambaikan tangan, mengajak Gusti kembali fokus ke pekerjaan.
~
Mumpung Ismail nggak langsung pulang sehabis dari kantor, anak-anak yang lain, yang sudah merasa mendingan dari keterkejutan tadi pagi, berkumpul di gazebo untuk mencerahkan pikiran bersama.
"Penampakan luar sih nggak apa-apa, nggak kayak habis dibonyokin orang. Apalagi si Rei juga nggak masuk tadi. Tapi ya gitu, gue segan juga mau negur kalau dia nggak negur duluan. Pas lunch juga nggak ketahuan dia di mana, gue lunch sendirian di kantin." Gusti bercerita ketika ditanyai perihal Ismail di kantor.
"Gue yang bantuin dia nutupin lebamnya pakai concealer tadi pagi. Ada luka sobeknya juga, kayaknya pas dipukul kena cincin yang dipake si Ibra-Ibra itu." Sabrina bercerita, sambil ngumpet di lengan Bimo.
Dia lega karena yang lain tidak menyalahkannya, tapi tentu saja nggak lantas membuatnya sama sekali bebas dari rasa bersalah.
"Tapi kalau Mail sampe kaget dan speechless gitu, kemungkinan besar sih dia nggak tahu kalau selama ini dia jadi simpanan Regina." Bimo berspekulasi.
Semua langsung diam.
Ngeri sekali menyadari hal seperti itu terjadi di depan mata, selama berminggu-minggu, tanpa ada satu pun yang menyadari. Korbannya si Ismail, lagi, yang konon katanya sudah lost count jumlah mantan pacarnya ada berapa.
"Tapi kalau emang Regina jadiin Mail selingkuhan, parah banget sih. Nggak nyangka banget gue." Gusti kelihatan ikut trauma, karena bagaimanapun juga, tipe-tipe seperti Regina ini pada mulanya adalah cewek idamannya juga.
Kalau yang pengalaman saja mudah masuk perangkap ular berbisa, apa mending dia nggak usah sok-sokan PDKT ke cewek saja, nunggu dijodohin sama anak teman bapaknya yang sudah ketahuan bibit-bebet-bobotnya?
"Udah, udah. Tadinya mau ngomongin kedaan Ismail, kenapa jadi ghibahin Regina? We know nothing about her." Iis buru-buru menengahi sebelum pada kebablasan.
"Jadi, moral value-nya adalah ... kalau ketemu yang seksi, jangan cepet-cepet ngajak bobo bareng?" Gusti masih lanjut merenung.
Langsung saja Iis menabok mulutnya. "Hush, lagi prihatin, juga!
#TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top