13 | kalau tembok bisa ngomong
1,5k words dulu, besok diusahain update lagi sesuai jadwalnya.
~
Pulang dari Penida, begitu pintu dibuka, bau makanan langsung tercium dari arah kolam.
Sejarah!
Zane—yang beberapa saat sebelumnya menanyakan pukul berapa teman-temannya akan tiba di rumah—sedang membolak-balik daging, aneka seafood, jagung manis, dan sayur mayur di atas barbeque grill di depan gazebo. Padahal, Sabrina berani jamin kalau daya ingatnya nggak perlu diragukan, anak sultan satu itu nggak pernah sekali pun menggunakan tangan sendiri untuk merebus mie instant selama dua minggu mereka tinggal bersama!
Tentu, cowok itu tidak melakukan semua pekerjaannya sendiri, karena tidak jauh di sebelahnya ada cewek yang sekali lihat saja sudah membuat Sabrina pengen ngumpet di ketek Bimo saking insecure.
Tampang cakep, checked.
Bodi kayak Barbara Palvin, checked.
Kulit bening, glowing, pori-pori rapet, bibir nggak pecah-pecah, checked.
Kuku lentik, suara merdu, penampilan chic abis, checked.
Dan lain-lain, dan lain-lain, yang kalau disebutkan satu per satu nggak bakal ada habisnya, dan malah bikin self-esteem Sabrina terjun bebas dari sunset point Uluwatu, nyebur ke lautan, lalu mampus dimakan paus.
Sudah gitu, masih mending kalau attitude-nya jelek, jadi bisa dinyinyirin di belakang. Masalahnya, yang namanya Rachel-Rachel ini tuh dua belas sama Regina. Kalem, sopan-santun, perhatian. Luwes sekali bergaul dengan orang-orang yang baru dikenal.
Sudah jelas, dihadapkan pada cewek-cewek high class begini membuat Sabrina langsung tertampar, ingat kalau dia dekil, misqueen, nggak punya akhlak pula—masih jadi misteri mengapa Bimo bisa terpikat padanya.
Berdiri sendiri sudah sempurna, berdiri berdampingan dengan Zane ... what a perfect combo! Sabrina pengen nggak mengakui kalau dia julid setengah mampus, tapi apa daya ....
"Tapi kok nggak kayak pacaran, ya?" Setelah cukup lama menahan diri, ABG itu akhirnya menyenggol sang pacar, saat akhirnya mereka berdua geser dari gazebo ke dapur, terpisah dari yang lain. Sabrina sedang cuci-cuci piring kotor, sementara Bimo mengobok-obok kulkas, mencari lemon untuk menghilangkan bau bawang putih di mulut.
Ocehan Sabrina barusan bukannya tanpa dasar.
Pasangan yang sedang diomongin ini memang agak aneh gelagatnya. Bagaikan bumi dan langit kalau dibandingkan dengan clingy-nya Sabrina-Bimo dan Regina-Mail. Bahkan dengan yang rada alim dan hampir nggak pernah kelihatan mesra kayak Mbak Iis-Mas Linggar pun masih tampak berbeda jauh.
Rachel dan Zane tuh ... terlalu jaim? Sabrina bahkan nggak menemukan kosa kata yang tepat untuk menggambarkan keanehan mereka.
Apa sultan memang pacarannnya beda sama rakyat jelata?
"Mungkin emang bukan, kali." Bimo yang nggak terlalu peduli urusan percintaan temannya menyahut dengan suara kecil, takut kedengaran yang lain.
Sembari meladeni Sabrina ngobrol nggak penting selama beberapa saat berikutnya, dengan cekatan dia membuat es lemon di dalam satu ceret kecil, dibantu Gusti yang nimbrung tidak lama kemudian.
"Kenal?" Sabrina ganti menanyai Gusti yang kayaknya dibanding mereka semua adalah yang paling dekat dengan Zane.
Gusti menggeleng. Dia mungkin bisa ngobrol banyak hal dengan sohibnya itu, tapi nggak termasuk soal cewek—mungkin karena Zane mencoba menghargai perasaannya yang jomblo dari lahir.
"Lo temennya apa bukan, sih?" Sabrina berdecak sebal sambil mengulurkan satu gelas kosong ke Bimo untuk minta jatah es lemonnya. Jiwa admin lambe-lambeannya masih meronta-ronta.
"Takut ceweknya lebih kepincut sama gue, kali." Gusti menyahut ngasal.
Sabrina kontan mau muntah. "Jijiiik!"
Dan sebelum cewek itu menyadari, gelasnya yang sudah terisi oleh Bimo sudah diambil alih duluan oleh Gusti yang segera ngacir balik ke gazebo.
~
Sebenarnya Sabrina nggak peduli Zane mau pacaran dengan siapa juga. Dia cuma lagi amazed? Soalnya, yang sedang dia lihat di depan mata ini memang too good to be true. Relationship goals banget, dari segi apapun.
Karenanya, sepanjang sisa hari, dia pasang mata dan kuping, for the sake of her own satisfaction.
Jam sepuluh malam teng, Zane bangkit duluan dari kursinya, tampak gerah dan kekenyangan.
Sabrina yang duduk di seberangnya sempat menangkap kata 'mandi' lewat gerak bibirnya saat berbisik ke telinga Rachel yang duduk di sebelahnya.
Gotcha! Nggak mungkin kan, Zane ini versi upgrade perpaduan Bimo dan Mas Linggar? Terlalu sempurna. Lebih wajar kalau dia ini tipe-tipe Ismail bin Mail, sang buaya buntung!
Lima belas menit setelahnya, Rachel ikut undur diri dan Sabrina jadi makin suudzon.
Tapi belum juga Rachel benar-benar meninggalkan tempat itu, Sabrina sudah kualat dan tersedak es di gelasnya.
Nggak sengaja mendengar desahan Mail dan Mbak Regina aja bikin dia adem panas berhari-hari, sekarang isi kepalanya masih harus melanglang buana ke ranjang Zane dan ceweknya, yang kalau diibaratkan tingkat kebeningannya, Mail tuh 480p, sedangkan Zane 1080p! Mati kau Sabrina!
~
"Eh—sorry, sorry!" Rachel refleks menutup kembali pintu kamar Zane di depan mukanya, merasa kaget dan tidak enak hati karena nyelonong masuk saat pemilik kamar sedang melepas pakaian.
Dia sudah memberi jeda cukup lama sebelum menyusul naik, jadi dia pikir harusnya Zane sudah selesai dengan urusan primernya sekarang. Nggak tahunya baru mau mulai.
"Santai, Rach." Cowok itu tertawa pelan dan menyusul Rachel keluar, menggamit tangan cewek yang masih berdiri kaku di depan pintunya itu supaya kembali masuk.
Agak menggelikan bagaimana muka Rachel merah padam hanya dengan melihat Zane bertelanjang dada. Kayak belum pernah lihat semuanya aja.
"Mau pake kamar mandi duluan?" Zane menebak maksud kedatangannya, yang segera disahuti dengan gelengan kepala.
Sebagai gantinya, Rachel berdiri diam sambil memainkan kuku-kukunya, kelihatan tidak nyaman.
"Kalau gitu gue mandi dulu." Zane sudah bersiap pergi ketika kemudian tangannya dicekal. Saat dia balik badan untuk kembali menatap sang tamu, Rachel tampak menelan ludah dengan kesusahan.
Zane lalu mengulurkan tangan untuk mengelus lengannya, mempersilakan cewek itu berbicara.
"I'm sorry for this morning." Rachel menggumam lirih.
Zane sadar, sejak kejadian tadi pagi, mereka memang jadi awkward. Mau bagaimana lagi? Dia nggak pandai menyembunyikan kekecewaan meski sudah berusaha keras.
Di sisi lain, Rachel sebagai pihak yang menjatuhkan ekspektasinya, juga merasa bersalah karena sejak awal sengaja mampir bukan untuk cari masalah.
Meski Zane bilang sudah memahami dirinya, melihat cowok itu agak membatasi diri seharian tadi membuatnya merasa perlu untuk minta maaf lagi.
Zane mengulas senyum tipis, menaikkan tangannya dari lengan Rachel ke pipinya, mengelus pelan sebelum mendekat dan menempelkan dahinya di dahi sang perempuan.
Ya bohong saja kalau Zane bilang sudah ikhlas sepenuhnya. Dia masih kesal dalam hati. Tapi terlalu menyayanginya dan nggak mau kehilangan. "It's okay," ujarnya kalem. "Tadi itu akunya aja yang gampang baper."
Rachel tampak mau menangis. Zane memeluknya dan menghempaskannya ke dadanya.
"I like you as a friend, I don't want to lose you." Rachel mencicit.
"I know." Zane mengecup puncak kepalanya, ingin mengutuk hatinya yang nggak tahu diri. "Aku juga nggak mau kehilangan temen kayak kamu, kali."
"Janji, hari ini nggak bakal jadi masalah?"
"Hmm." Zane mengangguk, sebelum kemudian pamit ke kamar mandi, nggak nyaman badannya yang berkeringat dibiarkan begitu saja berlama-lama.
Saat keluar tidak lama kemudian, dia baru sadar kalau sejak tadi Rachel memainkan kuku-kuku jarinya bukan karena gugup, melainkan sedang menahan sakit. Cantengan gara-gara ketusuk tangkai sate.
~
Malamnya, begitu semua masuk kamar masing-masing, seperti biasa, Sabrina yang nggak betah berduaan dengan Mbak Iis di kamarnya dan nggak suka luntang-lantung sendirian akhirnya pilih mengekor Bimo ke lantai dua.
Dia masih kepo pada penghuni kamar sebelah.
"Kok nggak kedengeran suara apa-apa, ya?" gumamnya kecewa sambil terus menajamkan kuping.
Bimo geleng-geleng capek, mendadak merasa sudah uzur melihat energi Sabrina yang nggak ada habis-habisnya. "Udah tidur, kali."
"Jauh-jauh nyamper ke Bali, masa cuma numpang tidur?"
Bimo terdiam sejenak. "Bukannya Zane bilang 'mampir', ya, bukan 'sengaja dateng'?"
"Percaya?"
"Kenapa enggak?" Makin-makinlah Bimo tertawa. Karena kayaknya bukan cuma Zane yang punya masalah hidup pada Sabrina, tapi sebaliknya, Sabrina juga menyimpan dendam pribadi padanya. "Nggak semua cowok itu PK kayak Mail, kali. Kita juga di sini udah dua minggu, aman-aman aja. Agus, pewe-pewe aja nggak ada cewek, Iis-Linggar juga gue yakin no sex before marriage."
"Ya tapi Zane-Rachel mukanya nggak meyakinkan."
Tepat setelah Sabrina selesai mengatakannya, sebuah rintihan agak keras yang disinyalir sebagai suara Rachel akhirnya terdengar.
"Kan, apa aku bilang!" Sabrina langsung kelihatan semringah karena omongannya terbukti.
Bimo mengiyakan saja. "Iya, iya. Kamu emang jarang salah baca gerak-gerik orang. Puas?"
Padahal, suara yang dia dengar barusan adalah suara Rachel yang menahan sakit karena Zane sedang mengoperasi jari telunjuknya, berusaha mengeluarkan duri yang nyangkut di antara kuku dan daging.
Well, biarpun dugaan Sabrina nggak salah-salah amat, sih, karena itu kampret dua sudah duluan menuntaskan kebutuhan biologis sebelum dia dan yang lain-lain tiba di rumah tadi.
Kayaknya ... emang cuma Bimo dan Agus yang terbukti bukan buaya rawa.
#TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top